EPISODE 4

1961 Kata
MY LOVELY GHOST BAB 4   Zelena membuka selimutnya, saat sinar matahari mulai terlihat di balik gorden putihnya itu. Gadis itu menghela napas panjang, semalam ia tak bisa tidur dengan tenang karena hantu laki – laki itu. Wajahnya bisa dibilang tak biasa, dan tatapan matanya sangat mengerikan. “Kenapa dia mengikutiku? Apa yang harus kulakukan?” Suara Zelena terdengar putus asa, gadis itu bahkan tak mengenal seorang teman pun di negara ini. Hanya Calvino, itu pun tak bisa disebut teman. Zelena bahkan tak tahu di mana Calvino tinggal dan berapa nomor ponselnya. “Astaga, kenapa tiba – tiba aku terpikir laki – laki itu? Apa yang bisa kuharapkan darinya? Dia tak akan percaya sekalipun aku bercerita. Bisa jadi, dia akan menganggapku gila.” Zelena bangun dan segera merapikan tempat tidurnya. Dengan malas gadis itu masuk ke dalam kamar mandi dan segera membersihkan diri secepat mungkin. “Ah, segarnya.” Ucap Zelena, mengusap rambutnya yang basah dan berjalan menuju dapur kecil itu untuk menyeduh kopi dan membuat roti kesukaannya. Ia beruntung, karena mendapatkan roti yang hampir sama di negara ini. Gadis itu duduk di depan televisi, menikmati kopi dan roti bakar yang ia buat.  Akhir pekan adalah waktu yang akan ia gunakan untuk bersenang – senang, itu jika “mereka” mengizinkannya. “Um, enak.” Gumam Zelena mengunyah makanannya. Ia memutar film dari sebuah flashdisk yang sudah ia persiapkan sejak berada di Maroko. Kesepian adalah alasannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengisi waktu sebelum kembali berkutat dengan pekerjaan. Besok ia berencana untuk mengunjungi Castle yang lain lagi. Zelena membuka kantong keripiknya, sambil menikmati camilan ia sesekali tertawa menyaksikan adegan lucu di dalam film itu, tapi tak jarang ia juga terisak ketika film itu mengambarkan alur yang penuh kesedihan. Blasshhh.... “Kau!” Zelena hampir saja menjerit, kantong keripiknya terjatuh di lantai, saat hantu bocah laki – laki yang kerap berada di kamar Zelena itu tiba – tiba datang dan duduk di sisinya. Hantu kecil itu tertawa, saat melihat Zelena yang terkejut setengah mati. “Kau membuatku takut, kau ingin aku jatuh dan mati karena terkejut?” Zelena menatap hantu kecil itu dengan mata membulat, sementara si bocah berwajah pucat menatapnya dengan muram. “Zelena, aku tidak ingin kau kesepian.” Kata bocah itu. “Kau mengikutiku? Bahkan sampai di sini?” “Ya, aku bisa pergi ke manapun.” “Aku hampir saja melupakan itu, kau hantu. Seharusnya aku tidak membiarkanmu untuk tinggal di kamar lamaku.” Zelena tertawa kecil, dan mengambil keripiknya yang jatuh tadi. “Apakah dia mengganggumu, Zelena?” “Siapa?” Zelena menoleh, menatap hantu bocah yang bisa muncul sekalipun di bawah sinar matahari itu. “Hantu laki – laki bertubuh besar dan jangkung itu.” Zelena berhenti menggigit keripiknya, “Kau tahu?” “Hmm, aku melihatnya dan sangat ketakutan. Dia jahat, Zelena, kau harus berhati – hati!” Setelah mengatakan itu, bocah itu tiba – tiba menghilang dan Zelena mulai memikirkan kata – katanya. Gadis itu melihat ke seluruh ruangan, tampaknya ia sendirian sekarang. Zelena sudah menduga, karena hantu itu terus menatapnya dengan mata yang mengerikan. Entah, apa yang diinginkan hantu itu darinya? Gadis itu menghela napas, ia telah kehilangan mood untuk melanjutkan filmnya. Ke luar atau tidak, itu sama saja. “Mereka” akan menemukannya di manapun Zelena berada. ............... “Mungkin aku harus pergi ke tempat yang dipenuhi keramaian, aku dengar ada festival Feria Del Caballo hari ini.” *Feria Del Caballo – Festival di mana orang – orang menaiki kuda dan berpakaian seperti koboi, selain itu banyak kios yang menjual pernak – pernik serta makanan khas.*Zelena meraih tas yang berisi buku sketsa kecil serta ponsel, gadis itu akan menggambar di manapun ia berada, ia tak boleh melewatkan sesuatu yang detail di sana. Walau terkadang ia memotret jika sedang terburu – buru. Zelena tersenyum, menatap ke atas langit yang begitu cerah. Gadis itu masuk ke dalam mobil dan mulai menuju ke kota Jarez, di mana festival itu berlangsung. Dengan bekal sebuah peta digital yang menuntunnya ke kota itu.  “Wow, aku tak menyangka sisi lain dari Spanyol. Jarez! Luar biasa!” Zelena berdecak, mengagumi kota itu. Bahkan di Jarez pun memiliki arsitektur yang menarik.”Zelena berjalan kaki untuk menelusuri Jarez, ia melihat – lihat pernak – pernik yang berjajar di sana, sesekali ia mampir dan membeli sesuatu untuk Roland serta ibunya. Gelang unik, kalung, serta berbagai pernak – pernik untuk ditempatkan di meja tamu. Roland sangat menyukai barang – barang etnik, dia tidak akan menolak jika Zelena memberikannya.Gadis itu melihat kerumunan orang – orang yang sedang berteriak – teriak untuk memberi semangat, tanpa ragu Zelena pun masuk ke dalam kerumunan mereka, dan ikut berteriak tanpa alasan yang jelas. Ia tertawa, melepaskan semua rasa penat serta kekesalannya karena hantu – hantu itu. Setidaknya, di tempat ini “mereka” tidak akan mengganggunya, bukan?“Ayo..ayo! Teruskan!” Teriak Zelena sambil mengulurkan satu tangannya yang bebas. Ketika gadis itu masih berteriak – teriak, Calvino yang juga berada di sana sedang menatapnya dengan senyum lebar. Perlahan lelaki itu berjalan dan mendekati Zelena, lalu berdiri di sisi gadis itu.“Kau suka melihat festival kuda rupanya.” Tegur Calvino, membuat Zelena menoleh dan menatap Calvino dengan alis menyatu.“Kau lagi?” Ucap Zelena tak acuh.“Hmm, tampaknya kita akan sering bertemu secara tak sengaja.” Calvino tertawa kecil, menatap Zelena dengan mata berbinar.“Kenapa kau di sini? Kau sengaja mengikutiku?”“Oh, perkataan apa itu? Aku mengikutimu? Ha..ha..ha, untuk apa?”Zelena mengambil barang – barang yang ia letakkan di dekat kakinya itu, lalu pergi tanpa menjawab Calvino.“Hei! Zelena!” Calvino berjalan di belakang Zelena sambil meneriakkan namanya, membuat gadis itu merasa risih. Ia terpaksa berhenti, dan menunggu laki – laki itu di sana.“He..he, maaf.” Calvino mengusap rambutnya sambil menatap wajah Zelena yang merengut itu.“Ada apa?” Zelena berbicara dengan nada sedikit keras, gadis itu bahkan tidak tersenyum sedikitpun.“Aku ingin mengajakmu minum.” Kata Calvino tanpa basa basi.“Minum? Aku?”“Tidak ada orang lain diantara kita, bukan?” Calvino mengangkat alis, dan mengulaskan senyum di bibirnya.“Ya, tapi kita tak cukup dekat untuk minum bersama, bukan?”“Begini, Zelena, aku merasa kalau kau cukup kesepian di negara ini. Aku bisa menjadi temanmu kalau kau mau.” Calvino berbicara dengan rasa percaya diri. “Apa? Kesepian?” Ulang Zelena dengan heran. Sekalipun ucapan Calvino tidak salah, tapi ia tak mungkin menunjukkannya  kepada laki – laki itu.“Ya, aku melihatmu berbicara sendirian.”Zelena membuka mulutnya sedikit lebar, “Ah, kau melihatnya?” Suara gadis itu terdengar pelan, dan Calvino mengangguk mengiyakan.“Aku tahu ini berat bagimu, kau datang ke negara ini seorang diri dan tidak memiliki siapapun di sini. Itulah mengapa aku ingin menjadi temanmu, Zelena.” Calvino tersenyum lembut.“Kau kasihan kepadaku?”“Tidak, jangan salah paham.” Calvino mengambil ponsel yang berada di tangan Zelena, membuat gadis itu terkejut dan sedikit berteriak, “Hei!”“Nomorku sudah berada di dalam ponselmu, hubungi aku kapan saja kau mau, Zelena.” Calvino mengembalikan ponsel itu, dan Zelena menerimanya dengan sedikit kasar.“Kau mau minum denganku? Ada kopi enak di dekat sini. Kita bisa berbincang lebih banyak lagi, kebetulan kita juga memiliki bidang yang sama.” Tawar Calvino lagi.“Bidang yang sama? Kurasa tidak.” Zelena tersenyum, tapi bukan senyum yang menunjukkan persahabatan.“Maksudku, kita sama – sama senang melukis.” Calvino menekankan kalimat akhirnya. “Mungkin saja, kita bisa saling membantu, kan?”“Ah, ya! Aku baru ingat. Kau diam – diam melukis wajahku tanpa izin, apa yang harus kulakukan dengan itu, Cal...vino?”“Heh? Ha..ha..aku minta maaf. Tapi aku melukismu hanya untuk mengingat wajahmu saja. Entah mengapa aku begitu yakin jika kita akan bertemu kembali di sini. Tapi, jika kau mau aku ingin kau menjadi model untuk lukisan di galeryku, Zelena.”“Kau memiliki Galery?”“Ya, kau ingin berkunjung?”“Mungkin lain kali. Dan aku akan mempertimbangkan tawaran itu.” Zelena tersenyum, melambaikan tangannya ke arah Calvino.Calvino membalas senyuman itu, ia menatap Zelena hingga gadis itu menghilang dari balik kerumunan orang – orang.“Tidak mudah untuk meraih hatimu, Zelena. Gadis – gadis tak ada yang menolakku seperti ini. Kau luar biasa.” Calvino pun berbalik, dan melanjutkan perjalanannya untuk mendapatkan objek lukisan. Ia harus memiliki setidaknya sepuluh lukisan baru untuk pameran. Lukisan – lukisan itu biasanya terjual dengan cepat. Calvino berhenti, ketika ia melihat sebuah kios dengan papan nama yang bertuliskan ahli meramal. Lelaki itu tersenyum kecut dan mengumamkan sesuatu di sana.“Hei, anak muda!”“Aku?” Calvino melihat ke dalam kios, seorang wanita tua duduk di sana menghadap sebuah meja dengan kartu tarot di hadapannya.“Ya, ke marilah sebentar!”Calvino pun masuk dengan heran, dan duduk di hadapan wanita tua itu. “Ada apa? Anda ingin meramal saya? Tapi saya tidak tertarik dengan ramalan.” Ucap Calvino dengan sopan, tak ingin membuat wanita itu tersinggung.“Kau harus berhati – hati anak muda, jika kau tidak berhenti maka kau akan masuk ke dalam masalah yang besar. Gadis itu, terlalu banyak hawa negatif  yang berada di sekitarnya.” Ucapan peramal itu membuat Calvino diam sejenak, ia kemudian tersenyum dan meletakkan selembar uang kertas di atas mejanya. “Terimakasih untuk ramalan itu.” Calvino pun berdiri, dan segera meninggalkan kios itu dengan tawa kecil di mulutnya, “Aku tidak percaya dengan ramalan. Gadis yang mana? Ada banyak gadis yang kutemui dan hawa negatif? Apa itu? tentu saja dia mengatakannya, dasar kurang kerjaan.” Gumam Calvino sembari berjalan semakin menjauh. .................... Calvino duduk di depan sebuah pasar yang tidak terlalu ramai, di sana ia mulai melukis lagi. Seorang perempuan renta penjual bunga, dan bocah perempuan yang tampak tertidur pulas di pangkuan neneknya itu. Cukup lama lelaki itu melukis, wajahnya berubah serius begitu menemukan objek yang ia anggap menarik dan memiliki nilai jual yang tinggi. Setiap goresan tangannya adalah uang!Calvino mengeliat, dan tersenyum puas dengan hasil lukisan itu. Lelaki itu berdiri dan mulai membereskan semua barangnya ke dalam tas berukuran besar yang selalu ia bawa. Calvino kemudian berjalan mendekati penjual bunga itu.“Kau ingin membeli bunga?” Tanya perempuan tua yang tersenyum dengan begitu gembira, memperlihatkan kerutan yang begitu dalam di wajahnya.“Hmm, berapa harga semua bunga ini?” Ucap Calvino, membuat perempuan tua itu terkejut.“Semua?”“Ya, aku ingin membeli semua bunganya.”Perempuan itu segera mengambil kertas, dan membungkus semua bunganya dengan hati – hati lalu memberikannya kepada Calvino.Calvino mengeluarkan beberapa lembar uang dan mengulurkannya dengan sopan. “Apakah ini cukup?”“Ini terlalu banyak untuk semua bunga – bunga itu.”“Tidak apa – apa, belilah makanan yang lezat untukmu dan cucumu.” Calvino berdiri, dan pergi dengan membawa buket bunga berukuran besar itu.“Oh, kau baik sekali anak muda.” Perempuan itu tersenyum senang, dan memasukkan uang itu ke dalam kaleng yang ia bawa. Calvino menatap buket mawar merah itu, dan melihat seorang wanita paruh baya bertopi lebar sedang berbicara dengan seseorang. Calvino mendekatinya, menyela obrolan mereka, “Apakah anda menyukai bunga, Bu?”“Ya, aku menyukainya, tapi aku tidak ingin membeli bungamu.” Wanita paruh baya itu menatap Calvino dengan lembut.“Ha..ha, tidak. Saya hanya ingin memberikan bunga ini kepada anda. Saya tidak tahu lagi ke mana harus membawanya.”“Begitukah? Kau tidak memiliki kekasih?” Wanita itu tersenyum, dan menerima buket pemberian Calvino.“Ya, saya belum memilikinya.”“Aku doakan kau akan segera menemukan gadis yang baik.”Calvino mengangguk, kemudian pergi dari tempat itu. “Ada banyak gadis yang baik dan ingin menjadi kekasihku, tapi aku tidak memiliki perasaan untuk mereka.” Gumam Calvino, dan terus berjalan menuju mobilnya.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN