Bab IV

2246 Kata
Lily melangkah pelan menaiki tangga flat yang berderik setiap kali kakinya menapak. Hari sudah menjelang subuh ketika netranya menjelajah hampir setiap sudut lorong flat dengan dinding yang sudah berubah warna, bahkan tercium aroma apek menguar dari permukaan dinding. Bagaimana bisa orang hidup di tempat seperti ini? Langkah Lily berhenti mendadak ketika seorang wanita dengan sekeranjang pakaian kotor di depan dadanya—Nyonya Pratt—memandanginya dari ujung kepala hingga kaki. "Arlen, kau sungguh hebat bisa mendapatkan gadis secantik ini," goda Nyonya Pratt. "Apa kita pernah bertemu? Wajahmu tidak asing." Lily menoleh cepat seraya merapikan helai rambutnya agar menutupi wajahnya. Sedangkan Arlen langsung berdiri di antara mereka. Namun, Nyonya Pratt tiba-tiba saja terbahak, karena melihat tingkah Arlen. "Tidak usah malu. Aku juga pernah muda. Kalau si tua Sheldon menganggu acara bercintamu, kamu bisa gunakan kamar di flatku. Tanpa biaya sepeser pun." Dari balik helai rambutnya, Lily bisa melihat Arlen menggeleng sembari tangannya bergerak memberitahu bahwa Lily bukan kekasihnya—setidaknya itu tebakan Lily, karena detik berikutnya wanita tua itu semakin tertawa lebar sebelum menghilang di balik kamar dengan tulisan binatu di pintunya. Teh atau kopi? "Tidak usah." Lily mendorong ponsel Arlen. "Kamar mandi?" Arlen menunjuk pintu di belakangnya, lalu tanpa mengucap sepatah kata pun, Lily beranjak meninggalkan Arlen. Mengunci rapat pintu kamar mandi reyot, menurunkan tutup toilet berkerak—Lily sudah tidak peduli—kemudian terduduk di atasnya. Menunduk menumpahkan air matanya yang sudah ditahan sejak kakinya dipaksa berlari dari kejaran orang-orang yang menatapnya sebagai mangsa yang pantas dibakar hidup-hidup. Pertama kalinya Lily melihat kebencian yang teramat sangat ditujukan padanya. Bahkan dirinya tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuatnya. Selama ini dia pikir kebencian kaum selatan pada utara hanya dilebih-lebihkan, atau lebih tepatnya adalah isapan jempol belaka. Ternyata anggapannya salah. Tubuh Lily masih bergetar hebat saat mendengar ketukan di pintu, lekas dia menghapus air matanya, menatap pantulan dirinya yang menyedihkan di cermin retak, lalu menemukan Arlen dengan satu setel pakaian olah raga berdiri di ambang pintu. "Untukku?" Arlen mengangguk. "Lumayan, daripada aku harus memakai pakaian nyonya tua tetanggamu," kelakar Lily, lalu mengambil tumpukan pakaian di tangan Arlen dan kembali mengunci pintu. Setelah mengganti pakaiannya, Lily beranjak menuju ruang tamu dan hanya seonggok sofa kusam yang berlubang, jangan lupakan setumpuk bantal yang kumal menyambutnya. Sungguh sangat jauh keadaannya dengan istananya, bahkan luas flat ini tidak lebih besar dari kamar tidurnya. Meski merasa jijik dengan kondisi di sekitarnya, Lily memaksakan dirinya duduk di bagian sofa yang dianggapnya—sedikit—bersih. Namun, aroma sedap yang tiba-tiba saja menguar di dalam flat mungil dan bobrok ini mengalihkan perhatian jijik Lily. Dirinya menoleh dan mendapati Arlen sedang sibuk—entahlah—tubuhnya tidak berhenti mondar-mandir di dapur, dan di hadapannya asap mengepul dari dalam panci. Beruntungnya perut Lily, karena tak lama kemudian Arlen bersama dua mangkok yang masih mengepulkan asap menghampirinya. Pemuda itu mengulurkan mangkok di tangan kanannya pada Lily, yang menerimanya dengan senyum tipis. Pelan, Lily mulai menyesap sup buatan Arlen—lumayan untuk menghangatkan tubuh. "Aku tidak tahu, kamu juga tinggal bersama Tuan Sheldon. Kupikir kalian hanya berhubungan secara profesional." Lily mencoba membuka pembicaraan. Ini tidak seperti pikiranmu. Aku hanya menumpang di sini. "Aku tidak menilai seseorang dari orientasi seksual mereka. Jadi kamu bisa tenang. Rahasiamu aman denganku," bisik Lily, kemudian menyuap sesendok penuh sup ke mulutnya. "Siang nanti kita kembali ke Little Bugs. Jadi setelah makan ini, sebaiknya kita istirahat. O iya, ngomong-ngomong, dimana Tuan Sheldon?" Apa kamu gila? Kamu baru saja bebas dari kejaran orang-orang yang berniat membunuhmu. Aku tidak mau. Tuan Sheldon pasti masih tidur di kamarnya. "Kamu sudah berjanji padaku, kan?" Benar. Aku akan mengantarmu, setelah keadaan aman. "Sampai kapan? Kurasa tidak akan pernah aman, lagipula aku tidak punya waktu selama itu untuk menunggu dalam ketidakpastian." Kalau begitu, aku tidak akan mengantarmu. "Tidak masalah, aku tinggal mengikuti jalan yang kita lalui tadi." Kamu akan mati sebelum sampai di Little Bugs kalau begitu! Lily tersentak kaget saat Arlen melemparkan ponselnya begitu saja di hadapan Lily. Dirinya tersenyum getir saat membaca kalimat terakhir yang diketik oleh Arlen sebelum pemuda itu pergi meninggalkannya. Oh s**t! Tak berapa lama, pemuda itu sudah kembali lagi dengan bantal dan selimut tersampir di pundaknya. Apa maksudnya? Lily harus tidur di sofa berlubang di tengah ruang tamu yang menjijikan ini? "Sebelum kamu memaksaku, aku akan mengatakan satu hal padamu." Alis Arlen menukik, lalu melemparkan bantal dan selimut ke sofa. "Aku tidak mau tidur di sini." Arlen menghela napas sejenak, kemudian menunduk mengambil ponselnya. Kamu bisa tidur di kamarku. Aku yang tidur di sini. Kamarku yang berada di sebelah kiri tangga. "Baiklah," ucap Lily singkat, lalu segera pergi dari hadapan Arlen—menyembunyikan raut memerah karena malu, lalu hilang di balik pintu. Lily kembali meneliti sekelilingnya, kamar kecil dengan ranjang mungil, meja belajar, dan sebuah lemari pakaian di sana. Setumpuk buku—tentang musik—ada di kolong meja dan ranjang. Lily duduk di tepi ranjang dan menghela napas berat, memikirkan cara untuk memaksa Arlen mengantarnya ke Little Bugs siang nanti. Namun, pria itu sama sekali tidak tergiur dengan tawaran nominal—berapapun besarnya—yang Lily berikan. Apakah harus menggunakan cara gila, sekedar pergi ke Little Bugs untuk menemukan seorang bocah yang sudah dianggap mati keluarganya—tidur bersama? Lily memang senang dengan pria yang memujanya, menggunakan jasanya untuk mengakhiri hubungan mereka dengan para kekasihnya yang menyebalkan, tapi Lily—percaya atau tidak—dia masih perawan. Bukan karena Lily yang kolot atau sok suci seperti perawan Maria, dia hanya ingin menikmati seks dengan orang yang disukai dan menyukainya. Kali ini sepertinya Lily harus melupakan prinsipnya. Bocah yang dicarinya tidak bisa dibiarkan di luar sana lebih lama. Namun masalahnya, pemuda yang ada di lantai bawah adalah seorang gay. Bagaimana mungkin dia akan bernafsu saat melihat tubuh Lily? Pasti pemuda itu lebih terangsang saat melihat tubuh Gustav yang kekar. Lily menarik ujung kaosnya, lalu menurunkan celananya—hanya menyisakan celana dalam dan bra, karena ruangan ini terlalu panas untuknya. Baru saja Lily hendak naik ke ranjang, pintu kamar tiba-tiba saja terbuka dan Arlen langsung membuang muka. Tunggu! Apakah Lily sedang berhalusinasi? Sepertinya tidak, karena sesaat sebelum suara pintu dibanting, Lily mendengar kata 'maaf' terucap, dan Lily yakin, itu adalah Arlen. Tak acuh dengan setengah ketelanjangannya, Lily membuka pintu dan Arlen masih di sana—memunggunginya. Sekarang atau tidak sama sekali! "Arlen." Pemuda di hadapannya ini sungguh menggemaskan. Terkadang terlihat sangat menakutkan—seperti saat melempar ponselnya tadi—terkadang ketakutan seperti tikus yang terperangkap, dan sekarang wajahnya semerah tomat dengan mata yang terpejam rapat. Telunjuk Lily perlahan menyusuri wajah Arlen, mulai dari kening hingga berhenti di bibir merah muda yang sedikit tebal di bagian bawahnya. Sekuat tenaga Lily menahan tawanya, apakah aku salah menebak kalau dia gay? Lily tidak peduli sekalipun dia salah, yang penting tujuannya harus tercapai. Lily mendekatkan wajahnya, mengembuskan napas panas yang menggoda melalui celah bibirnya tepat di atas bibir Arlen. Lily menyapukan bibirnya, tapi Arlen langsung mundur hingga punggungnya membentur pintu kamar Tuan Sheldon. Lily hendak kembali meraih tengkuk Arlen, tapi pemuda itu langsung mengangkat ponselnya. Pakai bajumu. Aku gay, tidak akan tergoda dengan tubuhmu. Lily tersenyum tipis membaca tulisan Arlen. "Aku akan terus menggodamu sampai kamu setuju untuk mengantarku ke Little Bugs. Aku akan membuatmu tergoda untuk menodaiku, lalu—" Arlen tiba-tiba saja mendorong tubuh Lily kembali masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Di luar sana, Tuan Sheldon menggumam kesal karena tidurnya terganggu. Bahkan kini dengan tidak sabaran mengetuk pintu kamar Arlen. "Arlen, buka pintunya!" Tangan Lily yang hendak membuka kenop pintu langsung ditahan oleh Arlen yang dengan isyarat gelengan melarang Lily melakukan apapun yang hendak dia lakukan. "Minggir. Aku akan jelaskan pada pasanganmu kalau—" Arlen membungkam mulut Lily, lalu telinganya menempel lekat di daun pintu. Kondisi di luar kamar sudah lebih tenang, sepertinya Tuan Sheldon sudah menyerah, atau tidak? Karena selanjutnya teriakan pria tua itu terdengar dari lantai bawah dan langkahnya kembali berderik di lorong. Lily terhuyung mundur, bahkan sampai terjatuh di ranjang, karena kakinya terbelit dengan kaki Arlen. Membuat pemuda yang semakin memerah itu menindihnya, dan memberikan sentuhan dingin yang tidak sengaja di permukaan perut polos Lily. "Berani sekali," gumam Lily seraya menarik tengkuk Arlen, tapi langsung ditepis oleh pemuda yang kini menyatukan kedua tangan Lily di atas kepalanya, menggenggamnya erat. Membuat Lily tersenyum bahagia, rencananya berhasil, pria di atasnya tergoda untuk menyentuhnya. "Arlen, bantal dan selimutmu tertinggal di ruang tamu. Malam ini terlalu dingin untuk tidur di sana, lebih baik di kamar dengan kipas rusak. Besok masih ada kelas—oh, kau bangun rupanya. Ini." Tuan Sheldon menyerahkan tumpukan selimut pada Arlen. Dari tempatnya disekap—ya, Arlen menggulung tubuhnya dengan seprai kasur, lalu menutupinya dengan setumpuk bantal dan buku di ranjang—Lily samar-samar bisa melihat bayangan tubuh Arlen dan Tuan Sheldon, sekaligus menguping pembicaraan mereka, lebih tepatnya ucapan Tuan Sheldon. Sial! Lily memaki dalam hati saat melihat bayangan Tuan Sheldon masuk ke kamar Arlen, melangkah melewati ranjang, kemudian berhenti di dekat jendela kamar untuk memastikan sudah terkunci. "Sepertinya aku salah," gumamnya sembari kembali melangkah keluar. "Kupikir aku mendengar suara wanita di sini. Mungkin Nyonya Pratt yang sibuk mendesah dengan lelaki muda sewaannya." Setelah kepergian Tuan Sheldon, Lily bergerak berusaha melepaskan diri. Kemudian menatap nyalang pada Arlen yang tak acuh padanya. Tuan Sheldon adalah orang selatan, dia tahu keluargamu. Dia bisa marah dan langsung membunuhmu jika melihatmu. Lily mencebik dan dengan kaki menghentak menuju pintu. Lagi-lagi Arlen menahan daun pintu itu. "Aku tidak peduli, aku perlu ke Little Bugs sekarang. Waktuku semakin menipis untuk menemukan temanku. Belum lagi orang-orang Dotuffer yang pasti sudah mulai disebar untuk mencariku. Minggir." Arlen bergeming, yang semakin membuat Lily meradang. Namun sedetik kemudian, Arlen mengangguk pada Lily dan menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Lily kembali mencebik saat menyadari kebodohannya, dia segera mengambil pakaian olah raga yang dipinjamkan Arlen—tapi kemudian dibuang asal oleh pria itu ke dalam lemari. "Tidak usah khawatir denganku. Aku bisa menjaga diriku. Aku bisa bela diri, menembak, bahkan berlari cepat. Kamu cukup memberiku gambar peta menuju ke sana, dimulai dari kedai semalam." Mata Lily melebar saat Arlen benar-benar menuruti ucapannya. Kemana laki-laki yang semalam sangat mengkhawatirkannya, bahkan sampai beberapa menit yang lalu? Sekarang dia sedang menggambar peta untuk Lily dan dengan ekspresi santai langsung menyerahkan kertas itu padanya. "Jika tahu begini, lebih baik aku menerima tawaran Hans untuk mengantarku pulang! Seharusnya aku tidak memaksa untuk tetap bersamamu!" Lily menyambar kertas pemberian Arlen, lalu keluar dari flat Tuan Sheldon sembari mengambil sebuah topi di kapstok—lumayan untuk menutupi wajahnya. Dengan langkah lebarnya, Lily terus melangkah menyusuri jalanan yang mulai ramai orang beraktivitas. Sungguh asing, pemandangan Westerwell bagian selatan sungguh berbeda dengan bagian utara. Tidak ada mobil mewah, tidak ada kafe atau bar yang baru saja tutup. Lily hanya menemukan sebuah toko roti di pojok jalan tadi, bahkan bangunan di sini catnya sudah banyak yang pudar. Apa yang dilakukan kepala daerah ini? Hanya bermain golf bersama Tuan James di halaman belakang rumah kami? Lily masih melangkah dengan kepala tertunduk, sebisa mungkin menghindari tatap aneh dan curiga yang mengarah padanya. Belum lagi perasaan tak nyaman yang tiba-tiba membuat tubuhnya merinding—Lily merasa sedang diikuti. Walaupun sudah berulang kali menoleh dan memperhatikan dengan seksama, Lily tidak menemukan orang mencurigakan yang sengaja menguntitnya. Hingga ... "Hey, Nona. Aku tidak pernah menemukan ada gadis di sekitar sini yang senang berolah raga sendiri." Lily tak mengacuhkan pria yang tiba-tiba menyamai langkahnya. "Hey, apa kamu orang baru di sini? Pindahan dari mana?" "Bukan urusanmu." Lily semakin mempercepat langkahnya. Pria misterius dengan pakaian kumal itu masih mengikuti Lily, bahkan dengan kurang ajarnya berani mencekal lengannya, tapi Lily memberontak dan menendang tulang keringnya. "Aku suka gadis yang susah diatur, pasti sangat liar di ranjang! Ikut aku!" Pria itu langsung menyergap tubuh Lily dan menggendongnya seperti karung beras. Lily terus menendang dan memukul tubuh pria itu, tapi sepertinya tidak memiliki efek apapun. Lily tak habis akal, dia berteriak minta tolong, tapi lagi-lagi tidak ada yang peduli dengan hal ganjil yang sedang terjadi ini. "Lepaskan aku, b******n!" Pria itu tertawa mendengar makian Lily, tapi tak acuh dan terus melangkah. Kini sudah berbelok—entahlah kemana, Lily tidak tahu—menaikki tangga yang hampir mirip dengan lorong flat Tuan Sheldon. Kemudian berhenti di depan sebuah kamar flat, tanpa menurunkan tubuh Lily, pria itu merogoh saku jaketnya untuk mengambil anak kunci. Belum sempat dia memasukkan anak kunci, tiba-tiba saja tubuh kekarnya limbung, terjerembab di lantai. Lily yang menyadari kesempatan untuk lari, bergegas berdiri dan menuruni tangga. Namun langkahnya terhenti saat melihat siapa yang menolongnya. Arlen. Saat ini Lily tidak bisa berpikir, dia hanya menurut pada Arlen yang menyeret lengannya dan mengajaknya menyelamatkan diri dari cengkeraman pria b******n yang berusaha berdiri. Arlen terus menariknya hingga masuk ke stasiun bawah tanah dan melompat ke dalam kereta yang hendak melaju. Tubuh Lily meluruh, dan dia masih mencoba mengatur napasnya. Gila! Belum ada 24 jam dia melarikan diri, dan sudah ada puluhan orang yang menginginkannya! Kecuali Arlen. Lily mendongak dan mendapati Arlen yang juga terengah. Tubuh pemuda itu menunduk, berusaha menghalangi Lily dari tatapan orang-orang di kereta. Baiklah, untuk sementara Lily terpaksa memercayakan keselamatannya pada Arlen—lagi. Entah stasiun apa dan sudah berapa lama, Lily tidak tahu. Arlen kembali menariknya untuk keluar begitu kereta berhenti. Ketika sudah berada di atas, Lily sadar dimana dirinya saat ini. Bukan lagi Islingdale, bukan lagi Westerwell bagian selatan. Terlebih lagi saat tiga orang pria tegap berjalan ke arahnya dan langsung menariknya dari dekapan Arlen. Dia kembali. Lily kembali ke tempat tinggalnya. "Ini imbalanmu," ucap Gustav sembari menyodorkan amplop coklat pada Arlen. "Berengsek kau!" maki Lily dalam rontaannya dan tatapan yang tak lepas pada Arlen yang hanya diam menatap kepergiannya, tidak acuh pada Lily. *** To be continued ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN