“Jadi, cerita yang aku dengar belakangan ini memang benar?” tanya seorang laki-laki dengan nada datar ke arah seorang wanita cantik di depannya.
“Terus?” jawab si wanita cantik dengan nada datar sambil balas menatap dengan tajam ke arah laki-laki itu.
“Kamu nggak mikir nama baikku? Kamu nggak malu kalau orang-orang kampung tahu kelakuanmu?” tanya si laki-laki dengan nada meninggi.
“Mas nggak punya kaca? Apa Mas pikir, selama ini orang-orang kampung nggak tahu kelakuan Mas?” Sulis bertanya balik dengan nada juga meninggi.
Amran terdiam sambil menatap tajam ke arah istrinya. Ini kali pertama sejak menikah, wanita di depannya ini meninggikan suara kepada dirinya. Ini juga kali pertama, wanita ini berani melawan dirinya.
“Kalau Mas tak percaya, silakan tanya ke semua orang, siapa yang tak tau kelakuan Mas? Mereka semua hanya diam karena tak berani menegur Mas,” lanjut Sulis, kali ini, suaranya mulai bercampur dengan isak tangis.
Rasa kecewa dan sedih, yang selama ini Sulis tahan dan bendung selama pernikahannya kini tumpah ruah tak tertahan. Perlakuan dingin yang dia peroleh dari suaminya, kelakuan binatang yang dia dapatkan dari kakak iparnya, masa depan pernikahan yang kelam karena orientasi seksual menyimpang sang suami, dan semua masalah yang selama ini menyesaki d**a Sulis, seolah ingin mencari jalan untuk meledak keluar hingga tak bersisa.
“Bertahun-tahun Mas tak pernah menyentuhku. Aku ini manusia normal, Mas. Aku juga butuh perhatian dan kasih sayang.”
“Aku pernah meminta Mas untuk menceraikanku. Tapi Mas tak mau. Semua itu karena keegoisanmu, kan Mas? Mas mau menjadikan aku sebagai tameng. Agar seolah-olah Mas terlihat sebagai laki-laki normal, laki-laki terpandang dan terhormat. Tapi nyatanya?”
Amran hanya menatap tajam ke arah istrinya. Dia jelas marah. Istrinya jelas-jelas melawannya dan bahkan menghina Amran sebagai laki-laki tak normal. Tapi Amran hanya bisa diam. Dia tak punya alasan apa pun untuk membantah tuduhan Sulis, karena semua yang dikatakan Sulis memang kenyataan.
Selama beberapa menit, hanya suara isak tangis yang memenuhi ruangan kamar tidur Amran dan Sulis.
“Oke. Silahkan kalau kamu mau tetap lanjutkan hubunganmu dengan si b*****h itu, tapi aku mau kau tetap merahasiakannya demi nama baikku,” gumam Amran lirih.
Isak tangis Sulis terdengar makin keras setelah mendengar kata-kata Amran. Kini, setitik harapan yang tersisa dalam dirinya sirna.
Sebelum ini, Sulis memendam setitik asa untuk pernikahannya. Sulis berharap Amran akan marah besar lalu menjadikan itu sebagai titik yang memicu perubahan dalam pernikahan mereka. Sulis berharap Amran akan merubah kelainannya dan menunjukkan sikap sebagai seorang laki-laki sejati ketika istrinya diganggu laki-laki lain.
Tapi harapan itu kini sirna. Amran tak akan berubah. Tak akan pernah. Di mata Amran, Sulis tak lebih berharga dibandingkan nama baiknya sebagai orang nomor satu di Banyuanteng. Amran juga lebih rela istrinya berada di dalam pelukan laki-laki lain dibandingkan dirinya meninggalkan hubungan menyimpangnya.
=====
Napas Udin tersengal-sengal. Dia tak kuat lagi. Apalagi ketika dia merasakan jepitan luar biasa yang membuat tubuhnya seakan terbang melayang di antara bintang-bintang.
“Liiisss...” desis Udin lirih.
Sulis hanya tersenyum kecil tapi tak menghentikan gerakannya.
“Aku nggak kuat lagi, Lis,” pinta Udin ke arah wanita yang sekarang duduk di atasnya.
“Ya udah, pipis aja,” bisik Sulis di antara napasnya yang terputus-putus dan bercampur desah.
“Ngawur,” jawab Udin cepat. Tak mungkin dia mengeluarkan laharnya sekarang, apalagi dia dan Sulis masih menjadi satu.
“Kok ngawur?” tanya Sulis.
“Nanti kamu hamil,” jawab Udin cepat.
“Terus kenapa kalau hamil? Mas nggak mau tanggung jawab? Hm?” tanya Sulis pura-pura marah sambil menghentakkan tubuhnya ke bawah, membuat sesuatu menancap semakin dalam ke tubuhnya sendiri.
“Argghh,” erang Udin sambil reflek mendorong pinggang Sulis ke atas, berusaha memisahkan tubuh mereka berdua karena Udin tak bisa lagi menahan desakan itu.
Sulis bergerak tak kalah cepat, dia memegangi kedua tangan Udin yang memegangi pinggangnya dan melepas kedua tangan itu. Dia lalu merebahkan tubuhnya menindih Udin dan menggerakan bagian bawah tubuhnya makin cepat dan dalam.
Tak lama kemudian, hanya dua erangan tertahan yang terdengar dari tempat itu.
=====
Udin tak habis pikir. Ini kali ke sekian, wanita yang dikenal sebagai Bu Lurah itu datang ke gubuk reotnya di pinggir desa. Ini juga bukan kali pertama mereka melakukan hubungan terlarang yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan suami istri. Tapi ini kali pertama dia melihat sosok Sulis sebagai wanita seutuhnya.
“Mas, seandainya aku bercerai, Mas mau nikahin aku?” bisik Sulis lirih hampir tak terdengar dalam pelukan Udin.
Udin tercekat tanpa kata, “Apakah ini alasan perubahan sosok Sulis?” tanyanya dalam hati.
“Kamu kok ngawur to, Lis? Tadi juga, bisa-bisanya maksa pipis di dalam. Sekarang, kamu nanya seperti itu,” jawab Udin.
Sulis mengangkat wajahnya lalu menatap Udin, “Mas mau nikahin aku nggak?” tanyanya lagi dengan nada serius.
Udin jelas kebingungan dan tak tahu harus menjawab apa. Meskipun Udin sebenarnya ingin berteriak lantang dan menjawab bersedia, tapi Udin sadar diri. Ada banyak alasan yang membuatnya tak bisa menjawab pertanyaan itu.
“Aku… Aku ini hanya pemuda kere, Lis. Kamu kan tahu itu. Aku nggak bakalan bisa memberikan apa yang Pak Lurah berikan untukmu,” jawab Udin lirih.
“Aku nggak nanya itu, Mas. Aku cuma pengen tahu, seandainya aku bercerai, Mas mau nikahin aku atau tidak?” ulang Sulis lagi, masih dengan nada yang serius.
Dan untuk kesekian kalinya, Udin hanya diam tak memberikan jawaban.
Sulis menarik napas panjang lalu kembali merebahkan kepalanya ke d**a Udin, menikmati debaran d**a laki-laki itu dan kembali larut dalam pikirannya.
Di saat yang sama, Udin juga menolehkan wajahnya lalu menatap genteng rumahnya. Genteng tua, yang berjajar rapi tanpa tertutup plafond seperti rumah-rumah mereka yang lebih berada.
Perbedaan status dan perbedaan ekonomi hanyalah sebagian dari alasan kenapa Udin tak berani dan tak berharap untuk bisa menikahi Sulis. Mungkin, saat ini, Sulis mau menerima Udin apa adanya, entah beberapa tahun ke depan.
Tapi, alasan utama yang membuat Udin ragu untuk memberikan jawaban dari pertanyaan Sulis adalah rahasia terbesar Udin, ilmu peletnya.
Sampai detik ini, Udin masih menyimpan keraguan. Dia merasa kalau semua rasa yang Sulis rasakan, semua pengaruh yang Udin berikan kepada Sulis, adalah buah dari pengaruh ilmu pelet milik Udin. Tanpa pengaruh ilmu pelet itu, Udin yakin jika Sulis, wanita cantik terpandang dan dikenal sebagai Bu Lurah di Banyuanteng ini, tak akan sudi untuk melirik laki-laki seperti Udin.
Karena itulah, saat Sulis menanyakan apakah Udin mau menikahinya, Udin tak bisa menjawabnya.