Suara dentuman musik bergema di seluruh penjuru ruangan. Gemerlap lampu disko ikut memeriahkan suasana di malam itu. seorang lelaki sedang asik menggerakkan badannya ria bersama seorang perempuan yang memakai pakaian kurang bahan dengan rambut yang terurai indah. Mereka menggerakkan badannya seirama dengan lagu yang berputar di ruangan tersebut. Sesekali mereka menengguk minuman beralkohol di tangan mereka sembari bersulang ria. tawa dan bahagia meliputi hati kedua orang pasangan tersebut. Mereka begitu menikmati suasa di malam itu.
“Have fun tonight?” ucap Aldwin kepada seorang perempuan berparas ayu tepat di telinganya.
“Yeah. But i need more than this.” Balas perempuan itu. Aldwin mengeluarkan seringanya sambil terus menggerakkan badanya.
“Hai! Lo Aldwin kan?” Tanya seorang perempuan tiba-tiba. Aldwin memperhatikan wajah perempuan itu dalam. ia berusaha mengingat siapakah perempuan tersebut.
“Gue Fiya. Kita belum kenal kok sebelumnya lo gak usah bingung gitu.” Ucap perempuan itu ramah. Sejenak Aldwin terhipnotis dengan senyum Shaffiya yang begitu meneduhkan. Jadilah mereka terlibat obrolan yang asik sampai mereka lupa waktu dan pulang sampai larut malam.
“Gue antar pulang!” kata Aldwin tegas seakan ia tak mau menerima penolakan. Gadis cantik itupun tak menolak. Ia dengan senang hati masuk ke mobil Aldwin yang sudah dibukakan untuknya.
“Ternyata lo orangnya asik juga ya.” Ucap Aldwin memecahkan keheningan suasana di mobil itu. Gadis itu tertawa sejenak.
“Lo juga. Gue Cuma asal aja tadi ngajak kenalan eh taunya lo emang enak diajak ngobrol.” Ucap Fiya pada Aldwin. Lelaki itu menganggukkan kepalanya sembari tersenyum manis kearah gadis yang sudah mulai memasuki relung hatinya itu.
“Thanks ya.” Ucap Fiya ketika mereka sudah sampai rumahnya. Aldwin menganggukkan kepalanya kepada gadis disampingnya.
“Tunggu!” Ucap Aldwin membuat langkah Fiya tertahan di depan gerbang rumahnya. ia berbalik dan menatap Aldwin yang sudah berada di belakangnya.
“Boleh minta nomornya?” Fiya tersenyum lalu mengetikkan dua belas digit nomor di ponsel Aldwin. Setelah itu ia memasuki rumahnya meninggalkan Aldwin yang berjingkrak kegirangan di depan rumahnya.
Aldwin melompat kegirangan sembari menciumi ponselnya. Ia seperti habis mendapat hadiah jackpot jutaan rupiah saat ini. tapi memang ia tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Lelaki itu kembali ke mobilnya dan melanjutkan perjalanannya pulang ke rumahnya.
***
Sesampainya di rumahnya ia mendapati rumahnya sangat sepi saat itu. ia pun mengambil kesempatan itu untuk segera masuk ke rumahnya sebelum kedua orangtuanya bangun dan memarahinya. Ia pun berjalan sembari mengendap-endap seperti maling saat memasuki rumahnya. ia bisa menghela napas lega ketika sudah sampai depan kamarnya. Ia pun membuka pintu kamarnya dengan perlahan agar tidak membangunkan orang di rumahnya. saat ia menutup kembali pintu kamarnya tiba-tiba lampu kamarnya hidup begitu saja. ia melihat ke belakang dan mendapati wajah penuh amarah milik kedua orangtuanya yang sudah berdiri di belakangnya. Ia pun hanya bisa meringis melihatnya.
Rahardian Dinata, Papa dari Aldwin Farendra dinata itu kini menatap tajam kearah putranya. Lelaki berumur lima puluh tahun itu melangkah mendekati anaknya. Kemarahannya semakin memuncak ketika ia mencium bau alkohol di pakaian putranya. Dengan spontan lelaki paru baya itu memukul putranya sampai terhuyung ke samping. Bu Rahayu, Ibu dari Aldwin berteriak histeris melihat itu. ia berusaha menahan amarah suaminya itu tapi pak Rahardian dengan cepat menampikknya. Ia sudah sangat emosi saat ini. ia tak habis pikir dengan tingkah laku putra semata wayangnya itu yang tak menuruni sedikitpun sifat kedua orangtuanya. Ia menjadi anak yang brutal dan tak tau aturan.
Seharusnya di umurnya yang sudah menginjak dua puluh tahun itu ia sudah bisa membangun banyak perusahaan dan sudah bisa hidup mandiri tetapi tidak untuk Aldwin. Diumurnya yang sudah terbilang cukup matang itu ia masih menjalani hidup seenaknya. Keluyuran malam dan bermain band yang tidak jelas. Padahal Papa nya merupakan pengusaha sukses yang sangat dikagumi dan selalu dijadikan panutan. Tapi entah kenapa Aldwin tak bisa meniru kesuksesan Papanya itu. ia malah memilih jalannya sendiri untuk menggapai impiannya menjadi seorang penyanyi yang terkenal.
Ia memiliki band bersama teman-temannya tetapi belum terkenal walaupun sudah lama mereka berdiri. Mereka hanya manggung ketika ada acara pernikahan atau acara lain yang itupun hanya mendapat uang sedikit.
Apalagi dengan kebiasaan clubbingnya yang sangat menguras uang. Untung saja ia masih diberi uang oleh Papa nya.kalau tidak mungkin ia hanya bisa menjadi gelandangan saja. Papa nya sudah berulang kali memberitahunya untuk belajar mengelola perusahannya tapi berkali-kali juga Aldwin menolaknya karena ia memang tidak suka bekerja di kantor. ia tak bisa bekerja dengan dokumen-dokumen yang menyulitkan dan juga berhubungan dengan banyak orang di luar sana.
“Mau kamu gimana Hah? Kamu gak ingat umur kamu udah 27 tahun dan kamu belum punya apa-apa! Kamu tidak punya malu Aldwin?” Bentak Pak Rahardian pada putranya itu. ia tak mampu lagi menahan amarah yang selama ini beliau pendam.
“Kalau kamu menuruti apa yang Papa katakan padamu mungkin kamu sudah memiliki banyak cabang perusahaan sekarang. kamu sudah punya rumah sendiri dan bisa punya kehidupan kamu sendiri. Tapi apa Win, kamu masih seperti saat ini. itu karena kamu tak pernah mendengar ucapan Papa.” Ucapnya lagi masih dengan suara tinggi. Bu Rahayu berusaha menenangkan suaminya tetapi tetap saja tak bisa. Sedangkan Aldwin mengusap darah yang keluar dari mulutnya kasar.
“Iya Pa. Maaf Aldwin memang anak yang tak berguna. Harusnya Aldwin tidak menyandang nama Dinata agar Aldwin tak mempermalukan Papa. Karena memang Aldwin tak bisa menjadi apa yang Papa mau.” Ujar Aldwin dengan nada tak kalah tinggi. Ia berujar dengan nada kesal dan marah.
“Kamu sadar juga akan hal itu, Hah!” Ucap Pak Rahardian sinis.
“Sudah Pa, Aldwin sudah nak.” Ujar Bu Rahayu lembut berusaha menenangkan keduanya. tapi hal itu sia-sia. Kedua lelaki itu tak menggubris sedikitpun perkataan bu Rahayu.
“Seharusnya sebelum Papa menyalahkanku, Papa bisa intropeksi diri terlebih dahulu. Papa seharusmya mengerti kenapa Aldwin jadi seperti ini. bukannya sedari kecil Papa dan Mama tak pernah mengajariku apapun. kalian tak pernah punya waktu untukku. Kalian hanya bisa menuntun hasil yang terbaik dariku sedangkan kalian tak pernah mengajarkan apapun padaku. Saat aku sudah memenuhi apa keinginan kalian, kalian hanya menjadikan itu ajang pamer pada kolega Papa dan Mama. apa itu adil untukku?” Teriak Aldwin dengan suara serak menahan air mata. Ucapannya begitu menggebu hingga membuat Mamanya menangis tersedu mendengarnya.
“Dasar anak tak tau diuntung! Kami bekerja keras demi kamu tapi ini balasan kamu pada kami? Jika waktu bisa diputar Aku tak akan sudi memberikan nama Dinata padamu.” Ucap Papa nya penuh penekanan membuat hati Aldwin sakit. Ia bangkit kemudian melangkah mendekat kearah kedua orangtuanya.
“Ya, aku memang tak seharusnya ada di keluarga ini. terimakasih atas segalanya tuan Dinata. Saya pergi dari sini.” Ucapnya final.
Aldwin mengemasi barang-barangnya lalu pergi keluar. Ia menghiraukan suara tangisan ibunya yang mencegahnya keluar dari rumah itu. tapi bagaimana lagi. keputusannya sudah bulat. Ia sudah terlalu sakit hati berada di keluarga ini.
“Kenapa kamu kembali? Berubah pikiran eh?” Sindir Pak Rahardian sambil menyunggingkan senyum miringnya.
Tetapi Aldwin tak kalah cerdik, ia juga menampakkan senyum miring pada Papanya lalu menyerahkan kunci dan ATM miliknya di tangan Pak Rahardian. Kemudian tanpa sepatah katapun ia pergi dari rumah kesayangannya tanpa membawa uang sepeserpun. Ia tak peduli lagi dengan kehidupannya. Entah kehidupan seperti apa yang akan Ia jalani selanjutnya.
***
Aldwin melangkahkan kakinya menyusuri jalan yang sangat sepi. Ia berjalan entah kemana. Ia sudah tak tau lagi hendak melangkahkan kakinya kemana. Yang Dia mau hanya jauh dari rumahnya. Tidak, tempat itu sudah tak pantas lagi disebut rumah olehnya. Tempat itu terlalu banyak menyimpan luka baginya. Tempat itu bahkan lebih buruk dari neraka sekalipun. Lelaki itu berjalan dengan frustasi. Ia menendangi apapun yang ada di depannya. Sampai Ia lelah dan duduk di salah satu kursi taman. Disana Ia merasa sendiri meratapi nasibnya yang seperti ini. disaat seperti ini untung saja Ia masih memiliki ponselnya. Ia menelpon beberapa teman yang mau Ia jadikan tumpangan. Tapi nihil, tak ada satuupun temannya yang mau membantu. Masih pantaskah mereka dipanggil teman?
“Aldwin!” panggil seseorang sambil menepuk bahu Aldwin pelan.
Lelaki itu mendongakkan kepalanya dan melihat siapa yang menyapanya itu. Ia melihat seorang lelaki berdiri di hadapannya dengan senyum yang mengembang lebar.
“Arshaka? Lo bener Shaka temen gue kan?” tanya Aldwin tak percaya. Lelaki itu mengangguk meyakinkan Aldwin.
“Ngapain Lo disini kayak gelandangan gini?” Tanya lelaki yang dipanggil Shaka itu saat melihat penampilan Aldwin yang memang berantaan.
“Gue pergi dari rumah dan Gue gak tau mau kemana lagi sekarang. Gue gak punya apa-apa sekarang.” ucap Aldwin membuat Leon menatap prihatin padanya.
“Yaudah Lo ikut Gue aja ke rumah.” Ajak Shaka yang membuat Aldwin menatapnya tak percaya.
“Lo serius?” Shaka mengangguk sembari tersenyum lalu mengajak Aldwin ke mobilnya. Akhirnya Aldwin pun ikut dan tinggal bersama Shaka untuk sementara waktu.
Aldwin pun menceritakan segalanya pada Shaka, mulai dari dirinya mabuk-mabukan dan akhirnya pergi dari rumahnya karena bertengkar dengan kedua orangtuanya. Shaka menatap temannya itu prihatin. Ia tak tahu temannya punya masalah serumit ini. sejak di bangku SMA Aldwin memang terlihat paling santai hidupnya. Dia seperti orang yang tidak mempunyai beban sekaligus.
Ya teman-temannya mengira dirinya cukup hidup dengan bergelimang harta. Siapa menyangka harta tak cukup membuat Aldwin bahagia. Walaupun ia bergelimang harta tapi tak bisa membeli sedikit waktu kedua orangtuanya untuk dirinya. yang ia butuhkan adalah kasih sayang dan didikan dari orangtuanya. Seandainya saja kedua orangtuanya mendidiknya dan memberinya kasih sayang yang cukup, Aldwin tak mungkin jadi anak berandalan seperti ini. ia pasti sudah menjadi anak yang sukses saat ini. mengingat prestasi Aldwin yang sangat banyak saat dibangku sekolahnya, baik itu di Sekolah dasar maupun sekolah menengah atas.
Bahkan lelaki berumur dua puluh tujuh tahun itu lulusan Oxford University yang terkenal itu di Jurusan Manajemen. Tapi sayang, dirinya tidak memanfaatkan ilmunya dengan baik. Ia memilih untuk bermain band bersama teman-temannya. Ia juga sudah ditawari bekerja di perusahaan tetapi sayang ia menolaknya begitu saja. entah apa yang ia inginkan untuk masa depannya sebenarnya.
“Terus lo mau gimana setelah ini? gak mungkin kan lo terus-terusan seperti ini?” Tanya Shaka sambil menyerahkan secangkir Coffe late pada Aldwin. Aldwin meneguknya sedikit sebelum menjawab.
“Gue juga gak tau mau gimana Ka. Gue udah gak punya apa-apa lagi sekarang.” Ucapnya putus asa. Shaka menepuk bahu temannya itu memberi kekuatan. Lalu tiba-tiba suatu ide muncul diotaknya.
“Gimana kalo lo kerja di kafe gue aja. Seingat gue lo pernah belajar jadi barista di Amerika. Gimana?” Tawar Shaka tiba-tiba membuat Aldwin tersedak kopi yang sedang diminumnya.
“Lo serius?” tanya Aldwin tak percaya.
“Seriuslah. Gimana lo mau?” Tanpa pikir panjang Aldwin menganggukkan kepalanya setuju. Ia berterimakasih kepada temannya itu yang telah banyak membantu dirinya. setidaknya ia bisa punya penghasilan sendiri sekarang. ia akan buktikan kalau dia bisa menjadi orang yang berguna pada orangtuanya.
***