Pelet, part 19

1048 Kata
“Kamu mau, Mas?” tanya Sulis ke arah Udin. “Bukannya nggak mau, Lis. Beberapa waktu lalu, Bu Haji sudah mulai curiga kalau aku ada hubungan dengan kamu, Lis. Dia juga mengancamku agar tak macam-macam dengan keluarganya,” jawab Udin. “Widya?” wajah Sulis berubah sinis ketika mengucapkan nama itu. “Dia ngomong apa ke Mas? Nanti biar aku yang tegur balik!” lanjutnya dingin. “Ndak usah, Lis,” jawab Udin. “Tapi gara-gara itu kan, kamu nggak mau kerja di tokoku, Mas,” sungut Sulis. Salah satu cara Sulis untuk menyibukkan diri adalah dengan membuka sebuah toko kelontong. Selama ini, Sulis memang tak pernah mengurusi tokonya tersebut secara langsung. Dia hanya sesekali saja datang ke tokonya untuk mengecek. Selebihnya, karyawan Sulis yang mengurusi tokonya. Mungkin bagi orang lain, sangat susah untuk membuka usaha seperti toko kelontong di Banyuanteng. Haji Imron tak akan membiarkan ada pesaing untuk usahanya. Tapi, untuk kasus Sulis tentu saja berbeda. Dia masih termasuk keluarga dekat Haji Imron, tentu saja usahanya bisa berjalan lancar dan ramai tanpa perlu Sulis awasi secara langsung sekalipun. Beberapa minggu setelah berhubungan dengan Udin, Sulis menemukan ide agar mereka makin dekat. Yaitu dengan cara memperkerjakan Udin sebagai karyawan di toko miliknya. Tetapi tawaran itu ditolak oleh Udin. ===== “Aku tahu hubunganmu dengan Mbak Ida,” bisik Hasnah lirih ke arah Udin. Udin diam terpaku di tempatnya tanpa bisa berkata-kata. Apa yang selama ini dia takutkan kini menjadi kenyataan. Bayangan Basari yang mengamuk sambil mengejar Udin dengan mengacungkan parang terlintas di kepalanya. “Kalau kamu nggak mau aku cerita ke orang-orang, nanti malam kamu ke rumahku sehabis Isya!” lanjut Hasnah sambil memutar badannya dan meninggalkan Udin yang masih terpaku di tempatnya. Udin yang baru saja mandi sore di sendang, alih-alih merasa segar justru merasa gerah karena keringat yang kini membasahi tubuhnya. Sosok Hasnah yang perlahan-lahan menghilang di balik rimbunnya pepohonan di pinggir jalan tanah yang menuju ke sendang, membuat Udin menarik napas panjang. ===== “Hasnah…” Panggil Udin pelan di pintu belakang rumah Hasnah yang letaknya tak begitu jauh dari rumah Udin. Udin jelas tak berani bertamu melalui pintu depan selarut ini. Cklek. Suara pintu yang terbuka dari dalam terdengar. Tak lama kemudian, Udin melihat Hasnah berdiri di balik pintu. Udin terpaku diam di tempatnya dengan alasan yang berbeda dengan tadi sore di Sendang. Di depan Udin, Hasnah berdiri hanya dengan sebuah daster tipis menerawang sepaha. Dia tak mengenakan apa pun di balik dasternya. Rambutnya diikat kuncir kuda ke belakang memperlihatkan lehernya yang jenjang dan menantang. Hasnah menatap sayu ke arah Udin yang masih berdiri terpaku. Sedetik kemudian, dengan tubuh bergetar, Hasnah maju dan mencium bibir Udin penuh nafsu. Udin terkejut untuk sesaat lalu membalas Hasnah tanpa ragu. Dia tak peduli lagi. Toh, pada suatu masa, pada suatu ketika, Hasnah adalah wanita pujaan Udin. Ketika kini wanita itu dengan sukarela masuk ke dalam pelukannya, tak kan mungkin Udin menolaknya. “Mhhmmm,” Hasnah dan Udin saling memagut dan memainkan lidah mereka di rongga mulut pasangannya. Udin yang masih bisa menguasai diri, berjalan maju perlahan sambil memeluk Hasnah lalu menutup pintu dengan tangan kanannya. Hasnah yang tak peduli dengan sekelilingnya, masih melahap bibir Udin penuh nafsu. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian, Hasnah melepaskan ciumannya dengan napas terengah-engah karena desakan birahi. Dengan tubuh bergetar, Hasnah menuntun Udin ke arah kamar tidur miliknya. Sesampainya di dalam, Hasnah merebahkan dirinya di atas kasur. Kasur tempat Hasnah biasanya melayani suaminya tercinta. Hasnah lalu membuka kedua pahanya. Udin bisa melihat mahkota indah milik Hasnah yang terawat dengan bulu yang tercukur rapi. Udin lalu mengulurkan jarinya untuk menyentuh mahkota itu. Saat jemarinya sampai di sana dan menyadari betapa banyak cairan kewanitaan yang ada di sana, Udin tahu kalau Hasnah sudah siap menerimanya. Beberapa detik kemudian, Hasnah mengerang keenakan. Dia melayang-layang. Sejak Hasnah melihat Udin dan Mbak Ida, Hasnah selalu membayangkan kelelakian Udin setiap kali Hasnah memuaskan diri dengan tangannya sendiri. Dan kini, semua khayalan itu menjadi kenyataan. ===== Hasnah tersenyum puas. Ini kali pertama dalam hidupnya dia bisa menikmati hubungan intim antara seorang pria dan wanita. Apa yang Udin berikan ternyata melampaui semua harapan yang selama ini dia khayalkan. “Pantesan Mbak Ida nagih sama punyamu ini, ternyata memang manteb bener,” puji Hasnah sambil meremas kelelakian Udin yang tersembunyi di balik celana. Udin hanya tersenyum kecut sambil memakai kaos lusuhnya. “Tolong jangan kasih tahu Kang Bas ya Nah,” pinta Udin lirih. “Aman, pokoknya semua aman sama aku. Asalkan jatahku juga lancar,” jawab Hasnah sambil tersenyum tipis. Udin hanya bisa tersenyum kecut ketika mendengar jawaban Hasnah. Entah pusaran malapetaka apalagi yang kini menyeretnya. Saat dia membayangkan sosok Basari, Ruwito atau Pak Lurah yang murka karena apa yang dia lakukan terhadap istri mereka, Udin hanya bisa mengeluh dalam hati. Tak lama kemudian, Udin sudah selesai memakai baju dan celananya. Dia melirik ke arah Hasnah yang masih terbaring di atas kasur tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Secara fisik, Hasnah tentu kalah jauh dibandingkan Ida. Apalagi jika dibandingkan dengan Bu Lurah, jelas tak ada apa-apanya. Seandainya bisa, Udin tak mau berurusan dengan wanita yang dulu pernah menjadi pujaan hatinya ini. Udin tersenyum kecut dalam hati. Hasnah, wanita yang dulu dia puja, yang dulu dia kejar dan ingin dia persunting, kini tak lagi menarik hatinya. “Aku pulang dulu, Nah,” pamit Udin sambil beranjak ke arah pintu belakang rumah Ruwito. Hasnah berdiri, tanpa malu-malu, dia langsung mencium pipi Udin sambil tersenyum kecil, “Iya, makasih lho Din.” Senyuman di wajah Hasnah hilang ketika Udin tak lagi terlihat dalam kegelapan malam di belakang rumahnya. Dia tahu kalau Udin tak lagi seperti Udin yang dia kenal dulu. Dalam ingatan Hasnah, Udin adalah laki-laki bodoh yang akan selalu menuruti apapun permintaan Hasnah. Bukan sekali dua, Udin menjadi kambing hitam atas kesalahan yang dilakukan oleh Hasnah. Udin juga selalu menatap Hasnah dengan mata berbinar penuh takjub dan cinta. “Mentang-mentang kamu sekarang sudah bisa meniduri Mbak Ida, sekarang kamu merasa aku tak layak lagi untukmu?” gumam Hasnah sinis. “Udin… Udin… Kamu dulu pernah bertekuk lutut di depanku, dan aku bisa membuatmu untuk kembali bertekuk lutut seperti dulu. Kau lihat saja,” lanjutnya sambil menutup pintu belakang rumahnya. Suara jangkrik terdengar di sela-sela keheningan malam, menjadi saksi bisu semua kejadian yang baru saja terjadi di rumah Ruwito antara Hasnah dan Udin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN