Bab I

2147 Kata
Mata bening itu baru saja menyaksikan hal paling mengerikan dalam masa lima tahun awal kehidupannya. Bahkan pemilik iris hijau itu bisa mendengar jelas desing peluru menembus tengkorak pria yang dipaksa tengkurap di bawah kaki seorang pria bertopeng. Sedangkan kawan pria bertopeng lainnya terus menggerakan bagian bawah tubuhnya di atas seorang wanita yang pasrah dan 20 detik kemudian meregang nyawa dengan cara yang tidak jauh beda dengan suaminya. "Sebastian, Ibu mencintaimu." *** "Arlen bangun!" Sebuah teriakan dari lantai bawah mampu membangunkan Arlen yang baru tertidur pukul empat dini hari tadi. Diliriknya sekilas jam beker di nakas, baru pukul tujuh dan si Tua Tuan Sheldon sudah berteriak membangunkan seluruh penghuni gedung apartemen ini. "Mau sampai kapan kamu tidur? Bahkan sekarang aku sudah bisa mencium aroma busuk kaki Nyonya Pratt yang pergi ke kelas dansanya!" lanjut Tuan Sheldon. Arlen segera menyambar jaket warna biru dengan logo sebuah universitas di bagian d**a kirinya. Langkahnya bergegas menuruni anak tangga, lalu menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Samar-samar dia masih mendengar Tuan Sheldon menggerutu tentang saluran bak cuci piring yang tersumbat sejak kemarin lusa—karena bagian pemeliharaan gedung belum datang. "Kamu mau sarapan apa? Panekuk atau roti?" tanya Tuan Sheldon sembari merangkak masuk ke bawah bak cuci piring. Lalu melongok keluar lagi saat merasakan kakinya ditendang pelan. Arlen menyatukan telunjuk, jari tengah, dan jempolnya dua kali. Lalu mengarahkan jemarinya ke mulut, kemudian meletakkan tangan kanan di bawah tangan kirinya. 'Aku tidak sarapan.' "Baiklah, terserah kamu saja. Jangan lupa, saat pulang bawakan aku senar gitar baru." Arlen mengangguk, lalu melangkah keluar dan langsung disambut gerimis yang mengguyur Westerwell sejak semalam. Kakinya langsung berlari menyeberang jalan menuju stasiun kereta bawah tanah yang sudah penuh dengan orang-orang kantoran. Ini adalah salah satu hal yang Arlen benci dari yang namanya kelas pagi—berdesakan dengan para pekerja yang terikat dengan waktu. Setelah berdesakan sepanjang lima stasiun, Arlen turun dan berjalan cepat menuju ruang kerjanya di Universitas Westerwell—satu-satunya universitas di kota yang penduduknya tidak lebih dari 2.000 jiwa. Saat sampai di ruangan, Arlen bergegas mengganti jaket lembabnya dengan sweter biru dan celana jin. Setelahnya, dia mengambil beberapa meter gulungan senar pesanan Tuan Sheldon dari lemari kabinet di pojok ruangan. Tiga menit sebelum kelas dimulai, Arlen sudah berdiri di depan kelas dengan sebuah tablet di tangannya, terhubung dengan layar monitor yang ditampilkan di depan kelas. Ini adalah caranya berkomunikasi dengan para siswa. Bisa saja Arlen menjawab dengan bahasa isyarat, tapi dia masih tahu diri bahwa kaumnya adalah minoritas. Jadi, dia memilih jalan tengah dengan mengetik apapun yang ingin diucapkannya di tablet yang kemudian muncul di monitor. "Oh, yang benar saja? Kita akan belajar musik dari si Bisu ini?" seru seorang siswa yang langsung membuat seisi kelas riuh menertawakan Arlen. Arlen sudah terbiasa dengan cemoohan itu. Sejak dia masuk ke kampus ini dan menjadi asisten Tuan Sheldon, banyak orang langsung mempertanyakan keputusan si Pria Tua itu. Bagaimana mungkin dia memilih Arlen yang bisu untuk menggantikannya setiap kali diadakan ujian? Sedangkan dirinya malah asyik memperbaiki saluran bak cuci piring atau ikut hadir di kelas dansa Nyonya Pratt. 'Aku tidak akan mengajar kalian. Tuan Sheldon tidak bisa datang untuk ujian hari ini, jadi aku yang menggantikan. Semoga berhasil untuk ujian Aural skills kalian. Persiapkan diri kalian, 5 menit lagi kita mulai.' Setelahnya, Arlen langsung duduk di kursi piano dan menyiapkan partitur untuk ujian. Sedangkan para siswa langsung riuh menggerutu tentang ujian dadakan yang baru diberitahukan semalam. Bukannya mereka tidak siap, tapi beberapa orang yang belajar musik sering kali menyepelekan Aural skills, termasuk para siswa di kelas Tuan Sheldon. Sebagian dari mereka menganggap bahwa dirinya sudah ahli dalam membedakan nada, nyatanya lebih banyak dari mereka yang salah menjawab tes—bahkan untuk nada yang biasa dimainkan oleh siswa sekolah dasar di Westerwell. Setelah selesai dengan ujian Tuan Sheldon, Arlen segera membereskan barang-barang dan kembali ke ruang kerjanya untuk mengambil tas dan bergegas pergi. Langkah lebarnya menyeberangi lapangan basket, lalu berbelok di jalan sempit sebelah auditorium, dan mendorong pintu kaca yang berada tepat setelah gedung auditorium. Ini adalah ruangan favoritnya dari seluruh ruangan yang ada di kampus. Di sini, Arlen merasa tenang dan bisa menjadi dirinya sendiri, terlebih dia tidak perlu mendengarkan cibiran dan tatapan aneh dari para siswa dan dosen yang tidak suka pada Tuan Sheldon maupun dirinya. Arlen membuka lemari kaca yang berada di sisi kanan ruangan, di dalam lemari itu disimpan banyak alat musik tua yang jarang dipakai. Kampus sudah membeli yang baru untuk menggantikan mereka. Awalnya pihak kampus ingin menjualnya, tapi Tuan Sheldon melarang dan meminta semua alat musik itu disimpan di ruangan ini. Jika kalian datang ke tempat ini, akan terasa seperti museum alat musik. Arlen mengambil sebuah tas biola dari dalam lemari, lalu membukanya dan mulai mengelus pelan biola tua—dulunya milik Tuan Sheldon. Pria Tua itu menjanjikan sebuah biola pada Arlen jika dirinya mau menjadi asisten pengajar. Awalnya Arlen pikir dia akan mendapatkan biola baru dari toko alat musik terkenal Klarinet yang jaraknya dua blok dari apartemen Tuan Sheldon, nyatanya pria itu hanya mewariskan biola tua miliknya. Perlahan, Arlen mulai menggesek senar biola di tangan kirinya. Hari ini, dia ingin memainkan salah satu mahakarya dari komposer musik klasik idolanya, Niccolo Paganini—Caprice No.24. Namun, tidak sampai sepuluh nada, perhatian Arlen teralihkan oleh suara pintu yang dibanting keras di ruang auditorium. Arlen pikir itu pasti karena angin—mengingat cuaca akhir-akhir ini sangat ekstrim. Tapi ternyata Arlen salah, karena selanjutnya dia mendengar rintihan, lebih menyerupai desahan yang semakin kencang. Arlen meletakkan biolanya, lalu melangkah menuju pintu yang menghubungkan antara gudang alat musik dengan auditorium. Pelan, dia membuka pintu dan memicingkan matanya—menyesuaikan gelap—untuk memastikan dimana sumber suara rintihan itu. Suara itu kian kuat saat Arlen melangkah semakin masuk ke ruang auditorium, dan di sebelah kirinya—beberapa meter dari tempat dia berdiri, samar-samar dia melihat dua sosok sedang bergumul. Arlen bergegas memalingkan wajahnya dan langsung pergi meninggalkan dua orang yang sedang asyik bercinta. "Hey, mau pergi kemana?" teriak pria yang kini sudah melepaskan ciumannya dengan lawan mainnya. "Kau pikir bisa pergi begitu saja?" "Hans, sudahlah biarkan dia. Kemarilah," cegah si wanita pada prianya yang ternyata tak mengindahkan. Arlen melangkah mundur setenang mungkin, berusaha tidak menyulut kemarahan Hans yang kesenangannya terganggu. Arlen tahu, itu sangat tidak nyaman saat kau sedang mendaki puncak dan tiba-tiba pengacau datang—meski dia belum pernah merasakannya. "Oh, ini si Bisu yang terkenal menjilat Tuan Sheldon, Hon," kabar Hans seraya mencengkeram kerah Arlen dan menyeretnya. "Aku ingin tahu apakah si Bisu ini bisa mendesah sepertiku saat kamu mengulum kejantannannya, Hon." "Hans, kamu tahu kalau aku—" "Kenapa?" geram Hans tak suka, lalu menarik tubuh wanitanya dan memaksannya berlutut tepat di depan selakangan Arlen. Arlen berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Hans, tapi gagal, tubuhnya kalah besar. "Hans." Meski gelap, Arlen tahu bahwa wanita yang terpaksa berlutut di hadapannya ini sedang menahan tangisnya. Suaranya bergetar, sama takutnya seperti dirinya. "Aku tidak melakukan oral pada sembarang laki-laki!" pekiknya, seketika berdiri dan menampar Hans. "Dasar jalang murahan! Aku tahu kau menikmati semua p***s lelaki, jangan jual mahal karena dia bisu. Cepat lakukan!" perintah Hans, tapi wanita itu kembali menamparnya. "Dasar pria! Dimana saja semua sama!" gerutunya sesaat sebelum meninggalkan Hans dan Arlen. Arlen bisa bernapas lega saat Hans memilih mengejar wanitanya, lebih baik saat ini dia segera kembali ke apartemen sebelum bertemu dengan hal-hal di luar kendalinya seperti sekarang. *** "Arlen, kamu baru pulang?" sapa Nyonya Pratt saat mereka bertemu di undakan masuk apartemen. "Mau mampir ke tempatku untuk mencoba lasagna yang semalam aku buat?" Arlen menggeleng seraya tersenyum, lalu mengangkat tasnya ke depan d**a. "Oh, si Tua Sheldon memintamu untuk memperbaiki gitar tuanya yang rusak lagi?" Arlen mengangguk dan tersenyum kecil. Kemudian tangannya terulur untuk mengambil dua kantong belanjaan dari tangan Nyonya Pratt. Mereka beriringan menuju lift dan Arlen menemani Nyonya Pratt hingga sampai di apartemennya, lalu kembali turun lewat tangga darurat menuju apartemen Tuan Sheldon yang berada satu lantai di bawahnya. "Kamu sudah kembali? Bagaimana ujiannya?" tanya Tuan Sheldon di tengah kesibukan memeluk gitar tuanya yang bobrok. 'Muridmu bodoh semua', jawab Arlen sembari mengeluarkan gulungan senar dan memberikannya pada Tuan Sheldon. Tuan Sheldon tertawa melihat jawaban yang diberikan Arlen dengan ekspresi kesal di wajahnya. Dia sangat paham, karena dirinya juga kesal dengan siswanya sendiri yang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa mereka sebenarnya bodoh dan buta soal musik. "Lalu, apalagi yang terjadi?" Arlen menghempaskan bokongnya kesal di kursi depan Tuan Sheldon. Jujur dia masih teringat dengan kejadian di ruang auditorium tadi. Ingin dia segera melupakannya, tapi suara desahan wanita Hans selalu berhasil memecah konsentrasinya—bahkan musik klasik yang didengarnya melalui penyuara jemala tidak mampu membendungnya. Tuan Sheldon terlalu mengenal baik seorang Arlen, dia benar-benar tahu setiap suasana hati pemuda yang kini mulai bercerita tentang aktivitas seks yang menodai mata perawannya, bahkan hampir merebut keperjakaannya. "Apa kamu seorang homoseksual, sampai tidak mau mendapatkan oral gratis?" Arlen menggeleng cepat mendengar tuduhan Tuan Sheldon. Bukannya tidak mau—sebut saja Arlen adalah orang yang kolot—Arlen ingin melakukan seks pertama kalinya dengan benar. Bukan kehilangan keperjakaan karena kuluman wanita tak dikenalnya! Sedangkan Tuan Sheldon terkekeh mendapati Arlen yang tak terima dan memilih pergi meninggalkannya sendirian dengan gitar bobroknya. *** Selain menjadi asisten pengajar Tuan Sheldon, Arlen memiliki kegiatan rutin yang dilakukannya seminggu sekali. Setiap akhir pekan, pria itu pergi ke toko roti Rose yang berdiri tepat di tikungan akhir jalan untuk memborong beberapa bungkus roti dan membawanya ke panti asuhan Little Bugs—tempatnya terlahir kembali belasan tahun silam. Beberapa kali dia sempat berhenti untuk sekadar memberi sebungkus roti dan sebotol air mineral pada tunawisma yang ditemuinya di sepanjang jalan menuju Little Bugs—sesaat sebelum mengayuh pedal memasuki areal hutan Islingdale. Karen menyambut Arlen dengan pelukan hangat setiap kali anak asuhnya itu datang, terlebih lagi bocah-bocah kurang beruntung di Little Bugs langsung berebut memeluk dan meminta jatah roti pada Arlen. Seperti sekarang ini, pemuda itu meminta para bocah berbaris untuk bergantian memeluknya dan mendapat jatah roti darinya. "Minggu lalu kamu bilang kalau tidak akan sempat kemari, karena tugas dari Tuan Sheldon?" tanya Karen setelah acara pembagian roti selesai dan kini Arlen tengah berada di ruang berkumpul. 'Ternyata tugasnya bisa aku selesaikan lebih awal', jawabnya, lalu kembali menatap deretan foto hitam putih yang digantung di dinding. 'Aku penasaran dimana mereka sekarang.' "Mereka?" Arlen mengangguk. "Kurasa kamu hanya penasaran dimana dia berada, kan?" terka Karen seraya menunjuk wajah seorang gadis dengan dua kuncir di kepalanya dan berdiri di paling ujung kiri dalam foto yang diambil hampir 20 tahun lalu. "Maaf, Arlen. Setelah kebakaran itu, semua berkas lenyap. Aku tahu dia sangat berarti bagimu, tapi—" Arlen mengenggam tangan Karen, menyakinkan wanita yang hampir seumuran Tuan Sheldon itu agar tidak merasa terbebani dengan permintaannya. Arlen sadar, mencari seorang anak asuh yang diadopsi oleh sebuah keluarga tidaklah mudah, terlebih jika semua data tentang bocah itu sudah hangus terbakar. 'Aku yakin, suatu saat nanti aku akan menemukan dia. Tidak, aku harus menemukan dia. Aku berhutang budi padanya.' "Pasti, Arlen. Kamu pasti akan menemukannya," ujar Karen. "Hari ini kamu makan malam di sini?" tanyanya seraya melangkah menuju ruang makan. Arlen mengangguk, lalu mengikuti langkah Karen untuk makan malam bersama. Setelah makan malam, Arlen menyempatkan diri bermain piano dan menggambar bersama anak-anak Little Bugs. Ketika jam dinding di atas perapian yang menyala menunjuk angka sembilan, Arlen pamit pulang. Tidak banyak yang bisa ditemui di Westerwall saat sudah petang, apalagi pinggiran kota dan dekat dengan hutan. Namun, tidak dengan hari ini. Sebuah mobil sedan tua terparkir di tepi jalan menarik perhatian Arlen. Arlen turun dari sepedanya dan mendekati mobil sedan itu. Kedua tangannya menelakup di samping pelipis untuk melihat lebih jelas ke dalam mobil. Kosong. Dia mengedarkan pandangannya, sejauh memandang hanya pepohonan rimbun Islingdale yang ada dan suara burung gagak yang sedang terbang melintas di atasnya. Sudahlah, untuk apa aku memikirkan dimana pemilik mobil ini, batin Arlen lalu melangkah kembali pada sepedanya yang tergeletak di belakang mobil. Baru saja dia hendak mengayuh, sebuah teriakan minta tolong terdengar dari dalam hutan. Buku jemari Arlen semakin erat di setang sepedanya. Tubuhnya seketika kaku mendengar jeritan memilukan itu, keringat dingin semakin mengucur di balik kaosnya. Jeritan minta tolong itu semakin nyaring, dan itu suara seorang wanita. Arlen melepaskan sepedanya, lalu berlari menerobos rimbunnya ranting pepohonan. Memaksa kakinya berlari menuju sumber suara, semakin dalam masuk ke hutan. Hingga napasnya terengah dan kedua netranya menatap seberkas cahaya dari api unggun di tepi danau dan dua orang pria serta seorang wanita yang terkekeh sembari menunjuk-nunjuk ke arah danau. Di sana, di dalam danau, seorang wanita lainnya menjerit minta tolong. Apa yang ada di pikiran mereka? Membunuh temannya dengan membiarkan dia tenggelam? Entah bagaimana, Arlen juga tidak begitu yakin dengan apa yang terjadi pada tubuhnya yang langsung saja berlari menerobos tiga anak muda di pinggir danau itu. Lalu melompat ke danau, menggapai tubuh wanita yang meminta pertolongan. Arlen bisa merasakan tubuhnya dipeluk erat oleh wanita yang menggigil—entah karena takut atau kedinginan—yang pasti wanita itu menangis. Didekapnya tubuh itu dalam gendongannya, lalu diturunkan tubuh setengah telanjang itu di atas selimut, di dekat api unggun. Tanpa memedulikan tiga orang yang masih melongo tak percaya, Arlen menyambar selimut lain yang dipakai oleh wanita yang menertawakannya. "Hei!" protesnya saat Arlen mengambil paksa selimutnya. Arlen segera menyelimutkan selimut itu pada tubuh yang menggigil dan kedua netranya terus menatap Arlen. "Terima kasih." *** To be continued ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN