Chapter 3 - Confusing

1980 Kata
"Sepanjang malam, kita adalah objek yang tak lepas dari pikiranku. Tak sedetikpun aku melepaskanmu dari benak ini, sebab kau adalah semuanya." ~Evander Yudiswara. *** Mobil Dikta terlihat merapat ke jalur jalan tempat di mana indekos Glayds berada. Membuang puntung rokok yang masih tersisa setengah melalui celah jendela yang sedikit terbuka, lelaki berambut agak gondrong tersebut menyeringai di sela-sela hujan yang belum sepenuhnya berhenti. Aspal yang basah di bawah sana terasa dingin, selaras dengan suasana yang tampak terlalu sepi untuk ukuran indekos anak-anak kuliahan. Menekan salah satu tombol di setir kemudinya, Dikta membiarkan nada hubung menemani malam itu. "Halo?" "Van, gue di bawah," ucap lelaki itu cepat. Kepalanya tertunduk untuk melihat-lihat ke arah lantai dua, tepat di mana sahabatnya sedang berada sekarang. "Cepetan turun." "Okay, tunggu sebentar, Ta." Mematikan sambungan singkat itu, Dikta menghela napas. Memandangi layar ponselnya dengan pemandangan salah satu tempat wisata Bali yang menjadi wallpaper, lelaki itu menempelkan punggung pada sandaran kursi. Hingga beberapa menit kemudian, seorang lelaki muda yang sepantaran dengannya, begitu saja datang dan mengitari bagian depan mobil. Menuju ke arah sisi yang lain, sebelum tangannya menarik handle pintu. "Sorry, udah lama nunggu lo?" Evander mengibas pakaiannya yang terkena rintik-rintik air. Sudah berganti pakaian dari yang basah kuyup tadi, lelaki itu bahkan tampak segar saat Dikta malah terlihat mulai mengantuk. "Mana mobil lo?" Dikta menghidupkan mesin, menuntut jawaban untuk tingkah absurd Evander yang dirasanya terlalu aneh. Lelaki itu punya banyak jenis mobil yang terparkir di garasi, lalu mengapa meneleponnya untuk minta dijemput segala, coba? "Ceritanya agak panjang," Evan bersuara, tak lama setelah Dikta menginjak gas di bawah sana untuk membuat mobil itu berjalan. "Nanti gue ceritain, Man. Tapi sekarang, bisa kita makan dulu? Laper banget, Ta." Dikta hanya bisa geleng-geleng kepala. Kelakuan temannya tersebut membuatnya hilang kata-kata. Namun tak menolak, dia akhirnya mengiyakan. "Ke kafe aja, gimana?" Dikta menawarkan opsi yang menurutnya paling masuk akal. Hampir pukul dua belas malam, dan tentulah pilihan rumah makan yang tersedia sudah tak banyak lagi sekarang. "Oke, terserah lo aja. Gue ikut." Membuka jendela di sisi di mana dia duduk, Evander menatap kosong ke arah luar. Meski hanya membuka jendela itu seperbagiannya saja, setidaknya udara malam yang berhembus dan suara hujan yang terdengar, cukup membuat lelaki itu merasa lebih baik. Memandangi gelapnya malam, Evander mengingat kembali keputusan penting yang dia ambil beberapa jam lalu. 'Apa kau akan bertahan dengan pilihanmu ini, Evan?' tanya lelaki itu pada dirinya sendiri. Menumpukan tangan di pinggiran jendela, Evander tenggelam dalam lamunan. 'Apa kau bisa membahagiakan Glayds, jika kau tak memiliki apa-apa?' batinnya kembali bertanya. Bagaimana dia bisa memenuhi segala kebutuhan perempuan itu, jika dia harus berdiri di atas kakinya sendiri? Amarah dan ketidakjernihan pikiran mungkin sudah membawa Evander pada keputusan yang cukup ambigu. Sekalipun, lelaki itu tak pernah membayangkan akan meninggalkan kehidupannya, tempat di mana dia terbiasa dibesarkan dan dipenuhi segala kebutuhannya. Sejak kecil, Evander Yudiswara sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pewaris. Dialah satu-satunya anak yang tersisa dari garis keturunan Tomi Yudiswara, sang ayah yang ternyata tak pernah memikirkan perasaan Evander sama sekali. Yah, setidaknya seperti itulah yang Evander pikirkan. Sebab rasanya tak pernah ia meminta sesuatu pada ayahnya tersebut, selain keinginan agar gadis pilihannyalah yang akan mendampinginya hingga akhir. Perjodohan bodoh itu terasa tak masuk akal untuk Evan, saat dia bahkan tak mengenal siapa wanita yang akan tidur di ranjangnya nanti. Bagaimana dia bisa melanjutkan hidup jika harus mengalami hal seperti ini? Lamunan itu masih terus membumbung naik, hingga tak sadar mobil yang dikemudikan Dikta sudah berbelok ke salah satu ruko di depan sana. Dikta memilih Glorious Cafe sebagai tempat pemberhentian mereka, sebab baik dirinya dan Evan, sudah mengenal baik dengan sang pemilik sekaligus pengelola, Lefrand. Kafe itu sebenarnya tak buka hingga pagi menjelang, namun biasanya akan tutup sepenuhnya setelah waktu menunjukkan pukul dua pagi. Bersamaan turun dari mobil, Evan dan Dikta berjalan bersisian untuk kemudian mendorong salah satu sisi pintu. "Lef!" Suara Dikta menggema. Kaus polos berwarna navy yang dikenakan lelaki itu tampak amat pas melekat di tubuhnya. "Ada yang kelaperan, nih! Masakin sesuatu napa?" Seorang pria dengan apron yang masih tersemat di bagian depan tubuh, kini mengintip dari sebalik meja dapur. Tersenyum saat mendapati dua lelaki lain yang merupakan teman sepermainannya, Lefrand bergegas meninggalkan tumpukan bahan-bahan makanan yang masih berada di atas meja. Menghampiri Evan dan Dikta, yang malam itu sudah menduduki salah satu sofa santai. Tak banyak pengunjung yang masih tersisa, dan oleh sebab itulah Dikta dapat sesuka hati berteriak. "Eh, dari mana lo orang?" Lefrand melepas apron yang ia kenakan. "Van?" Evander menyeringai. Menyandarkan kepala yang terasa cukup berat di sandaran kursi, lelaki itu tampak suntuk. "Bikinin makan, Lef," pinta Evander seperti anak TK pada sang ibu. "Gue belum makan dari pagi kayaknya." Seperti Dikta yang sejak tadi sudah geleng-geleng kepala, maka hal itu jugalah yang dilakukan Lefrand kini. Berdecak, namun akhirnya lelaki itu menerima permintaan sang teman. "Tumbenan banget tengah malam mampir." Kali ini mendekat ke arah Dikta, Lefrand berusaha mencari informasi. "Tu anak kenapa, Ta? Tumben mukanya kusut amat kek baju belom disetrika?" Sengaja berbisik pada Dikta, Lefrand tak ingin mengganggu Evan yang terlihat sudah memejamkan mata dengan kepala menengadah ke langit-langit kafenya. Pasti ada sesuatu yang terjadi, Lefrand dan Dikta sama-sama menyimpulkan. Sebab biasanya, Evan tak bertingkah seperti ini. "Entah," jawab Dikta seadanya. Mengeluarkan kotak rokok, lelaki itu sudah bersiap untuk menyalakan api di ujungnya sana. "Kayaknya sih, mungkin lagi tengkar kali ya. Tapi tadi gue jemput dia di kosannya Gladys. Dan dia baik-baik aja, malah minta makan." Embusan nikotin yang disebar Dikta melayang ke udara, selaras dengan bahunya yang terangkat kemudian. Tak lagi mencari jawaban atas pertanyaan yang membelenggu di benaknya, sang pemilik kafe itu akhirnya memilih untuk berlalu. Menuju dapur, berbicara pada koki mereka untuk menyiapkan makan malam yang sangat terlambat untuk seseorang yang tampak galau di luar sana. Jika Evan menghabiskan malam itu bersama Dikta dan Lefrand, maka Gladys tenggelam dalam lamunan yang hampir serupa di tempat berbeda. Memegangi, bahkan memeluk guling bulu yang berbentuk beruang di dekapan, Glayds tak bisa memejamkan mata. Apa yang dikatakan Evander tadi terasa seperti mimpi, saat Gladys sungguh tak pernah menyangka hal-hal seperti ini akan terjadi padanya. "Aku tahu hubungan ini pasti takkan mudah," perempuan itu bergumam dengan nada suara yang cukup kecil volumenya. "Tapi, apakah kami melakukan hal yang tepat?" Setiap halnya berputar dalam pikiran perempuan itu, saat Gladys pun tak yakin apakah keputusan yang telah terlanjur diambil kekasihnya tersebut, benarkah adalah keputusan yang benar? Menghela napas berulang kali, Gladys membasahi bibir dengan lidah yang terjulur. Setiap hal yang mereka miliki, yang dia dan Evander miliki, terasa terlalu nyata untuk dilepaskan begitu saja. Dan keputusan yang mereka ambil tadi, pasti akan membawa keduanya pada masalah yang lebih buruk lagi. Kegalauan melanda hati perempuan cantik itu. Bertemu dengan Evander Yudiswara adalah sesuatu yang bahkan tak pernah Gladys impikan, sebab dia hanyalah seseorang dengan banyak sekali kekurangan dan keterbatasan. Namun, semesta ternyata memilihnya. Evander jatuh cinta pada perempuan lembut itu sejak pandangan pertama, dan begitu saja sang pewaris tahta mempertaruhkan segala hal yang ia miliki untuk dapat membuat Gladys menjadi miliknya. Tak dengan mudah mendapatkan hati perempuan itu, Evander meninggalkan segala kemewahan, yang ternyata memang tak diinginkan oleh Gladys. Sebab itulah di mata Evander, Gladys sangat berbeda. Dia telah jatuh cinta pada seorang wanita yang mungkin takkan dia temui di belahan dunia lain, yang sama sekali tak melihat dirinya hanya karena bergelimangnya harta yang dimiliki lelaki itu. Beberapa kali penolakan yang diterima Evander, sepertinya cukup untuk membuktikan bahwa Glayds bukanlah perempuan yang gila akan kemilau dunia. Hingga, kejadian itu mempertemukan kembali mereka. Hingga, akhirnya Gladys membuka hati dan mencoba menerima keberadaan Evander di sekitarnya, hingga tiga tahun pula sudah kisah cinta mereka tersulam indah. Dan kini, batu terjal tengah menunggu di depan sana. Berganti posisi, Gladys memilih untuk kini berbaring miring. Mengerjap-ngerjapkan manik yang dibingkai bulu mata lentik secara alami tersebut, Gladys tak bisa menahan diri untuk tak meraih ponsel yang terletak di atas nakas. Bersebelahan dengan lampu meja yang menjadi teman tidurnya, perempuan itu memilih nomor kontak sang kekasih. Menekan tombol panggil, Gladys menunggu hingga panggilan mereka tersambung. "Sayang?" Suara khas Evander menggema, menelusup melewati gendang telinga perempuan itu hingga membuatnya merasa jauh lebih baik. "Van?" Gladys menahan napas. "Lagi di mana?" Terdengar suara beberapa orang yang sedang berbicara di belakang sana, saat Gladys mengerutkan kening tak sadar. "Lagi di kafenya Lefrand, Sayang," jawab Evander. "Berisik, ya? Bentar aku pindah dulu." Terdengar suara Evan di ujung telepon yang meminta agar Dikta menggeser kaki, hingga kemudian berangsur-angsur sambungan telepon itu terdengar sunyi. Yang berarti bahwa, Evan sudah berpindah posisi demi kualitas telepon yang lebih baik. "Sayang?" Bagaimana Evander selalu memanggilnya dengan panggilan sayang, membuat hati Gladys selalu menghangat. Jika dibandingkan satu sama lain, Evanderlah yang selalu memanggil Gladys dengan panggilan mesra, saat Gladys terbiasa memanggil lelaki itu dengan potongan namanya. Van. Atau, Evan. Atau, Evander. Jika dia sudah marah atau murka, maka Gladys akan memanggil kekasih hatinya tersebut dengan nama belakang Evander, Yudiswara. "Hmm?" Gladys berdeham samar. "Masih di kafe? Jadi makan sama Dikta?" "Iya, baru selesai makan." Evan menduduki sebuah bangku di ruangan outdoor, yang masih terasa sedikit basah akibat terkena rembesan hujan. "Kenapa belum tidur? Bukankah kita akan bertemu besok pagi-pagi sekali, hmm?" Gladys tahu dia sudah mencintai lelaki itu bertahun lamanya. Dia tak pernah mempertanyakan rasa cinta yang mereka miliki, sebab dia merasa Evander adalah laki-laki yang memang dikirimkan semesta untuk berada di sisinya. Dan telepon-teleponan seperti ini sungguh bukanlah sesuatu yang awam lagi bagi Gladys dan Evan, sebab rasanya sudah ribuan kali mereka mengalami hal demikian. Tetapi entah mengapa, yang kali ini terasa berbeda. Gladys menyukai bagaimana Evander selalu berucap lembut padanya. Gladys menyukai bagaimana lelaki itu menunjukkan perhatian, yang membuat hati Gladys lagi-lagi menghangat. "Aku merindukanmu," ucap perempuan itu begitu saja. Tak tahu mengapa, tiba-tiba saja air matanya merebak dan berkumpul di sudut kelopak. "Besok, kau berjanji akan membawaku pergi, kan?" Evander menahan napas. Segalanya pasti tak mudah untuk Glayds, terlebih gadis itu mengetahui bahwa setelah ini, semuanya tak lagi sama. Evan belum memberitahu apa yang terjadi pada Dikta dan Lefrand, saat Gladys tiba-tiba meminta hal ini padanya. "Jangan katakan apa-apa pada Dikta dan Lefrand, Sayang," ucap perempuan itu kemudian. Ucapan yang membuat Evan tertegun, namun ia tak kunjung memberi respon. "Biarkan hal besok kita saja yang tahu lebih dulu," sambung Gladys lagi. "Sebaiknya tak ada yang tahu dulu, Van, hingga kita benar-benar resmi menjadi suami istri. Kau tidak keberatan, kan?" Gladys khawatir akan datang banyak hal yang menjadi penghalang, jika rencana mereka besok terdengar oleh orang lain. "Aku bukan tak mempercayai teman-temanmu, Van," Gladys kembali bersuara. "Hanya saja, kupikir...." "Tak apa-apa, Sayang," Evander menyambung kalimat kekasihnya yang terhenti. Senyum tipis menghiasi wajah lelaki itu, bersamaan dengan rintik hujan yang masih turun ke bumi. "Tadinya aku juga ragu untuk berbicara jujur pada mereka. Ditambah kau yang meminta agar kita menyimpan semuanya, maka biar kita lakukan demikian saja." Evander tak ingin mengecewakan siapa-siapa. Terlebih kekasihnya. Jika Gladys meminta demikian, maka tak sulit bagi Evan untuk mengabulkan hal tersebut. "Baiklah," ucap Glayds di sebrang. Suaranya terdengar berat, disusul dengan helaan napas yang terdengar. "Tidurlah, Sayang," pinta Evan kali ini. "Jangan pikirkan apa-apa, ya. Percayalah bahwa kita bisa melewati semuanya. Sampai bertemu besok, oke?" Gladys ingin sekali menentramkan hatinya yang terus bergejolak. Meski tak sepenuhnya tenang, namun kini perempuan itu sudah cukup merasa lebih baik. "Sampai bertemu, Van," balas Gladys berupaya mengakhiri panggilan telepon mereka. "See you soon, my darling." "Aku ... mencintaimu." Tak menunggu jawaban balasan dari Evander, Gladys buru-buru mematikan panggilan telepon tersebut. Meski sudah tahunan bersama, nyatanya Gladys selalu bersemu saat mengucapkan kata-kata itu untuk sang kekasih. Memegang gawainya kuat, Gladys tersentak ketika sebuah notif pesan masuk ke ponselnya. 'MyVan: I love you too, Sayang. To the moon and back. Mimpiin kita ya.' Dengan senyum yang kini mulai merekah, Gladys ingin sekali percaya bahwa semesta sedang mempersiapkan takdir terbaik untuk mereka. Dia ingin percaya bahwa apa yang mereka impi-impikan, dalam beberapa jam lagi akan jadi kenyataan. Kenyataan yang ... kemudian mengoyak semuanya. ~Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN