Sah

1098 Kata
"Saya terima nikah dan kawinnya Ayu Wulandari binti Suparman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ucapku lantang dan tegas saat mengucap ijab qabul. "Yess!!" Spontan aku berteriak ketika aku berhasil mengucapkannya dalam sekali napas. Perasaan lega menjalar sampai ke hatiku ketika terdengar kata "sah" serempak oleh para saksi. Pengalaman pertamaku ini membuat sistem sekresi bekerja sangat aktif melalui pori-pori kulitku. Panas dingin mendadak menyerang. Jantung inipun turut memompa berkali-kali lipat dari biasanya. Setelah penghulu membaca segenap doa, aku segera mencium dahi isteriku dengan semangat menggebu-gebu. Dia juga meraih tanganku dan menciumnya. Ah ... untung tadi aku sudah memakai body lotion favorit dia jadi bisa tersenyum bangga di depannya. Aku mengetahui semua alat kosmetik favoritnya saat kami berbelanja untuk seserahan lamaran. Aku mengajaknya ke salah satu mall terbesar di Malang untuk membeli semua barang yang dia suka. Dengan bersemangat dia mengambil banyak sekali barang. Mulai dari segala jenis kosmetik yang berisi macam-macam perawatan dari ujung rambut hingga ujung kaki semua ada. Belum lagi, seperangkat alat sholat, pakaian, sepatu, tas bahkan sampai pakaian dalam aku membelikan sesuai keinginannya. Meskipun setelahnya dompetku menangis, karena semua pilihannya bermerk atau yang sering disebut branded. Karena aku hanya seorang karyawan hotel besar di Kota Malang. But, it's oke. Karena wanita itu mahal dan istimewa. Semua barang-barang itu tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan wanita yang bersanding denganku saat ini. Bayangan malam pertama berkelebat di kepalaku. Membuatku senyum-senyum sendiri ketika kami sudah berada di panggung pelaminan untuk menerima ucapan selamat dari para tamu. Andra beserta istrinya naik ke panggung untuk mengucapkan selamat pada kami. "Belah duren nih nanti malem," sindir Andra yang sudah berdiri di depanku sambil memelukku. "Gak jadi karatan," bisikku agar tidak terdengar Ayu yang berdiri di sampingku. Tawa Andra menggelegar membuat Ayu mengerutkan kening dan bertanya-tanya. Sedangkan Mbak Amel istrinya hanya tersenyum mendengar bisikan kami. "Ada apa sih Mas? Ketawanya heboh banget," tanya Ayu penasaran. "Enggak apa-apa Ay," sahutku membelai pipinya. Ay adalah panggilan kesayangan untuk wanita yang sudah berstatus istriku. "Lagi ngajarin suami kamu, biar nanti malam gak kecewain kamu," bisik Andra lalu kembali tertawa terbahak-bahak. Ayu menatapnya jengah. Andra hanya menggelengkan kepalanya lalu turun setelah foto bersama. Setelah acara selesai aku segera memboyongnya ke rumahku sendiri. Yang berada tak jauh dari kediaman orang tua Ayu. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Aku seorang yatim piyatu sejak bayi, hanya dibesarkan dari panti asuhan. Orang tuaku entah siapa dan di mana, aku juga tidak tahu. Ibu panti menemukanku di jalan. Tumbuh dan dibesarkan di panti asuhan membuatku prihatin. Makan seadanya, sekolah tidak naik kendaraan. Kalau ada uang lebih dari donatur baru bisa naik angkutan. Aku sudah terbiasa hidup sederhana. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, aku ikut paman penjaga panti bekerja sebagai kuli bangunan. Aku juga ikut tinggal bersamanya. Dari sana aku mengumpulkan pundi-pundi uang untuk melanjutkan kuliahku. Aku kuliah masih sambil bekerja. Setiap malam, jika tidak ada jadwal kuliah aku membantu paman berjaga di sekitar panti. Beberapa tahun kemudian, aku berhasil lulus dengan gelar sarjana. Lalu dengan ijazah itu aku mencoba melamar pekerjaan ke beberapa tempat. Hingga kini, aku berhasil mendapat jabatan sebagai manager di salah satu hotel besar di Malang. Lalu, sedikit demi sedikit aku mampu membeli rumah dan mobil dari hasil keringatku sendiri. Ada kebanggaan tersendiri di jiwaku. Aku tidak terpengaruh teman-teman yang suka berfoya-foya menghamburkan uang. Meskipun tanpa kasih sayang orang tua, aku bisa hidup mandiri dan tidak terjerumus ke hal-hal terlarang yang bisa merugikan diriku sendiri. Aku banyak berhutang budi pada ibu panti. Yang sudah memberiku kasih sayang lengkap sebagai ibu sekaligus ayah. Juga mengajarkan banyak hal hingga aku menjadi seperti ini. Tepat pukul 23.00 WIB, aku sampai di kediamanku. Lalu menurunkan barang-barangnya dan memasukkan ke kamar. Imajinasiku liar ketika merebahkan tubuh di ranjang. Tapi, realita tidak seindah ekspetasi. Aku terkejut dengan sikap Ayu yang tiba-tiba menjadi dingin padaku. Entah apa salah dan dosaku, tapi aku merasa dia sangat membenciku. Malam pertama kami, tidak seperti pengantin baru pada umumnya. Dia tidur lebih awal meninggalkanku yang masih susah memejamkan mata. Tanpa salam sapa dulu, dia langsung merebahkan tubuhnya membelakangiku dan tak lama kemudian terdengar dengkuran halus. Pernikahan kami hasil dari perjodohan. Usiaku yang hampir masuk kepala tiga membuat temanku Andra bermaksud menjodohkanku dengan sepupunya. Finally, aku bertemu dengan Ayu Wulandari. Gadis desa yang baru beberapa bulan lalu aku kenal. Awal perkenalan kami begitu manis. Dia begitu lembut dan pendiam. Andra orang yang baik, jadi aku yakin kalau Ayu gadis yang baik pula. Tak disangka ternyata tidak ada penolakan sedikitpun dari Ayu. Dia langsung menerimaku begitu saja, tanpa mau mengenalku lebih jauh terlebih dahulu. Wah, jatuh cinta pada pandangan pertama pikirku. Kalau aku, tentu saja langsung menyukainya. Parasnya yang cantik, bodynya yang aduhai membuatku ingin segera meminangnya. *** Flashback* "Woi! Melamun aja Mblo," pekik Andra mengagetkanku di atap gedung hotel. Andra suka sekali menggodaku. Sesuka hatinya dia memanggilku jomblo. Memang, dari dulu aku tidak pernah berpacaran. Boro-boro pacar, hidupku 70% kerja 20% tidur 10% beberes rumah. Mana pernah kepikiran punya pacar. "Apasih Ndra, ngagetin aja," jawabku sedikit jengkel. "Mikirin apaan? Cucian belum kering? Apa belum masak makan malam?" cengirnya menggodaku. Aku hanya berdehem. Mentang-mentang dia sudah menikah seenaknya aja nyindir-nyindir. Andra mengepulkan asap rokok ke wajahku. Hingga aku terbatuk-batuk. Sejak kecil aku tidak pernah mengenal rokok ataupun minuman keras. "Mblo, kamu gak pengen nikah apa? Masa iya mau jomblo sampe tua? Karatan dong kagak kepake," sindir Andra nyablak. "Sialan! Emang besi, bisa karatan." Aku menempeleng kepalanya. "Haha ... kali aja Mblo, saking lamanya gak dipake. Eh mau aku kenalin sepupu aku? Gadis yang baik, pendiem gitu orangnya. Namanya Ayu, kali aja jodoh," tutur Andra. "Mmm ...." Aku berpikir sejenak. Kenalan kalau jodoh ya jadi mempelai. Kalau gak jodoh cuma jadi tamu undangan. Rasanya aku belum siap patah hati. "Jangan kelamaan mikir, nanti malam main aja ke rumahku. Nanti aku anterin ke tempat Ayu," ucap Andra menepuk bahuku dan berlalu pergi. Malam harinya, kami bertemu di kediaman Ayu. Kesan pertama yang ditunjukkannya, kalem, humbel, sopan pokoknya idaman banget. Kadar kecantikan dan body goalsnya menambah kadar kekagumanku padanya. Aku langsung tertarik padanya. Sepulang dari sana, aku menuju rumah paman Dul. Satu-satunya yang akan menjadi waliku nanti. Aku mengungkapkan keinginanku untuk melamar Ayu. Seminggu kemudian paman sekeluarga mengantarkanku pada acara lamaran. Pancaran bahagia tampak jelas dalam diriku. Tapi, kenapa aku melihat tatapan sendu dari Ayu? Apa dia tidak bahagia dengan perjodohan ini. Lalu, kenapa dia menerimanya kalau tidak mau. Mmm ... mungkin itu hanya perasaanku saja. Meskipun dalam hati bertanya-tanya. Lalu, satu bulan kemudian kami menikah. Flashback end* Hai, jangan lupa tap love dan follow ya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN