"Tapi kenapa nenek tidak pernah memberitahuku tentang Nola?" tanyaku kesal.
"Kau sendiri yang pernah bilang tak peduli dengan urusan calon istrimu." Nenek mengedikkan pundaknya.
"Aku hampir kena serangan jantung tadi Nenek … yang benar saja, adik musuhku yang akan kunikahi? Aku tidak pernah membayangkannya, benar-benar sulit dipercaya." Aku cemberut, "Nenek membuatku sulit membalas dendam, karena aku akan menjadi bagian dari keluarganya."
"Aku jadi ragu, jika kau ini cucuku yang sesungguhnya. Kau terlalu polos dan bodoh. Jangan-jangan kau tertukar di rumah sakit, atau mungkin saja ibumu berselingkuh dari putraku."
"Nenek!" Aku melotot, tidak setuju dengan idenya membawa-bawa orangtuaku yang sudah tidak ada.
"Baiklah, aku tidak akan meragukannya lagi. Kau sangat mirip dengan putraku yang tampan. Kau hanya malas belajar saja." Dahinya berkerut dalam. "Seharusnya kau bisa melihat potensi besar balas dendammu dengan memperhatikan betapa tersiksanya Nalo saat ini. Ia tidak rela adik yang sangat dia sayangi menikah dengan pria b******k sepertimu, ditambah lagi kau adalah musuhnya. Pernikahan ini akan membuatnya gila."
Hah, betul kata nenek, kenapa aku bodoh sekali. Balas dendam tidak selalu tentang baku pukul. Aku mengangguk, bibir nenek melengkung membentuk senyum kepuasan.
Nenekku yang pintar dan licik, sangat pintar memutar-balikkan keadaan. Pernikahan ini akan menjadi kekejaman yang menakjubkan bagi Nalo.
Nenek memanfaatkan keadaan ini sebagai kambing hitam untuk mengikat gadis yang menurutnya cocok menjadi ibu bagi penerusnya. Politik yang brutal.
"Nalo mungkin akan melakukan berbagai cara untuk menggagalkan pernikahan ini," bisiknya dengan suara berdesis yang hampir tak bisa kudengar. "Kau harus waspada."
Aku mengangkat tanganku dengan sikap acuh tak acuh, "Aku di sarang Nenek, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan."
"Nalo bukan pria sembarangan. Jangan menyepelekan dan bermain-main dengan hal-hal yang tidak kau mengerti.”
"Baiklah nenek, aku mengerti. Lebih baik aku istirahat agar bisa cepat pulih, menikah dan beranak-pinak. Pernikahan ini adalah sebuah kejahatan yang berbau manis." Aku melewati nenek dan seorang pelayan mendorongku ke kamar.
***
"Kenapa kau di sini?" Kuarahkan kursi rodaku ke sosok yang sedang berdiri di ujung kamarku. "Aku mau istirahat, cepat keluar!"
Kaki kananku sudah cukup kuat, aku tidak membutuhkan bantuan lagi kalau hanya untuk berpindah dari kursi roda ke tempat tidur.
Pria berseragam hitam putih itu menyeringai, menodongkan pistol ke arahku. Aku menahan nafas beberapa detik, tapi tidak terlalu terkejut karena nenek sudah memperingatkanku.
"Kau suruhan Nalo?" Bicaraku santai. "Kau tidak ditugaskan menghabisiku, kan? Untuk apa pistol itu, hati-hati dengan pelatuknya. Meskipun jika aku mati nanti, adik bosmu itu tetap harus menanggung kejahatan kakaknya yang telah membuatku menderita. Dia akan tetap mengandung anak-anakku." Aku terkekeh.
Ia menurunkan pistolnya, "Aku prihatin padamu, Tuan. Kau pria yang sudah tidak berguna, bahkan jika kau mati, tidak akan ada yang dirugikan."
"Aku harus berterima kasih atas keprihatinanmu. Lalu kau membawakan pesan apa dari tuanmu?" Pria itu mendekat.
"Dia menawarkan sebuah kesepakatan, pesan damai." Ia menarik sebuah kursi, mendekatkannya ke arahku. "Sebenarnya rencana awalnya adalah menakut-nakutimu dengan pistol ini agar kau menolak untuk dinikahkan dengan Nona Nola. Tapi sepertinya bahkan kau tidak takut mati."
"Kesepakatan seperti apa?" tanyaku dengan malas.
"Tuan Nalo menawarkan dirinya sebagai ganti adiknya." Suaranya datar, ia menghela nafas di akhir kalimatnya.
"Dia kira aku pecinta laki-laki?" Aku mengerutkan kening, heran dengan penawaran yang seperti lelucon.
Ia mendengus, "Sayang sekali, otakmu tidak sebagus penampilanmu, Tuan."
"Itu adil namanya. Jika aku tampan dan jenius, itu serakah namanya." Ada apa dengan orang-orang ini, semua mengataiku bodoh. Aku mengedikkan dagu, "Cepat jangan berbelit-belit, katakan dengan bahasa yang tidak bertele-tele!"
"Satu mata untuk satu mata. Tuan Nalo ingin menebus semua yang telah ia lakukan kepada Anda. Dengan suka rela bersedia dihajar seperti dulu Anda dihajar. Asal Anda membatalkan pernikahan ini. Itu adil bukan?" Dia terlihat bersemangat dan tidak lupa tersenyum.
"Aku bahkan sekarang butuh tongkat untuk berdiri, bagaimana aku bisa menghajarnya?" Aku berpura-pura bodoh. Padahal sebenarnya aku memang bodoh.
"Anda bisa menyuruh anak buah Anda untuk menghajarnya." Ia menaikkan alisnya.
"Tapi anak buahku tidak tahu bagaimana rasanya pukulan yang kuterima waktu itu. Aku takut itu tidak akan setimpal dengan apa yang kudapat." Perlahan kupindahkan tubuhku ke tempat tidur, berlagak kesulitan dan dia membantuku.
"Kau lihat, aku pria tidak berdaya dan bagaimana aku bisa baku pukul? Itu butuh waktu yang lama."
"Lalu apa yang kau inginkan sebagai ganti kebebasan Nona Nola?" Ia terlihat mulai jengkel.
"Aku tidak menginginkan apapun. Aku tidak ada hubungannya dengan keputusan pernikahan ini. Tidak kau lihat pria malang ini, aku berada di bawah kuasa nenekku. Harusnya kau bernegosiasi dengannya, bukan denganku. Dia yang memutuskan, aku hanya mengikutinya. Jika aku menolak, pasti wanita tua itu akan membuangku ke jalanan. Sudah pasti aku akan jadi gelandangan. Nenek sudah memiliki apa yang dibutuhkan, benihku. Aku sudah tidak terlalu berguna lagi. Menyedihkan bukan?" kataku pelan, penuh dengan kesuraman.
Ia terlihat termakan oleh kepura-puraanku dan berpikir keras.
"Apa aku begitu buruk di matanya, sampai-sampai ia menolakku menjadi adik iparnya?" Aku melemparkan pertanyaan yang mungkin sulit dijawab, ia terdiam untuk beberapa saat.
"Sepertinya Anda butuh cermin, Tuan. Tidakkah Anda sadar betapa berbedanya Anda dengan Nona Nola. Ia cantik, pintar, berprestasi dan masih suci. Dan Anda--" Ia tidak meneruskan kalimatnya.
"Super tampan, t***l, b******k dan sudah tidak suci." Aku mendengus kesal. Ia terkekeh.
"Sialan," umpatku.
"Anda tidak boleh marah, itu kenyataan." Ia mengedikkan bahu.
"Kau tahu, itu juga yang dikatakan nenekku. Memiliki menantu seperti Nola akan memperbaiki keturunannya. Aku benar-benar seperti sampah. Tidak adakah yang menginginkanku." Aku bersungut-sungut.
"Ayolah Tuan, jangan bersedih. Aku tahu ada banyak wanita cantik dan menggairahkan yang berlomba-lomba berlari ke pelukan Anda." Ia menekankan pada kata 'menggairahkan' dengan erangan yang menjijikkan.
"Nenekku tidak akan setuju. Di sini permasalahannya ada pada nenekku, bukan aku. Jadi pergilah, aku mau tidur." Aku membuka dasi dan jasku, membuangnya sembarangan ke lantai.
Pria itu tidak pergi juga, sepertinya masih memutar otaknya. "Kenapa kau tidak pergi juga? Kau berharap melihatku telanjang? Pergilah, aku tidak berminat pada jakun."
Pria itu menghela nafas panjang dan menuju pintu. Aku membuka kemejaku. "Hei jangan lupa sampaikan pada Nalo, aku tidak berpakaian saat tidur karena aku suka dengan yang namanya skin to skin. Tidak sabar ingin tahu betapa lembutnya adik Nalo."
"Aku akan kembali dengan penawaran lain, tidurlah Tuan, agar cepat bisa menghajar orang." Ia menutup pintu dengan sangat pelan. Aku tidak menyangka Nalo rela melakukan apapun demi adiknya, benar kata nenek. Aku penasaran apalagi yang ia rencanakan.