Bab II

2084 Kata
Pagi ini tidak ada yang berbeda di kediaman Dotuffer, masih tampak sepi seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ada Lily Dotuffer yang sedang menyantap sarapan pagi dalam diam, sesekali menyematkan rambut ikal coklatnya ke belakang telinga. Jemari lentik dengan kuku bercat merah menyalanya menggapai gelas anggur, menggoyangkannya sejenak sebelum menyesap cairan berwarna merah pekat di dalamnya. "Nona, mobil anda sudah siap." Lily melirik sekilas pria botak yang memberinya kabar. Lalu dengan stiletto merah, dia melangkah menuju mobilnya. Lily menyalakan audio mobil pada volume yang membuat orang menoleh padanya sepanjang perjalanan—terlebih hari ini dia memilih mengendarai mobil dengan atap terbuka. "Ada masalah?" tanya Lily seraya sedikit menurunkan kacamata hitamnya, saat dia merasa risi ditatap oleh pria—yang dia yakini—hidung belang yang sedang berhenti di sebelahnya, menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. "Berikan aku nomor teleponmu." Lily terbahak dan melempar pandangan meremehkan pada pria yang masih penuh percaya diri merayunya. "Jika kau bisa mengalahkanku di lampu berikutnya, aku akan berikan nomorku," tantang Lily yang langsung menginjak pedal gas mobilnya dalam-dalam, tidak peduli lampu lalu lintas yang masih menyala merah. Jangan tanya bagaimana orang-orang yang langsung memaki dan menekan klaksonnya berkali-kali, karena tingkah seorang Dotuffer—salah satu orang kaya di Westerwell—yang terkenal ugal-ugalan. "Mati saja kalian para Dotuffer!" "Dotuffer gila!" Adrenalin mengalir di sekujur tubuh Lily saat menyalip mobil, bahkan hampir saja dia menyerempet seorang penyeberang jalan. Terlebih lagi diiringi dengan dentum musik rok yang membuatnya berteriak kencang seperti orang kesetanan, dan semakin gila saat mengetahui si Pria m***m hampir menyalipnya. Melihat jarak mereka yang semakin dekat, Lily memaki pengemudi lamban yang ada di depannya, tapi sepertinya pengemudinya adalah seorang nenek yang sedang kebingungan menentukan arah pulangnya. Lily langsung membanting setir ke kiri dan menyalipnya, mengikis jarak sekitar 200 meter dengan lampu lalu lintas berikutnya. Lily tidak peduli lagi dengan padatnya jalanan di depan, dia terus menginjak pedal dan menekan klakson, membanting setir ke segala arah—selama itu bisa membuatnya lebih cepat mencapai garis akhir, karena sejak awal dirinya memang tidak berniat memberikan nomor teleponnya. Dia bukan gadis murahan! Dia adalah seorang Dotuffer. "Kau gila?!" seru seorang pemuda dengan rokok yang terselip di antara bibirnya saat Lily sudah mematikan mesin mobil. "Kenapa menyetir seperti kesetanan? Apa kau berniat masuk berita utama?" Lily mengibaskan rambut ikalnya, tak peduli pada ocehan pemuda yang baru dikenalnya—mungkin tiga hari yang lalu—bahkan Lily tidak mengingat siapa namanya. "Jangan banyak omong. Berapa—" Kalimat Lily terhenti saat pemuda itu tiba-tiba melumat bibir Lily, bahkan memaksanya untuk membuka bibirnya agar lidah perokok itu bisa mengajak milik Lily menari. "Lepaskan!" geram Lily. "Aku tidak suka mulutku bau rokok. Kau menghancurkan make-up-ku!" Lily mengusap bibirnya kasar, lalu mengambil permen karet min yang selalu ada di tasnya, langsung mengunyahnya untuk menghilangkan bau rokok yang sangat dia benci. "Bukan begini cara kerjaku. Bukan kau yang bergerak, tapi aku," ketusnya, lalu memulas bibirnya kembali. "Siapa namamu?" "Kau lupa namaku? Honey, kita baru berkenalan kemarin lusa, dan kau sudah lupa siapa namaku? Untung aku orang yang baik hati, namaku Hans. Hans Clayton." "Jangan banyak omong. Ikuti perintahku dan bisa kupastikan pacarmu tidak akan sudi memintamu kembali padanya." Hans mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Baiklah, aku akan turuti semua perintahmu," ucapnya seraya merangkul Lily. Kali ini, Lily tidak menepisnya, malah dia balas memeluk pinggang Hans. Wow! Lily lumayan terkejut dengan otot perut Hans yang bisa dia rasakan saat tidak sengaja menyentuhnya. Tidak heran, karena Hans adalah Kapten Tim Rugby kampus Westerwell. Kalian bisa bayangkan, kan, bagaimana bentuk tubuhnya? "Yang mana kekasihmu?" tanya Lily, sembari menghimpit tubuh Hans di antara tubuhnya dan tembok auditorium. Hans mengangguk ke arah segerombolan gadis yang berdiri di dekat lapangan basket. "Yang memakai sweter merah." Lily, menoleh sekilas pada petunjuk Hans, dan tepat setelah Hans menyelesaikan kalimatnya, Lily menangkup wajahnya dan menciumnya. "Remas bokongku," pinta Lily di tengah sengal napasnya, dan terus melumat bibir Hans. Hans menurut, tidak mungkin dia menyia-nyiakan kesempatan menyentuh tubuh seorang Dotuffer. Meskipun sebelumnya dia sudah membayar seharga satu tas Manolo pada Lily, tapi kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Jika Dewi Keberuntungan sedang berpihak padanya, maka Lily akan berakhir di ranjangnya, atau di sini? Seolah tidak peduli dengan tatapan sengit dari seberang lapangan basket, Lily mengaitkan kedua kakinya ke pinggang Hans, dan pria yang sudah terbungkus gairah itu langsung mengangkat tubuh Lily dan membawanya masuk ke ruang auditorium—yang pintunya sedikit terbuka. Dengan sebelah kakinya, Hans menendang pintu agar menutup. Tanpa menunggu lama, tangannya mulai meremas d**a Lily. Remasan gairah yang membuat Lily tidak tahan untuk terus bungkam, dan akhirnya desahan itu terlepas dari bibirnya. Keberuntungan Hans harus terhenti saat matanya tanpa sengaja menangkap kilat pantulan cahaya dari pintu lain auditorium yang sempat terbuka. Sembari masih membuat Lily mendesah, netranya terus memicing waspada pada sosok yang berjalan kian mendekati mereka. Saat melihat si Pengganggu kenikmatannya hendak kabur, Hans langsung melepaskan cumbuannya, yang membuat Lily mendesah kecewa. "Hey, mau pergi kemana? Kau pikir bisa pergi begitu saja?" "Hans, sudahlah biarkan dia. Kemarilah," larang Lily, dia malas berurusan dengan lelaki yang memiliki temperamen tinggi. Namun, sialnya di dalam lingkaran pergaulannya—yang tak seberapa—hanya berisi pria-pria arogan dengan ego yang tinggi, contohnya Hans. "Oh, ini si Bisu yang terkenal menjilat Tuan Sheldon, Hon," kabar Hans. Lily memutar matanya malas. Dalam hati memaki Hans dan pria aneh yang merusak kesenangannya. "Aku ingin tahu apakah si Bisu ini bisa mendesah sepertiku saat kamu mengulum kejantannannya, Hon." Kedua mata Lily membola. Apa tadi Hans bilang? Lily harus mengulum p***s pria yang tidak dikenalnya? Lily memang senang dipanggil jalang, tapi dia bukan jalang murahan. Dia jalang kelas A yang sangat diminati hampir seluruh bujangan di Westerwell—tentu saja karena dia adalah pewaris tunggal kekayaan Dotuffer. "Hans, kamu tahu kalau aku—" "Kenapa?" geram Hans tak suka, lalu menarik Lily dan memaksanya berlutut di depan selakangan pria asing. Sial! "Hans," panggil Lily dengan suara bergetar menahan amarah. Namun, Hans tak acuh dan malah sibuk membuka ikat pinggang pria aneh yang terus meronta. "Aku tidak melakukan oral pada sembarang laki-laki!" kesal Lily, lalu berdiri dan langsung menampar Hans. "Dasar jalang murahan! Aku tahu kau menikmati semua p***s lelaki, jangan jual mahal karena dia bisu. Cepat lakukan!" "Dasar pria! Dimana saja semua sama!" maki Lily, kemudian berlalu meninggalkan pria gila yang memaksanya untuk melakukan oral. Lily melangkah menuju mobilnya, meninggalkan Hans yang terus berteriak marah memanggilnya. Tidak lagi-lagi Lily akan berurusan dengan pria bernama Hans ini. Semoga saja, pekerjaannya selesai dalam sekali waktu—membuat pacar Hans cemburu dan meminta putus. Lily kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju kediamannya. Sesampainya di rumah, Lily bergegas turun menuju kamar untuk menghilangkan amarahnya. "Lily." Lily menghentikan langkahnya menaiki undakan saat mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh pada sumber suara yang berasal dari ruang kerja ayahnya. "Darimana kamu?" "Kampus." "Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas?" "Tidak usah mengurusi urusanku. Urus saja perceraian orang tuaku, Gustav. Bukankah dirimu dibayar untuk itu?" Lily mengurungkan niatnya menuju kamarnya, dia melangkah menghampiri Gustav. "Bukan untuk mencampuri urusanku, kan?" Gustav hanya tersenyum, pria paruh baya yang sudah kehilangan hampir setengah rambutnya itu mengulurkan sebuah amplop coklat pada Lily. Namun, segera ditariknya kembali saat tangan Lily menggapainya. "Kamu tidak membayarku untuk informasi ini, begitu pula dengan Tuan dan Nyonya Dotuffer. Aku—" "Lalu kenapa kau setuju untuk membantuku?" "Karena salah satu tugasku dari Tuan Dotuffer adalah memastikan semua keinginan putrinya terpenuhi." Lily tersenyum sinis mendengar jawaban Gustav. Terlebih saat kalimat pria itu terdengar seperti pembelaan untuk Ayah Lily yang sebenarnya tidak benar-benar pernah peduli padanya. Jika kedua orang tuanya bisa memutar waktu, Lily yakin mereka akan memilih untuk tidak pernah menikah dan memiliki Lily. "Boleh aku tahu kenapa kamu mencarinya? Maksudku, dia bukan lagi keluarga Dotuffer." "Bukan urusanmu," jawab Lily yang langsung menyambar amplop di tangan Gustav. "O iya, Gustav. Dia yang kau maksud, sampai kapanpun adalah keluarga Dotuffer," lanjut Lily, lalu berlalu menuju kamarnya. Setelah berada di dalam kamar, dengan tak sabaran Lily menyobek ujung amplop dan langsung menumpahkan isinya ke atas ranjang. Berlembar foto ada di sana, kesemuanya adalah foto satu pria yang sama. Namun, dalam momen yang berbeda, mulai dari bermain piano, menikmati secangkir kopi, bahkan bermain dengan anak-anak. Lily kembali memeriksa isi amplop, dan masih ada selembar kertas di sana bertuliskan sebuah alamat di pinggir kota Westerwell, alamat sebuah panti asuhan dengan nama Little Bugs. Lily mengambil ponselnya dan mencari melalui aplikasi Sistem Pemosisi Global (GPS) dimana tepatnya Little Bugs berada. "Islingdale?" gumam Lily, berhasil membuat bahunya merosot pasrah. Gustav tidak akan pernah mengizinkannya pergi sejauh itu, terlebih untuk mencari sosok yang sudah tidak diharapkan kehadirannya di keluarga Dotuffer. Meski menyelinap, Lily yakin Gustav tetap akan tahu kemana dirinya pergi. Pria itu memiliki banyak mata di Westerwell ini, tidak salah kalau Ayah Lily mempekerjakannya sebagai pengacara sekaligus pengawal untuk Lily. Lily segera membereskan ceceran foto di kasurnya saat sebuah ketukan di pintu kamarnya terdengar. "Setelah melihat itu, kau tidak berpikir untuk pergi ke Islingdale, kan?" tanya Gustav yang masuk membawakan makan siang Lily. "Kau tahu, bahwa daerah selatan Westerwell sangat tidak aman untukmu, untuk keluarga Dotuffer." "Tapi dia di sana. Dia keluarga Dotuffer, dia di sana selama bertahun-tahun dan dia baik-baik saja, kan? Kalau kau tidak mengizinkanku ke sana, untuk apa kau memberiku ini semua?" geram Lily seraya mengangkat amplop coklat. "Aku memberimu itu agar kau tidak khawatir tentang kondisinya, dia baik-baik saja. Tapi bukan untuk bertemu dengannya, apalagi membawanya pulang. Lagipula, dia aman di sana, karena tidak ada yang tahu bahwa dia seorang Dotuffer." "Omong kosong! Semua orang mengenalku, tapi tidak dengan dia?" Gustav menggapai tangan Lily, lalu membawanya untuk duduk di tepi ranjang. Gadis kecilnya sudah dewasa, sudah bisa berteriak marah dan beradu argumen dengannya. "Aku tidak bisa memberitahumu, meskipun aku ingin. Tapi—" "Lalu siapa yang bisa kutanyai? Ayahku? Ibuku? Kau pikir mereka akan menjawab pertanyaan tentang Sebastian?" "Lily, jangan sebut nama itu di sini. Aku tidak ingin kamu terkena masalah. Semua yang ada di sini sudah setuju kalau—" "Dia mati. Nyatanya dia tidak mati! Dan aku ingin bertemu dengannya, Gustav." Gustav beranjak sembari menghela napas. "Maaf Lily, untuk yang satu itu aku tidak bisa membantumu." "Bukankah kau dibayar untuk memastikan semua keinginanku terpenuhi?" "Tidak untuk yang satu itu. Ini perintah Tuan Besar juga." Lily mencebik kesal saat Gustav meninggalkannya begitu saja tanpa bisa membantunya. Hari-hari berikutnya Lily semakin kesal saat menyadari bahwa jalannya menuju Islingdale benar-benar tertutup. Gustav meminta orang kepercayaannya untuk terus mengikuti kemanapun Lily pergi. Sedetik pun tidak membiarkan Lily lepas dari pandangannya—kecuali ke toilet tentu saja. "Cepat jemput aku, Berengsek!" maki Lily dari balik bilik toilet kampus. "Kau sudah di parkiran? Baiklah, tunggu sepuluh menit lagi, aku akan tiba." Lily bergegas memasukan kembali ponselnya ke dalam tas, lalu mengendap keluar, menaiki wastafel untuk mencapai jendela yang cukup untuk dilewati tubuhnya. Seumur hidupnya, Lily tidak pernah membayangkan akan meminta bantuan dari kliennya—Hans, dan melompat kabur dari toilet! Setelah berhasil, Lily langsung berlari menuju parkiran dan mencari mobil jip warna cokelat milik Hans. "Cepat injak gasmu!"perintah Lily saat sudah berada di dalam mobil Hans, dan pria di sebelahnya menurut tanpa banyak bertanya. "Dengar Lily, kamu tidak main-main dengan apa yang tadi—" "Tidak. Aku akan berikan apapun asalkan kau mengantarku ke Little Bugs!" "Ok!" seru Hans dengan seringai lebar setelah mendapatkan kepastian bahwa Lily Dotuffer tidak sedang mempermainkannya. "Boleh aku tahu kenapa—" "Bukan urusanmu. Kau hanya perlu mengantarku dan setelahnya aku akan membayarmu. Paham?" Hans mengangguk, lalu memilih tidak banyak bertanya lagi. Dia tidak mau kesempatan langka untuk bisa bersama Lily Dotuffer hilang begitu saja, hanya karena mulutnya yang terus mengoceh. "Kau sedang lari dari seseorang?" tanya Hans saat mendapati berulang kali Lily melirik kaca spion dan menoleh ke belakang. "Tenang saja, Hon. Tidak ada yang mengikuti. Apalagi kita sudah keluar dari pusat kota." "Apa kau sedang pura-pura tidak mengenal keluargaku?" "Tentu saja aku tahu. Siapa di Westerwell ini yang tidak mengenal Dotuffer. Bahkan orang gila di rumah sakit jiwa tahu sekali siapa kalian." Lily hanya tersenyum kecil mendengar sindirian Hans. Tidak ada yang salah dengan ucapan pemuda itu, karena mungkin sebagian penghuni rumah sakit jiwa di Westerwell adalah korban kejahatan keluarga Dotuffer di masa lalu. Bisa jadi, Hans adalah salah satunya. "Kau tahu? Aku sangat kagum dengan cara keluargamu membangun bisnis, sangat elegan." "Jangan banyak—AWAS!" seru Lily saat melihat dua orang yang tiba-tiba muncul dari dalam hutan dan menghalangi jalan mereka. Hans langsung membanting setirnya ke kanan dan menginjak pedal rem kuat-kuat, membuat ban mobil jipnya meninggalkan bekas di aspal. Lalu memaki keras saat menyadari pelipisnya berdarah dan langsung turun dari mobil untuk menghajar dua orang yang hampir membuatnya celaka. "Sialan! Apa kalian cari mati?!" marah Hans, tapi sedetik kemudian terperangah saat mendapati dua sosok yang sangat dikenalnya. "Apa yang kalian lakukan di sini?" "Siapa mereka?" tanya Lily yang menyusul kemudian. "Si Bisu dan kekasihku," jawab Hans. "Mantan," koreksi gadis yang sedang menggigil di balik selimut. To be continued ... . . Aku terbuka untuk Kritik Saran . . Salam, KOMOREBI
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN