"Satu tambah satu?"
"Jendela."
"Satu tambah satu ya dua!" Suara bass menimpali dengan geram. Pasalnya, perempuan di depannya kerap kali menjawab asal pertanyaan-pertanyaan kecil yang ia beri.
"Berarti salahkan si Judith?" Lelaki yang lain bersuara.
"Iyalah salah," jawab Cata, yang tengah menahan diri mati-matian untuk tidak membuang Judith ke jalanan. Permainan tanya jawab ini Judith lah yang mengusulkan, tetapi sekarang perempuan berpiyama itu tampak asyik memicingkan mata karena kantuk.
Sementara Amar, buru-buru memilih benda ajaib yang berada di dalam tempat make up---entah milik siapa. Hingga akhirnya, lelaki berdarah arab itu menemukan pensil alis. Dengan bibir dipenuhi lipstick, Amar tersenyum jahat ke arah Judith. Buru-buru mengarahkan wajah Judith agar melihat ke arahnya.
Judith tersadar, dengan mata melotot menatap Amar tidak terima. "Ngapain lo?!"
"Kan lo kalah?"
"Kalah gimana?" sambar Judith tidak terima.
"Ya kalah. Orang dimana-mana satu tambah satu ya dua. Bukan jendela."
Judith mendelik sebal, lalu merampas pensil alis yang berada di tangan Amar. Dan tanpa permisi segera menggambar sesuatu di pipi lelaki itu. "Nih, perhatiin! Satu ditambah satu, sama dengan jendela. Kan bentuknya jadi kayak jendela."
Amar menghela napas, memberikan tatapan membunuh sebab Judith telah mencoret pipinya sesuka hati. "Tolonginlah, Cat. Dari tadi gue mulu yang kena. Tadi lo bilang salah! Dasar penghianat." Amar memohon pada Cata yang mukanya masih bersih. Sedang Judith tertawa terbahak-bahak sebab kasihan.
"Udah ah diem," timpal Judith tidak lama setelah tawanya berhenti. "Nih buat lo ya, Cat. Hewan, hewan apa yang cuma punya dua huruf?"
Cata tertawa ringan penuh kemenangan, "U dan G, Bego. Gitu doang mah mudah."
Judith memutar bola mata, lalu berbaring terlentang di sofanya. Matanya sudah berat, namun mama dan papanya belum juga pulang. Entahlah, Judith bahkan tidak tahu acara apa yang tengah didatangi oleh orangtuanya. Yang Judith tahu, acara itu resmi. Dia sudah dipaksa untuk ikut tadi, tapi membayangkan dirinya dibalut kebaya Kartini, Judith langsung angkat tangan.
"Dith, laper," ucap Amar ikut-ikutan terlentang di atas karpet merah yang melapisi lantai ruang keluarga.
"Mar," panggil Judith.
"Hm?"
"Masak masakan Arab, dong."
Amar melotot, "Enggaklah, males."
Judith memutar bola matanya sebal, "Males mulu lo. Mau jadi apa generasi kita kalau cowok-cowoknya aja pada males buat masak? Nggak gentle lo! Nggak ada jodohnya tau rasa."
Judith malah asyik berceramah, hingga Cata memilih meninggalkan ruang keluarga tempat mereka berkumpul untuk segera menuju dapur. Laki-laki itu juga lapar, dan kulkas Judith adalah pilihan terbaik sebagai tempat merampas makanan.
"Cat, lo ngapain?!" Judith berteriak kuat. "Cat, kalau masak mie masakin gue sekalian."
"Gue juga, Cat." Amar menambahkan.
Namun tidak lama Cata kembali dengan beberapa kotak pudding coklat di tangannya. "Apaan sih orang gue nggak masak apa-apa."
Judith mengintip kegiatan Cata pada akhirnya, dan langsung melemparkan bantal ke arah lelaki itu. "Udah pernah dibilangin jangan nyuri pudding gue, masih aja dicuri."
"Ya gue laper."
"Ya makanya masak mie." Judith memberikan tatapan sebalnya karena Cata tampak asyik menyuapkan pudding milik Judith ke dalam mulutnya.
"Yaudah masak, yuk." Amar berdiri, mengusap hidung mancungnya sembari berjalan meninggalkan ruang keluarga. "Gue dua bungkus, Dith."
"Mar, gue juga dua!" Judith kembali berteriak, masih dengan posisi yang sama.
"Gue juga dua, Mar." Cata menyambung, lalu memilih membersihkan sampah tisu di sekitaran mereka.
Judith menghela napas, melirik jam di dinding. Dan tepat setelah itu, suara klackson mobil terdengar di depan rumah. Judith buru-buru berlari semangat menuju pintu, lalu melihat mobil sang papa tengah masuk ke halaman.
Nadine yang lebih dulu keluar dari mobil buru-buru mendekati Judith. "Mama kirain Cata sama Amar udah pulang, soalnya besokkan sekolah."
"Judith tahan, Ma. Harusnya udah pulang dari tadi mereka."
"Terus sekarang lagi ngapain?" tanya Nadine sembari masuk rumah dan berjalan terus menuju ruang keluarga.
"Masak mie---"
"Eh, Tante." Sapaan Cata dan senyuman lelaki itu seperti biasa, akan membuat Nadine tersenyum.
"Makasih ya udah jagain Judith," ungkap Nadine lembut.
Cata tertawa kecil, "Nggak usah makasih gitu, Tan, lagian tadi kita sekalian ngerjain tugas."
"Tau si Mama, lagian juga udah kewajiban mereka jagain Judith. Hak Judith nyuruh-nyuruh mereka." Judith yang kembali berbaring menyambar tanpa pikir, membuat mamanya menggeleng gemas seperti maklum.
"Ehem," deheman tersebut membuat seluruh pasang mata langsung menatap ke satu arah. Aldric menatap Cata lalu berganti ke arah Judith. "Udah malam."
Cata yang paham maksud perkataan Aldric---ayah Judith---langsung menjawab. "Ini juga mau pulang kok, Om. Tapi kalau mie yang lagi dimasak Amar udah mateng."
Judith tertawa, sementara Nadine buru-buru mendekat dan mengajak suaminya tersebut bersih-bersih. Sudah menjadi rahasia umum betapa pengawasan Aldric pada Judith begitu ketat. Ditambah perginya Abi dan Bia untuk menetap di luar negri membuat Aldric kerap kesepian.
"Abis makan jangan lupa pulang." Aldric mengulang kalimat yang sama dengan kalimat yang Cata maksud tadi. "Judith langsung ke kamar, tidur."
"Tapi, Pa, kan kalau selesai makan nggak boleh langsung tidur." Judith menjawab.
"Dek...," peringat Nadine agar Judith tidak dulu memancing Aldric---yang kentara dengan ekspresi lelahnya.
"Iya." Judith menurut. "Selamat tidur, Papa."
Setelah Aldric juga Nadine menghilang di balik pintu kamar mereka, helaan napas Amar terdengar keras. Membuat Judith dan Cata sukses terkejut.
"Ngapain, sih?" celetuk Judith kesal.
"Gue pikir bakalan di gantung sama papa galak."
"Enak aja ngatain papa galak!" Judith menyemprot, sedang Amar hanya mencibir lalu kembali ke dapur. Berkutat lagi dengan mie yang tengah ia rebus.
• s w e e b y •
"Kok aneh, ya?" ujar Judith pelan sembari sibuk memisahkan bawang-bawangan di dalam mienya.
"Aneh apanya? Di gue mienya nggak aneh. Enak-enak aja." Amar menjawab, tidak terima mie buatannya disebut aneh. Padahal, Amar sudah ahli memasak sejak SD.
"Bukan mienya, Pinter," ucap Judith jadi geram.
"Kenapa, Dith?" Cata yang sejak tadi menatap televisi akhirnya penasaran juga. Dilihatnya Judith berharap mendapat jawaban lebih lanjut.
"Gimana ya, aneh aja. Kenapa gue bisa mimpiin orang yang udah lama banget nggak gue liat. Makin aneh karna di dalem mimpi gue, guenya masih SD."
"Lah? Gue kira lo nggak pernah SD." Amar menanggapi.
"Ya menurut lo gue masuk SMP terus lanjut SMA asalnya darimana?"
"Nyogok," jawab Amar dan Cata bersamaan.
Sementara Judith hanya dapat memutar bola mata sebal. Dia sedang tidak berminat untuk melakukan aksi jambak kepada kedua lelaki di sebelahnya.
"Temen rasa binatang emang gini," ujar Judith lalu menyuapkan mie ke dalam mulutnya. "Eh lanjut dulu, balik ke mimpi gue tadi. Aneh nggak sih menurut lo kalau gue tiba-tiba mimpiin orang yang sama sekali nggak pernah gue pikirin lagi?"
"Lupa baca doa kali, Dith," ujar Amar kali ini mencoba serius.
"Atau mungkin cuma mimpi-mimpi biasa doang. Jangan dipikirin bangetlah nanti jadi gila."
Helaan napas pasrah Judith terdengar. "Tapi, mimpinya berasa nyata banget."
"Daripada lo mikirin mimpi yang nggak bakal ngasih pengaruh apa-apa, mendingan lo mikirin gimana point lo nggak bakalan nambah lagi. Kasian nyokap bokap lo keseringan ke sekolah."
Judith menatap sebal pada Cata yang baru saja berkata benar. Kepala Judith bergerak kiri kanan, membuat rambut yang ia ikat satu menjadi bergerak-gerak lucu. Siapapun yang melihat, pastilah menganggap Judith adalah gadis lucu dengan kelakuan menggemaskan.
"Iya, Dith, sebulan lagi kita juga bakalan ujian kenaikan kelas. Bandel lo ditahan dulu."
"Ini kenapa pada mojokin gue gini, sih? Kan tadi awalnya bicarain mimpi, bukan yang lain." Judith mendumel sebal tidak terima. Sementara Amar dan Cata hanya mengedikkan bahu kompak.
Demi Tuhan, kini giliran Judith yang begitu ingin membuang kedua laki-laki ini menuju jalanan.
• s w e e b y •