"Kau adalah terang dalam setiap kegelapan yang melingkupi hatiku. Tak dapat kubayangkan bagaimana aku akan menjalani dunia, jika saja itu tanpamu." ~Evander Yudiswara.
***
Taksi yang ditumpangi oleh Evander memelan setelah hampir lima belas menit menempuh perjalanan.
Hujan tampaknya masih belum berkenan untuk pergi dari bumi, saat kini Evander bisa menduga-duga bahwa air hujan itu mungkin akan terus turun hingga besok pagi.
Merogoh ke dalam dompetnya yang setengah basah, lelaki itu mengeluarkan beberapa lembar uang tunai sebagai pembayaran dari jasa taksi yang membantunya berpindah tempat kini.
Mengucapkan terima kasih dan menolak kembalian yang hendak disodorkan oleh sang pengemudi, Evander bergegas membuka pintu. Menangkup satu tangannya untuk menghindari hujan yang terus menetes, Evander kini berlari untuk mencari tempat berteduh.
Berdiri beberapa saat di tepian salah satu rumah susun yang memiliki banyak kamar untuk para pengontrak, lelaki itu menengadahkan kepala untuk memeriksa sesuatu.
Mendapati cahaya lampu dari salah satu jendela masih tampak terang, lelaki itu begitu saja melengkungkan senyuman. Tidak peduli dengan hal ataupun fasilitas yang baru saja ia lepaskan dari genggaman tangannya, sebab yang penting bagi Evander hanyalah perempuan itu.
Gladys Amara, seseorang yang dia cintai dengan sepenuh hatinya.
Gladys Amara, seseorang yang terus mengulurkan tangan padanya tidak peduli apa pun yang terjadi.
Gladys Amara, satu-satunya perempuan yang tidak memandang Evander dari apa yang lelaki itu memiliki.
Dan jangan tanyakan bagaimana Evander menyimpan cinta untuk perempuan itu, sebab kini seluruh dunianya hanya berpusat pada Gladys saja.
Kembali menerobos hujan, Evander berlari secepat yang ia bisa untuk menaiki anak tangga hingga membawanya tiba di lantai keempat gedung bertingkat itu. Menyusuri lorong, Evander bahkan terus merasakan jantungnya berdegup kencang setiap kali ia akan menemui Gladys.
Tepat berhenti di salah satu pintu dengan gantungan berbentuk boneka beruang kecil di atasnya, Evander mengetuk pintu dua kali.
"Sayang...," rintihnya pelan. "Ini aku...."
Jeda beberapa saat sebelum pintu yang tadinya tertutup itu kini terbuka, Evander melemparkan senyuman persis ketika sosok Gladys kini berada di hadapannya.
"Evan?!" Gadis itu tampak kebingungan, terlebih kondisi Evander kini tampak basah kuyup dan pastinya kedinginan. "Hei, apa yang terjadi? Mengapa kau basah kuyup seperti ini?"
Kepalanya mulai berdenyut sakit, namun Evander masih membiarkan senyum membingkai wajah. Tidak peduli dengan rambutnya yang kini lepek akibat air hujan, lelaki itu maju dan begitu saja merangkul Gladys ke dalam dekapannya.
"Sayang, ada apa?" Membiarkan tubuh basah Evander bersandar pada dirinya, Gladys mundur untuk membiarkan pintu tertutup. "Kenapa hujan-hujanan? Gimana kalau sakit?"
Senyum Evander semakin merekah, selaras dengan dirinya yang semakin yakin bahwa ia telah memutuskan sesuatu yang sangat tepat malam ini.
Tidak ada yang pernah mengkhawatirkannya seperti Gladys, dan berada di pelukan perempuan itu adalah hal terbaik yang selalu Evan dirindukan.
"Aku merindukanmu," bisik lelaki itu tanpa melepas pelukan mereka. "Setiap detik, setiap waktu, dan dalam setiap helaan napasku."
Meski tidak tahu apa yang terjadi dengan sang kekasih, namun Gladys lantas memberi senyuman untuk lelaki itu.
"I know it perfectly," balas Gladys berbisik. Tangan perempuan berambut pendek itu mengusap punggung kokoh Evander yang kini basah, sebelum mengurai dekapan mereka.
Manik Evander berubah teduh, memandangi betapa perempuan miliknya itu selalu tampil cantik setiap kali mereka bertemu. Meski hanya mengenakan sebuah kaus dan celana sebatas lutut yang mungkin dibeli Gladys dengan kupon diskon, tetapi perempuan itu sungguh bersinar dengan cara yang tidak bisa dia duga.
"Ganti bajumu lebih dulu, Evan," pinta Gladys. "Akan kubuatkan teh hangat untukmu, hmm? Kau ingin kopi atau s**u?"
"Teh saja, Sayang."
Gladys sudah berbalik, meraih handuk di gantungan untuk ia serahkan pada Evander. Ruangan itu memang tidak besar, tetapi cukup untuk kamar mandi berukuran kecil dan sedikit dapur.
Menerima uluran handuk dari Gladys, Evander maju untuk mengecup singkat pipi perempuan itu. "Thank you."
"Pergilah berganti," ujar Gladys lagi. "Akan kubawakan kau baju ganti."
Mengangguk, Evander juga sudah merasa tubuhnya mulai menggigil. Hujan deras tadi meninggalkan sesuatu yang kini berdenyut di dalam kepalanya, dan dia tidak ingin semakin kedinginan saat malam kian beranjak naik.
Melepaskan baju basahnya di kamar mandi, Evander membiarkan air dingin mengucuri seluruh tubuh. Ini bukan pertama kalinya lelaki itu mandi di tempat Gladys, tentu saja. Dia bahkan memiliki beberapa baju ganti di lemari sang kekasih.
Pikiran lelaki itu menerawang jauh seiring kucuran air yang terus mengalir, dan tiba-tiba saja sebuah rencana terlintas di benaknya. Menyegerakan aksi berbersihnya, lelaki itu keluar dengan aroma sabun mawar tidak lama kemudian.
"Sudah selesai?" Gladys telah menyediakan segelas teh hangat di atas meja, yang berada tepat di atas karpet berbulu persis di sebelah ranjang. "Bajumu, Evan."
Menunjuk pada tumpukan kaus dan celana pendek milik Evander di atas ranjang, Gladys sudah terbiasa menjadi saksi ketika lelaki itu berpakaian. Handuk yang tadi menutupi batas sepinggang Evander kini meluncur turun, berpindah pada Gladys saat Evander telah mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman.
"Kemarilah, Glad." Evander lebih dulu duduk bersandar di tepian ranjang, menghadap pada meja lipat kecil dengan segelas teh di atasnya. "Ada hal yang harus aku sampaikan padamu."
Setelah meletakkan baju basah Evander ke dalam ember dan menggantung kembali handuk yang digunakan lelaki itu tadi, Gladys mendekat. Meringkuk ke dalam pelukan Evander yang kini tercium wangi aroma sabun miliknya, perempuan itu tersenyum.
"Aku di sini," katanya berbisik. "Kenapa nggak nelepon lebih dulu? Dari mana emangnya tadi?"
Evander membiarkan lengan kokohnya menjadi sandaran, saat lengannya sendiri kini bergerak untuk meraih temote televisi yang sedang menyala. Pastilah Gladys sedang menonton sebelum ia datang tadi. Mengecilkan volume suara tanpa mematikan siaran itu, Evander beralih untuk mengusap lembut lengan kekasihnya.
"Gladys, aku...."
Mendongak, Gladys memandangi wajah Evander yang malam itu tampak terlalu serius.
"Ada apa?" tanya perempuan itu lembut. "Sesuatu telah terjadi?"
Anggukan Evander membuat dugaan Gladys terjawab.
"Aku ... bertengkar dengan ayahku," ucap Evander pelan sekali. "Sampai kapan pun dia takkan memihak pada kita, Sayang. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba menjadi anak terbaik untuknya, itu semua takkan berarti apa-apa."
Gladys terdiam. Hubungannya dengan Evander Yudiswara yang merupakan pewaris dari jaringan hotel raksasa Yudiswara, tentulah menuai berbagai kecaman. Tidak hanya di kampus di mana mereka sama-sama menuntut ilmu, namun juga dari komunitas dan lingkup pertemanan Evander.
Tak sekali dua kali Gladys mendengar perkataan orang-orang tentang dirinya yang dicap materialistis, namun kini perempuan itu telah mengabaikan itu semua. Sebab bukan seperti itulah yang sebenarnya terjadi. Tidak sama sekali.
"Lantas?" Gladys setengah berbisik. "Kau seharusnya tidak melawan ayahmu, Evan. Kita kan tahu bahwa--"
"Tidak," sela Evander cepat. "Aku takkan bertahan lagi dengan dia yang tak sama sekali peduli pada kita, Glad!"
Nada suara lelaki itu meninggi setengah oktaf. Membuat Gladys kini mengerjap samar, bingung harus mengatakan apa untuk menanggapi hal yang terjadi.
"Tapi tetap saja, Van," Gladys berusaha tidak memihak salah satunya. "Kau harus mendengarkan--"
"Aku telah memilihmu," ujar Evander memotong. Manik hitamnya menembus ke dalam manik Gladys yang berwarna hitam samar, seakan sedang mengalirkan perasaan cinta yang membuncah.
"A-apa?"
"Aku meninggalkan semuanya untukmu," ujar Evander. "Glad, aku bisa saja merelakan semuanya. Mobil, rumah, kartu kredit, dan semua fasilitas yang memang diberikan ayahku selama ini. Tapi apa kau tahu?"
Jemari Evander mengusap pipi kekasihnya perlahan, seakan memang ingin mengatakan semua hal yang ia pendam untuk perempuan itu.
"Aku takkan bisa tanpamu," bisik Evander lirih. "Tidak peduli apa pun, tak pernah terpikirkan olehku akan hidup tanpa kau. Oleh sebab itulah, aku telah memilih untuk tetap bersamamu, Glad. Tetap berdua menjalani masa depan kita yang membentang."
Gladys kehilangan kata-kata. Ini bukan yang pertama kali Evander mengatakan hal-hal indah padanya, tetapi sungguh tidak pernah diduga oleh perempuan itu bahwa dia akan tetap jadi pilihan untuk kekasihnya.
"Kau memilih?" Gladys mulai bersuara setelah hening beberapa detik. "Memilih apa yang kau maksud?"
Evander sempat memenuhi dirinya dengan cukup udara, sebelum kemudian mengatakan fakta yang baru saja terjadi antara dia dan sang ayah.
"Ayahku meminta agar aku memilih antara dua hal, Glad," ungkap lelaki itu tanpa ingin menyembunyikan apa pun dari Gladys. "Antara kau atau kehidupanku, aku harus memilih salah satu."
Bagai dihantam batu besar, Gladys tidak tahu bahwa hal seperti ini akan menimpa kisah cintanya bersama Evander. Meski sejak awal mengetahui bahwa dia dan lelaki itu berasal dari dua tempat yang berbeda, namun sungguh Gladys tak pernah terpikir segalanya akan serumit ini.
"Evan...."
"Dan dengan adanya aku di sini, tentulah kau telah mengetahui apa jawabanku, kan?"
Evander meraih tangan kekasihnya, untuk ia genggam sebelum ia berikan satu kecupan hangat di sana. Percakapan mereka tadi berlangsung cukup serius, hingga bahkan Evander belum sama sekali menyentuh teh yang diseduh Gladys sejak tadi.
Mendapati kekasihnya masih tampak kebingungan, Evander menganggukan kepala untuk menenangkan perempuan itu.
"Aku hanya membutuhkan kau saja, Gladys," ungkapnya sangat tulus. "Tidak peduli dengan apa yang aku tinggalkan, kita akan baik-baik saja selama kita bersama."
Meski telah menyerahkan segala fasilitas dan kemewahan yang diberikan oleh sang ayah padanya, tentulah keputusan Evander ini didasari karena lelaki itu merasa mampu untuk menghadapi hari esok bersama Gladys.
"Aku menyerahkan semua kartu kepada ayahku," sambung Evander lagi. "Tetapi ada satu tabungan yang tak pernah kuberitahukan padamu, dan itu sepertinya cukup menjadi pegangan kita hingga kita lulus kuliah dan bekerja nanti."
Gladys benar-benar membisu. Jika ada sesuatu yang dapat mengukur betapa dalamnya seseorang mampu mencintai, Gladys yakin bahwa Evander mungkin akan memiliki skor yang cukup tinggi.
Berkaca-kaca manik perempuan itu, dengan lidah yang masih kelu karena tidak tahu harus bereaksi ataupun mengatakan hal apa untuk masalah ini.
"Sayang, aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan--"
"Tidak perlu," sela Evander cepat. Menarik tubuh Gladys untuk mendekat ke dalam pelukannya, lelaki itu mengalirkan rasa hangat dari hawa tubuhnya. "Percayalah padaku, bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ada satu hal yang harus kita lakukan dalam waktu dekat ini."
Gladys berbisik pelan. "Melakukan apa?"
Melepaskan pelukan mereka, Evander menatap bola mata kekasihnya lekat-lekat.
"Dengarkan aku, Sayang," ucap Evander pelan. "Ini mungkin tidak romantis, atau tidak seperti yang kau pikirkan. Tetapi mari kita ... menikah."
Demi apa pun, Gladys lagi-lagi tak menduga Evander akan mengudarakan kata itu saat ini. Mereka memang berniat untuk menikah, tentu saja, sebab tiga tahun telah keduanya lalui bersama hingga detik ini.
Maniknya yang melebar membuat Gladys benar-benar terperangah.
"Aku tak ingin kehilanganmu," bisik Evander mendekat. Mencuri satu kecupan di pipi kanan Gladys, lelaki itu kembali bersuara.
"Demi kita, menikahlah denganku, Gladys. Ayo keluar kota besok pagi, kita akan kunjungi pamanku untuk menikah di sana." Genggaman tangan Evander pada tangan Gladys mengerat. "Dan setelah pernikahan menyatukan kita, takkan ada satu orang pun yang mampu memisahkan. Kau mau?"
Dengan segala hal yang beruntun datang, harus Gladys akui bahwa dia masih cukup terkejut. Namun permintaan Evander ini bagaikan oase di padang pasir untuknya, saat ia pun tak pernah membayangkan akan hidup tanpa lelaki itu.
"Kita berangkat besok pagi dengan kereta api pertama," bisik Evander yakin. "Bawa barang-barang yang kau perlukan. Aku mungkin akan ke tempat Dikta untuk meminta bantuannya lebih dulu, kita bertemu di stasiun besok, ya?"
Rencana itu terdengar sempurna untuk Gladys. Sama seperti Evander yang berkata tidak ingin melepaskannya, maka ia juga takkan melepaskan lelaki itu.
Memberi anggukan, Gladys setuju.
"Baiklah, aku akan melakukannya," ucap perempuan itu sama yakinnya. "Setelah ini, kita akan terus bersama-sama, kan?"
Evander tidak perlu mengatakan apa-apa, sebab kini lelaki itu menangkupkan kedua tangannya di pipi Gladys. Memagut bibir perempuan itu dengan gerakan lembut, Evander melepas setelah beberapa saat.
"Kita akan terus bersama, Sayang," janji lelaki itu. "Kau dan aku, akan selalu saling bergandengan tangan tak peduli apa yang terjadi."
Dan Gladys benar-benar mempercayai hal itu hingga malam berakhir, sebelum harapan itu akhirnya menghancurkan hatinya berkeping-keping.
~Bersambung