Bab. 2 - Kabur

1439 Kata
Saat kita tahu kenyataan tak seindah harapan, di situ kita bisa belajar arti sebuah keikhlasan... *** Hari semakin sore. Ines baru ke luar dari warung makan dekat gangnya. Karena jarak kontrakan lumanyan dekat dengan area perkantoran, ia jadi lebih mudah pilih menu. Sepanjang jalan sekitaran gangnya cukup ramai dipadati tukang jualan beraneka ragam. Dari mulai makanan, fotokopi, warnet, sampai tempat gym juga berjajar di ruko tersebut. Mungkin karena lokasi juga tak jauh dari lingkup kos-kosan.  Gadis itu berjalan sembari menenteng kantung plastik hitam. Ia agak mendumel karena lupa bawa tas kecil yang biasa ia gunakan ketika membeli sesuatu atau berbelanja. Ines terbiasa mengurangi plastik yang sulit terurai. Ia sering lihat berita dan ingin menerapkan hidup lebih baik. Selagi sibuk mengoceh seorang diri, sayup ia mendengar gerutuan diselingi isakan dari bawah lampu depan gang. Suara gadis yang meringkuk bersandar gapura masih bisa didengar jelas, meski jalanan bising oleh hiruk pikuk kendaraan bermotor.  "Dasar cowok resek! Matre! Kenapa aku bisa sayang sih sama manusia model begitu!" racaunya sambil meremas-remas tas ransel.  Dipandanginya sang gadis malang dengan seksama. Awalnya Ines tak ingin menggubris dan lanjut jalan begitu saja. Tapi ia teringat dirinya yang dulu pernah dalam kesulitan, sendirian tersasar di pasar saat sedang belanja bersama ibunya. Perasaan takut itu membayang. Hingga menimbulkan keibaan yang makin nyata. Alhasil Ines pun memutar badan kembali ke sosok yang mencuri perhatiannya barusan.  "Hai, kamu kenapa?" sapanya ramah.  Gadis itu mendongak mengusap lelehan air mata di pipi. Dalam beberapa detik ia terdiam mengamati Ines dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah menduga-duga apakah gadis di hadapannya orang baik atau bukan? Retinanya terhenti mendapati kartu karyawan yang dipakai Ines. Seperti biasa, Ines selalu saja lupa melepasnya. Meski sudah diberi tahu ketika pulang sebelum melewati gerbang perusahaan, seluruh karyawan diwajibkan menyimpan identitas diri agar tak disalahgunakan orang tak bertanggung jawab.  Anehnya, si gadis malah berbinar-binar, matanya bagai dihujani tetesan embun yang bening setelah membaca nama perusahaan yang tertera di sana. Sejenak ia berpikir dan memutar otak, menimbang sesuatu dalam lamunan kilat.  "Hai?" Ines mengayunkan telapak tangan di depan wajah si gadis, karena tak mendapat respon atas pertanyaannya.  Gadis itu berdiri memeluk ransel. Satu koper ada di sampingnya. "Saya Disya Kak. Tadi baru kena jambret, tas dan dompet lenyap. Padahal alamat teman saya di sana. Ponsel juga mati karena batrai habis," jelasnya masih sesenggrukan.  Mendengar logatnya, Ines pikir Disya fasih berbahasa Indonesia dengan intonasi khas anak metropolitan. Namun, ia agak ragu melihat banyaknya barang bawaan Disya. "Kamu asli Jakarta atau baru merantau di sini?" tanyanya ingin memastikan. Sebelum ia berpikiran terlalu jauh.  "Ehm, saya dari Jawa Timur, Kak. Ke Jakarta buat cari kerja."  "Bentar. Orang Jawa Timur mana? Logat kamu nggak kayak orang sana, kamu nggak lagi bohong karena kabur dari rumah kan?" terka Ines mulai sadar sesuatu.  Setelah menelaan beberapa menit dan mendapat jawaban ambigu tak berdasar pasti, ia yakin ada yang kurang beres. Sebagai warga asli Jawa Timur, ia hafal dan bisa dengan mudah mengenali penduduk lokal sejawatnya. Jelas saja Disya tak memlerlihatkan ciri khas tersebut.  Disya meringis dan menggaruk dagu. Kebiasaan bila ia gerogi atau ketahuan berbohong. "Kok Kakak tahu sih?"  Ines menghela napas pendek, menggelengkan kepala tak percaya. "Aku juga pernah kayak kamu kali. Lagipula, aku orang asli sana, pasti tahu bedanya cara bicara orang-orang sana," jelasnya.  "Kak, saya bukan orang jahat kok. Cuma butuh sedikit bantuan. Saya juga nggak habis kejambretan. Tadi cuma acting aja biar agak dikasihani," jelasnya tanpa tedeng aling-aling.  "Kayaknya sih gitu. Kelihatan kamu bukan orang jahat, tapi anak muda yang nekad tanpa pikir panjang. Ditambah, mungkin lagi putus cinta."  "Ish, kakak ini kok bisa baca pikiranku sih? Peramal ya? Atau indigo? Wah!"  Ines berdecak heran. Gadis muda di depannya mudah sekali berubah perangai. "Kamu mau ke kontrakanku dulu? Mungkin bisa isi batrai hapemu buat hubungi temanmu," tawarnya dilandasi rasa kasihan.  "Boleh, Kak? Beneran? Kakak nggak takut saya penipu? Pencuri? Tukang hipnotis?" Disya menatap takjub pada Ines.  "Buat apa takut? Rezeki nggak ke mana. Kalau niat kita baik, pasti dibalas baik sama Yang Maha Kuasa."  "Hebat! Di Jakarta ternyata masih ada orang sebaik Kakak." Disya mengangkat satu jempol tanda kagum.  Karena senja makin kentara dan langit mulai mendung, keduanya berjalan bersisihan menuju kontrakan Ines. Disya tak punya pilihan lain saat ini. Setidaknya ia harus melanjutkan niat gilanya kabur dari rumah. Ia terlalu malu bila harus kembali ke orang tua setelah apa yang terjadi padanya. Bukan hal mudah gadis kaya raya sepertinya harus meninggalkan segala kemewahan dan kemudahan demi harga diri. Ia merasa bersalah telah melawan orang tua dan memilih sang pacar. Hukum ia terima, pacarnya memutuskan hubungan mereka dua jam lalu usai Disya mengatakan ia pergi dari rumah. Terang-terangan si pria tak berperasaan menegaskan bahwa dirinya mengencani Disya hanya untuk materi dan kelas sosial tinggi. Masih terbayang di ingatan Disya bagaimana pria terkasih yang ia bela dan pilih justru menghujam jantungnya dengan sembilu berbisa. Beracun tapi tidak mematikan. Cukup melumpuhkan persendian batin dan pikirannya.  "Kamu tahu nggak kenapa aku milih ninggalin mereka?! Buat kamu, Adit!" "Aku nggak minta kamu bersikap bodoh, Dis! Jangan munafik deh, mau makan pakai apa kamu sampai berani kabur segala? Kamu pikir aku mau ngurusin kamu?!" "Bukannya kamu bilang mau serius sama aku?! Kamu bisa nikahin aku dan kita tata masa depan kita berdua." "Masa depan kamu bilang? Masa depan yang mana? Jangan kebanyakan halu, keseringan nonton drama Korea jadi blangsak otakmu!" "Kamu kenapa jadi berubah kasar gini sih ngomongnya, Dit?" "Itu karena kamu udah nggak punya apa-apa. Aku nggak butuh cewek manja yang cuma modal diri tanpa materi. Hidup harus realistis, Dis. Kalau masih mau sama aku, balik ke rumah sekarang!" "Kamu mau aku dijodohin sama cowok lain?! Kamu nggak sayang sama aku lagi?!" "Itu jauh lebih baik, ketimbang harus hidup susah bareng kamu nanti." "Keterlaluan kamu, Dit! Harta bisa dicari tapi cinta tulus nggak akan datang dua kali!" "Ya ya, makan aja itu cinta. Dasar cewek halu! Nikmatin aja hidupmu sekarang. Kita putus."  Percakapan mereka terngiang tanpa diundang. Jiwa Disya gundah gulana. Seperti ada jarum menusuk-nusuk palung hatinya. Sakit tapi tak tersentuh. Betapa lapuknya jiwa Disya sekarang. Sudah jatuh terpeleset pula. Ia harus menanggung sakit dan pedih dua kali berturut-turut. Tapi, ia tak menyesal telah menolak rencana perjodohan dari keluarganya. Ia tak mau hidupnya diatur orang lain, sekali pun orang tua sendiri. Kebebasan adalah hal terindah bagi Disya dalam menentukan pilihan beserta masa depan. "Kenapa kabur dari rumah?" selidik Ines begitu mereka sampai di rumah. Ia membuka pintu dengan kunci dan mempersilakan Disya masuk lebih dulu. "Nggak mau jadi Siti Nurbaya, Kak." "Dijodohin?" "Iya." "Cowoknya nggak jelas?" "Nggak tahu sih, Kak. Belum ketemu dan belum kenal juga." Ines menyuruh Disya duduk, sementara ia ke dapur mengambil minuman. Setelah meletakkan tas di kamar, Ines membuat teh hangat dan membawanya ke ruang tamu untuk disuguhkan. Tak ketinggalan setoples wafer Khong Guan kesukaannya. "Minum dulu nih, seadanya nggak apa ya?" "Makasih, Kak." Disya segera menyeruput perlahan minuman dalam gelas. Ia menahan kesedihan sampai lupa kerongkongannya kering kerontang bagai kemarau panjang. "Kak Ines udah lama kerja di perusahaan Cakrawala?" Ines terbengong. Ia kaget Disya tahu tempat kerjanya. "Kok kamu tahu aku kerja di sana? Tahu namaku juga?" "Oh, itu tadi sempat lihat name tag Kakak." "Iya ya, lupa masukin tas. Lumayan baru setahun sih di kantor pusat. Sebelumnya di kantor cabang Tangerang sekitar tiga tahun."  "Kenal Gibran Cakra Rakabumi?"  Ines memutar bola mata. Menyalakan memori dalam isi kepala untuk mengingat nama yang disebutkan. Rasanya tak asing tapi juga tak familiar. "Kayaknya nggak kenal deh. Siapa itu? Karyawan di sana juga?" jawabnya jujur.  Disya membelalakkan mata mendengar hal demikian. "Serius Kakak nggak kenal? Padahal karyawan paling populer loh, Kak." "Iya, nggak kenal. Mungkin beda divisi? Memangnya kamu tahu tentang perusahaan tempatku kerja?"  "Sedikit banyak tahu, Kak. Sering muncul di pencarian internet dulu pas garap tugas kampus tentang bisnis," dalih Disya asal.  Perbincangan tak berlangsung lama. Ketika azan Maghrib menggema dan gerimis turun. Ines undur diri untuk segera mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Ia mengajak Disya dan keduanya salat bersama di kamar Ines.  Malam makin larut. Jam di dinding menunjuk pukul dua belas lewat seperempat. Ines sudah lelap di atas peraduan empuk. Sementara Disya terjaga di ruang tamu sambil berkirim pesan dengan temannya. Ia meminta dijemput tapi si teman bilang besok saja sekalian.  Perhatiannya teralihkan ketika telinganya mendengar sura deru mobil cukup halus. Ia mengintip dari balik jendela dengan menggeser tirai putih yang menghalangi. Mulanya biasa saja karena sesosok perempuan turun dari mobil. Hingga seorang pria ikut turun menghampiri dan mengecup cepat bibir si perempuan, barulah Disya terlonjak kaget. Ia memastikan lagi barangkali ada kesalahan dengan penglihatannya. Atau bisa saja ia salah mengira orang.  Sayangnya, semakin diperjelas justru ia semakin yakin pria itu adalah orang terdekat yang dikenal.  "Kak Zidan!" pekiknya menutup mulut sendiri. Emosinya melonjak naik sembilan puluh persen, sisanya sekuat hati ia tahan agar tak memaki di tengah malam buta begini. Masih tak menyangka pria tersebut adalah kakak iparnya.   =======♡Secret Lover♡======= Hai, apa kabar? Duh, aku menunggu komen-komen kalian loh. Hehe. ============================
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN