Bab 1 Jebakan Berbahaya
Zefa membuka pintu kafe yang terbuat dari kaca. Sebelum melihat ke sekeliling, ia membuka ponselnya untuk melihat pesan yang baru saja masuk.
"Saya menunggu di meja nomor tujuh belas."
Zefa langsung mengarahkan pandangannya ke meja yang berjajar rapi di dalam kafe. Bulu matanya yang lentik mengayun, menjelajahi satu per satu nomor yang terletak di atas meja.
Dari tempatnya berdiri, Zefa melihat seorang pria yang paling menonjol di antara tamu kafe yang lain. Dengan kemeja birunya yang digulung setengah, pria itu terlihat nyaris sempurna. Bagaimana tidak, parasnya yang rupawan mampu memanjakan netra setiap kaum hawa. Namun bagi Zefa, wajah pria itu justru menjadi siksaan tersendiri baginya. Pasalnya setiap kali bertatap muka, Zefa harus menahan diri untuk tidak mengingat kenangan pahit yang pernah terjadi dalam hidupnya. Hal ini wajib dilakukan demi menjaga sikap profesionalnya sebagai terapis.
Sambil berusaha mengenyahkan keraguan dalam hatinya, Zefa mendatangi meja tempat pria itu berada. Ini adalah pertama kalinya dia makan malam dengan pasiennya di luar jam kerja.
"Maaf, saya terlambat Tuan Reinhart," kata Zefa melemparkan senyumnya.
Reinhart adalah pasien yang menderita depresi dan kecemasan akut. Karena itu, Zefa selalu berusaha membuatnya senyaman mungkin sebelum memulai pembicaraan. Namun selepas Reinhart menjalani pengobatan selama tiga bulan, kondisinya berangsur membaik. Bahkan saat ini dia bisa tersenyum. Harus diakui bahwa perkembangan yang ditunjukkan Reinhart paling pesat dibandingkan pasien yang lain.
"Hanya lima menit, tidak masalah, Nona Zefa. Bagaimana jika mulai saat ini kita berbicara lebih santai? Kita saling memanggil nama saja supaya lebih akrab. Panggil aku Rein."
"Saya akan mencobanya. Bagaimana perasaan Anda hari ini?" jawab Zefa bersikap sopan.
"Baik, terasa sangat ringan. Oh ya, nama panggilanmu siapa, Zefa atau Ze?"
Jantung Zefa berdegup dengan kencang. Ze adalah panggilan sayang dari mendiang kekasihnya yang telah tiada. Mungkinkah tidak hanya wajah mereka yang begitu mirip, tapi juga kebiasaan dalam memanggil namanya? Ataukah ini hanya kebetulan semata?
Tanpa sadar, Zefa meremas jemari tangannya sendiri.
"Panggil saya Zefa."
"Sebenarnya aku lebih suka Ze. Nama itu terdengar manis," gumam Reinhart menatap tajam pada Zefa.
Reinhart berdehem sebelum melanjutkan ucapannya.
"Aku mengundangmu kesini karena ingin mengucapkan terima kasih. Berkat bantuanmu, aku sembuh dari penyakit kecemasan. Aktivitasku di kantor tidak lagi terganggu. Aku bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan dan juga tidur dengan nyenyak di malam hari."
"Itu memang sudah tugas saya. Jangan lupa untuk tetap melakukan relaksasi sebelum tidur, Tuan."
"Panggil Rein. Lupa dengan permintaanku tadi?"
"Iya, Rein," jawab Zefa canggung.
Sebagai terapis yang menangani Reinhart, seharusnya ia sudah terbiasa menghadapi pria ini. Namun entah mengapa keberadaan Reinhart malam ini membuatnya gugup. Dia terlihat sangat berbeda dengan sosok Reinhart yang berada di ruang konsultasi. Sorot matanya, sikapnya yang penuh percaya diri, bahkan caranya menyesap kopi mengingatkan Zefa pada seseorang di masa lalu. Meskipun begitu, perubahan Reinhart yang signifikan menandakan bahwa pria itu telah sembuh dari gangguan psikis. Dan tentu saja sebagai terapis pendampingnya, Zefa turut merasa bahagia.
"Silakan minum. Aku sudah memesankan jus strawberry. Kemarin aku sempat menanyakan minuman kesukaanmu karena ingin memesannya untuk acara malam ini."
"Terima kasih," jawab Zefa memegang gelas jusnya. Ia harus bersikap wajar supaya Reinhart tidak curiga.
Reinhart melambaikan tangan kepada pelayan kafe yang berdiri tidak jauh dari mejanya.
"Kami mau memesan makanan. Apa menu andalan di kafe ini?"
Pelayan itu menyodorkan buku menu kepada Zefa dan Reinhart.
"Menu andalan disini adalah honey roasted chicken dan sate ayam, Tuan."
"Saya pesan sate ayam," kata Reinhart dengan cepat.
Jawaban Reinhart lagi-lagi membuat Zefa terhenyak. Sungguh peristiwa ini bagaikan rekayasa ulang dari kisah masa lalunya. Wajah Reinhart, makanan kesukaannya, dan terlebih hari ini. Sampai kapanpun, dia tidak akan melupakan hari dimana cinta dan penderitaannya dimulai.
"Happy birthday,"
kalimat itu tiba-tiba terngiang di telinga Zefa.
Melihat Zefa melamun, Reinhart berinisiatif memesankan menu yang sama.
"Sate ayamnya dua porsi, Mbak."
"Baik, Tuan, mohon ditunggu."
Setelah pelayan kafe undur diri, Reinhart mencoba memecahkan keheningan di antara mereka berdua.
"Aku memesan makanan yang sama untukmu."
"Tidak apa-apa. Saya suka makan sate ayam." Zefa masih menggunakan bahasa formal untuk berbicara dengan Reinhart.
"Kalau aku perhatikan, sejak tadi kamu melamun. Apa ada masalah? Biasanya kamu selalu mendengarkan keluhanku, sekarang giliranku yang mendengarkanmu. Maaf, aku jadi berlagak seperti terapis. Mungkin sesekali kita perlu bertukar peran. Kamu jadi pasien dan aku terapisnya," kata Reinhart tertawa kecil.
"Saya hanya memikirkan jadwal kerja di klinik besok," jawab Zefa mencari alasan.
Sikap santai Reinhart, membuat Zefa merasa lebih tenang.
"Apa kamu tidak ingin membuka klinik sendiri suatu hari?" tanya Reinhart masih menatap Zefa.
"Belum terpikir. Saya masih harus banyak belajar. Selain itu saya membutuhkan pendampingan dan nasehat dari para terapis senior seperti Coach Edo. Beliau adalah panutan saya di bidang hipnoterapi."
"Aku mengerti. Usia kita hampir sama. Sebagai pimpinan perusahaan yang baru, aku juga memerlukan bimbingan dari orang yang lebih berpengalaman."
Pembicaraan mereka terputus karena makanan yang dipesan telah tiba. Zefa nampak enggan menyentuh hidangan di hadapannya. Namun demi menghargai Reinhart, ia memaksakan diri untuk makan. Berbeda dengan Reinhart yang begitu bersemangat menikmati menu makan malamnya.
"Mau pesan desert?" tanya Reinhart melirik ke arah Zefa.
"Tidak perlu. Saya sudah kenyang," ucap Zefa seraya menyesap jus strawberry yang menyegarkan tenggorokannya.
Entah mengapa Zefa merasa Reinhart terus memantau seluruh pergerakannya. Dari sejak ia duduk di kursi hingga menyantap hidangan. Terus terang hal ini membuat Zefa tidak nyaman. Apalagi suasana di dalam kafe mulai sepi.
Sambil menghabiskan jusnya, Zefa melemparkan pandangan ke jendela. Ia memandangi kolam buatan yang terletak di bagian depan kafe. Melihat dan mendengar gemericik air membuat perasaannya yang gelisah menjadi lebih terkendali. Namun baru saja menikmati pemandangan, sesuatu yang aneh terjadi. Pandangan mata Zefa mendadak kabur dan kepalanya terasa berputar-putar.
"Zefa, kamu kenapa?" tanya Reinhart cemas.
"Kepala saya pusing sekali. Maaf, saya harus pulang sekarang. Terima kasih atas makan malamnya."
Berusaha tetap kuat, Zefa berdiri dari kursinya. Ia hendak melangkah meninggalkan Reinhart, tapi rasa pusing yang melandanya semakin parah. Tubuh Zefa pun terhuyung. Ia nyaris terjatuh ke lantai jika saja Reinhart tidak menahan tubuhnya.
Reinhart memeluk Zefa yang sudah tidak sadarkan diri dan menyandarkan wanita itu di bahunya.
"Mbak, tolong kesini," panggil Reinhart.
"Ada apa, Tuan?"
"Teman saya pingsan. Saya harus membawanya ke rumah sakit. Tolong atur pembayaran untuk tagihan saya sekarang," ucap Reinhart menyerahkan kartu kreditnya dengan satu tangan.
"Baik, Tuan."
Dengan sigap, pelayan itu melakukan perintah Reinhart. Ia memproses pembayaran lebih cepat lalu membantu Reinhart untuk membawa Zefa ke dalam mobil.
Tanpa membuang waktu, Reinhart menyalakan mesin mobilnya. Ia memandang sejenak wajah cantik Zefa yang sedang tertidur. Matanya terkatup rapat, seolah tenggelam dalam tidur yang sangat panjang.
"Kamu cantik, pantas saja Moreno tergila-gila padamu. Sayangnya kecantikanmu ini digunakan untuk menipu dan mempermainkan para pria. Kamu pikir dengan menjadi terapis maka dosa-dosamu akan diampuni? Jawabannya tidak. Aku telah bersumpah di depan makam Moreno untuk membalas semua perbuatanmu. Dan malam ini akan menjadi saksi bagaimana hidupmu akan hancur di tanganku, Ze,"
gumam Reinhart tersenyum iblis.