2. Kabar Baru

1071 Kata
Seperti biasa, pagi senin selalu menjadi monster bagi seluruh siswa-siswi. Tidak terkecuali untuk sekolah favorit negri di bilangan ibu kota. Judith, remaja pecinta pisang dan pudding coklat itu sedang asyik berjalan di sepanjang koridor sekolah. Tas warna coklat berukuran sedang masih setia berada di punggungnya. Judith tidak akan merasa lelah jika hanya membawa tas yang berisikan buku tulis. Buku-buku tebal yang acap kali dibelikan oleh sang mama sengaja ia tinggalkan di rumah. Bahkan, masih terbungkus rapi bersama plastiknya. Niat Judith, ingin kembali menjual buku-buku tersebut diam-diam. Lumayan, uangnya bisa ia belikan untuk pudding. Remaja dengan rambut panjang melebihi bahu itu tersenyum pada orang yang menyapanya, menampilkan deretan gigi rapinya yang putih bersih. "Pagi, Judith," sapa Delon, anak kelas 10 D. "Apa lo, Gondrong?!" sentak Judith dan sukses membuat Delon kesal. Lelaki itu segera berjalan mendekati Judith, berniat memberi perempuan jahil itu sedikit pelajaran. Judith yang gesit segera berlari, menjauhi kelas Delon dan segera menuju kelasnya. 10 B. "Apaansih, Monyong, kok lari-lari?" Cata yang sedang berada di depan pintu kelas menatap penasaran pada Judith. Perempuan itu membalas dengan memutar bola mata, sebal dibilang monyong oleh Cata. "Monyong gigi lo!" hardik Judith membalas. Dia menolak Cata kasar agar lelaki itu segera awas dari pintu. Bukannya menurut, Cata malah berteriak tidak suka. Pasalnya, Judith menolak Cata di bagian d**a, dan sempat-sempatnya meremas bagian tersebut. "Gak usah remes-remes juga, Bego." Cata mencubit pipi Judith gemas, bermaksud membalas perbuatan cewek itu. "Suka-suka gue!" "Yang lo remes aset gue, Judal!" "Halah, gede juga nggak. Sok-sokan bilang aset lo." Judith membalas, sambil melangkahkan kaki menuju bangkunya. "Eh, woi! Ini kenapa tas loreng-loreng ngehuni bangku gue?" Judith mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas, meminta penjelasan. "Awal bulan, Dith," teriak salah satu teman Judith. "Kan waktunya rolling." "Lah iya! Eh, mati gue. Bangku depan udah keisi semua?" Judith berjalan ke depan kelas, melihat semua bangku yang sudah berisi. Hanya satu yang tersisa, dan itu tepat di depan guru. Ingin mengambil undian juga percuma, karena pasti tetap bangku tersebut yang Judith peroleh. "Yang sabar ya, Dith. Nanti ulangan fisika lho." Amar berteriak, mulai mengusili Judith. "Ye, Bego. Bukan masalah ulangan. Masalah posisi buat tidur ini. Fisika mah gue tutup mata juga beres." "Salah sendiri, siapa suruh ngeganjen dulu ke kelas-kelas lain," celetuk Cata. Judith langsung naik pitam. Enak saja dirinya dibilang ganjen. Lagipula, itu sudah menjadi kebiasaan untuk Judith. Jadi, Judith bukan ganjen. Tapi menurutnya, tali silahturahmi itu perlu dijaga. "Ngomong gitu lagi gue cabutin bulu idung lo. Biar kalau debu masuk, ya langsung masuk." Setelah berkata seperti itu, dengan berat hati Judith duduk di bangku barunya. "Dasar sadis lo, Setan," teriak Cata pada Judith. "Bacod!" • s w e e b y • "Dipanggil, Judith Aluna al-Vadric, kelas 10 B, agar segera ke ruang BK sekarang!" Judith yang sedang ogah-ogahan belajar seketika duduk dengan punggung tegap, matanya melotot menatap ke pintu. "Baru aja semalem kita bilangin, Dith." Amar yang duduk di samping Cata menggeleng bersamaan, menatap Judith dengan pandangan pasrah. Sementara ekspresi Judith benar-benar terlihat tidak terima. "Kenapa lagi kamu, Judith?" Judith menoleh pada Buk Miska yang bersuara, menatap takut ke arah guru Kimia tersebut. "Saya juga nggak tau, Buk," sahut Judith cengengesan. "Saya denger nama kamu lagi heboh disebut-sebut di ruang guru. Bener kamu bocorin ban mobil kepala sekolah?" Judith meneguk saliva susah payah, memilih berdiri karena lagi-lagi sang pemilik suara yang berasal dari meja piket terus memanggil namanya. Bikin malu, batin Judith senewen. "Saya tau kamu pintar, Judith. Walaupun kamu keseringan tidur di jam saya, saya tau kamu bisa jawab soal-soal saya tanpa harus mikir keras. Tapi di sekolah, bukan cuma nilai yang dituntut, tapi juga etika. Etika dan moral, mengerti?" Judith hanya mengangguk. Lagi-lagi dia diberi ceramah gratis. Setelah permisi dengan Buk Miska, Judith buru-buru ke ruang BK. Karena ruang BK terletak satu gedung dengan kelas sebelas, Judith lebih memilih untuk melewati lapangan luas. Malu rasanya lewat di depan kelas mereka. "JUDITH, LU NGAPAIN LAGI, SI?" Judith menutup wajah ketika mendengar teriakan seorang teman, dan buru-buru mempercepat langkah kakinya. "HATI-HATI GAK NAIK KELAS LU, DITH!" Lagi-lagi ada yang berteriak. Judith jadi kesal sendiri. Apa yang dilakukan oleh teman-temannya yang berteriak tadi di luar kelas? Padahal ini jelas-jelas masih jam pelajaran. Ah, Judith gondok. Tidak lama, Judith tiba di depan pintu ruang BK. Baru ingin melangkahkan kakinya agar masuk, Judith dikagetkan oleh panggilan dari samping. Suara yang amat ia kenal. Suara mama dan papanya. "Mama tadi ditelfon, katanya ini penting. Kenapa lagi, Dek?" Nadine, Sang Mama, bertanya dengan raut khawatir. "Papa sampai izin sebentar lho, takut Judith kenapa-napa." "Judith nggak ngapa-ngapain," jawab Judith terdengar polos. Nadine mana mungkin percaya, wanita tersebut buru-buru masuk ke dalam ruang BK. Meninggalkan Judith di belakang bersama sang papa yang tengah merangkulnya. "Judith kenapa?" tanya papanya lagi. Berharap Judith lebih jujur. "Judith salah bocorin mobil orang, Pa," jawab Judith merengek, mengucap terus dalam hati karena kebodohan yang ia perbuat. Lagipula, ia pikir masalah ini tidak akan sampai ke BK. Lagipula, siapa suruh mobil Cata dan Kepala Sekolah itu sama?! Dan bodohnya, Judith tidak mengecek nomor polisi mobil tersebut. Baru setelah selesai membocorkan mobil, Judith tertawa penuh kemenangan pada Cata. Dan lelaki yang memang berteman baik dengan Judith tersebut menjawab santai. "Bego lo. Jelas-jelas hari ini Bokap yang anterin gue ke sekolah!" Dan seketika, mulut Judith langsung terkatup rapat. Judith tersadar dari lamunan singkatnya. Memilih melepaskan rangkulan sang papa dan segera menyusul masuk mengikuti Nadine. "Sini, Dek!" panggil Nadine padanya agar Judith duduk di sebelahnya. "Gimana, Judith? Ingat perjanjian kita?" Buk Kumala menatap Judith penuh arti. Tatapan kasihan sepertinya. "Saya nggak niatan bocorin ban mobil Pak Wahyu, Buk. Saya pikir itu mobil temen saya." Judith menjawab dengan suara pelan, takut-takut. "Dimana letak perbedaannya? Kamu sama-sama akan menuhin point karna sikap bandel kamu kalaupun yang kamu bocorin itu mobil temen kamu." Judith diam. Nadine ingin buka suara, tapi ia sadar bahwa anaknya memang bersalah. Aldric? Jika disuruh buka suara, dia pasti akan membela Judith mati-matian. Tapi karena Nadine sudah memintanya tutup mulut dahulu, Aldric menurut. "Saya janji nggak ngulang, Buk," ujar Judith bergetar. "Perjanjian kita itu sah, Judith. Ini sudah ke seratus kalinya. Ibuk tau kamu pintar, juara kelas, tapi untuk etika, kamu nggak bisa diharepin." Aldric yang mendengar benar-benar ingin buka suara. Tidak terima karena bungsu kesayangannya dicap seperti itu. "Maaf, tapi ruang kelas sebelas, nggak bisa terima kamu." "Buk, saya mohon," pinta Judith memelas. "Kamu nggak bisa sekolah disini lagi, Judith." Kata-kata itu, seperti petir di siang bolong bagi Judith. • s w e e b y •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN