bc

Through the Hearteak's Journey

book_age12+
234
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
friends to lovers
witch/wizard
fairy
drama
sweet
mystery
magical world
enimies to lovers
like
intro-logo
Uraian

Velia jatuh cinta pada Harlan dan mencoba menarik hatinya tapi selalu dihalang-halangi oleh Wanda-sahabat Harlan-. Suatu ketika ada anak baru yang bernama Lory, dia memberi ramuan Lupois pada Harlan hingga cowok itu jatuh cinta pada Lory. Jika dalam waktu sebulan Harlan tidak diberi ramuan Hearteak maka Harlan akan terikat seumur hidup dengan Lory.

Wanda yang ingin sahabatnya kembali normal dan tidak terpengaruh oleh perintah Lory jadi bekerja sama dengan Velia karena mempunyai tujuan yang sama. Wanda mencari buku ramuan kuno milik keluarga yang ternyata disembunyikan oleh nenek buyutnya. Sayangnya ramuan Hearteak ditulis dalam bentuk sajak teka-teki jadi mereka harus memikirkan artinya baru mendapatkan ramuan.

Dalam perjalanan mencari bahan ramuan mereka bertemu dengan Xonxo yang kebetulan memiliki tujuan yang hampir sama.

Apakah mereka bisa mempercayai Xonxo dan mendapatkan semua bahan ramuan? Ataukah mereka akan gagal dan dimusnahkan oleh keluarga Lory yang berniat membalas dendam karena telah diasingkan?

chap-preview
Pratinjau gratis
Saingan Baru
“Pasti kamu?” tanya Wanda. “Buktikan kalau itu aku!” tantang Velia. Wanda membuat gerakan melingkar dengan tangan kanan sebanyak tiga kali, “Cari Kursi Wanda!” Wanda mengakhiri gerakannya dengan sedikit hentakan di antara meja Velia dan Wanda. “Aaaaa....” Velia berteriak kencang saat kursi yang diduduki melayang. Kursi itu bergoyang-goyang dan tampaklah kursi lain, kursi kedua turun berlahan-lahan dan berhenti tepat di tempatnya semula. Sedangkan kursi pertama melayang menuju ruang kosong-diantara meja Velia dan Wanda-dengan gerakan cepat turun kembali ke tempatnya yang sebenarnya. Wajah Velia merah padam campuran antara ketakutan dan juga malu. Dia memandang Wanda yang sedang berkacak pinggang memandangnya seperti singa kelaparan menunggu mangsanya mendekat. “Ini buktinya, masih mau berkelit?” Wanda menunjuk kursi yang masih diduduki Velia. Velia hanya tersenyum kecut, dia berjingkat-jingkat  kembali ke kursinya sendiri seperti seorang maling yang takut ketahuan sedang mencuri. Wanda menarik nafas panjang, berurusan dengan musuh abadi memang selalu menguras tenaga. Wanda membanting tas, ini sudah kesekian kalinya Velia hendak merebut tempat duduknya. Bagaimana caranya agar cewek itu kapok dan menerima tempat yang sudah ditentukan. “Selamat pagi.” Harlan menyapa dengan senyum sejuta watt-nya. Para siswa perempuan berebut memberi salam pada si ganteng. Mata sewarna lumut itulah yang menambah kesan keren, selain karena pembawaannya yang ramah pada semua orang. “Pagi, ganteng.” Velia menyibakkan rambut dengan genit membuat Wanda mencibir saat melihatnya. “Kenapa mulutmu manyun seperti itu? Tambah jelek saja.” Harlan menarik bibir Wanda hingga membuat cewek berkaca mata itu mengaduh. Gantian Velia yang mencibir. “Rasain,” ejek Velia.     Harlan tertawa melihat interaksi dua cewek yang selalu bermusuhan. Tentu saja dia sangat tahu apa penyebab mereka bermusuhan yaitu karena dirinya, tapi tidak pernah ingin ikut campur karena melihat perkelahian mereka sungguh mengasikkan. Velia, cewek itu menyukai Harlan sejak cowok itu menghiburnya dikala dia gagal menjalani pelatihan. Waktu itu dia merasa malu karena gagal mengeluarkan perinya, tapi Harlan mendekatinya dan memberi tahu cara termudah untuk berkonsentrasi. Sejak saat itu dia selalu berusaha menarik perhatian Harlan, tapi cowok itu tidak menunjukkan perhatian yang sangat diharapkan olehnya. Mereka bahkan sekelas dari sejak Nomtu tapi sampai kelas Nomla, tapi statusnya hanya teman sekelas saja. Setiap usaha Velia untuk mendekati Harlan selalu dijegal oleh Wanda. Wanda itu adalah sahabat masa kecil Harlan yang selalu bertindak menjadi bodyguard   Harlan. Rasanya lucu karena postur tubuhnya yang mungil tidak menghalanginya untuk melindungi cowok yang jauh lebih kekar darinya. Sebenarnya sih cewek itu tidak melindungi dengan tubuhnya, tapi dengan mulutnya yang pedas. Itu dilakukannya untuk menjauhkan Harlan dari cewek-cewek centil yang selalu mengerubunginya seperti gula dan semut. Bu Quela berdehem, secara tidak langsung beliau ingin kelas memperhatikannya. Beliau kemudian menyapa murid-murid yang mulai tenang, lalu mengeluarkan buku materi agar kelas bisa segera mulai. Sudut bibir Wanda terangkat ketika sebuah ide hinggap di kepala. Ini akan jadi pembalasan yang setimpal untuk Velia. Sebuah mantra digumamkan kemudian dia mengarahkan jari telunjuknya ke belakang walaupun pandangannya masih serius memperhatikan penjelasan Bu Quela. “Kyaaa....” Wajah Velia yang berubah sepputih kertas polos membuat perhatian seluruh kelas tertuju padanya. “Ada apa Velia?” Bu Quela mendekati cewek yang tampak kaku seperti mayat, tangan Velia gemetaran ketika menunjuk ke bawah. “Ada pi ... pi ... pisang, Bu.”                         Wanda menahan senyum ketika melakukan gerakan menarik hingga membuat setundun pisang yang ada di pangkuan Velia menghilang sebelum cewek cantik berambut ikal itu menyadarinya. Tentu saja Wanda paham betul akan phobia Velia terhadap pisang, ini adalah kartu AS yang selalu disimpannya. Cewek itu bakan tidak menyadari kalau Wanda memegang kelemahannya. “Jangan bercanda di kelas saya, Velia!” Hardikan Bu Quela membuat wajah Velia bersemu merah. “Tapi, tadi benar-benar ada pisang di pangkuan saya.” Velia berkali-kali mengosok mata untuk memastikan tadi tidak berhalusinasi, tapi pisang yang ada di pangkuannya memang sudah raib. “Sudahlah jangan berbohong lagi. Sekarang kita lanjutkan kembali.” Belum sempat Bu Quela membuka mulut untuk melanjutkan pelajaran, tapi sebuah ketukan membuat perhatian semua orang beralih ke pintu. Ibu kepala sekolah dan seorang cewek berambut sewarna arang tampak di sana. “Ini adalah siswa pindahan yang saya ceritakan tadi pagi,” ujar Bu Carmen sebelum meninggalkan kelas. “Silahkan perkenalkan diri.” “Nama saya Lory, pindahan dari sekolah Feran.” Mata Wanda menyipit ketika melayangkan tatapan curiga karena merasakan aura kegelapan melingkupi cewek manis itu. Kecurigaan itu diperkuat dengan tato peri Lory yang berwarna abu-abu padahal tato peri di negeri Gimozelona biasanya berwarna cerah dan berwarna-warni, walaupun ada yang memiliki satu warna pasti warnanya terang menyala. “Silahkan duduk di sebelah Velia.” Velia melambaikan tangan penuh semangat seperti berjumpa dengan idolanya. Namun lambaian tangan Velia tidak membuatnya tertarik. Dia hanya memandang lurus pada Harlan yang terlihat asik menggerakkan jari telunjuk di atas lembaran buku materi. “Siapa yang dapat menyebutkan salah satu contoh Ramuan kutukan?” Bu Quela mengedarkan pandangangan ke seluruh sudut kelas, berharap ada siswa selain Harlan dan Wanda yang bisa menjawab. “Lupois,” kata Lory saat mengangkat tangan.   “Jawaban yang bagus, Lory. Lupois adalah Ramuan kutukan untuk membuat seseorang mencintai sampai seumur hidup. Dimasukkan dalam kutukan karena jika dalam waktu sebulan setelah terkena ramuan si korban tidak diberi ramuan Pematah maka korban akan selamanya jatuh cinta.” “Lalu apa bedanya dengan Ramuan Amorald?” Velia melempar pertanyaan. “Amorald hanya bertahan seminggu sedangkan Lupois bisa bertahan selamanya, asal korban tidak diberi ramuan pematah.” Bu Quela mencatat keterangan di papan tulis. “Isi ramuan itu apa saja, Bu?” Kembali Velia mengajukan pertanyaan, matanya berbinar karena membayangkan apa yang bisa dilakukannya dengan ramuan itu. “Sayangnya isi ramuan itu tidak tercatat di buku ramuan manapun karena itu dilarang.” “Yah....” Hampir separuh kelas mengeluhkan hal itu, sepertinya meraka semua jadi tertarik untuk menggabungkan antara Lupois dan Harlan. Hanya Wanda saja yang merasa lega karena ramuan itu tidak diketahui. Lory memandang Velia yang bertopang dagu sambil terus menerus menatap punggung Harlan. Sebuah senyum misterius kembali disunggingnya. “Ada yang tahu nama Ramuan Pematah Lupois?” Bu Quela tidak yakin ada yang mengetahuinya, tadi saja sudah cukup terkejut saat mendengar Lory mengatakan ramuan Lupois. “Hearteak.” “Tepat sekali, Wanda. Kedua ramuan ini adalah ramuan langka, tidak ada yang tahu apa isinya.” ... Selama seminggu bersekolah di Kuren, Lory sudah berhasil berteman dengan Velia, Wanda, dan Harlan. Bahkan hari ini dia akan bertemu dengan Wanda dan juga Velia di rumah Harlan untuk mengerjakan tugas kelas Ramalan. “Selamat datang, mari masuk.” Wanda membuka pintu untuk Velia dan Lory yang datang bersamaan. Wanda menggandeng tangan Lory lalu mempersilahkannya duduk di sebelah kiri Harlan, dia sendiri duduk di sebelah kanan Harlan. Mereka duduk lesehan mengelilingi meja pendek. Velia masih berdiri di depan pintu, dia menghentakkan kaki sambil mendengus sebal melihat perlakuan Wanda, “Ini sungguh tidak adil, kami datang bersamaan tapi kenapa Lory yang disambut dengan hangat. Dia bahkan boleh duduk bersebelahan dengan Harlan.” Velia menyeruak diantara Wanda dan Harlan, dia sengaja mendorong Wanda hingga terjungkal. Velia dan Harlan tertawa bersamaan karena wajah Wanda yang merah padam menahan marah. “Velia!” teriak Wanda dengan garang, tanpa ba bi bu dia menarik kerah baju Velia hingga gantian Velia yang terjungkal kebelakang. “Sakit, Wan.” Velia mengelus lengan kiri yang terantuk lantai. Dengan pasrah dia duduk di antara Lory dan Wanda. “Rasain, siapa suruh gangguin aku!” Wanda membuka buku tanpa memandang Velia yang masih bersungut-sungut karena perbuatannya. “Apa mereka berdua selalu seperti ini?” tanya Lory pada Harlan. “Selalu, setiap saat bila bertemu,” jawab Harlan. “Lebih baik kita mulai tanpa mereka,” ajak Harlan, dia mencondongkan tubuh mendekati Lory dan mulai membuka bukunya. “Hei, jangan mulai tanpa kami,” sela Velia. Harlan kembali lagi ke posisi semula, dia memandang teman-temannya yang sudah siap dengan catatan masing-masing. Cowok itu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan, “Janji padaku, kalian tidak akan bertengkar nggak penting saat kita diskusi.” Wanda dan Velia mengangguk dengan cepat, mereka tidak ingin Harlan marah karena ulah mereka. Untuk sementara mereka harus bekerja sama agar ini cepat selesai. “Ramalan populer yang akan kita bahas adalah Ramalan tentang kelahiran Ratu.” Harlan menentukan tema tugas mereka. Pelayan rumah tangga menyela perbincangan mereka karena mengantarkan coklat panas untuk menemani mengerjakan tugas. “Biar aku yang membantu.” Velia bangkit berdiri hendak membantu tapi tangannya bergerak terlalu cepat menarik nampan hingga cangkir-cangkir berisi coklat panas itu terguling, isinya mengguyur kepala Wanda.  “Aw, panas. Ini panas sekali.” Wanda terlonjak karena terkejut dan kepanasan. Velia yang panik mengambil banyak tisu untuk membersihkan wajah Wanda. “Lebih baik kita bersihkan di kamar mandi saja, Nona Wanda,” ajak pelayan rumah tangga, Wanda dan Velia bergegas mengikutinya. Tanpa mereka sadari kalau Lory menyeringai karena rencananya berhasil. Ini akan semakin mudah saja. Sekarang tinggal menyingkirkan Harlan agar bisa melaksanakan rencana selanjutnya. “Tunggu di sini sebentar.” Harlan meninggalkan Lory sendirian, tak lama kemudian dia kembali lagi membawa cangkir-cangkir coklat dan juga kue-kue mungil yang tampak lezat menggiurkan. “Uhm, maafkan aku. Dapatkah kamu mengambilkan air putih saja untukku? Aku tidak begitu suka coklat, itu membuatku terjaga sepanjang malam. Ehm, memang agak aneh sih tapi kalau kamu keberatan biar aku ambil sendiri. Katakan saja di mana dapurnya.” Lory berpura-pura gugup saat mengatakannya. “Biar aku saja.” Harlan kembali lagi ke dapur. Lory memastikan keadaan aman sebelum mengeluarkan sebuah botol kecil, membuka sumbat lalu menuangkan ke dalam minuman Harlan. Cairan yang berwarna putih bening dengan aroma semanis apel itu menyatu dengan coklat panas yang ada di dalam cangkir Harlan. Lory menyunggingkan senyum licik, dia tidak sabar melihat apa yang akan terjadi saat Harlan meminumnya. Wanda dan Velia muncul bersamaan, baju Wanda sudah kering dan bersih tapi mukanya masih terlihat kusut. Velia duduk dalam diam sambil sesekali melirik Wanda, tapi cewek itu malah buang muka karena masih sebal dengan kejadian tadi. Velia kembali melirik Wanda, mulutnya membuka lalu menutup. Membuka dan menutup lagi, dia ragu-ragu untuk bersuara. Setelah beberapa kali megap-megap seperti ikan kekurangan air, akhirnya Velia memberanikan diri untuk bersuara. “Maafkan aku, Wanda. Aku sunguh-sunguh menyesal, aku tidak sengaja melakukannya.” Velia meminta maaf sekali lagi. “Sebaiknya kamu memaafkannya hingga kita bisa melanjutkan kembali diskusi kita.” Harlan muncul dengan membawa secangkir air putih. “Ini kejadian yang tidak disengaja, maafkanlah Velia.” Lory ikut membujuk Wanda. “Memang nggak sengaja sih, tapi kalau dekat-dekat cewek ceroboh macam dia pasti jadi ikutan s**l. Kita lanjutin saja, tapi kamu jauh-jauh dari aku!” Wanda beringsut menjauhi Velia. Mata Velia berbinar-binar mendengar perkataan Wanda, sama sekali tidak tersinggung karena duduk jauh-jauh dari lainnya. Mereka kembali melanjutkan tugas kelas ramalan hingga selesai hari itu juga. ... “Selamat pagi Velia yang cantik. Kamu mau pindah depan nggak?” “Tentu mau.” Tanpa disuruh dua kali, Velia memindahkan tasnya ke bangku di depannya. Kapan lagi bisa duduk di dekat Harlan, apa lagi kali ini cowok itu manis banget ngomongnya. “Vel, siapa suruh kamu disini?” Wanda berkacak pinggang saat melihat Velia menduduki kursinya. Jari telunjuk Velia langsung diarahkan pada Harlan yang masih berdiri di sampingnya. Wanda menatap cowok itu minta penjelasan, tapi cowok itu malah duduk di kursi yang tadinya milik Velia. “Lho, kok kamu duduk situ? Bukannya kamu duduk di sini?” Velia keheranan dengan tingkah Harlan. “Selamat pagi, gadis cantikku.” Sapaan Harlan membuat Velia dan Wanda melonjak saking terkejutnya, Velia menutup mulutnya agar tidak berteriak sedangkan Wanda memincingkan mata dengan curiga ketika melihat kilat ungu yang muncul di bola mata Harlan. “Pagi.” Lory menjawab singkat, dengan cueknya dia duduk membuat Velia makin gemas. “Sejak kapan mereka berdua akrab?” tanya Wanda melalui telepati. Dia sengaja bertelepati karena tidak ingin ada yang mengetahui pembicaraannya dengan Velia. “Mungkin sejak kemarin, saat kita meninggalkan mereka berduaan.”  Velia membalas telepati Wanda. “Tapi ini sangat aneh, aku melihat kilat ungu di mata Harlan.” “Apa artinya?” “Aku curiga dia meminum ramuan Lupois,” kata Wanda. “Kita harus bicara dengan Harlan setelah kelas berakhir untuk memastikannya,” ajak Wanda yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Velia. Hari ini pelajaran Ramalan berakhir lebih cepat dari biasanya. Wanda mengajak Harlan dan Velia menuju salah satu lorong yang sepi. Harlan menepis tangan Wanda, terlihat tidak suka dengan tindakan sahabatnya itu. “Lan, kamu kenapa sih? Sejak pagi kok jadi aneh?” Velia memprotes tindakan Harlan karena tak sekalipun pernah melihat kedua sahabat itu bersikap kasar satu sama lain. Wanda dan Harlan adalah teman baik dari kecil yang saling menjaga dan menyayangi. “Aku mau menemui Lory, kalian yang kenapa?” Harlan membentak kedua temannya. Wanda terkesiap karena kembali melihat kilat ungu saat Harlan menyebut nama Lory. “Lory,” panggil Harlan. Lory menoleh dan tersenyum manis membuat Harlan berlari kecil mendekati gadis itu lalu memeluknya. Hati Velia terasa perih ketika melihat dua orang dikejauhan yang mulai mendekatkan kepala untuk saling merapatkan bibir. Dia mulai terisak karena takut Harlan semakin dalam dalam pengaruh Lory hingga tidak bisa kembali lagi. “Diamlah, jangan menangis lagi. Kita sebaiknya mencari Bu Quela,” ajak Wanda. Mereka kemudian bergegas menuju ruang kerja guru Ramuan. “Bu Quela, bisa kita bicara sebentar?” Wanda mengintip di balik pintu setelah mengetuknya beberapa kali dan tidak terdengar jawaban dari dalam. Ternyata guru ramuan mereka sedang asik membaca hingga tidak menyadari ada yang mengetuk pintu. Bu Quela melipat kacamata, duduk dengan tenang dan mempersilahkan kedua muridnya untuk berbicara. “Apa yang ingin kalian bicarakan?” tanya Bu Quela dengan ramah. “Siapa yang tahu isi ramuan Hearteak?” “Tanyakan pada orang tuamu, Wanda. Mungkin mereka tahu, bukankah mereka anggota keluarga penyembuh?” ... Wanda menyisir setiap sudut perpustakaan pribadi keluarganya, dia hanya berharap menemukan kembali buku kuno yang sempat dibaca waktu berusia sepuluh tahun. Dia ingat pernah membaca nama ramuan Lupois dan Hearteak. Bu Quela mengatakan hanya keluarga pembuat ramuan terpilih yang memiliki buku kuno tersebut tapi keberadaan buku dan pemiliknya sudah tidak diketahui lagi. Wanda yakin kalau keluarganya adalah salah satu dari keluarga terpilih karena itu tercatat dalam sejarah kuno. Lagipula saat ini Bunda Rorina masih menjabat sebagai penyihir penyembuh di Istana. Dalam keputus asaannya Wanda mengusap tato peri yang ada di pergelangan tangan kiri sebanyak tiga kali. Pendar merah muda tampak mengiringi kemunculan  peri pelindung, Pixie memberi salam sebelum berputar dan membesar hingga setinggi Wanda. “Tolong bantu cari buku kuno, sampulnya bergambar witch mengaduk isi periuk. Periuk berwarna emas dengan lambang keluarga Gilmore.” Wanda sedikit tidak yakin saat menggambarkan bukunya. Pixie terbang menuju rak teratas dan menyusuri satu demi satu buku yang terpajang di sana. Wanda sendiri memilih untuk berselonjor sambil menyandarkan punggung pada rak terbawah karena sudah sangat kelelahan. Perpustakaan keluarganya sangat luas dan tingginya mencapai enam meter, padahal dia baru mencari di bagian rak ramuan. “Apa kamu tidak mengetahui judul bukunya? Itu akan lebih mudah.” Pixie memandang Wanda yang kembali memaksakan mencari walaupun kakinya sudah gemetaran. “Apa kamu mau aku menggunakan mantra pemanggil? Itu hanya akan berfungsi saat kita tahu pasti apa yang kita inginkan. Aku sudah lupa judul bukunya, bahkan tidak yakin kalau membacanya di sini.” “Kutu buku yang terlalu banyak membaca.” Pixie mengejek tuannya. “Ya begitulah resikonya kalau terlalu banyak membaca.” Wanda tersenyum hambar. “Sebaiknya kita hentikan ini saja,” ucap Wanda sambil kembali mengusap pergelangan tangan hingga peri Pixie kembali berubah menjadi tato. Tubuh Wanda yang bersandar di dinding luruh saat menyadari tidak ada harapan untuk sahabatnya. Sudah dua kali dia melihat kilat keunguan di mata Harlan tanda kutukan Lupois, jika dalam waktu dua minggu dia tidak menemukan ramuan pematah maka cowok itu akan jatuh ke tangan Lory selamanya. Isak tangis Wanda berhenti saat dia mendengar suara omelan hantu nenek buyut di kursi goyang kesayangannya. Wanda merangkak mendekati hantu itu. “Berisik sekali, terbang ke sana kemari, ngomel sambil mengobrak abrik isi rak, menangis histeris membuatku susah berkonsentrasi membaca. Bagaimana kalau buku-buku itu lecet? Anak sekarang tidak bisa menghargai buku,” gerutu hantu itu. “Nenek buyut Mina,” panggil Wanda. Mina menoleh ke kanan dan mendapati salah seorang cucu buyutnya sedang menatap penuh harap. Mina menunjuk ke hadapannya agar Wanda duduk di sofa. “Kamu bisa melihatku?” Wanda mengangguk dengan penuh semangat. Harapannya kembali timbul karena Mina adalah salah satu legenda di keluarga mereka. “Tolong Wanda, Nek.” Lalu mengalirlah cerita tentang Harlan dari mulut mungil Wanda. Mina beranjak dari kursi goyang, menunjuk lukisan dirinya yang tergantung tak jauh dari sofa Wanda. “Doronglah!” Wanda menyeret sofa hingga tepat di bawah lukisan Mina, dia berdiri di atasnya hingga tangannya bisa menggapai lukisan Mina. Mendorong lukisan dengan hati-hati karena lukisan setinggi orang dewasa itu ternyata berat. Terlihatlah sebuah lubang yang terlihat gelap dan dalam. Wanda mengulurkan tangan hingga  merasakan ada sebuah buku tersembunyi di dalam lukisan.  Menggenggam erat buku tebal itu dengan kedua tangan lalu menarik sekuat tenaga karena terlalu berat. “Apa ini, Nek?” “Buku yang kamu cari.” “Tapi, aku dengar buku ini sudah raib?” “Itu karena nenek yang menyembunyikan agar tidak jatuh ketangan orang jahat. Buku itu menyimpan segala resep ramuan, baik itu kutukan atau pematah.” “Aku merasa sudah pernah membaca sebelumnya tapi kalau Nenek menyembunyikannya, bagaimana bisa k****a?” “Apa kamu lupa? Dari kecil kamu selalu mengekori nenek kemanapun nenek pergi? Kamu minta dibacakan buku ramuan sebelum kamu tidur padahal anak-anak lain pasti minta dibacakan dongeng.” Nenek Mina terkekeh mengingat keanehan buyutnya itu. “Itu tandanya aku keturunan penyihir ramuan.” Wanda tersenyum lebar. “Anak, cucu bahkan buyut yang lain tidak bertingkah aneh sepertimu. Semoga kamu bisa mendapat jawaban dari pertanyaanmu. “Terima kasih, Nek.” Wanda tersenyum lega memandang buku Ramuan. Wanda membawa buku itu ke kamar dan mulai menelusuri satu persatu halaman yang mulai kecoklatan karena termakan usia. Matanya membulat saat menemukan apa yang dicarinya. “Velia harus mengetahuinya.” Wanda menyambar handphone yang ada di atas nakas. “Panjang umur, mau ditelepon malah sudah telepon duluan.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

ISTRI SATU JUTA DOLAR

read
438.0K
bc

Dear Pak Dosen

read
434.1K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.9M
bc

Perfect Revenge (Indonesia)

read
5.1K
bc

Secret Marriage

read
949.3K
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

SEXRETARY

read
2.3M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook