CHAPTER ONE
Pria tampan dengan sorot mata kehijauan yang tajam itu bernama Juan Mario Luther. Seorang CEO perusahaan besar yang tahun ini genap berusia 31 tahun. Juan turun dari mobil porsche 718 silver miliknya yang terparkir sempurna di depan sebuah rumah mewah bak istana yang lebih pantas disebut sebagai mansion. Tatapannya begitu datar saat menatap rumah itu seolah dirinya enggan untuk masuk ke dalam.
Juan menghela napas panjang sebelum dirinya melangkah mendekati pintu. Belum sempat dirinya menekan bel, pintu itu terbuka karena seseorang membukanya dari dalam.
Seorang gadis muda yang merupakan salah satu pelayan di rumah itu, menyapa dengan ramah, “Selamat malam, Tuan.”
Tak memberikan respon berarti, Juan hanya mengangguk singkat. Pria itu berjalan masuk dan dengan langkah tegap menaiki tangga. Kamar adalah tujuannya saat ini karena dia begitu lelah setelah mengadakan pertemuan dengan seorang investor penting. Dia ingin membersihkan diri lalu tidur setelahnya.
Setibanya di kamar, Juan mendapati ruangan itu dalam keadaan kosong. Tas kerjanya dia lempar sembarang ke atas kasur. Juan bergegas melepas dasi yang terasa mencekiknya. Saat berniat melepas jas mahal yang membalut tubuh atletisnya, dia tersentak saat merasakan sepasang tangan tiba-tiba merangkulnya dari belakang. Juan mengembuskan napas lelah sembari mengusap wajahnya kasar, tak perlu menoleh ke belakang, dia tahu persis siapa pemilik tangan itu.
“Aku menyukai aroma tubuhmu, sangat menenangkan.”
Juan berdecak, berusaha melepas kedua tangan yang melingkar di perut ratanya, tapi sang pemilik tangan tak membiarkan hal itu terjadi. Dia semakin mengeratkan pelukannya.
“Aku merindukanmu. Kenapa kau pulang selarut ini?”
Juan mendengus sinis kali ini, “Jangan berpura-pura, aku yakin kau tahu alasanku pulang larut malam ini.”
Sosok itu terkekeh, tanpa izin membenamkan wajahnya di punggung Juan. “Apa pertemuannya lancar?”
“Lumayan.”
“Bagaimana dengan kesepakatan bisnisnya?”
“Sesuai rencana.”
Sosok itu tersenyum tipis, tak heran lagi mendengar jawaban Juan yang memang selalu ketus padanya. Kini dia tak berusaha mempertahankan pelukannya, saat Juan berusaha melepas, dia ikuti keinginan pria itu.
Juan berbalik badan dan menatap bosan pada tampilan orang di depannya. Tunangannya, Qiana Barbara Brown yang tampil toples di depannya. Mungkin bermaksud menggoda, tapi sungguh Juan tak b*******h sedikit pun melihatnya.
Juan berniat mengabaikan dengan melewati wanita itu begitu saja, tetapi urung karena Qiana mencekal lengannya. “Aku sudah berkonsultasi pada dokter pribadiku, dia memberitahu malam ini waktu yang tepat untuk melakukannya, ini masa suburku.”
Juan menggeleng sembari mengembuskan napas lelah, “Kau tahu kan aku baru pulang? Aku lelah, ini bukan saat yang tepat untuk mengajakku bercinta. Lagi pula Qiana, aku heran denganmu. Kenapa kau berambisi ingin hamil padahal kita belum menikah?”
Qiana memutar bola mata, “Kau tahu jawabannya.”
“Apa kau sebegitu takutnya aku tidak menikahimu sampai-sampai kau ingin cepat-cepat mengandung anakku?”
“Ini salahmu karena selalu mengulur-ulur waktu pernikahan.”
“Sudah kukatakan sekarang aku sedang fokus pada perusahaan. Kau sendiri tahu perusahaanku baru saja membaik setelah mengalami kesulitan keuangan yang cukup besar.”
Qiana mengangguk, paham. “Ya, ya, ya. Terserah kau. Yang pasti malam ini waktu yang tepat untuk ...”
“Masa suburmu tidak hanya malam ini, kan? Kita bisa melakukannya lain waktu.”
Qiana berdecak, kedua tangannya terlipat sempurna di depan d**a. Jengkel dengan sang tunangan yang selalu mengutarakan penolakan. “Papa selalu mendesak agar kita segera menikah karena dia begitu ingin segera memiliki cucu.” Qiana tak peduli meski Juan memalingkan wajahnya ke arah lain setelah memutar bola mata beberapa detik yang lalu. “Tapi bagaimana kita bisa memberinya cucu, kau bahkan mengulur-ulur waktu pernikahan dan jarang menyentuhku? Dalam satu bulan bisa dihitung dengan jari berapa kali kita bercinta.”
“Tanpa perlu aku menjelaskan, seharusnya kau tahu alasannya. Banyak pekerjaan di kantor. Kau juga melihatnya sendiri, hampir setiap malam aku pulang larut karena harus lembur atau mengadakan pertemuan penting dengan klien dan investor.”
Qiana mengangkat kedua bahunya, “Untuk bulan ini, ya kuakui kau sibuk di kantor. Tapi bulan-bulan sebelumnya tidak, kau santai dan kau tetap jarang menyentuhku.”
Tak peduli meski respon yang diperlihatkan Juan secara terang-terangan menolaknya, Qiana tak menyerah. Dia menggenggam kedua tangan sang tunangan lalu merapatkan tubuh. Melingkarkan kedua tangannya di leher Juan sebelum menariknya agar pria itu sedikit membungkuk. Qiana melayangkan ciuman panjang dan dalam yang menuntut namun layaknya patung, Juan sama sekali tak membalas.
Awalnya, Qiana terus mencoba tapi hingga pasokan udara di paru-parunya hampir tersedot habis pun pria itu tetap tak merespon, akhirnya Qiana menyerah dan melepaskan pagutan bibir mereka. “Kau payah, Juan,” katanya sembari mengernyitkan alis, tak suka.
“Aku sedang tidak b*******h. Aku lelah dan ingin mandi.”
Qiana mengulas senyum lebar, “Mau mencobanya lagi setelah kau mandi?”
“Tidak,” tolak Juan, tak menerima bantahan lagi. “Aku akan langsung tidur, besok pagi ada meeting di kantor.”
Setelah melepas rangkulan Qiana di lehernya, Juan melenggang pergi menuju kamar mandi, tak merasa bersalah sedikit pun meski membuat sang tunangan yang meski belum menjadi istrinya tapi sudah tinggal serumah dengannya, kini menggeram kesal di tempatnya berdiri.
***
Bagi Falisa Gracelina, gadis cantik berusia 25 tahun, menetap di desa Castleton, merupakan suatu anugerah terindah. Bagaimana tidak, desa itu masih asri dimana polusi tak mencemari udara. Oksigen yang masih bersih bisa dihirup penduduknya sesuka hati. Perkebunan anggur dan rerumputan menghijau menjadi pemandangan yang memanjakan penglihatan setiap harinya.
Falisa tak pernah mengeluh, sebaliknya gadis itu selalu ceria dan bangga karena perkebunan anggur itu milik orang tuanya. Tak segan membantu memetik buah anggur bersama karyawan lainnya di saat senggang.
Seperti saat ini contohnya, Falisa yang terkenal ramah itu sedang berjalan-jalan di area perkebunan. Semua orang yang berpapasan dengannya tak ragu untuk menyapa karena gadis itu akan membalas sapaan mereka tak kalah ramahnya. Namun, kali ini dia membalas sapaan hanya dengan lambaian tangan dan senyuman lebar, bukan kenapa-napa hanya saja dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sang kekasih nun jauh di sana yang sudah satu bulan lebih tak dia temui.
Yuuya Akiyama namanya, pria keturunan Jepang yang sedari kecil sudah menetap di Inggris. Dulu dia bertetangga dengan Falisa, bisa dikatakan mereka sahabat semasa kecil. Namun, persahabatan itu berubah menjadi cinta dan kini genap dua tahun mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Namun di saat bersamaan, mereka harus rela menjalin hubungan jarak jauh karena Yuuya bekerja di kota London. Di sebuah perusahaan ternama yang bergerak di bidang otomotif, Luther Holdings Group nama perusahaan tersebut. Jabatan Yuuya cukup mentereng, dua bulan yang lalu baru saja resmi menjabat sebagai kepala tim purchasing.
“Jadi, bagaimana kabar kota London hari ini?” Tanya Falisa. Suara kekehan itu mengalun merdu di seberang sana, suara yang hampir satu minggu ini tidak didengar Falisa karena sang kekasih begitu sibuk dengan pekerjaannya. Tapi Falisa memaklumi meski satu minggu pria itu tak sempat menghubunginya.
“Memangnya, apa menurutmu yang akan terjadi pada kota yang tak kenal kata tidur ini? Tentu saja di sini selalu ramai.” Yuuya berdeham, “Daripada membicarakan tentang London, bagaimana kalau kita membicarakan hadiah yang aku kirimkan padamu? Kau suka?”
Tanpa sadar Falisa memekik girang, “Kucing itu lucu sekali. Aku menyukainya. Aku bahkan sudah memberinya nama.”
“Oh, ya?”
“Tentu. Kau tidak bertanya nama apa yang kuberikan padanya?”
“Biar aku tebak,” jawab Yuuya, suara gumaman pria itu yang seolah sedang berpikir keras di seberang sana, tertangkap jelas indera pendengaran Falisa. “Mungkin namanya, Katty.”
Falisa tertawa, “Tebakanmu salah.”
“OK. Biar aku tebak lagi.” Dan suara gumaman itu kembali mengalun. “Winny mungkin.”
“Salah. Tiga kali menebak salah, aku akan menghukummu.”
“Kenapa begitu?” Tanya Yuuya, kaget.
“Supaya kau tidak menebak asal-asalan. Hei, kucing itu jantan ya, bukan betina.”
Yuuya pun tergelak dalam tawa, diikuti Falisa setelahnya. Mereka tertawa lepas bersama seolah tak memiliki beban apa pun dalam hidup.
“Baiklah, aku menyerah. Siapa nama kucing jantan itu?”
“Fredy. Keren kan namanya?”
“Biasa saja,” sahut Yuuya dan di sini Falisa langsung mengerucutkan bibir, lupa bahwa Yuuya tak mungkin melihat dirinya sedang cemberut.
“Bercanda. Tidak perlu cemberut seperti itu. Namanya lumayan keren. Yah, tidak buruk.”
Kedua mata Falisa terbelalak sempurna, “Tunggu. Darimana kau tahu aku sedang cemberut?”
“Tentu saja aku tahu. Aku tahu semua hal tentangmu, Beib. Memangnya menurutmu sejak kapan kita saling mengenal? Sejak masih bocah ingusan, benar?”
Falisa merinding di sini hingga kedua bahunya terangkat naik, “Kau menyeramkan, seperti cenayang saja. Tapi ngomong-ngomong, benar juga aku memang sedang cemberut.”
“Sudah kuduga,” jawab Yuuya sembari kembali terkekeh.
Obrolan ringan itu terus terjalin beberapa menit lamanya, namun tiba-tiba Falisa terdiam. Tatapannya kini tertuju pada ayahnya yang sedang berbicara dengan dua pria berjas hitam, di depan sana.
“Siapa mereka?” Gumam Falisa.
“Kenapa?”
“Ah, tidak. Itu, papa, sepertinya dia sedang bicara dengan orang asing.” Falisa mencoba menjelaskan kondisi yang dilihatnya sekarang pada Yuuya.
“Siapa?”
“Aku tidak tahu. Aku baru melihat mereka. Tapi dilihat dari penampilan mereka sepertinya bukan orang sembarangan. Seperti pegawai kantoran.”
“Pegawai kantoran?” Tanya Yuuya dan Falisa mengangguk, benar-benar lupa Yuuya tak mungkin melihat responnya.
“Aku rasa papa sedang ada sedikit masalah. Beib, aku tutup teleponnya ya. Kita sambung lagi nanti.”
“Kau tahu kan aku selalu ada untukmu? Jika kau butuh bantuan, jangan ragu mengatakannya padaku.”
Falisa tersenyum kecil, mungkin ini alasan dia bisa terpikat pada pria ini, Yuuya yang tampan dan begitu baik hati. “OK. Aku pasti mengabarimu jika terjadi masalah.”
“I love you.”
“Me too,” balas Falisa, lalu bergegas memutus sambungan itu.
Falisa berlari menghampiri sang ayah karena dua pria berjas itu sudah melenggang pergi, meninggalkan ayah Falisa yang tertunduk lesu di tempatnya berdiri.
“Pa, ada apa?” Tanya Falisa, setelah kini dia berdiri di depan sang ayah.
Pria paruh baya itu memaksakan diri untuk tersenyum, mungkin bermaksud mengatakan tak ada apa pun yang terjadi, namun tentu saja Falisa tak bisa dibohongi. Tercetak jelas di sorot mata ayahnya, sesuatu yang buruk telah terjadi.
“Siapa dua pria tadi, Pa? Aku belum pernah melihat mereka?”
“Bukan siapa-siapa,” sahut Edrick, ayah Falisa. “Apa yang kau lakukan di sini? Tidak membantu memetik buah anggur seperti biasa?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Dua pria tadi ... aku yakin mereka dari perkantoran. Kenapa mereka menemui papa? Dan lagi ...” Falisa mencondongkan tubuhnya ke depan, menelisik raut wajah sang ayah yang jelas-jelas sedang resah karena berusaha menyembunyikan sesuatu.
“... raut wajah papa terlihat gugup.” Falisa menyentuh lengan sang ayah. “Jangan sembunyikan apa pun dariku. Ceritakan padaku, ada apa? Dan siapa mereka?”
Edrick menghela napas panjang, tahu persis putrinya tak akan berhenti merongrongnya dengan pertanyaan karena itu tidak ada pilihan selain menceritakan segalanya. Edrick pun membuka mulut, mulai menceritakan garis besar permasalahan yang sedang dihadapinya, “Mereka dari Bank Central.”
“Kenapa orang Bank datang ke perkebunan kita?” Desak Falisa, penasaran bukan main.
“Mereka datang untuk ...” Kedua mata Edrick bergulir gelisah, seolah enggan untuk melanjutkan. Tapi melihat tatapan tajam Falisa, dia tahu tak ada jalan untuk mundur. “... menagih hutang.”
“Menagih hutang? Memangnya siapa yang memiliki hutang?”
Mendapati sang ayah tak menjawab dan hanya menundukan kepala, Falisa sudah bisa menebak jawaban atas pertanyaannya itu.
“Papa meminjam uang ke Bank itu?”
Edrick mengangguk lesu.
“Untuk apa, Pa?”
“Kau tahu perkebunan kita pernah diserang hama. Kita mengalami kerugian sangat besar karena tidak bisa panen padahal banyak pesanan yang masuk. Papa meminjam uang untuk membayar upah karyawan.”
“Kapan papa meminjam uang itu?”
Edrick mengembuskan napas frustasi, “Satu tahun yang lalu. Papa belum bisa melunasi karena kondisi keuangan masih krisis. Pemasukan kita belum cukup.”
Falisa mulai cemas sekarang, “B-Berapa hutang papa?”
Edrick menggeleng, dia menyentuh lengan Falisa, “Jangan dipikirkan. Ini urusan papa, kau tidak perlu ikut memikirkannya ya.”
Falisa balas menggenggam tangan keriput sang ayah dan menatapnya sendu, “Kita keluarga kan, Pa? Jadi aku harus tahu semua masalah papa. Bukankah papa juga selalu bilang begitu? Menyuruhku tidak menyembunyikan apa pun dari papa dan mama. Sekarang giliran papa, jangan menyembunyikan apa pun dariku.”
“Berapa hutang papa?” Untuk kesekian kalinya Falisa mendesak sang ayah agar cepat memberikan jawaban.
“Satu juta pound.”
Falisa terbelalak sekarang, berpikir keras di dalam kepalanya, dari mana ayahnya bisa membayar hutang sebesar itu?