TIGA

2079 Kata
"Dev, menurut lo, cowok suka basa-basi atau ketika dia memang nggak suka, dia akan bilang nggak suka dan nggak perlu ngerespons dengan kategori 'manis'?" Ini tanya begini, bukan karena gue nggak tahu atau nggak punya tebakan asal sama sekali sih. Gue cuma mau tahu dari pandangan orang lain. Ya, biar sekiranya gue nggak selfish amat gitu lho. Paham lah ya. "Itu pertanyaan atau masalah idup sih, Ya, panjang amat." Gue ketawa. "Sebenernya gue nggak ngerti, lo tanya begini karena beneran pengen tahu, atau cuma karena gabut aja," katanya, sambil tetap ngetik di laptop tanpa natap gue sama sekali. Yang gue heran kadang, kenapa gue bisa memperkerjakan orang sengeselin ini mulutnya. Nggak ada senyum lagi. "Cowok nggak bisa lo ambil satu dan bisa lo jadiin sampel untuk mewakili semuanya." Gila, okay ngerti. Bagian ini gue ngerti, apa salahnya sih sharing pendapat! "Kalau lo tanya begitu, seakan lo nuding satu cowok untuk semua." "Ngerti. Menurut lo secara general aja." "Ya simpel sih. Ada yang memang nggak suka basa-basi, lantas ketika dia bersikap manis artinya dia memang mau. Atau, ada yang anggap basa-basi adalah komponen dalam bersosialisasi.  Nah, masalahnya, cowok yang lo maksud nggak tahu bagian mana." Gue nyengir lebar. "Nah itu! Sekarang gue tahu kenapa lo ada di sini." Bangun dari sofa, gue buru-buru ke lemari buat ganti baju. "Mau ke mana lo?" "Mau buktiin dia termasuk bagian yang mana." Saat gue mengedipkan sebelah mata, Devi masih tetap menatap gue tanpa perubahan ekspresi. Tapi jangan dikira gue nggak tahu, dia lagi memaki gue, pasti. "Fyi, dia yang ngajak. Lo tahu, meski kadang gue mutusin hubungan lebih dulu, gue tetap suka menunggu untuk dipilih." Setelahnya dia nggak menjawab. Dan, kali ini lo jangan minta gue buat ngartiin lah. Gila, gue bukan cenayang, Bebs. Sampai setelah gue selesai ganti baju (iya, gue memang se-nggak-tahu-malu itu buat ganti pakaian di depan orang), Devi masih khusyuk banget ngetik. Gue kira dia beneran nggak mau buka mulutnya yang tipis dan tajem itu, tapi ternyata tepat ketika gue selesai menyemprotkan parfum, dia ngomong. Gini katanya, "Nanti malem sisihin waktu buat IG Story dua produk aja. Script-nya udah gue kirim ke elo." "Thanks." Dia begitu. Bukan yang akan tanya, "terus nanti balik jam berapa? Terus storiin produk ini gimana? Yang ini gimana?" Itu bukan Devi. Devi adalah orang yang nggak peduli aku pulang jam berapa dan nggak akan worry aku nggak bisa nyisahin waktu bentar buat endorse. Karena ketika dia bilang hari itu, maka hari itu harus terjadi. Karena di sini, bukan Devi yang ngikutin waktu Samiya, tetapi sebaliknya. Gue nggak ngerti kenapa bisa begini, intinya gue merasa ya memang dia orang yang gue butuhkan.  Apa lo sadar, kadang kita perlu hidup bareng orang yang bahkan kita sendiri merasa ... kenapa harus dia? Dan .... Ini informasi penting untuk memperjelas semuanya sebelum lo tanya ini-itu, asumsi hal ini dan hal itu. Pusing dengerinnya. Gue ceritain sambil gue ...  bentar, gue pamitan sama Nyokap dulu. "Keluar bentar, ya Bu. Jam tujuh udah di rumah. Janji." Karena gue juga harus story ** kan. "Bilaperlu aku yang jemput Biyas atau?" "Dia nginep tempat Riana. Minta diajari matematika katanya." "Minta ke orang yang tepat," kataku, salaman dengan Ibu. "Miya berangkat. Assalamualaikum." "Cantik amat, Miya! Mau ke mana?" "Iya!" teriak gue nggk nyambung. Lanjut ya. Jadi, ketika tadi gue bilang ke Devi kalau gue mau membuktikan 'dia' adalah bagian yang mana. Apakah yang menjadikan basa-basi itu penting, atau memang dia merasa tertarik. Gue nggak bohong soal itu. Hari ini, gue dan Tarangga (Gila nggak sih lo, iya gue ngerti ini memang gila, tapi gue merasa namanya gagah banget ketimbang sekadar Aga. So please, panggil dia secara benar yaitu Tarangga) membuat janji untuk bertemu. Gimana caranya? Yup, kita saling tuker nomor di acara ulang tahun Riana. Dan yup, dia chat gue duluan, dengan kalimat super menggemaskan. hai, ini Tarangga.  silakan disave nomorku, aku sudah save nomormu.  selamat ngobrol di w******p, Miya. Yang bikin menggemaskan sebenarnya ada dua. Pertama, karena dia nggak salah lagi dalam menyebut atau menulis nama gue. Kedua, tentu saja sebutannya untuk dirinya sendiri sudah bukan lagi 'saya', tetapi 'aku.' Dan gue patut bangga dong. Sekaligus penasaran, semenarik apa dia ketika semakin didekati. Terus siapa yang ngajak ketemuan duluan? Sudah pasti dia. Dengan bantuan kalimat-kalimat implisit berisi rayuan ke arah sana yang gue kasih, akhirnya keluar ajakannya di dalam chat room kami. besok aku free jam sore,  berkenan buat keluar bareng, Miya? So here I am. Di perjalanan sedang menuju tempat yang dia sebutkan sambil bercerita panjang kali lebar ke elo. Gue nggak ngerti manfaatnya gue cerita ini apa, tapi, anggap aja sebagai time killer biar nggak bete-bete amat di perjalanan. Dan, mood gue masih tetap stabil dong, saat tahu ternyata dia berusaha menunjukkan impresi yang bagus, meski bukan pertemuan pertama. Yang gue maksud di sini adalah ... dia sudah datang lebih dulu padahal gue juga nggak telat kok. Kemudian dia memakai pakaian yang sopan---ohiya, gue baru merhatiin kalau dia suka banget casual look. Tampilan mukanya juga okay banget. Rambut yang nggak PNS-PNS banget, tapi nggak Chicco Jerikho saat lagi indie banget juga. Paham nggak sih maksud gue. Rambutnya pas. Tampilannya menarik. Wanginya mantap. Yang berlebihan cuma satu: manis senyumannya. "Kok udah sampe aja, Mas?" Gue narik kursi, kemudian ketawa saat dia ketawa kecil dan duduk kembali (tadinya saat tahu gue datang, dia berdiri. Gemas). "Gue udah berangkat jauh sebelum jam janjian karena gue nggak mau telat." "Persis." Ketawa gue naik satu tingkat. "Jadi, saking sama-sama nggak mau jadi yang ditunggu, kita dulu-duluan?" Saat melihat dia mengangguk, gue meremas tangan sendiri saking gemasnya. "Selamat untuk kita berdua." "Selamat untuk kita berdua." Dia menunduk, mencari-cari sesuatu di kantong, kemudian dikasihinlah ke gue lipatan kertas. "Dari Azriel. Makin hari, pertanyaannya makin banyak. 'Om mau ke mana? Kalau kerja kok di luar? Biasanya banyak cewek yang dateng ke rumah? Kenapa sekarang beda? Azriel nggak percaya kayaknya. Sampai ngaku.'" Gue beneran ketawa ketika dia berusaha banget niruin gaya Azriel ngomong. "Terus?" "Sampai akhirnya aku harus bilang kalau mau ketemu Kak Miya. Dan, itu yang dia titipin." "Gue buka ya." Masih sambil nyengir lebar, gue membuka kertas hasil kerjaan bocah yang udah nggak bocah kadang-kadang. "Halo, Kak Miya. Main sama Om aku yang baik-baik ya. Dia super baik. Thank you! Itu katanya." Gue masih nggak bisa berhenti senyum. "Gimana bisa anak segitu semanis ini, Mas?" "Papa dan mamanya dua orang yang berpengaruh buat dia. Aku tinggal meneruskan." "Papanya. Itu artinya masih ada kemungkinan garis keturunan punya sifat yang sama, kan?" Dia tergelak, artinya dia paham ke mana maksud omongan gue. Ini yang gue bilang enaknya ngobrol dengan yang lebih tua, mereka mudah paham karena mungkin pernah melewati masa-masa pemikiran seusia gue ini. "Aku bukan orang yang manis. Bukan, Eng ...." Dia terlihat berpikir sebentar. Ditambah harus jeda karena ada waitres nganter minuman dan makanan. "Kamu nggak akan bisa menilai tindakanmu sendiri sebelum orang lain notis itu, bukan?" Gue mengerutkan alis. "Semacam ... 'lo kenapa sih g****k banget rela ngelakuin itu padahal dia nggak kasih hal yang sama' atau 'lo jahat banget tau sama dia, sampe bikin dia stres'. Menurut Miya gimana?" "I SEE!" seru gue mulai nggak kekontrol. "Sorry." Dia mengangguk, gue mulai menyeruput minuman. "Itu bener. Jadi memang kita kadang nggak ngeh kita udah baik, jahat, terlihat peduli atau sesimpel, kita nggak berani melabeli diri sendiri. Bukan begitu?" "That's it." Dia punya hidung yang menarik. Fokus gue dari semua ornamen wajahnya adalah hidung. Setelah itu mata. Ketika dia senyum lebar atau ngomong, matanya akan terlihat berbinar. Indah. Satu kata buat mewakili dirinya. "Miya." "Ya?" Kepalanya menoleh ke sekeliling sesaat kemudian balik ke arah gue lagi. "Kamu suka makan di tempat begini atau punya pilihan lain yang lebih kamu sukai?" Gue senyum dulu bentar, karena berusaha mengerti arahnya ke mana. Bisa aja dia hanya sekadar basa-basi, atau beneran mau cari referensi baru buat tempat ketemu kami selanjutnya. Terlalu pede? Itu memang menjadi bagian opsi, Bebs. Lo nggak setuju, ya silakan. "Gue sebenernya bingung jelasinnya." Gue menelan makanan itu, kemudian memainkan garpu di tangan. "Kadang gue suka ada di keramaian. Merhatiin orang lalu-lalang dengan berbagai ekspresi. Mencoba nebak apa yang mereka pikirin, gimana hidup mereka di belakang. Tapi, di sisi lain, gue juga seneng ada di kamar, tiduran, nonton netflix, atau dengerin musik, atau sekadar scroll video receh di Twitter. Orang bilang itu ambivert, gue nggak paham semuanya. So, that's all." Dia mengangguk-angguk. "Kalau itu menjadi sebuah pilihan, aku lebih memilih opsi yang kedua dari yang kamu sebutin." "Ohya?" Sekarang sendok dan garpu gue taro di atas piring. Ini lebih menarik. "Untuk seseorang yang lagi ngembangin satu media khusus tentang perempuan, tentang masalah yang dianggap kecil, Mas lebih suka ngelakuin hal-hal nggak berguna kayak gue tadi?" "Ketika sesuatu yang dianggap terlalu waw, dilakukan terus-menerus, kamu bakalan ada di titik, ngerasa semua itu nggak ada bedanya, Miya." Oh s**t .... Miya-nya versi dia seksi amat, nggak ngerti lagi. "Aku sempat kepikiran, 'ngapain aku terus berkoar-koar membela, padahal yang dibela malah menjerumuskan dirinya sendiri dengan sadar?" Tunggu deh. Ini gue yang lemot banget, atau memang omongan dia penuh maksud sampai gue aja nggak bisa asal nebak ke mana arahnya? Padahal, soal sok-sok-an, gue ahli lho. "Ohya, kamu bilang tadi suka lihat ekspresi orang-orang?" Gue mengangguk. "Apa yang kamu suka dari itu?" Kok malah gue lagi yang kena. Ini sih karena tadi gue sempat ngeblank. Makanya dia jadiin kesempatan buat tanya lebih jauh. Padahal harusnya skornya sama. "Ngingetin diri sendiri aja sih. Kalau di dunia ini yang hidup nggak cuma gue." Senyuman gue udah lebar banget nih. "Jadi, saat gue lagi sedih atau merasa hidup nggak adil, gue keluar sendirian, naik kendaraan umum. Dulu sih suka tiba-tiba naik angkot, sekarang naik Trans Jakarta. Liat ekspresi orang macem-macem. Ada yang keliatan lelah banget sambil bawa tote bag di kiri-kanan. Ada yang senyam-senyum sambil liat hape. Ada yang marah-marah kesenggol mungkin karena udah banyak pikirian. Lo tahu, Mas, kayak ... ngingetin lo kalau mungkin di luar sana banyak yang mau berjuang buat bangun dari masalahnya." Damn, kenapa malah jadi panjang?! "Perspektif yang sangat menarik, Miya." "Thank you." Sekarang giliran gue sebelum dia keburu nembak lagi. "Kalau Mas sendiri, kenapa lebih suka di kamar daripada di luar?" Kami malah jadi sama-sama ketawa. Gue baru sadar kalau itu ambigu banget, dan nggak tahu dia ngeh ke makna yang sama atau nggak. "Sorry, maksudnya soal Mas tadi yang lebih suka di dalam ketimbang di luar." Okay, gue mgerti gue harus mingkem. Karena ketawa kami makin gede. "Aku paham dan aku jawab aja, biar kamu nggak perlu merasa salah terus." THAT'S WHY I AM HERE. Karena asumsi gue, lo adalah orang yang mengagumkan, Tarangga. "Dulu aku punya sahabat kecil. Dia kembar. Kita sebut namanya sebagai A dan B untuk mempermudah." Gue ngangguk, dia melanjutkan. "Tapi aku lebih dekat dengan yang B, yang adalah sebagai adik. Tapi A tetap sesekali main bareng sama kami, cuma dia lebih seneng di rumah ngerjain PR dan lain-lain. B dan aku lebih suka nonton musik di televisi atau DVD. Sampai di sini bisa dibayangkan?" Gue ngangguk dengan mantab. "A pinter sekali di sekolah. B bukan nggak pinter, tetapi dia merasa dia lebih perlu untuk mengingat dan mengahafal lirik lagu dan joget ketimbang mata pelajaran." Gue sudah bisa membayangkan scene itu. Terlihat lucu. "Dan, setiap hari, orangtuanya selalu membandingkan mereka. Ketika B ngelakuin kesalahan, mereka pasti ungkit soal B yang nggak mau belajar dan nggak bisa niru sebaik kakaknya. Dibanding-bandingkan nggak nurut seperti kakaknya. Sampai di puncak cerita, B harus mengambil jurusan yang diinginkan orang tuanya." Gue menelan ludah, mulai was-was sama bagian sinetronnya. "B nggak membangkang. Dia bilang, dia cukup menjadi dirinya sendiri, membahagiakan dirinya selama ini dengan ikutan kelas ini-itu tentang musik dan dance. Jadi, dia iyain permintaan orang tuanya. Akhirnya, sekarang dia bikin kelas musik buat memuaskan cita-citanya yang nggak pernah tergapai." Terus bagian ceritanya mana? "Kamu nggak tanya hubungannya dengan ceritaku?" Oh udah, di dalam hati. Gue nyengir, dia senyum. "Hubungannya adalah ... sejak B cerita tentang dia yang dibandingkan dan lain-lain, aku jadi mikir, manusia ketika di luar zonanya, itu hanyalah penyamaran. Kamu pernah merasa perlu terlihat baik, atau merasa perlu untuk rapi saat keluar rumah, tetapi merasa bodo amat saat di dalam kamar?" "Ya." "Sama. Aku dulu mikirnya, kalau aku di dalam rumah, artinya aku sedang memberitahu diri sendiri sebuah kebenaran tentang aku. B cuma berani nangis, marah dan teriak saat di dalam kamarnya atau kamarku. Sisanya dia berusaha." "Tapi Mas interview banyak orang." "Memang. Itu adalah bagian aku dari yang 'berusaha' tadi, bukan bagian yang aku bisa sepuasnya." "Karena itu juga Mas merasa perlu bikin media ini untuk perempuan?" "Iya. Karena kata B, dia bukan satu-satunya. Banyak perempuan yang ngerasa insecure nggak kenal waktu. Bisa jadi karena kebisaan sejak dulu yang selalu membandingkan satu perempuan dengan perempuan lain." Oh ... betapa manisnya. Gue menyentuh d**a. "Dari hati yang paling dalam, gue mewakili perempuan mengucapkan terima kasih, Mas Tarangga buat kepeduliannya." Hal itu memang benar, perempuan seolah jadi kompetitor untuk satu sama lain. Dia senyum sambil mengangguk. "Jadi, Miya, kalau tetap disuruh memilih, kamu pilih opsi yang pertama atau kedua?" Lo emang emas sih, Tarangga. Cerdik membidik sesuatu. Gue senyum geli karena paham betul ke mana pembicaranya. Dari sini juga gue ngerti dia masuk bagian mana berdasarkan kategori yang dibikin Devi tadi. "Gue lebih suka yang semi private, Mas. Nggak rame banget, tapi bukan harus kamar." "Perpustakaan Nasional. Gimana?" "Deal." Apaan tuh? PDKT di perpustakaan? Udah gila lo, Miya. Level nasional lagi perpustakaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN