DUA

2109 Kata
"Lo mainin cowok kayak gitu jadi prestasi emang, Kak, hah?" "Lo ke pacar begitu dan lo pikir itu prestasi juga, hah?" "Seenggaknya gue belajar komit sejak dini!" "Nggak usah lo ngajarin gue soal komit! Anak kecil kayak lo tau apa soal komitmen. Bukannya gampang banget buat lo-lo semua itu matahin komit?" "Alasan paling nggak masuk akal! Kalau kenapa-napa selalu bawa kalimat 'anak kecil tau apa'. Padahal tua juga belum tentu bener. Tua umur doang, logika nggak nyampe." "Lemes banget mulut lo, Met?" "Gue benci sama lo." "Sinting emang lo rela maki gue cuma perkara kue ketan doang. Monyong." Matanya mendelik, dia melempar tas ke sofa dan menghampiri gue. Udah mulai was-was nih. Yakali aja, tenaganya kuat banget woy. Kalau sampe dia nyekik gue di sini, yakin deh hidup gue juga bakalan kelar. Hati manusia siapa yang tahu kan. Ditambah dia dalam kondisi marah tuh. Gue enggak mau mempertaruhkan nyawa gue sebenarnya. Halah, Biyas aja memang berlebihan. Tubuhnya berhenti di depan gue pas, tangannya disodorin di depan muka, "Bagi duit, Kak." "Kambing lo!" Gue mundur dan mengembuskan napas kuat-kuat. "Gue kira lo kerasukan gitu kan, mau nyekik gue atau gimana. Duit mulu hidup lo. Minggat sana." "Kemarin lo bilang kalau gue anter-jemput lo bakalan ditambahin. Udah kue gue diabisin, duit nggak dibayar." Gue ngakak. "Gue bilangin Ibu ya, kalau lo mainin cowok banyak." "Lemes, najis." "Yaudah minta duit makanya." "Berapa?" Tangannya memamerkan lima jari. "Banyak bener woy!" "Kan beberapa hari, pulang pergi. Lo kira nyupir di Jakarta nggak butuh effort? Belum lagi gue kan rawan ditilang." "Lah apa hubungannya? SIM lo udah jadi. Udah ah bacot. Gue kirim nih. Tapi awas kalau gue butuh apa-apa lo nggak guna." "Bu! Kak Miya put---" "Mingkem nggak lo." Dia nyengir. Bocah biadab. "Lagian ya, Kak, yang mas Reza kemarin udah yahud bener, kurang apa siiiii. Yang lo cari apa sih. Duit, batang, terus apa lagi?" Gue melirik sinis. Tahu-tahuan batang. Kayak punya dia udah mateng aja. Dia malah nyengir lagi. "Udah gue kirim. Noh." Gue sodorin layar hape yang memperlihatkan status berhasil pengiriman. Biar puas lo. "Lagian kita udahan juga dia yang bilang udah bosen." "Serius?" Kami duduk di sofa, bahkan si Jamet belum mengganti seragamnya. Dia anak yang asyik diajak ngobrol sebenarnya. Kalau lagi waras. Tapi sering nggak warasnya, jadi males. Kalau nggak duit, nggak ada yang bisa mempersatukan kami. Kata Ibu sih karena gue yang memulai perang dengan memakan makanannya tanpa izin, hehehe. Dasar bocahnya pelit aja sih, timbang diminta sama kakaknya aja sampai heboh banget. "Selo aja. Gue nggak patah hati." Gue mulai bercerita. "Lo taulah main gue gimana. Kalau kami mau, ayok, tapi dengan catatan, saat sebelah udah nggak mau, maka selesai. Nggak jarang kok gue duluan yang udahin." Mulutnya berdecih, keliatan meremehkan. Gue tabok pahanya kencang. "Lo nggak sadar ya selama ini punya kakak yang begitu memegang prinsip hidup dan nggak cengeng?" "Hiya hiya hiya." "Alay lo, minggat. Itu slogan apaan siiih." "Padahal gue udah suka tuh sama mas Reza." "Lah, emang pernah gue kenalin? Dia aja nggak pernah gue bawa ke rumah." "Kan pernah ketemu, waktu ulang taun Riana tahun lalu?" Ohiya. Gara-gara mbak Zia tuh, ribet bener. Maunya banyaaaaak bikin pusing sampe akhirnya gue harus bawa Reza ke sana. Untung yang tahu status kami cuma si Jamet. See, dia keren banget soal jaga rahasia, walau kadang jadi senjata dia buat meres gue. Kambing memang. Dan ngomongin soal Reza, sekadar info aja nih ya, dia termasuk yang paling lama daripada lainnya. Gimana nggak lama, kami ketemu seminggu sekali, kadang dua minggu sekali, kadang juga sebulan sekali. Jadi, kita tuh jarang banget melakukan seks. Padahal sama Reza ini gue sering banget lepas kontrol diri. Seks emang candu, jadi kalau belum terlanjur, pikirik lagi deh siap nggak sama risikonya. Dan, menariknya lagi, Reza ini juga termasuk anti drama. Gue main sama temen, monggo. Nggak ada tuh tanya ini-itu dengan alasan kami ketemu jarang blah blah blah. Cuma ya gitu, pas dia bilang mau berakhir, rasanya agak jleb aja. Gue bertahan juga karena gue merasa untung, jadi ketika dia yang mengakhiri, agak nggak rela. Pelukannya enak banget, menenangkan. Cuddling sepanjang malam bila perlu nggak usah ngapa-ngapain juga mau gue mah. Ciumannya apalagi. Seksnya apalagi, jarang tapi berkualitas. Ya mungkin karena itu. Dia baru sadar kali, ngapain pacaran lama-lama, seks aja jarang, wong dinikahin nggak mau. Menurut gue sih. Ahelah. "Ngapain sih lo ngingetin gue sama Reza. Ganti baju sana." Biyas berdiri, menunduk hormat kemudian pamit ke kamarnya. *** "Dia maunya tuh Wulan, bukan ala-ala Elsa." "Mulan, Miya! Bukan Wulan," teriak mbak Zia dari dalam dapur. "Gitu lah, Bu. Aku nggak paham disney-disneyan gini. Tauku cuma Elsa, udah." Gue membanting tubuh di sofa sebelah Ibu. "Baju ulang tahun kok referensinya baju perang. Nggak ngerti deh sama ide gilanya Riana." "Tapi tetep cantik ya, Ya?" "Emang Ibu udah liat? Dia aja masih di kamar." Gue menoleh ke arah dapur. "Acaranya mulai jam berapa, Mbak?" "Jam tiga sore. Nggak banyak anak-anaknya kok. Cuma temen sekelas aja sama Bu Intan." Temen sekelas dan bu Intan. Hm, kira-kira nih, apakah om-nya Azriel yang seksi baik suara maupun fisiknya itu bakalan dateng juga nggak ya? Sesuai informasi dari Riana, ortu Azriel kan lagi nggak ada, jadi kemungkinan besar yang anter om Aga dong. Siapa lagi coba. Lama banget deh jamnya jalan. "Mama! Mama! Azriel udah mau sampe, coba liatin aku begini gimanaaa?" Gue cuma menganga melihat Riana berlari menuruni tangga lengkap dengan baju perangnya. Yang lebih gila, dia beneran bawa pedang-pedangan. Bukan pedang anu ya, ini literally pedang. Ibu berbisik, "Lucu banget anak jaman sekarang. Udah ngerti harus dandan cantik depan gebetan." "Ibu dulu gitu?" Dia berdecih. "Enggaklah. Ayahmu aja yang ngejar-ngejar. Padahal Ibu depan dia udah tampilin segala hal yang jelek," ceritanya bersemangat. "Emang beda sih kalau orang udah cantik ya, Ya?" "He'em. Percaya." "Kamu kadonya udah dikasih ke Riana?" "Udah." "Punya Ibu belum. Ayah nih lama. Pake bilang ke sininya malem lagi. Keburu bubar. Kenapa sih ayahmu tuh nggak bisa sehari aja nggak bikin kesel?" "Katanya tadi dia cinta mati?" "Kan dulu." Gue ketawa. Kemudian kembali fokus saat Riana berlagak di depan kami. Nyebut, nyebut. Rambutnya digerai, bajunya warna merah begitu. "Cantik nggak, Kak Miya?" "Cantik sih, tapi aku takut sama pedangmu, Ri." Dia ketawa. "Aku suka banget Mulan. Titik." "Emangnya ken---" "Assalamualaikum! Keren banget, Ririiiii! Pedangnya beli beneran?" Lah, kenapa si pangeran Dermawannya udah dateng aja? Baru juga jam setengah 2. Nggak paham lagi sama anak-anak zaman sekarang. Kenapa tumbuh secepat itu dan logikanya bisa nggak terduga. Azriel salaman sama semua orang. "Bagus ya, Ziel?" "Bangetlah ini mah." "Sini, aku tunjukin---" Udahlah bodo amat gue udah nggak dengar lagi mereka ngomong apa sampai akhirnya gue nggak melihat mereka lagi. Sekarang gue lagi fokus liatin om-nya Azriel yang ternyata ikutan dateng ke sini. Dia duduk di sofa yang berbeda, lagi ngobrol sama Ibu sambil senyum manis banget. Wajar sih yang begini ceweknya banyak. Kadang cowok ganteng kalau ngeh dia ganteng lebih ngeri ketimbang kematian. "Aku kira datengnya masih nanti lho, Mas." Mbak Zia datang bawa minuman. "Tolong siapin makan siangnya buat mas Aga ya, Mbak Nita," pintanya pada Mbak ART. "Mas Aga makan siang dulu ya." "Saya udah makan, Mbak Zia." "Tuhkan, masih belum paham." "Okay. Boleh makan siang." Melihat itu, gue terbahak dan baru diam setelah semuanya melihat ke arah gue dan Ibu langsung mencubit kencang. Maksudnya tuh, gue suka kasian aja sama setiap tamu yang main ke rumah mbak Zia. Mana boleh nggak makan sebelum pulang. Haram hukumnya. Tadi gue pikir om Aga pengecualian. Ternyata, sama aja. Kalah sama mbak Zia. "Jadi yang kakaknya Mas Aga yang mama atau papanya Azriel?" Khas banget pembukaan obrolan dari orang tua. Bu, Ibu. Nanti deh kapan-kapan Miya ajarin. "Papanya, Tante. Papnya Azriel anak pertama." "Cuma dua bersaudara?" "Betul." "Dan laki semua?" "Iya, Tante." "Ih itu mah udah pasti butuh anak cewek ya. Anak pertama saya juga cewek, Mas Aga." Ya Allah. Ini bagian yang paling gue nggak suka. Kalaupun mau promosi, seenggaknya tunggu gue ke mana gitu kan bisaaaa. Ibu bener-bener butuh ditatar nih. "Ohya? Pasti masih kecil anaknya ya." Tanggapan yang diluar dugaanku dari seorang om Aga. "Kecil apanya. Nih anaknya, udah segadis ini nggak berani pacaran. Kenalan dong, Ya, ada tamu malah sibuk main hape. Anak zaman sekarang gitu, Mas Aga, hape terosss." "Oh Mita. Kami udah kenalan di sekolah Riana, Tante. Senang bisa kenalan dengan keluarganya Riana." "It's Miya." "Astaghfirullah." Dia meringis. "Maaf. Lebih familiar Mita ketimbang Miya di ingatan saya." "Yaudah, makan dulu yuk, Mas Aga. Nanti lanjut lagi ngobrolnya." Mbak Zia kenapa selalu menjadi penggganggu sih! Belum ngobrol banyak nih! Elah. **** "Riana keliatan anak yang cerdas banget ya, Miya." Gue ngelus d**a karena tiba-tiba dia duduk di sebelah gue dan ngajak ngomong. Seorang om Aga gitu kan, yang katanya ceweknya banyak, gue pikir dia tipe yang mau disapa duluan. Belum lagi Riana kasih tau dia kalau gue naksir katanya. Padahal, ya nggak salah-salah amat sih. "Pinter dan ngeselin emang beda tipis ya, Mas." "Emang dia ngeselin?" "Pilih baju kaya begitu di acara ulang tahunnya sendiri apa nggak ngeselin." "Kamu tahu nggak kisah Mulan ini gimana?" Akhirnya gue menoleh ke arahnya. "Mas Aga tahu?" Dia ketawa kecil. "Azriel pernah ceritain ini pulang sekolah, dia bilang dia jadi suka Mulan setelah Riana cerita ke dia." Refleks, gue ketawa geli. Benar-benar dua bocah itu. Lebih ngerti saling menyayangi ketimbang yang tua. Dunia memang kacau. "Katanya, mulan ini gadis yang nyamar jadi lelaki buat menggantikan ayahnya." Baru kalimat pertama, gue udah ke-trigger dan langsung noleh buat nyimak sungguh-sungguh. "Dia gantiin Ayahnya perang karena takut ayahnya kenapa-napa, karena umurnya udah tua. Diceritainnya dia menang dalam perang itu. Dan, Azriel menambahkan, kalau meskipun nggak pernah tahu papanya di mana, Riana akan tetap sayang papanya dan akan membela papanya." Ada yang nyubit organ dalam gue ya? Rasanya sakit banget. Ditambah, om Aga ceritainnya dengan ekspresi yang mendukung pula. Kemudian kami malah saling tatap dan ... nggak ada yang ngomong lagi. Gue nggak ngerti kenapa mulut seakan dikunci dan mata gue bukannya buru-buru ke mana kek, malah kepaku begini. Intinya, dari semua kegilaan Riana, gue tahu gue sayang dia. Sampai kapan pun, Ri, gue akan berusaha berjuang bareng mama lo buat bahagiain lo, Ri. Janji. Gue benci banget sama lelaki itu. Lelaki yang bisa-bisanya ninggalin perempuan demi perempuan lain. Kalau misalnya pun lo nggak mau, kenapa harus dinikahin, dihamilin dulu baru ditinggal ya, b*****t?! Dia nggak tahu gimana stresmya mbak Zia sampe pendarahan. Dan dia nggak tahu gimana perjuangan mbak Zia buat lahirin Riana. "Miya. Are you crying?" "Eh. Enggak. Sori." Gue buru-buru membuang muka. "Sori, Mas." Kenapa sih, Miya! Kelihatan caper banget nggak sih gue barusan. Tapi emang ya, kalau berhubungan dengan kisah Riana dan mbak Zia, gue gampang banget kebawa emosi. Benci sebenci-bencinya sama si b*****t itu. "Tapi Riana pasti senang banget. Keluarganya menyayangi dan mendukung dia. Teman-temannya baik-baik. Gurunya juga suportif." Gue ngangguk, senyum lebar. "Makasih, kalimat hiburannya." Dia kembali tertawa. "Berhasil?" "Lumayan." Kami kembali tertawa. Kadang hidup tuh aneh ya. Kalau memang dia udah punya pacar, atau sesimpel kami nggak ditakdirkan bersama (bukan menikah ya, gue masih nggak mau nikah), seharusnya nggak usah dipermudah buat ngobrol begini. Bikin harapan meningkat tajam aja. "Mau terima ini?" Dia menyodorkan sebuah kotak kecil. "Ini memang aneh, tapi ini belum ada apa-apanya dibanding keanehan Azriel lainnya." "Sori?" "Dia beli kado untuk Riana," katanya, kami sekarang berhadapan. "Tiba-tiba dia bilang mau kasih kalung. Minta dianterin beli. Sampai di sana, dia minta dua. Yang satunya dengan ukuran dewasa. Saya tanya untuk siapa, katanya, 'masa om nggak kasih Kak Miya. Aku aja kasih Riana'." Gue nggak bisa nahan ketawa. Gila, jodoh banget emang dua bocah itu. Pikirannya sama-sama aneh. Sama-sama logikanya melebihi yang gue bayangkan. Makanya, sekarang aja gue lebih memilih menyendiri di sini ketimbang lihat acara aneh ini. "Jadi ini buat gue?" "Tapi kalau kamu merasa keberatan, karena sumpah ini aneh banget, nggak apa. Nanti saya kasih penjelasan ke Azriel." Jangan sia-siakan kesempatan ini, Miya! Siapa tahu kan setelah ini jalan menuju ... bentar dulu dong. Ini masalahnya, dia punya pacar banyak. Gue meskipun b***t, nggak main sama laki orang. Ngerebut bukan nama tengah gue, kecuali kepepet banget suatu saat. Udah nggak ada lelaki lain, misalnya. "Kenapa nggak dikasih ke salah satu pacar Mas aja, nanti cukup bilang ke Azriel kalau udah gue terima?" Kedua alisnya berkerut. Gemas. "Pertama, white lies kalau nggak darurat banget, saya nggak membiasakan itu." Okay, baik. "Kedua, salah satu pacar? Saya punya pacar banyak?" Dia ketawa, gue malah lihatin aneh. "Tahu dari mana?" "Azriel." "Percaya sepenuhnya interpretasi anak kecil?" "So do you. Percaya cerita Riana kalau gue suka sama Mas." Satu-sama. Dia akhirnya ketawa lagi. Manis amat ya manusia. Suka heran sama cowok-cowok yang begini dulu mamanya ngidam apaan coba. "Beberapa narasumber saya interview-nya di rumah, dan Azriel liat itu. Masih sulit menjelaskan kalau pekerjaan dan kehidupan pribadi itu berbeda." "Narasumber?" "Iya. Saya dan teman-teman punya satu media yang membahas tentang perempuan. Kenapa perempuan melakukan sesuatu, memutuskan menikah, tidak menikah, mendidik anak dan lain-lain." Gue speechless. "Supaya dunia makin melek tentang perempuan. Bukan cuma dijadikan objek, korban, dan perbandingan." Makin speechless. "Miya mau jadi salah satu narasumbernya?" "Kira-kira artikel apa yang bisa diisi narasumber kayak gue?" "Perempuan millenials yang jago memanfaatkan zaman untuk cari uang?" "Tahu dari mana?" Dia menunjuk Ibu yang lagi foto-foto bersama manusia lain. Gue tergelak. "Yang pendidikannya nggak kelar-kelar juga patut dibanggakan?" "Itu bisa dijelaskan nanti." Dia senyum. Well, om Aga. Dengan ini gue resmi menyatakan, kalau lo memang menarik luar dan dalam. Apalagi nggak punya banyak pacar ... tapi kan bukan berarti nggak punya pacar dong? Eh tapi lihat dulu. Gue mengulurkan tangan. "Samiya Eila. Gue merasa perlu memperkenalkan diri dengan layak. Lagi." Ia menyambut. "Tarangga Vilas." "Jadi, hadiah ini resmi buat gue?" "Silakan." "Thank you." "Resmi mau jadi narasumber?" Kami kembali ketawa. Gue jadi penasaran, hidup bakal berpihak ke gue lagi atau enggak. We'll see.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN