MY LOVELY GHOST
BAB 3
Zelena berhenti di sebuah gedung, tempat di mana ia akan bertemu dengan CEO perusahaan itu. Setelah melakukan perjalanan dan menyelesaikan misi baiknya untuk hantu itu, Zelena akhirnya memiliki kesempatan untuk pekerjaannya sendiri.
Gadis itu memperbaiki posisi tabung berisi sketsa gambarnya, yang ia letakkan di bahu. Dengan langkah penuh rasa percaya diri, Zelena pun menapaki kakinya masuk ke dalam gedung. Setelah berbicara dengan seseorang, gadis itu menunggu di sana. Di sebuah ruangan yang cukup luas dan indah. Cukup lama Zelena mengagumi ruangan itu sampai seseorang datang dan duduk di dekatnya.
“Kau Zelena?” Lelaki bermata biru serta berkulit cerah itu menyapa Zelena sembari mengulurkan tangannya.
“Benar, saya Zelena.” Zelena menjabat uluran tangan lelaki muda itu.
“Selamat datang di Casares, Zelena. Bagaimana apakah kau kesulitan untuk menemukan tempat ini?” Tanya lelaki itu dengan ramah.
Zelena menggeleng, “Tidak. Perusahaan ini cukup terkenal, saya hanya menyebutkan namanya kepada pengemudi taxi dan tiba di sini dengan selamat.”
“Kau tidak memiliki mobil, Zelena?” Lelaki itu tersenyum, menatap Zelena dengan mata yang bersahabat.
“Tidak. Saya baru tiba beberapa hari yang lalu.”
Lelaki itu mengangguk – angguk, “Bagaimana jika perusahaan memberimu fasilitas. Kurasa kau akan lebih mudah bekerja jika memiliki mobil sendiri, Zelena.”
“Benarkah? Tapi ini adalah pertama kalinya bagi saya bekerja dengan perusahaan anda.” Zelena tampak tak menduga dengan tawaran itu.
“Ya, tapi kau telah memiliki nama di dunia itu, aku tak memiliki alasan untuk meragukan kemampuanmu.”
Zelena tersenyum mendengar pujian itu, ia kemudian mengambil sketsa gambarnya dari dalam tabung dan memberikannya kepada lelaki tersebut. “Anda bisa memeriksanya, jika ada yang tidak sesuai, saya akan berusaha untuk memperbaikinya.”
Lelaki itu membuka gulungannya dan meletakkan kertas berukuran lebar tersebut di atas meja. Matanya tampak mengamati setiap detail dengan seksama.
“Kau membuatnya dengan sangat detail, Zelena. Modelnya juga sangat cantik, berbeda dari yang lain. Itulah yang membuatku memilihmu. Aku suka.”
“Terimakasih, saya lega mendengarnya.”
“Jadi, kapan kau memiliki waktu untuk melakukan presentasi di depan para investorku? Jika kau yang melakukannya, itu akan terdengar lebih jelas dan detail. Sehingga mereka semakin tertarik untuk berinvestasi di gedung baru yang akan kudirikan ini.”
“Lusa. Karena besok saya harus pergi untuk bertemu dengan orang lain.”
“Oh, kau memiliki banyak pesanan rupanya.” Lelaki itu kembali tersenyum dan Zelena menyambutnya dengan senyum lebar.
“Baiklah, aku akan menyimpan ini sampai lusa.”
Zelena berdiri dari kursinya, “Tolong kabari saya untuk waktunya.”
“Tentu, temuilah sekretarisku di bawah untuk membuat surat kontrak dan mengambil mobilmu.”
“Terimakasih, Tuan.” Zelena tersenyum dan berbalik meninggalkan ruangan itu.
.........
“Roland, lihatlah!” Zelena berteriak saat menghubungi kakaknya melalui panggilan video.
“Kau menyewa mobil?” Roland menatap layar ponselnya, dan melihat wajah Zelena setelah genap satu minggu ia meninggalkan rumah mereka.
“Menyewa? Tentu saja tidak. Ini mobilku, Roland! Mobilku!” Zelena tertawa senang dan memperlihatkan dirinya sedang mengemudi, “Apakah kau iri? Ha..ha..ha.”
“Apa yang kau katakan? Kau membeli mobil? Aku tidak percaya.” Ucap Roland kepada adiknya itu.
“Hah, kau benar. Aku tidak membelinya. Ini adalah fasilitas dari perusahaan yang sedang bekerja sama denganku.” Zelena tersenyum lucu, membuat Roland terkekeh.
“Mereka akan memintanya kembali saat kau sudah tidak dibutuhkan, Zelena.” Ejek Roland membuat Zelena cemberut.
“Biarkan saja, tapi sementara ini aku bisa menikmati mobil yang bagus, bukan? Di mana Mommy? Apakah Daddy bekerja hari ini? Lalu kenapa kau di rumah, Roland? Apakah kau sudah dipecat?” Zelena bertanya panjang lebar, membuat Roland membuka matanya lebar.
“Dipecat? Kau meremehkanku, Zelena. Kata itu tidak ada di dalam kamusku! Aku sengaja cuti hari ini, karena sibuk untuk menyambut kedatangan seseorang. Mommy sedang di dapur, kau ingin bicara?”
“Tentu saja, berikan ponselmu padanya.”
Roland berjalan ke dapur, dan mengarahkan layar ponsel itu kepada ibunya.
“Zelena! Sayang, Mom sangat merindukanmu!” Wanita paruh baya itu tersenyum lebar saat melihat wajah putrinya di dalam layar ponsel.
“Aku juga sangat merindukanmu, Mom. Apa yang sedang kau buat di sana?” Zelena menatap ibunya juga dapur yang belum lama ia tinggalkan itu, tapi sudah menyiratkan kerinduan yang dalam.
“Kau tahu, sayang, akan ada tamu spesial malam ini.”
“Siapa?”
“Orang yang akan menempati kamarmu, Zelena!” Sahut Roland dengan suara keras.
“Apa! Mom!” Suara Zelena terdengar panik, “Aku sudah bilang tidak boleh!”
“Kalau begitu kembalilah ke Maroko!” Ucap Roland lagi, membuat Zelena merasa kesal.
“Tidak, sayang. Jangan dengarkan kakakmu. Dia hanya merasa kesepian sejak kau pergi. Sahabat Daddy akan datang bersama putrinya. Kami berencana untuk memperkenalkan Roland kepada gadis itu. Mom mulai kesal karena kakakmu tidak memiliki kekasih sampai di usianya yang sekarang.” Jelas wanita itu.
“Bagaimana dengan Zelena? Kami hanya berbeda satu tahun, kan? Terlebih lagi dia perempuan.” Protes Roland kepada ibunya.
“Roland, ayolah, jangan merengek seperti bayi. Aku sedang bekerja. Mom, lihatlah aku bahkan mendapat mobil dari perusahaan.” Gadis itu memamerkan mobilnya dan tersenyum lebar.
“Kau memang luar biasa, sayang. Berhati – hatilah dengan mobil itu, bagaimanapun juga itu bukan milikmu.” Ucap wanita itu dan tersenyum lembut. Sementara Roland yang berdiri di belakang ibunya tampak menjulurkan lidah, mengejek Zelena.
“Ah, baiklah, selamat menyambut calon istrimu, Roland, aku tak menyangka kau harus dijodohkan untuk memperoleh istri.” Zelena terkekeh, membuat ibunya menggeleng – gelengkan kepalanya. Bahkan dengan jarak yang cukup jauh pun mereka masih bertengkar.
Zelena mematikan telephonenya setelah melambaikan tangan kepada mereka dan kembali melanjutkan perjalanan dengan bahagia.
Gadis itu memutar lagu yang berada di mobilnya tapi segera mematikannya kembali. “Siapa pemilik mobil ini sebelumnya, kenapa semua lagu yang tersimpan hanyalah musik kuno.” Gerutu Zelena, dan menatap jalanan ramai yang berada di depannya.
Ketika gadis itu sedang bersantai sambil mencari tempat untuk minum kopi, ia dikejutkan dengan sesuatu yang menempel pada kaca mobilnya, Zelena menginjak rem tanpa memperhatikan sekeliling, dan hampir saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan semua orang.
“Apa itu?” Ucap Zelena dengan jantung yang masih berdetak kencang, “Aku mohon, jangan lagi. Biarkan aku tenang hari ini.” Pinta gadis itu dengan cemas.
Zelena kembali menghidupkan mesin mobilnya, ketika semua mobil yang berada di belakang mobil gadis itu menyalakan klakson, memintanya agar segera menyingkir.
Dengan hati – hati, Zelena menjalankan mobil itu dan berhenti ketika ia melihat sebuah Cafe yang tidak terlalu ramai. Gadis itu menepikan mobilnya, kemudian masuk ke dalam dan mencari tempat duduk yang ia rasa nyaman.
Waktu masih menunjukkan pukul lima sore, ketika ia mulai menikmati kopinya. Rasa kopi yang sedikit berbeda dengan kopi yang biasa ia minum. Gadis itu memandang ke seantero ruangan di dalam Cafe itu. Untuk sesaat, ia memejamkan matanya saat melihat “mereka” berjalan mondar – mandir tanpa tujuan.
“Sepertinya aku harus membiasakan diri melihat “mereka”, walau ini bukan hal baru tapi tetap saja menakutkan.” Zelena mengeluarkan tablet gambarnya, dan mulai membuat desain bangunan dengan benda itu.
“Astaga, jangan sekarang!” Teriak Zelena tiba – tiba, saat hantu laki – laki duduk di hadapannya dan menatapnya dengan dingin.
Beberapa pengunjung yang mendengar suara Zelena menoleh, mereka menatap gadis itu dengan heran. Zelena yang menyadari tatapan orang – orang itu hanya mengulaskan senyum sambil meletakkan ponselnya di sisi telinga, seolah – olah sedang berbicara dengan orang lain.
“Pergilah, aku tak ingin melihatmu.” Zelena membalas tatapan hantu laki – laki itu, tapi tampaknya hantu itu memilih diam dan tak bergeming.
“Kau tidak mau? Kalau begitu aku yang akan pergi.” Zelena segera berdiri, dan meninggalkan tempat itu tanpa menghabiskan kopinya.
“Arrghh! Setidaknya beri aku tempat yang nyaman!” Gerutu Zelena dengan marah. Gadis itu kembali ke dalam mobilnya dan hantu itu terus menatapnya dari dalam Cafe.
“Aku bisa gila kalau terus begini! Semua hantu itu seakan mengikutiku! Apa yang harus kulakukan? Seseorang..andai saja ada seseorang yang bersedia menolongku untuk menutup mata batinku terhadap “mereka”.” Zelena menoleh, dan pandangannya bertemu dengan hantu laki – laki yang masih duduk di sana. Gadis itu segera menyalakan mesin, berharap ia tidak akan mengikutinya lagi.
...........
Zelena masih enggan untuk kembali ke apartemennya, tapi tubuhnya terlalu letih untuk bersenang – senang di luar. Gadis itu, akhirnya memilih untuk pulang dan mengerjakan pekerjaan berikutnya.
Dibukanya buku agenda itu, sepertinya ia tak akan memiliki waktu untuk sekedar bersenang – senang. Tapi bukankah itu memang tujuan hidupnya? Bekerja keras selagi mampu. Dan ia akan kembali ke Maroko dengan membawa keberhasilan. Zelena tersenyum, menyandarkan punggungnya di kursi sambil melihat – lihat album foto beberapa desain bangunan yang telah ia selesaikan dulu. Semua tampak begitu indah dan memuaskan. Tidak ada yang sama, semua desain ia buat dengan gaya yang berbeda. Itulah yang membuat hasil karya Zelena selalu disukai. Unik, elegan, dan menarik.
Drrttt, ponsel gadis itu bergetar, sebuah panggilan masuk yang datang dari sahabatnya, Mily di Maroko. Dengan senyum senang, Zelena menerima panggilan video itu.
“Hai, Mily?” Zelena menampilkan senyum mengambang di bibirnya.
“Oh, Zelena, kau kejam sekali. Kau tidak memberitahuku jika pergi ke Spanyol!” Protes Mily dengan memonyongkan bibir.
“Aku tidak ingin membuatmu cemas, Mily. Kau akan sedih jika tahu aku pergi.”
“Tapi aku bisa mengucapkan salam perpisahan, bukan? Dan memberimu sesuatu. Apakah kau bukan lagi sahabatku, Zelena?”
“Kau sahabatku, Mily. Selamanya akan begitu. Aku tidak ingin salam perpisahan darimu, karena suatu hari kita akan bertemu lagi. Kau bisa menghubungiku seperti ini kapanpun kau mau. Bukankah sekarang kita saling bertatap muka sekalipun jauh?” Goda Zelena.
“Tapi aku tak bisa memelukmu, Zelena.” Rengek Mily.
“Kau bisa memelukku sepuas mungkin saat aku kembali, Mily.”
“Kapan kau akan kembali?” Suara Mily terdengar putus asa. Bagi Mily, Zelena adalah satu – satunya sahabat yang sangat ia cintai. Mereka begitu dekat dan hal ini membuat Mily merasa sangat kehilangan.
“Aku pasti kembali, Mily, setelah semua yang kuimpikan terwujud. Dan kau adalah orang pertama yang akan kutemui.” Zelena berkata dengan murung, menatap sahabatnya itu dengan senyum yang berusaha ia paksakan. Zelena tahu, selama ini Mily bergantung padanya. Zelena berharap dengan tidak ada dirinya di sisi gadis itu, Mily akan menjadi lebih dewasa dan mandiri.
“Zelena..”
“Ya?”
“Katakan di mana kau tinggal?”
Zelena mengernyit, “Kenapa?”
“Aku akan ke sana dan ikut denganmu.” Ucap Mily dengan wajah yang begitu berbinar.
“Apa?” Zelena tanpa sengaja menunjukkan ekspresi terkejut dan menekankan rasa tidak sukanya dengan keinginan gadis itu.
“Kau tidak suka aku ke sana, Zelena?” Wajah Mily pun berubah, saat menangkap ekspresi wajah sahabatnya itu.
“Bu..bukan begitu, tapi aku di sini bekerja, Mily. Aku tidak selalu berada di rumah, aku harus menghabiskan waktu di luar. Bukankah kau juga harus bekerja di sana?” Zelena mencoba menjelaskan.
“Zelena, aku hanya bergurau. Aku tidak mungkin meninggalkan kekasihku di sini.” Mily mengulaskan senyuman yang begitu manis.
“Hah? Kau punya kekasih?” Zelena melebarkan matanya, dan mendekatkan wajahnya dilayar ponsel.
“Hmm, namanya Bill. Kami belum lama berpacaran. Aku ingin memberitahumu, tapi aku terkejut karena kau sudah tidak ada di sini. Dia teman satu kantorku.” Mily tampak bersemangat ketika mengatakan hal itu.
“Ah, begitu rupanya. Aku akan datang saat kau menikah nanti, Mily.”
“Terimakasih, Zelena. Kalau begitu aku tutup dulu, besok aku telephone lagi.” Mily melambaikan tangannya kepada gadis itu, dan Zelena menjawabnya dengan senyum lebar.
Gadis itu meletakkan ponselnya di atas meja kerjanya. Ia lalu mengambil kertas sketsa berukuran lebar dan mulai mengukur detailnya. Cukup lama Zelena berkutat dengan gambar itu, sampai ia tak tahu lagi kapan dirinya tertidur di atas sana.
Ketika gadis itu sedang tertidur pulas di atas meja kerjanya, ia merasakan sebuah tangan menyentuh rambutnya, mengusap dan terasa begitu dingin. Zelena bergerak, namun ia enggan untuk membuka matanya. Rasa kantuk serta lelah seolah mendera tubuhnya itu.
...............
Zelena mengeliat, gadis itu mendongak ke atas, menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Entah mengapa, ia selalu terbangun di jam – jam seperti itu. Gadis itu merenggangkan tubuhnya, semua otot terasa kaku karena posisi tidur yang tidak benar. Ia kemudian bangun dari duduknya, dan merapikan kertas sketsa itu.
Zelena menguap beberapa kali, gadis itu kembali naik ke atas tempat tidur dan merapatkan selimutnya. Udara dingin berhembus di belakang tengkuk gadis itu, membuatnya bergidik. Perlahan Zelena menoleh ke belakang, dan seketika melompat dari ranjangnya. Hantu laki – laki di Cafe itu berada di sana, dan menatap Zelena dengan mata yang menakutkan.
“K..kau!” Suara Zelena terbata, dan hantu laki – laki itu menghilang begitu saja. Tanpa kata, tanpa sebuah pesan.
Zelena mengusap dadanya, jantungnya kembali berdetak kencang. Ia melihat ke seantero ruangan di dalam kamarnya. Dan memang tak merasakan lagi kehadiran hantu laki – laki itu. “Kurasa dia hanya ingin membuatku takut. Aku tidak boleh menunjukkan ketakutanku kepada hantu manapun! Mereka tak akan bisa menyentuh manusia, bukan?” Zelena berusaha menguatkan hatinya sendiri. Gadis itu kembali naik ke atas tempat tidur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut hingga ke atas kepala.