“Iris, perkenalkan ini adalah Vincent. Dan Vincent perkenalkan anak saya, namanya Iris Rianna Adinata. Cukup panggil dia Iris saja.”
Iris menatap pria di depannya yang beberapa tahun lebih tua dari dirinya lalu menunduk pelan. Pria itu membalas yang tidak bisa dikatakan ramah atau angkuh.
“Dia akan membantu Papi mengurus pekerjaan.” Richard menambahkan kemudian.
Refleks Iris menoleh menatap Ayahnya. “Maksud Papi?”
“Di masa depan, dia yang akan menggantikan posisi Papi. Jadi Papi harap kamu dapat membantunya.”
Iris mengerutkan dahinya. Sesekali ia curi pandang melirik pria asing di depannya. Dia cukup terkejut dengan berita ini. Bagaimana bisa ayahnya dengan mudah memberikan beban kerja kepada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan darah Adinata? “Papi...”
“Saya lihat Nona Iris kebingungan. Bagaimana jika saya melihat-lihat kantor ini dulu. Pak Richard bisa berbicara empat mata bersama Nona Iris.”
“Ibu,” koreksi Iris tidak suka. Dia sudah menikah. Tidak baik memanggilnya Nona lagi. “Panggil saya Ibu Iris, Pak Vincent.”
Vincent hanya tersenyum kecil.
“Saya kira anak saya mengambil cuti sampai bulan madu. Jadi saya tidak menjelaskannya terlebih dahulu. David akan menemanimu berkeliling di sekitar kantor.”
Vincent melirik Iris dengan tatapan tidak dapat dibaca, pria itu masih mempertahankan senyum kecilnya. Dia mengangguk sebelum beranjak dari tempat duduknya.
Sepeninggalan Vincent, Iris langsung menatap Ayahnya dengan ekspresi membutuhkan penjelasan.
Richard menghela nafas panjang. “Kamu sudah menikah, ke depannya kamu akan mengurus suami dan keluarga barumu. Kamu juga akan membantu pekerjaan keluarga suamimu. Sedangkan Papi, beberapa tahun ke depan Papi tidak akan terlihat muda lagi. Papi membutuhkan seseorang yang kompeten untuk menangani bisnis keluarga kita. Lagipula posisi CEO di kantor kita akan kosong sebentar lagi. Pak Rudi akan pensiun.”
“Promosikan saja Iris ke posisi CEO. Jadi Papi tidak membutuhkan orang lain.”
“Dia bukan orang lain, sayang. Dia anak teman Papi. Vincent merupakan anak yang cekatan, cerdas, dan kreatif. Juga dia seumuran dengan Gavin. Siapa tahu mereka akan berteman. Jadi, Papi tidak perlu khawatir tentang masalah usaha keluarga kita.”
“Kenapa tidak membiarkan Gavin mengurus semuanya?” Iris berharap dia tidak kehabisan ide untuk membiarkan orang asing menjalankan bisnis keluarga Adinata.
“Papi sudah memberikan seluruh tanggung jawab kantor cabang di Singapura untuknya. Akan kewalahan jika dia juga memegang kantor pusat.”
Ah rupanya itu alasan Gavin terlihat sibuk. Tidak hanya bisnis keluarga Mikhail, Gavin juga mengambil alih usaha Adinata yang berada di Singapura.
“Tenang saja, kamu masih memiliki 27% saham. Baik Gavin maupun Vincent, mereka tidak akan bebas melakukan sesuatu tanpa persetujuanku. Aku masih memegang kendali atas semua bisnis keluarga kita.”
***
Ini sudah hari ketiga ia menjadi seorang istri Gavin Mikhail. Tapi tidak pernah sedikit pun Gavin menyentuhnya. Ya, dia masih perawan setelah menikah.
Setiap pagi, Iris akan berangkat kerja ke kantor Ayahnya dan pulang sore hari. Tapi Gavin akan pulang larut malam. Setelah pulang, pria itu hanya pergi mandi dan kembali mengurung dirinya di ruang kerja hingga subuh. Pernah Iris bertanya kenapa dia tidak tidur tepat waktu, jawabannya sederhana; pekerjaanku menumpuk. Bahkan Iris tidak pernah melihat Gavin berada di ruang makan saat sarapan.
Dan Tiffany, wanita itu sudah 3 hari juga tidak keluar dari kamarnya. Dia masih sakit. Setiap Iris ingin menjenguknya, seorang pelayan yang berjaga di pintu kamarnya akan berkata; Nona Tiffany sedang tertidur.
Untung saja Minah berada di sisinya, jadi dia tidak pernah bosan. Kadang juga ia akan mengobrol dengan Nenek di halaman belakang seraya minum teh. Setidaknya untuk sekarang dengan alur seperti itu tidak akan membuatnya bosan.
Dan pada hari ke empat, Iris yang sudah terbiasa ditinggal suami yang mengurung diri di ruang kerjanya, membuka mata dengan tidak semangat.
Saat ia membalikkan tubuhnya alangkah terkejutnya melihat punggung Gavin. Pria itu masih tertidur dengan membelakangi Iris. Sangat jarang ia melihat Gavin masih tertidur. Kemarin, ia pernah berpikir jika Gavin tidak pernah tidur di ranjang mereka. Tapi melihat Gavin di sini membuatnya tersenyum.
Iris menggoyangkan bahu Gavin dan berbisik, “Sayang, bangunlah.”
Akhirnya, oh Tuhan!
Iris bisa melakukan salah satu tugas seorang istri, yaitu membangunkan suami tercintanya!
Gavin bergumam. Ia mengerjapkan matanya, menoleh. Melihat wajah tanpa dosa istrinya, ditambah lagi gaun tidur putih berbahan satin dengan potongan leher yang rendah. Gavin bersumpah, dengan mata yang baru bangun tidur, ia bisa melihat puncak bukit kembar Iris yang tercetak di sana membuat tenggorokannya kering.
Gavin berdeham lalu dengan cepat berdiri. Ia masuk ke kamar mandi dan terdengar suara gemericik air, meninggalkan Iris yang kebingungan.
Apa mereka tidak melakukan sesuatu yang nakal? Atau setidaknya morning kiss? Teman kerja Iris pernah bercerita jika setiap pagi, Johnny kecil selalu ‘siap’. Jadi, kenapa Gavin tidak ingin melakukannya dengannya?
Iris melirik gaun tidurnya. Ia bahkan rela berpakaian seperti ini setiap malam berharap bisa membuat Gavin tergoda dan meninggalkan pekerjaannya walau hanya beberapa jam. Jangan bilang apa yang dikatakan Ayumi benar .... Mau tidak mau Iris kembali mengingat pisang kecil milik Ayumi....
Iris menggelengkan kepalanya kuat. Milik Gavin tidak mungkin kecil!
Dengan kesal Iris mendengus kasar. Ia turun dari tempat tidur, tanpa mengenakan sandal rumahan, ia bergerak ke kamar mandi. Menggeser pintunya dan masuk ke dalam. Melihat tubuh telanjang suaminya membuat kedua mata dan mulut Iris melebar. Akhirnya Iris bisa menampik pernyataan Ayumi saat tiba di kantor nanti.
Ah tungguh... Astaga! Apa sekarang waktunya sangat tepat untuk membahas itu?! Dengan cepat ia menghilangkan pikiran mesumnya. Saat ini seharusnya ia marah.
Bagaimana dengan Gavin? Tentu saja pria itu terkejut. Ia mengumpat pelan lalu membalikkan tubuhnya. “Iris, apa yang kau lakukan?!”
“Apa salahnya aku masuk kemari?! Aku istrimu, kita bisa mandi bersama— Ah maksudku, kenapa kamu menghindariku semenjak kita menikah?”
Gavin menolehkan kepalanya, menatap Iris dengan tenang. “Apa kau berpikir seperti itu?”
Iris mengangguk. “Setiap malam kamu akan mengurung dirimu di ruang kerja. Jika aku ke sana, kamu selalu mengunci pintunya dan tidak menggubrisku yang mengetuk pintu dari luar. Sebenarnya apa masalahnya? Apa kamu membenciku? Jika iya, kenapa menikahiku?!”
Gavin menatapnya. Pandangan matanya berubah menjadi gelap. Pria itu bernafas cepat. Ia melihat bagaimana gaun tidur satin Iris sangat jelas tercetak di tubuhnya yang sempurna karena percikan air. Kenapa? Kenapa harus Iris yang berada di sini?!
Dan wajah Iris berubah pucat. Dia tidak pernah melihat wajah mengerikan Gavin seperti saat ini. Gavin nya selalu tersenyum. Saat Gavin mendekat, secara naluriah ia mundur gemetar.