CLG | CHAPTER 2

1385 Kata
Setelah lulus, Tiffany langsung bekerja untuk keluarga Mikhail menjadi seorang sekretaris Gavin. Sedikit membuat Iris iri. Tapi Tiffany menguatkannya dengan berkata ‘Ayahmu membutuhkanmu.’ Akhirnya, Iris bekerja pada perusahaan Ayahnya. Dan memikirkan Tiffany yang sakit membuat Iris khawatir. Tiffany adalah sahabatnya semenjak mereka berada di kampus yang sama di Inggris. Iris masih ingat awal pertemuan mereka, Iris menangis di kamar asrama di hari pertamanya menjadi mahasiswa. Dari dulu, Iris ingin menjadi seorang aktris. Dia suka berlakon. Dan masa sekolahnya saat di Indonesia, dia sudah banyak mengambil tawaran iklan dan menjadi peraga busana. Saat ia semakin banyak mendapatkan tawaran entah itu iklan bahkan bermain film layar lebar, Ayahnya segera menentangnya. Richard berkata, jika untuk kesenangan sesaat, ia mengizinkannya. Tapi jika berkepanjangan, Richard dengan tegas menolaknya. Richard bukannya terlalu keras kepada anaknya. Dikarenakan anak mereka satu-satunya hanya Iris, ia berharap kelak Iris bisa mengambil alih bisnis keluarga tanpa campur tangan orang luar. Dan jika ia menikah, setidaknya Iris dapat membantu sedikit demi sedikit calon suaminya menangani bisnis keluarganya. Lalu Tiffany datang dan menjadi teman sekamarnya. Tiffany bertanya padanya kenapa dia menangis, dan Iris mengatakannya alasannya. Tiffany menenangkannya seraya berkata, “Sekolah bisnis tidak buruk, kok. Ngomong-ngomong siapa namamu? Kita belum berkenalan.” “Aku Iris.” “Tiffany. Semoga kita berteman baik.” “Kamu orang Indonesia juga?” Tiffany tersenyum dan mengangguk. Dan saat itu Gavin masuk dengan dua tas besar di tangannya. Tiffany menyuruhnya meletakkan tasnya di sudut kamar. Iris tidak pernah melepaskan pandangannya dari Gavin hingga pria itu berbalik menghadapnya. Tidak lupa senyum yang bisa memikat hati wanita. “Gavin, aku memiliki teman sekamar orang Indonesia! Setidaknya aku tidak akan menjadi pemalu dan pendiam di negeri asing.” Masih mempertahankan senyumannya, Gavin mengangguk. “Hai.” Semenjak itu iris jatuh cinta pada Gavin. Dan belajar bisnis mati-matian supaya bisa menjadi nyonya Mikhail kelak. Namun tetap saja ia belajar berlakon jika memiliki waktu luang. *** Iris kembali tersadar dari lamunannya saat mendengar Regina memanggil pelayan, menyuruhnya membawa sarapan untuk Tiffany. “Biar Iris saja, Ma. Iris ingin menjenguknya juga.” Iris dengan cepat mengambil nampan lalu berjalan menjauhi ruang makan. Setelah Iris dan Tiffany lulus sarjana, dia sangat sering mengunjungi kediaman Mikhail, maka dia sudah hapal letak kamar Tiffany dan area lainnya. Kamar Tiffany berseberangan dengan ruang kerja Gavin. Jika semakin masuk ke dalam lorong luas akan menemukan kamar Gavin dan Iris. Saat Iris berbelok dan masuk ke lorong luas yang di hiasi jendela-jendela Prancis, ia melihat Gavin berjalan menujunya. “Sayang?” Gavin menatapnya dan sedikit terkejut. “Kau belum pergi?” “Ada barang yang tertinggal di kamar.” Mengingat kamar mereka juga melewati lorong ini Iris hanya mengangguk. “Untuk siapa itu?” tanya Gavin. “Aku dengar Tiffany sakit, jadi aku membawakan sarapan untuknya sekaligus melihatnya.” “Biar aku saja.” Gavin mengambil alih nampan kaca. “Kamu harus kembali makan. Jangan sampai telat makan.” Iris ingin sekali menolak perintah Gavin, tapi mengingat dirinya sudah membaca buku bertajuk ‘Cara Menjadi istri yang Baik’, ia hanya bisa menunduk lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi katakan padanya aku mengkhawatirkannya.” “Akan aku katakan, sayang.” Gavin berbisik. Ini kedua kalinya Gavin memanggilnya seperti itu setelah sebelumnya saat Iris merajuk di London. Dengan wajah bersemu merah, Iris membalikkan tubuhnya dan menjauh. Gavin masih menatap punggung Iris sampai wanita itu berbelok, barulah ia masuk ke kamar Tiffany yang hanya beberapa langkah. Tidak lupa Gavin menutup pintu rapat sebelum mendekati Tiffany yang menutupi tubuhnya dengan selimut. “Makanlah.” Gavin berkata lembut dan meletakkan nampan di nakas. Dengan keras kepala wanita itu menggeleng membuat Gavin menghela nafas frustasi. “Kamu masih marah karena aku menikah?” Tiffany tetap diam. “Kamu tahu jika ini adalah perjodohan yang dibuat Nenek. Apa aku punya hak untuk menolak?” Mendengar nada kesal Gavin membuat Tiffany semakin menyusutkan tubuhnya di bawah selimut dan menangis. Gavin duduk di pinggir tempat tidur dan menenangkan Tiffany. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud memarahimu.” “Apa pentingnya pendapat semua orang?!” Teriakan itu lagi ... Kalimat yang sama saat Tiffany mendengar kabar Gavin dan sahabatnya, Iris akan menikah. “Jika kita mengumumkan hubungan kita, mereka semua akan setuju. Bahkan Nenek akan lebih antusias dibandingkan dengan perjodohan sialanmu!” “Tiffany!” Tiffany memejamkan matanya dan air mata kembali jatuh di pipinya. Gavin menenangkan emosinya lalu mengusap pipi basah wanita itu. “Ini tidak akan butuh waktu lama. Jadi bersabarlah.” Heh, tidak butuh waktu lama? Tidak ada yang tahu kapan Gavin akan memiliki kekuasaan penuh atas usaha keluarga Mikhail. “Apa kamu akan membiarkannya mengandung anakmu?” tanya Tiffany gemetar. “Hanya itu satu-satunya cara supaya kamu memiliki kendali atas semuanya.” Wajah Gavin menggelap. “Semalaman kita bertengkar karena ini. Apa kita akan kembali dengan topik ini lagi? Aku katakan untuk yang terakhir kalinya, aku tidak akan menyentuhnya. Aku. Tidak. Akan. Menyentuhnya. Kedepannya aku akan sering tidur di kamarmu.” Tiffany bernafas lega. “Aku akan mencari cara lain selain memiliki anak. Aku ingin kamu untuk menunggu.” Tiffany memikirkannya. Cara lainnya yaitu membunuh semua keluarga Mikhail. Tapi dia tidak mungkin mengatakan dengan santai. Ia tahu bagaimana sensitifnya Gavin jika menyangkut Nenek dan orang tua mereka. “Sekarang, makanlah. Besok kamu bisa kembali bekerja.” “Baik.” Tiffany bergumam. Gavin mengusap rambutnya sebelum meninggalkannya untuk makan. *** Baru saja Iris mendaratkan bokongnya di kursi, teman-teman kerjanya langsung mengerubunginya. “Masuk kerja di hari pertama menikah?!” “Kalian tidak bertengkar ‘kan?” “Apa dia terlalu kasar melakukannya makanya kau tidak ingin melihatnya hari ini?” “Apakah itu terlalu kasar? Sangat sangat kasar?” “Bagaimana ukurannya? Apakah besar? Ayo ceritakan!” Iris menatap empat orang di depannya dengan jengah. Mereka adalah teman yang selalu memberi informasi dewasa dan vulgar. “Kami belum melakukannya.” “WHAT?!” Pekik mereka bersamaan membuat Iris menatap mereka tajam. “Ini di kantor!” Iris mengingatkan mereka. “Ruanganmu cukup jauh dari karyawan lain, jadi tidak masalah.” Jane berkata dengan santai. “Tapi di depan ruang kerja Papi!” Iris membalas. “Bos belum datang. Tenanglah, Iris...” Jane berkata. “Jadi, kenapa kalian belum melakukan ini?” Maya mengangkat majalah dewasa di depan mata Iris. Iris memerah. Ia kelabakan dan menyuruh Maya menyimpan kembali majalah terkutuk itu. Sedangkan yang lainnya tertawa. “Ayo, aku ingin dengar ceritanya!” Veronica mendekatkan kepalanya membuat semuanya ikut-ikutan mendekatkan kepala mereka. “Malam itu kami lelah. Jadi—” “Dia tidak ingin melakukannya.” Veronica berspekulasi. “Atau dia ingin melakukannya tapi kau menolaknya?” Maya bertanya. “Atau jangan-jangan kau terlihat agresif jadi dia menolak melakukan ini.” Jane kembali mengeluarkan majalah dewasa dari tas Maya. “Berhentilah berspekulasi bodoh!” Iris mendengus sebal. “Dan buang majalah sialan itu! Pak Richard akan datang sebentar lagi, lebih baik kalian duduk di ruangan kalian masing-masing. Cepat!” Mereka hanya tertawa. Hanya Ayumi yang terlihat berpikir sedari tadi. Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya lalu menatap Iris. Tiba-tiba Ayumi berbicara, “Atau jangan-jangan miliknya kecil!” Jane, Maya, Veronica, bahkan Iris terkejut dan membisu saat melihat pisang kecil di tangan Ayumi. Mereka tidak bisa berkata-kata. “Apa yang kecil?” Mereka membulatkan mata cukup lebar. Dengan wajah pucat dan sangat cepat mereka berdiri tegap dan berbalik untuk melihat Richard, Ayah Iris sudah berdiri di belakang mereka. “Pak Richard,” sapa mereka bergantian. Richard tersenyum. Ia tidak sengaja menangkap sesuatu di tangan Jane dan Ayumi membuat mereka memerah. Dengan panik mereka menyembunyikan barang nista di belakang punggung mereka. Lalu tersenyum cengengesan menatap Richard. Namun Richard tidak sendirian, ia membawa seseorang di sampingnya. Pria tampan bersetelan jas. Terlihat berkharisma dengan rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Melihat keempat wanita muda hampir meneteskan air liur, Richard menegur mereka. “Jam istirahat masih lama. Jadi kalian bisa kerja dulu.” Mereka berempat mengangguk patuh lalu pergi dari sana meninggalkan Iris yang masih berdiri dari balik meja sekretaris. Wajah wanita itu memerah. “Kamu masuk kerja? Bukannya kamu bilang akan mengambil cuti.” Richard mengangkat alisnya. Ini merupakan pertanyaan yang sulit. Apa yang harus ia katakan?! “Emm...” Richard tersenyum. “Ke ruangan Papi sekarang.” Iris mengangguk lalu mengikuti Richard dan satu pria lagi masuk ke ruang Richard. Setelah Iris menutup pintu, barulah ia menyusul kedua pria berbeda umur itu duduk di sofa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN