CLG | CHAPTER 1

1047 Kata
Pesta telah selesai. Iris dengan gugup duduk di pinggir ranjangnya. 30 menit yang lalu, ia dan Gavin masuk ke kamar pengantin mereka. Gavin menyuruhnya mandi terlebih dahulu yang sebenarnya membuatnya agak kecewa. Kenapa pria itu tidak ingin mandi bersama? Bukan berarti Iris adalah wanita yang agresif. Dia hanya sering mendengar gombalan teman-teman kerjanya tentang pengantin baru yang mana selalu membuatnya memerah, dan mandi bersama merupakan salah satunya. Iris dengan cepat mandi lalu keluar dengan jubah mandi berwarna putih setinggi pahanya, barulah Gavin masuk ke kamar mandi. Iris duduk di pinggir kasur seraya mengeringkan rambutnya. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi yang mana hanya Tuhan yang tahu kapan Gavin akan keluar. Ayolah... Iris sudah tidak sabar mempraktekkan apa yang temannya katakan! Mereka mengatakan itu sangat menyenangkan. Jangan menyalahkannya, OK?! Salahkan Gavin yang sama sekali belum menyentuhnya semenjak mereka bertunangan. Bahkan untuk mencium bibirnya saja hanya sekali, dan itupun saat mereka selesai mengucapkan janji suci. Gavin pernah mencium dahinya itu juga hanya sekali seumur hidup Iris. Bagi Iris, apa yang dilakukan Gavin semakin menambah poin plus-nya. Bukankah terlihat jelas bahwa pria itu berpendidikan tinggi. Pintu kamar mandi bergeser, dan secara naluriah Iris berdiri. Ia melihat Gavin keluar dengan pakaian lengkap. Tunggu, kenapa harus memakai pakaian jika pada akhirnya mereka akan sama-sama telanjang? Baru saja Iris ingin membuka mulutnya, Gavin sudah angkat bicara duluan. “Pakai baju tidurmu, Iris. Kamu akan sakit jika masih menggunakan itu.” “Tapi, bagaimana dengan...” Iris menatap Gavin lalu menatap tempat tidur mereka. Gavin sedikit mengerutkan dahinya namun masih tersenyum. “Hari ini sangat melelahkan. Kamu perlu istirahat.” Gavin membalikkan tubuhnya. Saat ia menyentuh handle pintu, Iris menahannya. “Kamu mau kemana?” "Aku memiliki beberapa pekerjaan yang harus di selesaikan. Tidurlah terlebih dahulu.” Dan Gavin pergi begitu saja setelah menutup pelan pintu. Sedangkan Iris hanya bisa terdiam menatap pintu. Jam demi jam berlalu hingga pukul dua pagi namun Gavin tidak kembali ke kamar mereka, akhirnya Iris menyerah menunggu pria itu. Menguap, ia membaringkan tubuhnya di ranjang besar dan dengan cepat tertidur. *** Iris terbangun saat cahaya masuk ke kamarnya. Ia mengucek matanya dan bersandar di kepala ranjang. Melirik sisi tempat tidur di sebelahnya masih rapi seperti tadi malam tidak dapat membantunya berhenti berfikir macam-macam. Mendengar suara gemericik air dari kamar mandi membuatnya menghilangkan pemikiran buruk. Saat pintu terbuka, Gavin keluar dengan handuk putih melilit pinggangnya. “Pagi.” Gavin tersenyum lalu membelakanginya dan berjalan menuju walk in closet. Iris tersenyum lebar dengan wajah memerah. “Pagi juga.” Ia menapakkan kakinya ke lantai lalu membuntuti Gavin. “Semalam kamu tidur di mana?” “Di sebelahmu.” Gavin menjawab seraya memasang gesper. “Oh ya? Aku tidak merasakannya.” Gavin tersenyum. “Kamu tidur seperti orang mati.” Iris cemberut. Lalu melirik gerak-gerik Gavin. “Kamu akan berangkat kerja?” Seperti biasa, Gavin hanya tersenyum tipis. “Menyebalkan sekali... Ini merupakan hari pertama kita menikah, apa tidak sebaiknya kita merencanakan bulan madu?” Gavin menoleh tanpa ekspresi. Detik berikutnya pria itu tersenyum yang seperti dipaksakan. “Aku akan menyuruh Tiffany mencari tanggal kosong.” “Hebat!” Iris menepuk kedua tangannya, bersemangat. Saat Gavin ingin memilih dasi, dengan sigap Iris mengambil dasi gelap. “Ini sangat cocok untuk setelanmu hari ini. Oh sebentar, aku akan menyiapkan jas—” “Iris.” “Ya?” “Kedepannya jangan pernah melakukannya ini, menyiapkan pakaianku.” Senyumannya dengan perlahan hilang dan digantikan dengan kebingungan. “Kenapa? Aku adalah istrimu. Sudah menjadi tugasku menyiapkan pakaianmu.” “Aku sudah terbiasa melakukannya sendiri. Jadi kamu tidak perlu merepotkan dirimu.” Dengan keras kepala Iris menggelengkan kepalanya. “Aku tidak merasa direpotkan.” “Please, Iris. Untuk segala kebutuhanku, kamu tidak perlu melakukannya. Kamu seorang Nyonya Mikhail sekarang, jangan membuatmu dipandang seperti seorang pelayan di rumah ini.” “Tapi—” “Aku pergi dulu.” Gavin mencium dahinya, tersenyum, mengambil jas yang sudah pria itu ambil sebelumnya, lalu keluar dari kamar mereka. Iris menyaksikan untuk kedua kalinya pria itu meninggalkannya di kamar. Dengan lesu Iris turun ke bawah dan melihat semua keluarga Mikhail sudah berkumpul di sana tanpa Gavin dan Tiffany. Butuh waktu 15 menit untuknya berbenah diri sebelum berkumpul menjadi anggota keluarga Mikhail di hari pertamanya. Dengan malu-malu Iris menyapa kedua orang tua Gavin —Jeffery dan Regina— dan Nenek Gavin, Rosalina. Kemudian duduk di kursi di dekat Rosalina. Sedangkan Regina, duduk di dekat Jeffery. “Mulai sekarang jangan panggil Pak Ibu, kesannya terlalu asing.” Jeffery menatapnya dengan ramah. “Panggil saja seperti Gavin dan Tiffany memanggil kami. Kamu sudah menjadi bagian keluarga Mikhail sekarang.” “Benar. Biasakanlah memanggil kami Papa dan Mama.” Regina menambahkan seraya menyiapkan makanan di piring kosong. Iris tersenyum dan mengangguk. “Pa, apa boleh Minah tinggal di sini? Aku sudah terbiasa dengan keberadaannya.” Jeffery melihat Rosalina di depannya yang sama-sama duduk di kursi kepala. Melihat Rosalina tidak mempermasalahkannya, ia tersenyum. “Hubungi dia segera sebelum aku berubah pikiran.” Iris mengeluarkan suara tawa yang murni. “Terima kasih, Pa.” Jeffery mengangguk dan kembali sarapan. “Di mana Gavin?” tanya Rosalina. Rosalina merupakan orang yang sangat dihormati seluruh keluarga Mikhail. Apa yang dikatakannya, semua orang akan setuju tanpa protes. Begitu juga saat Iris mengatakan jika ia menyukai Gavin, Nenek lah orang pertama yang senang dan antusias menjodohkan mereka. Dan Iris merupakan cucu kesayangannya, walau mereka tidak memiliki hubungan darah. “Bukankah dia sudah pergi?” Iris balik bertanya. “Pergi? Pergi ke mana? Dia belum turun... Dan ada apa dengan pakaianmu hari ini?” Iris melirik pakaian kerjanya lalu tersenyum malu-malu. “Iris akan pergi bekerja.” Gavin akan bekerja, jadi untuk apa dia di rumah seharian?! “Hari pertama menjadi suami istri seharusnya tinggal di rumah dulu.” Rosalina menggenggam jemari Iris dengan penuh perhatian. “Jika Gavin ingin bekerja, kamu bisa istirahat. Aku akan menghubungi Ayahmu dan meminta izin.” Iris menggeleng cepat. “Iris tidak merasa lelah.” “Oh Tuhan... Anak muda zaman sekarang memiliki stamina yang mengangumkan saat berhubungan intim.” Iris memerah dengan mulut terbuka. “Nenek!” Ia bahkan belum melakukannya! Semua orang tertawa. “Sepertinya dia melihat adiknya dulu di kamar. Semenjak kemarin, Tiffany tidak enak badan. Jadi dia mengurung dirinya di kamar. Sepertinya dia tidak akan bekerja hari ini.” Regina berkata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN