Meleset

1034 Kata
Tak ada banyak yang bisa kulakukan selain menelpon Rony, "Kau sudah dengar gosipnya?" Rony menghabiskan banyak waktunya untuk mendengar gosip, Ibunya adalah Ratu Gosip, "Kau tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengarnya sampai matahari terbit. Benar-benar tidak sopan menelpon di pagi buta. Kukira kau diciduk polisi, tega sekali kau membangunkanku hanya untuk bergosip." "Aku diberitahu Nenek bahwa ada yang memerasnya untuk ganti rugi perbuatan yang bukan aku pelakunya. Meski kujelaskan wanita itu tidak akan mempercayainya." Nadaku menjadi tajam.  "Hah! Dasar lumpur got. Mereka benar-benar canggih, semudah itu mendapatkan uang. Tapi memang benar, kau yang mencari masalah lebih dulu. Lagipula uangmu banyak, kurasa kau tidak akan miskin dengan yang mereka minta. Baiklah, ayo kita kembali tidur, tidak baik untuk pria muda yang tegap begadang sampai pagi, apalagi belum beristri. Eh omong-omong, apakah nenekmu sudah berhasil mencarikanmu pasangan yang cocok?" Dia berbicara dengan satu tarikan nafas. Aku mendengus, penyakit tukang gosipnya muncul, persis seperti wanita. "Sayang sekali, sepertinya belum ada yang sesuai dengan kriterianya.  Nenekku terus meninjau kandidat yang diajukan, membayar beberapa orang untuk menguntit mereka. Beberapa gadis yang beliau pamerkan padaku, tak satupun dari mereka yang lolos dari ujiannya. Tampaknya semuanya sudah tercemar.  Nenekku mengabaikan mereka yang telah berharap banyak. Aku juga coba melakukannya, meskipun pada prakteknya sangat sulit. Aku pria b******k, dan sulit menolak mereka. Aku berharap tidak menikah tahun ini, darah mudaku masih terlalu panas.  Aku bahkan tidak mau repot-repot mencari tahu siapa yang akan dinikahkan denganku. Nenekku mencari menantu bukan menurut seleraku, tapi berdasarkan standarnya. Mudah-mudahan bukan generasi nenek-nenek yang dijadikan pabrik pembuat pewarisnya.  Huh, pertanyaan Rony, membuatku lupa apa tadi yang ingin kutanyakan."Oh ya, katakan siapa yang melapor pada nenekku?" Di ujung sana suara dengkuran kasar terdengar nyaring, "Sialan, Rony kau tidur. Aku menunggu informasimu!"  "Hah? Kau benar-benar seperti mimpi buruk. Nalo pelakunya, cepat matikan telponnya." "Kerja bagus, telingamu ada di mana-mana. Aku akan mengatur cara menghantui Nalo." "Seorang pria yang akan menikah seharusnya tidak mengambil resiko berurusan dengan polisi lagi," keluh Rony, paham betul maksud ucapanku.  "Aku belum tentu menikah dalam waktu singkat, tak akan ada wanita yang dianggap benar menurut ukuran nenekku, biarkan wanita itu sibuk memilih."  "Dan jika kau tertangkap, kau akan membusuk di penjara. Dan kau baru akan sadar betapa berharganya sebuah kebebasan." Rony mulai menggerutu.  "Kau selalu khawatiran seperti wanita tua." Aku memutus sambungan teleponnya. Apa yang dikatakan Rony tidak salah, tapi tetap saja, aku harus pergi merealisasikan rencana jahat di otakku. Entah kenapa? Seperti yang pernah Rony katakan, ada setan bandel bersemayam dalam diriku; yang susah diusir meski seberapa banyak aku di jampi-jampi.  Bagaimanapun, aku adalah Ketua Geng Aspal, aku tidak akan tinggal diam jika nenekku dibawa-bawa. Harga diriku tak bisa ditawar.  Siapa yang tahu jika tiba-tiba nenekku berubah pikiran dan cepat-cepat menikahkanku tanpa pikir panjang lagi. Bisa jadi ini kenakalan terakhirku sebagai bujangan.  *** Sudah cukup larut, aku akan pergi sendiri. Membawa anak buahku hanya akan membuat gengku jadi binasa jika tertangkap.  Aku tahu di mana pria kurang ajar yang telah membuat nenekku berang padaku. Dia anak orang berada, ayahnya seorang jutawan.  Meski begitu mereka memilih tinggal di vila mewah di bibir hutan, daripada tinggal di kawasan elit berpenjagaan ketat seperti milik nenekku. Kurasa keluarganya turun-temurun memang suka bermain lumpur.  Targetku sekarang adalah garasi, meskipun aku berandalan tapi tidak bisa dikategorikan kejam. Aku menyasar motor kesayangannya, bukan pemiliknya.  Aku berpakaian hitam legam, hanya mataku yang nampak di balik atribut pencuri yang baru kubeli online. Sudah kupelajari di mana saja letak CCTV, aku memanjat tembok yang dijalari tanaman merambat dengan mudah.  Dua orang satpam berjaga di gerbang, menyesap kopi sambil bermain kartu. Dua orang lainnya berpatroli di sayap kanan. Aku menyelinap ke sayap kiri tempat garasi itu berada.  Sebuah keberuntungan, pintu garasi model lipat itu hanya ditutup separuh. Mataku memindai balkon yang ada di atasnya. Sebuah kamar full kaca dan ... Seorang gadis.  Ia berdiri bersandar pada dinding kaca, sangat feminin. Cahaya biru dari ponselnya membuat kulitnya tampak sepucat patung porselen. Aku kesulitan menggambarkan kecantikannya, luar biasa. Anak-anak gengku sering membuat lelucon tentang gadis itu, menyebutnya sebagai 'Perawan Suci' yang tak terjangkau. Dia adalah adik kandung Nalo. Aku bahkan belum pernah melihatnya dari dekat. Saudara laki-lakinya tak akan membiarkan pria manapun mendekatinya. Dia lah milik Nalo yang paling berharga, kehormatan keluarga. Ada godaan untuk mengusik Nalo dengan mengganggu adiknya, tapi otakku masih di kepala. Aku tidak akan melampaui batas. Aku tak membuang waktu. Begitu masuk di garasi, langsung kutancapkan belatiku di ban motor trail. Aku terkesiap dengan suara mirip erangan anjing yang terdengar ketika mencabut belatiku. Rencanaku untuk merusak koleksi motornya, gagal. Di ujung kegelapan garasi, dua pasang mata berwarna kuning menyala. Jenis anjing pemburu, dengan mantap menerjangku.  Segesit apa aku menghindar, hewan terlatih itu berhasil menancapkan giginya di betisku. Tak ada gunanya duel dengan anjing itu, karena aku tahu pasti dia yang menang.  Cepat kutarik kaos hitamku, dan menyarungkannya ke kepala anjing galak itu. Aku hanya punya beberapa detik untuk menyelamatkan nyawaku. Aku berusaha mengecoh dengan berlari ke arah dinding, mengusapkan darahku sendiri ke tanaman menjalar. Membebat lukaku dengan singlet agar darah tidak menetes. Suara langkah kaki berlarian dari arah depan. Kegaduhan tak terhindarkan dari anjing yang mulai frustasi melepaskan kepalanya dari kaosku.  Kupanjat dinding batu alam tak beraturan dengan bantuan belati untuk menuju balkon. Kulemparkan tubuhku ke lantai marmer balkon, tertelungkup dan terengah, jantungku hampir meledak saat kusadari sepasang kaki tepat di ambang pintu.  Aku masih sempat bersyukur karena kaki itu tak berbulu khas pria, tapi terlihat sangat licin dan … menggoda. Di detik berikutnya, mataku bertemu dengan sorot mata indah penasaran.  Aku menahan nafas, menunggu reaksinya untuk menjerit, respons biasa seorang gadis saat melihat pria asing di kamarnya. Meleset dari perkiraanku, ia tenang. Matanya memperhatikan pantatku.  "Kau siapa? Dilihat dari jeans hitam bermerekmu, kau bukan seperti pencuri." Aku terkejut dengan kemantapan suaranya. Dalam matanya yang jernih aku melihat keberanian, sangat berani.  Namun dari dagu dan rahangnya yang menegang, aku bisa merasakan ketakutannya yang terselubung. Bersiap menjerit, jika diperlukan. Tipe seorang yang bijak, kurasa.  Beberapa orang berbicara di bawah, suara Nalo juga ada di antaranya. Kuletakkan jari telunjukku di bibirku yang tertutup topeng. "Kapten Aspal." Sengaja kuungkap identitasku untuk menyurutkan rasa takutnya, aku memang bukan pria baik-baik tapi paling tidak aku bukan penjahat yang menyasar para wanita. Aku hanya anak berandalan, gila motor. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN