Malam kian larut, hanya terdengar suara jangkrik memenuhi gendang telinga yang seperti mengejekku. Jangkrik sialan! Mereka seolah menari-nari di atas penderitaanku.
Kumatikan lampu kamar, mungkin saja karena terlalu terang aku kesulitan tidur. Tapi percuma, tetap saja aku merasa gelisah gundah gulana. Aku menggulingkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Ayu tidak merasa terganggu. Dia masih nyenyak dalam tidurnya.
"Ahhh ... s**t!" umpatku kesal lalu bangun dari tidurku.
Aku berjalan mendekati jendela. Kubuka jendela itu, menikmati sepoi angin malam yang menerpa wajahku. Daun-daun bergesekan dengan batang saling bergelayutan di depanku.
Kemudian aku menyulut rokok sisa kondangan yang terbawa di kemejaku tadi karena saking kesalnya diriku. Kuapit di antara jari telunjuk dan tengah, lalu menghisapnya perlahan. Campuran nikotin dan tembakau membuatku sedikit lebih tenang. Hanya sedikit. Bahkan hingga kepulan asap terakhir, aku masih merasa gelisah.
Lalu, aku kembali ke ranjang setelah memastikan jendela terkunci rapat. Aku meneguk air minum yang tersedia di meja hingga tandas, lalu meletakkan gelas kosong tersebut di meja.
Kupandangi tubuh molek Ayu yang masih membelakangiku. Gila! Memandangnya saja sudah membuat senjata pusakaku beraksi. Rasanya ingin sekali langsung memakannya, tapi ada rasa tak tega menghampiri. Dia terlihat sangat lelah.
Semakin lama, aku semakin tidak tahan. Aku menyentuh bahunya perlahan dan menggoyangkannya. Berharap, dia mendengar jeritan hatiku yang sedang meronta menginginkannya.
"Ay ...," panggilku pelan.
Ayu masih tidak bergeming. Kemudian aku memeluknya dari belakang, menyibak rambut panjangnya hingga terlihat leher jenjang dia.
Kutelusuri seluruh sisi leher itu dengan bibirku. Aku tinggalkan jejak kepemilikan di sana. Ayu menggeliat kegelian. Namun kedua matanya masih terpejam.
Lalu, aku membalikkan tubuhnya menjadi terlentang. Aku menindihnya, tubuhnya ada di bawah kuasaku sekarang. Anehnya dia masih terpejam.
Aku mencium bibir kecil namun bervolume itu, kulahap bibir bawahnya. Terasa sangat manis. Lalu aku membuat jejak kepemilikan di leher depannya, dan juga dadanya. Terdengar desahan Ayu lirih, membuat benda pusakaku semakin terdesak ingin keluar dari penjara.
Tanganku mulai berkelana menyusuri tubuhnya. Tiba-tiba Ayu terbangun, dia mendorongku sekuat tenaganya. Matanya menyalang terpancar amarah. Apa aku begitu bersalah? Kenapa dia memandangku seperti itu?
"A-Ay sayang," ucapku ragu-ragu.
Dia terduduk dan hampir menangis. Lalu kedua tangannya merapat, menutupi dadanya.
"Ay ... maaf, aku mengganggu tidurmu ya," tuturku pelan merasa tidak enak.
"Jangan sentuh aku!" pekiknya dengan suara lantang.
DEG!
Apa maksudnya? Aku suaminya tapi dia bilang untuk tidak menyentuhnya. Aku benar-benar bingun dan tidak mengerti dibuatnya.
Aku mendekat, duduk di sampingnya dan akan merangkulnya. Tapi di luar dugaan. Dia mendorongku sekuat tenaga lalu beranjak berdiri dan menangis.
"Tolong ... jangan sentuh aku Mas," isaknya membuatku teriris.
"Apa salahku Ay?" tanyaku bingung.
Jujur, aku tidak pernah memiliki pasangan wanita sebelumnya. Aku tidak pernah merasakan yang namanya berpacaran. Sehingga aku tidak mengerti bagaimana menangani wanita menangis. Aku frustasi dibuatnya. Tangisnya semakin menjadi. Oke, aku kalah! Semakin melihatnya tersedu-sedu, jantungku semakin terasa sesak.
"Mau kamu apa Ay?" tanyaku dari kejauhan.
"Ceraikan aku Mas," ucapnya sambil sesenggukan.
DUAR!!! Rasanya ada yang meledak di jantungku. Pernikahan kami belum genap 24 jam, tapi isteriku sudah minta diceraikan. Astaga permainan macam apa ini?
Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Mencoba menetralkan gemuruh jantung dan hatiku yang terguncang.
"Ay, pikirkan baik-baik. Kita bicarakan lagi besok. Aku akan tidur di kamar lain, maaf membuatmu takut," ujarku sambil berjalan ke luar menuju kamar sebelah.
Hingga pagi menjelang, aku tidak bisa tidur. Kepalaku terasa sangat berat, mataku sayu. Aku berjalan gontai ke dapur untuk membuat kopi. Terlihat, Ayu sudah berkutat di dapur membuat sarapan.
Canggung, itu yang terjadi saat ini. Aku berjalan ke arahnya, dia menjauh. Aku mengambil kopi beserta cangkir dan menyeduhnya dengan air dispenser. Tak berapa lama, Ayu datang meletakkan makanan di hadapanku. Lalu pergi lagi ke kamarnya.
"Ay, kamu gak makan juga?" tanyaku.
"Udah, aku ke kamar dulu Mas," ujarnya tanpa memandang ke arahku.
Aku meraih tangannya hingga langkahnya terhenti dan menoleh ke arahku.
"Makan dulu, aku gak mau kamu sakit Ay," ajakku dengan memohon.
Akhirnya dia menurut, duduk di samping kursiku dan mengambil sedikit nasi goreng yang sudah ia masak tadi dan memakannya.
Tidak ada pembicaraan apapun diantara kami. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring saja. Setelah selesai, Ayu langsung mencuci piring lalu kembali ke kamar.
Aku pikir, setelah menikah bisa merasakan kebahagiaan yang selama ini aku damba. Bisa memasak bersama, saling memadu kasih, menyelesaikan tugas rumah bersama dan mempunyai keturunan yang cantik atau gantengnya seperti aku.
Tapi ternyata aku salah! Impian itu hancur karena isteriku tidak menginginkan pernikahan ini. Aku menyusulnya ke kamar. Terlihat, dia sedang melamun di balik jendela.
Langkahku semakin mendekat, aku sentuh bahunya pelan. Ingin sekali aku memperbaiki semuanya sebelum terlambat.
"Ay, bisa kita bicara sebentar?" tanyaku hati-hati.
Ayu mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunduk tidak melirikku sedikitpun. Terbesit dalam hatiku, 'apa aku terlihat sangat jelek? Melihat saja dia tidak mau. Perasaan tampangku jika dibanding Andra masih gantengan aku.'
Aku berjongkok di depannya. Kupegang jemari kedua tangannya. Aku kecup dengan penuh cinta. Tapi sepertinya dia tidak nyaman.
"Ay, kenapa kamu berubah setelah kita menikah? Apa aku telah melakukan kesalahan? Tolong katakan Ay, aku harus gimana biar kamu bisa nerima aku?" Aku masih berjongkok di depannya, mendongak memandang wajah cantiknya.
"Kamu mau dengar?" Aku mengangguk dan memperhatikannya.
"Maaf Mas, sebenarnya aku menerimamu karena dipaksa oleh orang tuaku. Mereka tidak merestui hubunganku dengan pacarku. Sampai akhirnya Bang Andra ngenalin kamu. Kedua orang tuaku sangat menyukaimu, karena itu mereka memaksaku untuk mau menerima lamaranmu." Ayu menghela napas.
Dadaku sesak, rasanya seperti kebahisan oksigen di ruangan itu. Jantungku berdetak sangat keras.
"Ayahku mengancam, jika aku tidak menurutinya, beliau akan pergi dan tidak akan pernah mempedulikan keluarganya lagi. Kamu tahu sendiri, ibu dan adikku masih membutuhkan beliau," tutur Ayu dengan air mata yang hampir tumpah.
"Maaf Mas, aku tidak bisa menolakmu karena keluargaku. Aku tidak mau Ayah pergi hanya karena keegoisanku. Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku sangat mencintai pacarku. Kamu bisa memiliki ragaku, tapi tidak hatiku Mas," tangisnya mulai pecah. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seakan melihatku saja enggan.
Ya Tuhan, kenapa Engkau hadirkan rasa sesakit ini. Hatiku seperti disayat sembilu. Tubuhku melemas hingga terduduk di lantai. Pegangan tanganku perlahan terlepas.
Aku belum pernah menangis seumur hidupku, dicaci dan dihina sejak kecil karena tidak memiliki orang tua saja aku tidak menangis ataupun bersedih.
Tapi kali ini, aku menjadi pria yang paling lemah. Air mataku lolos begitu saja. Terserah Ayu menganggapku seperti apa. Aku merasa berpijak pada bumi yang runtuh. Sakit, hancur sampai menjadi serpihan.
To be continued~