Arlen lebih memilih duduk di bangku taman klinik, daripada harus berurusan dengan Hans. Setidaknya dia bisa bernapas lega, karena gadis yang hampir tenggelam tadi sudah ada yang mengurus. Di tempatnya duduk, Arlen bisa melihat Hans sedang terlibat pertikaian dengan seorang gadis yang Arlen tahu bernama Lily Dotuffer. Bagaimana Arlen tidak tahu? Wajah gadis itu dan keluarganya sering muncul di kotak teve tua Tuan Sheldon. Entah sebagai model bisnis keuangan, bisnis perumahan, ataupun iklan popok bayi mahal—yang sangat tidak cocok dengan kehidupan masyarakat di bagian selatan. Hal yang tidak Arlen tahu adalah kepentingan Lily datang ke Westerwell selatan, sedangkan dia adalah seorang Dotuffer!
Tidak banyak yang Arlen tahu, Tuan Sheldon hanya pernah berpesan satu hal padanya tentang Dotuffer. Jika suatu hari Arlen bertemu dengan keturunan Dotuffer di bagian selatan Westerwell, sebaiknya segeralah berlari. Namun, detik berikutnya Tuan Sheldon terbahak mendengar kalimatnya sendiri.
“Untuk apa seorang Dotuffer pergi ke selatan? Sama seperti Plarlest, Grarritch, dan orang kaya sombong lainnya yang tinggal di utara, mereka tidak akan pernah menginjakkan kaki di bagian miskin Westerwell,” ucap Tuan Sheldon kala itu.
Ternyata pria itu salah, seorang gadis Dotuffer kini berada di daerah paling selatan Westerwell, dan jika Arlen tidak salah mendengar, gadis itu bahkan ingin pergi ke Little Bugs. Sekarang, dengan tatapan marah dan langkah cepatnya menghampiri Arlen yang hendak melarikan diri.
“Aku bayar tiga kali lipat dari tawaranku pada Hans, kalau kau mau mengantarku ke Little Bugs.”
Arlen menunjuk sepedanya.
“Ya, tidak masalah dengan sepeda. Yang penting aku bisa sampai di sana.”
Arlen menelan ludahnya. Lalu tangannya mulai bergerak memberi isyarat, menyatukan jemarinya dan menempelkannya di pipi. Lalu menengadahkan kedua telapak tangannya dan menariknya ke dekat dadanya.
'Aku harus pulang.'
“Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Apa Little Bugs masih jauh dari sini?”
Arlen menggeleng, kemudian mengangkat empat jemari kanannya.
“Bagus, kalau begitu antar aku ke sana,” putus Lily, lalu melangkah ke belakang Arlen dan kedua kakinya menginjak besi di sisi roda sepeda.
Arlen menoleh memandang gadis yang menjulang di bagian belakang sepedanya—jangan lupakan jemarinya yang mencengkeram kuat pundak Arlen—dan dengan gerakan mata Arlen memintanya untuk turun. Bukannya tidak mau mengantar, hanya saja ini sudah terlalu malam untuk kembali melintasi hutan Islingdale yang minim penerangan. Terlebih lagi yang membonceng berdiri Arlen adalah seorang Dotuffer.
“Kenapa masih diam? Cepat kayuh sepedamu!”
Arlen tidak mengacuhkan perintah Lily, pemuda itu mengambil ponselnya dari dalam tas dan mulai mengetik.
'Aku tidak berani membawamu ke Little Bugs sekarang. Ini sudah malam, bagaimana kalau besok pagi?'
Itu hanya tawaran basa-basi, tentu saja Arlen tidak akan mengantarkannya ke Little Bugs. Baik sekarang ataupun besok pagi. Arlen bahkan tidak yakin, apakah Lily bisa kembali ke utara dengan selamat.
“Dasar pengecut. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa padamu.”
Alis Arlen bertaut mendengar jawaban Lily. Apakah dia tidak tahu bahwa dirinya terlarang berada di sini? Arlen bukan pengecut, justru Arlen khawatir dengan keselamatan Lily. Akan panjang urusannya, jika sampai terjadi sesuatu pada gadis yang melotot marah pada Arlen dan mencebik kesal.
“Jika aku bisa naik sepeda, aku akan bawa sepedamu ini!” kesal Lily, lalu menghentakkan kakinya menjauhi Arlen yang terdiam.
Apa yang dilakukan oleh Lily seketika membuat Arlen merasa bersalah. Muncul iba dalam benaknya, yang akhirnya membuat Arlen mengayuh sepedanya menghampiri Lily. Meskipun hanya dengan cahaya lampu taman yang temaram, tapi Arlen bisa melihat senyum Lily merekah saat Arlen mempersilakannya naik ke sepeda.
Arlen terpaksa mengayuh kembali sepedanya menuju Little Bugs, meski hanya diterangi lampu penerangan jalan—yang mungkin berjarak tiap-tiap 500 meter. Namun, tiba-tiba saja hujan mengguyur hutan Islingdale, membuat Arlen mengayuh sepedanya lebih cepat untuk mencari tempat berteduh. Saat sudah memasuki area pemukiman, Arlen bergegas membelokkan setang sepedanya ke salah satu kedai kopi, tapi buru-buru dia menarik rem di tangannya ketika menyadari bahwa dia sedang membonceng Lily Dotuffer!
“Kenapa diam saja? Kamu ingin berteduh, kan?” tanya Lily yang sudah berjalan menuju pintu masuk kedai kopi.
Arlen langsung melepaskan sepedanya dan berlari, menarik paksa tangan Lily ke samping kedai yang sedikit rimbun oleh pepohonan.
“Kenapa malah di sini? Hei! Apa yang kau lakukan?!” panik Lily saat melihat Arlen mulai membuka jaketnya. “Jangan seenaknya! Kamu pikir aku tidak berani menghajarmu? Hei!”
Arlen tidak menggubris ucapan Lily, pemuda itu langsung mengibaskan jaketnya yang sedikit lembab. Kemudian memakaikannya pada Lily dan menutup kepala gadis itu dengan tudung jaket—sedikit mengurai surai rambut cokelat Lily agar menutupi wajahnya.
'Tetap di sampingku', ketiknya di layar ponsel yang membuat Lily mencebik.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diriku,” kesal Lily sambil menyibak tudung jaket Arlen dan beranjak masuk kedai.
Arlen langsung menyambar tangan Lily dan mendorongnya ke tembok, menahan tubuh gadis itu tetap di sana, seraya sebelah tangannya yang lain sibuk mengetik dengan cepat.
'Turuti perintahku, atau aku tidak akan mengantarmu ke Little Bugs. Ini Islingdale, daerah paling selatan Westerwell. Kau tahu, kan maksudku?'
“Aku tahu maksudmu, dan aku bisa jaga diriku sendiri!” yakin Lily, tapi tidak dengan Arlen yang masih belum melepaskannya dan malah menatap tajam ke dalam iris hijau Lily. “Lepaskan aku!”
Arlen menggeleng.
Lily menghela napas, mengaku kalah demi segelas cokelat hangat dan pemanas ruangan. “Baiklah, aku akan menurut.”
Arlen masih bergeming di tempatnya.
“Aku tidak bohong, aku akan menuruti semua perintahmu agar aku bisa ke Little Bugs, paham?”
Arlen mengangguk, lalu kembali menutup kepala Lily dengan tudung jaket dan menggandeng tangan gadis yang sudah kedinginan itu masuk ke kedai kopi. Di dalam kedai kopi yang lumayan ramai dengan para pekerja kebun dan perternakan yang melepaskan penatnya itu, Arlen memilih meja dekat pintu keluar. Pikirnya, untuk memudahkan dia dan Lily kabur jika terjadi sesuatu yang buruk. Selain itu juga untuk menghindari beberapa pasang mata yang menatap mereka aneh dan sesekali berbisik satu sama lain. Seorang pelayan dengan notes dan pulpen di kedua tangannya, bersiap mencatat pesanan Arlen dan Lily.
Baru saja keduanya memesan dua minuman dan seporsi kentang goreng, mereka dikagetkan oleh tawa dari seorang pria yang duduk di depan meja bar. Pria berjenggot itu tertawa sembari memukul meja bar, lalu teman di sampingnya sibuk memintanya untuk diam.
“Bagaimana aku bisa diam? Seharusnya kita merayakan hal besar seperti ini.”
“Memangnya kau baru menang lotre, sampai harus dirayakan?” tanya pengunjung lainnya yang merasa sedikit terganggu.
“Bukan,” jawab pria berjenggot itu, lalu merangkul teman yang memintanya diam. “Seth baru saja memberiku kabar terbaik sepanjang masa.”
“Derek, hentikan. Aku tidak mau pelanggan kedaiku pergi semua karena ulahmu,” tegur pramutama bar. “Kalau sudah mabuk, biar kupanggilkan istrimu untuk membawamu pulang.”
“Iya, lagi pula itu belum pasti. Aku hanya mendengar selentingan dari kawanku yang bekerja sebagai tukang kebun panggilan di rumahnya.”
“Tidak, Percy, Seth, seluruh Islingdale harus tahu tentang berita yang kau bawa. Meski baru rumor, tidak masalah. Kita bisa doakan itu menjadi kenyataan,” teriak Derek seraya mengangkat gelas bir dan mengedarkan pandangannya, lalu berdeham sebelum berucap, “Dotuffer kehilangan pewaris tunggalnya!”
Riuh sorak bahagia langsung terdengar di dalam kedai kopi. Semua meneriakkan yel-yel bahagia yang mendadak tercipta. Sedangkan Arlen menatap Lily yang malah terlihat tak acuh dengan keadaan di dalam kedai. Gadis itu lebih memilih memandang keluar ke halaman kedai dengan penerangan temaram dan hujan yang semakin deras, tidak mendengar—atau pura-pura—keadaan yang membahas dirinya, ataukah ada penerus Dotuffer lainnya?
“Cokelat panas, teh panas, dan seporsi kentang goreng yang masih panas,” kabar pelayan wanita yang mengerling genit pada Arlen sebelum pergi meninggalkan meja mereka.
Lily menatap tingkah pelayan wanita itu dengan malas. Dalam hatinya, dia tidak habis pikir bagaimana bisa wanita itu tertarik pada pemuda yang duduk di seberangnya ini. Bukan bermaksud menghina, tapi Arlen saat ini memang tidak dalam kondisi terbaiknya. Bajunya masih belum kering dari air danau, dan sudah harus basah oleh hujan. Bahkan jaket bertudung yang dipinjamkan untuk Lily pun sangat belum kering benar, meskipun tepat di belakang Lily ada pemanas ruangan.
Arlen menyesap teh panasnya sembari menatap waspada ke sekeliling kedai, semuanya larut dengan kebahagian kehancuran salah satu keluarga kaya di bagian utara Westerwell. Jika mereka semua tahu bahwa pewarisnya sedang duduk menikmati cokelat panas di dekat mereka, bisa dipastikan kabar itu akan menjadi kenyataan dan Islingdale akan menjadi berita utama dimana pun.
“Sepertinya tidak hanya sekedar rumor,” gumam Lily dengan sebelah tangannya menumpu pipinya, dan memandang pada Derek dan kawan-kawannya yang merayakan kejatuhan Dotuffer. “Awalnya aku tidak terlalu yakin akan berita yang mengatakan bahwa keluarga kaya dari utara tidak akan selamat jika datang ke selatan. Namun, melihat bagaimana mereka merayakan kejatuhan keluargaku, sepertinya aku salah.”
'Tidak usah dipikirkan. Lebih baik terus menunduk, sebelum mereka menyadari bahwa kamu adalah seorang Dotuffer.'
Lily melirik sekilas ponsel Arlen. “Kenapa kamu baik padaku? Padahal bisa saja kamu menculikku dan meminta tebusan pada keluargaku.”
'Lalu berakhir di tiang gantung yang ada di halaman rumahmu?' Arlen bergidik ngeri, tapi Lily tersenyum membaca jawaban Arlen.
'Boleh aku tahu, kenapa kamu ingin ke Little Bugs?'
“Aku mencari sahabatku. Aku dapat kabar kalau dia ke Little Bugs setiap akhir pekan.”
Kening Arlen mengerut mendengar penjelasan Lily. Sejauh dia mengingat, tidak banyak pengunjung yang datang ke Little Bugs saat akhir pekan, apalagi sahabat orang kaya. Jangankan orang kaya ataupun orang dari daerah lain, orang Islingdale sendiri tidak banyak yang pergi ke sana. Tempat itu lebih terasing daripada sebuah tempat pengasingan itu sendiri. Apalagi sejak peristiwa berdarah yang terjadi 15 tahun yang lalu, orang-orang pergi ke Little Bugs hanya untuk menyerahkan anak-anak tanpa keluarga, lalu pergi dan tidak pernah kembali untuk menjemput mereka. Meskipun sebelum mereka melangkah keluar pekarangan, hal yang terucap dari bibir orang-orang kejam itu adalah janji untuk menjemput mereka setelah keadaan kembali aman. Nyatanya, semakin hari, semakin banyak anak di sana, termasuk Arlen.
Apakah mungkin sahabat Lily adalah salah satu anak yang dulunya tinggal di Islingdale? Sepertinya tidak mungkin, mana ada orang kaya yang rela hidup tanpa penerus kekayaannya—terutama di Westerwell ini.
“Siapa namamu? Kau sudah tahu siapa namaku, tanpa perlu kuberitahu. Tapi aku tidak tahu siapa namamu.”
'Namaku Arlen.'
“Hai, Arlen. Senang berkenalan denganmu.”
Arlen membalas dengan senyuman atas sapaan perkenalan Lily, lalu kembali menyeruput tehnya yang sudah hangat.
“Apa yang kamu lakukan dengan mantan kekasih Hans di hutan? Oh, sebelum kamu berpikiran buruk tentangku, aku bertanya karena mencari topik pembicaraan saja, karena sepertinya hujan belum mau berhenti,” ujar Lily seraya kembali menatap pelataran kedai.
'Aku tidak sengaja mendengarnya minta tolong. Dia sedang bersama teman-temannya, tapi entah apa yang terjadi, saat aku temukan dia hampir tenggelam di danau. Lalu aku ingin membawanya ke klinik, dan saat itu mobil kalian muncul.'
Lily mengangguk.
“Apa yang terjadi dengan suaramu?” tanya Lily, tapi sedetik kemudian saat melihat perubahan ekspresi wajah Arlen, dia menyadari telah menyinggung sesuatu yang tidak seharusnya dia tanyakan. “Kalau kamu tidak ingin menceritakannya tidak masalah. Hanya saja, aku bingung dengan dirimu yang tahan sekali dihina saat di kampus.”
'Kamu sendiri juga sama, tahan untuk tetap membayar uang kuliah meski tidak pernah datang ke kampus.'
“Kau lupa aku siapa? Aku seorang Dotuffer,” lirih Lily di sela senyumannya. “Sepertinya hujannya sudah berhenti.”
Arlen menoleh ke pelataran kedai, dan memang benar hujan sudah berhenti.
Lily meletakkan beberapa lembar uang di meja, lalu segera beranjak dari kursinya. Namun, nahas tanpa sengaja Lily menabrak Seth yang baru saja mengisi ulang birnya. Membuat birnya tumpah ke seluruh baju Seth dan Lily.
“Kau tidak punya mata?!” kesal Lily sambil membersihkan tumpahan bir di dadanya.
“Hei, Nona! Bukan aku yang tidak punya mata, tapi kau yang menabrakku!”
“Mana mungkin? Jelas-jelas kau yang tidak bisa menggunakan matamu.”
“Kau berani—tunggu, wajahmu tidak asing,” gumam Seth, lalu tangannya terulur membuka tudung kepala Lily.
Semua orang yang berada di sana terkesiap saat melihat wajah Lily di bawah tudung jaket biru Arlen. Wajah seorang gadis Dotuffer yang dikabarkan hilang tiba-tiba, tapi sekarang muncul di Islingdale? Wow! Sungguh menarik!
“Bravo! Sebentar lagi rumor itu akan menjadi fakta, Seth!” teriak Derek seraya melangkah mendekati Lily yang semakin mundur hingga punggungnya menyentuh pintu kedai. “Dotuffer akan akan kehilangan pewarisnya, dan hartanya akan disumbangkan untuk kita. Aku tidak sabar menantinya,” lanjut Derek dengan kedua tangannya yang saling mengusap.
Tubuh besar Derek tiba-tiba terhuyung mundur, Arlen mendorongnya dan langsung meraih tangan Lily dan menariknya keluar. Namun, para pekerja itu langsung berlari mengejar keduanya. Arlen terus berlari, tidak peduli dengan Lily di belakangnya yang terseok, napasnya terengah, dan memintanya untuk berhenti berlari. Jangan lupakan bagaimana sesumbarnya Lily yang ingin menawarkan sejumlah uang kepada para penduduk Islingdale yang sedang kesetanan mengejarnya dan hendak membunuhnya. Masih bagus jika Lily langsung dibunuh, bagaimana jika gadis ini disiksa terlebih dahulu, dijadikan b***k, lalu dibiarkan mati kelaparan? Dan Arlen menjadi saksi atas semua kekejaman itu? Tidak, terima kasih. Arlen sudah lebih dari cukup pernah melihat kejadian seperti itu di depan matanya. Kejadian yang akhirnya membuatnya dalam kondisi seperti saat ini.
Entah keringat atau basah karena hujan yang membuat Arlen seperti ini, tapi Lily bisa merasakan tangan pemuda yang menggenggamnya gemetar hebat. Bahkan kini di tempat mereka bersembunyi—di antara semak dan pepohonan hutan Islingdale, Arlen menyembunyikan wajahnya dalam-dalam dan kepalanya menggeleng berkali-kali.
“Arlen, kamu baik-baik saja?”
“Arlen?”
“Arlen?!” hardik Lily, meski lirih, tapi berhasil membuat Arlen menoleh padanya.
Lily tidak lagi menemukan tatapan hangat Arlen seperti saat di kedai. Laki-laki yang berjongkok di sebelahnya ini, di sana, di matanya hanya ada ketakutan. Sangat ketakutan, dan perlahan Arlen menitiskan air mata.
“Kamu baik-baik saja? Apa yang—”
Arlen langsung menarik tangan Lily dan memaksanya untuk kembali berlari menuju jalan raya. Berharap ada Hans atau siapapun dengan mobil—yang bukan warga Islingdale—lewat. Dari jaraknya berlari saat ini, Arlen bisa melihat tepian jalan yang membelah hutan Islingdale. Terus dipaksanya Lily berlari, sampai akhirnya mereka berdiri di tengah jalan. Menoleh kemana saja, berharap ada pertolongan sebelum mereka tertangkap para pekerja yang derapnya semakin dekat.
Di kejauhan, Arlen menangkap seberkas cahaya. Kembali dia membuat Lily terduduk di balik semak, sedangkan dirinya melambai untuk memberhentikan mobil itu. Cahaya yang berasal yang ternyata dari sebuah mobil itu semakin mendekat dan perlahan berhenti di depan Arlen. Kini, Arlen bisa bernapas lega saat melihat mobil jip yang beberapa jam lalu masih terparkir di klinik. Terburu dia menarik Lily dari tempatnya bersembunyi dan langsung meminta Hans membuka pintu jipnya. Setelahnya, dia dan Lily langsung melompat masuk dan menyuruh Hans untuk memutar arah meninggalkan Islingdale
To be continued ...