Bab.1 - Pertemuan Singkat

1441 Kata
Sesuatu terlihat benar hanya dengan satu obrolan tak pasti. Terkadang semua jadi sulit terkendali dan hanya bisa diterima oleh naluri tanpa sempat membela diri ...   ***  Suara derap langkah sibuk beberapa orang mondar-mandir dengan mesin fotokopi, menjadi alunan intermezo di antara desas-desus yang seakan menggema sebagai intro utama. Di masing-masing kubikel mereka berkutat dengan komputer, sembari mengoceh tanpa meninggalkan pekerjaan. Seiring jari menari di atas papan ketik, bersamaan itu pula lidah mereka berujar tak pandang bulu.    Gadis berambut ikal sepundak mengunyah permen karet seraya mengoceh kesal. "Kerjaan numpuk terus nggak ada habisnya! Belum lagi komplain soal persediaan barang yang belum keurus! Pusing gue!"   "Sabar, Icha. Nanti juga pasti selesai. Kerjainnya harus dengan keikhlasan penuh," balas si gadis berjilbab biru muda dari ujung kubikel.   "Ya mending musingin kerjaan sih ya, daripada musingin suami orang," kata Icha lagi.   Seorang pria memainkan bulpoin usai menumpuk kertas-kertas laporan di sebelah komputer. Ia mengintip sedikit ke kubikel lain. Beruntungnya kubikel tak dihadang kayu atau benda gelap. Lebih memudahkan aksesnya menikmati keindaan di balik kaca bening itu. Meski tetap saja sebagian harus terhalang layar datar. Gadis manis bertahi lalat di pipi kanan yang dipandangi tetap tekun menggarap tugas. Seolah tak peduli obrolan sekeliling. Defta melempar bulpoinnya ke arah Ines. Gadis itu mendengkus tanpa berminat membalas permainan pengagum rahasianya.   "Btw, kalian tahu gosip terpanas minggu ini?!" seru Anisa yang duduk di samping Ines. Terlihat jelas tampang bosannya bertemankan tabel-tabel angka di layar. Ia butuh pengalihan penat sebelum emosi merajalela menyekap dirinya.   Gadis penggila oppa-oppa Korea berkulit mulus seputih s**u Dancow itu mulai menyulut kobaran api. Jelas menghasilkan bara di telinga para garda depan manusia pejuang gosip. Moto mereka, tanpa gosip dunia hampa, tanpa gosip hidup merana, tanpa gosip kita bukan siapa-siapa.   Icha mengangkat tangan setinggi mungkin. Ia adalah salah satu sumber energi terkuat pendukung pasukan ter-update dari bahan cerita yang tengah hangat. Pamornya sebagai si juara berita mungkin bisa disandingkan dengan pembawa acara Silet atau Insert di televisi.   "Ini gosip bukan sembarang gosip! Nyata tanpa mengada-ada. Gue jamin benar dan bisa dipercaya. Kalau di kantor kita, lagi ada pelakor beraksi!" tukasnya menggebu-gebu. Hingga seisi ruangan menoleh penasaran.  "Apaan? Info yang lengkap dong." Anisa tak sabar menunggu kelanjutan. Sepertinya kisah perebut suami atau istri orang memang sedang jadi perbincangan panas belakangan ini.  Icha melirik pintu di depan sana. Memastikan Zidan tak mendengar suara lantangnya. Tentu saja ia harus mengecek kalau-kalau atasannya memang sedang tak di tempat karena rapat di lantai atas, ruang utama gedung untuk pertemuan penting. Atau mungkin Zidan tengah ada di tempat lain, sebab pria itu memang tak terlihat batang hidungnya sejak sekitar pukul setengah sebelas tadi. "Intinya, entah di divisi kita atau divisi lain, ada temen kita main belakang sama bos!" lanjutnya.  "Maksudnya ada yang jadi pacar gelap Pak Zidan?" Anisa ternganga.   "Ya! Kayaknya sih begitu. Semoga aja bukan dari divisi kita. Gue ogah berteman apalagi satu ruangan sama pelakor. Jangan sampai penyakitnya nularin gue!" keluh Icha bergidik.   Ia menganggap skandal hubungan terlarang adalah pandemi yang mengerikan dan harus dihindari. Padahal bukan virus tapi menurutnya lebih menyeramkan karena tak ada obatnya. Kecuali kesadaran diri tentunya.   "Berlebihan lo, Ca! Mana mungkin ruangan sebersih ini dihuni makhluk parasit kayak gitu?! Gue yakin kita semua manusia berbudi dan berakhlak mulia. Ehem." Anisa sok berceramah membanggakan divisinya.   "Hati manusia siapa yang tahu? Bisa aja ada yang pakai topeng malaikat tapi ternyata-"   "Ternyata apa? Demen banget kalian ngurusin hidup orang." Defta mulai agak malas mendengarkan ocehan teman-temannya.   Ines mengusap telinga, jengah mendengar obrolan mereka semua. Ia melirik jam di pergelangan tangan kanan, sudah waktunya jam istirahat. Disimpannya hasil rekap pekerjaan dalam folder dokumen. Kemudian merapikan kertas beserta t***k bengeknya di atas meja. "Ada yang mau makan siang bareng gue?" tanyanya mengalihkan perhatian. "Kayaknya siang-siang gini enak makan soto," ujarnya. Ia langsung dapat antusiasme dari teman-temannya.   Mereka bergegas berdiri setelah memastikan semua data tersimpan rapi. Memang paling ampuh mengalihkan gosip adalah makan siang. Perut lebih memerlukan asupan gizi ketimbang isu yang tak mengenyangkan bukan?  =======  Di kamar hotel 201 pelayan baru saja keluar mengantar pesanan pelanggan setianya. Sepasang kekasih dimabuk asmara berciuman mesra di atas sofa merah. Warnanya menyala terang menyamai gairah keduanya.   "Makan dulu ya, aku lapar." Angel bergelayut manja di lengan Zidan. Ia membenarkan kancing kemeja kuning muda yang terlepas dari lubangnya. Dikecupnya pipi Zidan sekilas, lalu meraih piring di atas meja.   Zidan hanya melenguh malas. Menyandarkan punggung di kepala sofa.   "Kenapa? Aku suapin ya?" bujuk Angel.   "Kamu saja yang makan. Aku lagi nggak nafsu," tolaknya halus.   "Iya, nafsumu sama aku kan?" goda Angel berusaha melayangkan suapan potongan ayam bumbu kari ke bibir Zidan. "Ayo makan dulu."    Tentu saja Zidan tak mampu mengabaikan. Ia mengunyah dan menelan makanan sebisa mungkin. "Angel, aku jenuh ribut terus sama Laras." Ia membuka cerita.   Angel mendengarkan dengan seksama sambil tetap menyuapi Zidan pelan-pelan. Ia paling tahu cara memanjakan pria berhati lapuk itu. Selain dengan cumbuan, Zidan juga lemah dengan sikap penuh kesabaran seseorang.   "Kalau aku tahu dari awal kenyataannya, mungkin kami nggak akan sampai pernikahan."   "Kamu menyesal?"   "Sangat."   "Zidan, menyesali sesuatu boleh aja. Tapi, jangan sampai membenci keadaan berlarut-larut."  "Bukan keadaan yang kubenci, tapi kebohongan dia."   "Apa kamu udah pernah bahas dan tanya langsung ke Laras soal cowok itu? Siapa tahu apa yang kamu dengar nggak sama dengan kenyataan."  "Kamu belain dia?"  "Bukan. Buat apa aku bela dia? Aku cuma nggak suka lihat kamu sedih terus. Sia-sia rasanya aku ada di sini buat hibur kamu."  Zidan menarik seulas senyum tipis. Ketika Angel menyapu bibir dengan lidahnya, hasrat Zidan kembali terpanggil. Ditariknya wajah gadis itu hingga keduanya saling melumat dalam-dalam. Menikmati dinginnya kecupan yang melebur dalam ciuman.   Tangan Zidan naik ke bahu Angel. Terus turun menjelajahi punggung. Satu lagi beralih menyusup di antara celah kancing yang dibuka satu per satu. Meremas belahan d**a yang begitu kenyal dengan penuh gelora.   "Emh ... Zidan, waktu istirahatku nggak banyak ... " sela Angel di tengah lenguhan napas yang memburu minta dipuaskan. Sentuhan Zidan baginya lebih mencandukan dari sekadar obat penenang. Kehangatannya lebih memabukkan dari sekadar alkohol sekelas Devil Springs Vodka yang berkadar delapan puluh persen.   Sementara itu di kantor sebagian karyawan baru saja kembali dari makan siang. Mereka berbondong-bondong naik lift menuju divisi masing-masing. Ines baru saja berbincang dengan resepsionis di lobi. Sekalian ia mengecek paket dari kampung yang sudah hampir empat hari belum diterima. Sepertinya ada kendala di pengiriman, karena ternyata adiknya lupa mencantumkan nama perusahaan tempat Ines bekerja. Ditambah nomor ponsel Ines pun salah satu angka. Barusan sang adik mengabari dan sudah mengkonfirmasi ke pihak ekspedisi. Padahal Ines sudah sangat rindu bumbu pecel asli buatan tangan ibunya. Juga rempeyek kacang olahan neneknya.   "Yaudah deh, nanti tolong kabarin kalau paket saya udah sampai ya, Ris?" pinta Ines.  "Sip, pasti langsung kutelepon ke ruanganmu, Nes."  Ines berbalik melangkah menuju lift, getar ponsel memaksanya beralih pandang ke benda tersebut. Ada panggilan masuk dari adiknya lagi. Ines baru akan mengangkat. Namun, niatnya urung ketika tubuhnya membentur sesosok pria berperawakan tinggi tegap. Ponsel Ines jatuh ke lantai, bisa dipastikan layarnya mungkin agak retak karena bagian depan yang menghadap bawah. Parahnya lagi ada satu ponsel lain ikut jatuh juga.   Bersamaan keduanya berjongkok mengambil alat komunikasi jarak jauh tersebut.  "Yah! Layarnya pecah ... " Ines merutuk sedih.  Si pria membuang napas berat. Ia menatap gadis di depannya lekat-lekat. "Saya bisa ganti ponsel kamu itu. Tapi, apa kamu bisa ganti ponsel saya?" cecarnya dengan nada dingin. Membuat Ines mendongak dan agak gugup. Bukan karena ketampanan si pria yang berhasil menyihirnya. Akan tetapi begitu mengetahui logo ponsel di genggaman si empu. Itu ponsel yang sering Ines tonton ulasan produknya di Youtube. Ia taksir harganya tak murah. Seingatnya di atas dua puluh jutaan.   Ines menelan ludah sebisa mungkin. Jantungnya nyaris copot dibuat was-was. Gajinya tiga bulan belum tentu cukup untuk membeli ponsel sejenis itu.   "Punya saya nggak usah diganti aja, saya yang salah kok," kata Ines.   Pria itu melengos dan berdiri diikuti Ines. Ia membaca nama Ines dari kartu karyawan yang menggantung di bawah d**a Ines. Tapi Ines salah paham, mengira pria tersebut sengaja memandangi bukit eksotisnya. Spontan ia pun melingkarkan dua lengan menghadangi belahan dadanya.   "Kamu pikir saya tertarik dengan hal itu?" sindir si pria bermata legam. Ia berdecak seraya menarik guratan senyum heran.   "Dasar m***m!" celoteh Ines kesal. Ia berlalu tanpa peduli pria itu lagi.   "Pak Gibran, mobilnya sudah siap." Seseorang menghampiri dengan sangat sopan.   "Barusan dia menghina saya?" Gibran bermonolog setengah tak percaya.   Asistennya bingung. "Maaf, maksud Pak Gibran apa?" tanyanya.   "Forget it," balas Gibran. Ia berjalan sambil mengurut kening. Memasukkan ponsel ke dalam saku celana, masih dengan perasaan tak terima dibilang m***m oleh karyawannya sendiri.  "Bisa-bisanya ada karyawan yang berani sama saya!" Gibran mendumel.  "Iya, Pak? Siapa yang berani, Pak?"  Gibran tak menggubris kebingungan asistennya. Ia lanjut jalan dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana.  "Ines Amalia ... " gumamnya menyebut nama yang ia catat dalam ingatan.  "Kalau ada kesempatan lagi, lain kali saya akan bikin kamu kenal siapa saya!" rutuknya jemu.   =======♡Secret Lover♡=======  Jangan lupa love dan komennya ya, supaya saya makin semangat garap naskahnya. Terimakasih para pembaca setiaku. Semoga sehat selalu dan bahagia selalu tanpa kekurangan suatu apapun. #senyum   =======  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN