Dunia Baru Aldwin

1789 Kata
Seorang lelaki  yang mengenakan apron berwarna hitam yang bertuliskan ‘Shacaffe’ itu sedang meracik kopi dengan lihainya. Dia menyeduh kopi dengan telaten agar menghasilkan rasa kopi yang bercita rasa tinggi. Tak lupa dia menambahkan sebuah gambar artistik di atas kopi yang dibuatnya itu. Senyum lelaki itu merekah ketika secangkir kopi latte telah selesai dibuatnya dan siap untuk diminum. Ternyata ilmu yang dulu pernah ia pelajari selama bekerja part time saat ia di Amerika masih berguna juga sampai sekarang. Bahkan ia tak menyangka bisa menghasilkan uang dengan keringatnya sendiri. Yah, walaupun tak seberapa tetapi ia bangga bisa mendapat penghasilan yang cukup untuk meneruskan hidupnya. Ia juga bebas bisa keluar rumah dan bermain band tanpa dimarahi oleh orangtuanya sekarang. Biasanya selepas ia selesai dengan pekerjaannya, ia menyempatkan diri untuk bermain band bersamaa teman-temannya. Ia masih senang berfoya-foya, tetapi tidak sesering dahulu. Kini ia lebih membatasi dirinya. ia juga tidak enak jika terus menumpang di rumah Shaka. Sebisa mungkin dia menabung dan mencari kost-kostan yang murah untuk tempatnya tinggal. Setelah racikan kopi terakhirnya, Aldwin melepas apronnya dan meletakkannya di kursi belakang. Dia kemudian berganti pakaian lalu pergi ke suatu tempat. Dia pergi dengan hati yang berbunga-bunga. Ya, itu karena dia ingin menemui perempuan yang baru ia temui di bar beberapa hari yang lalu. Perempuan itu mengajak Aldwin bertemu dan tanpa pikir panjang Aldwin menurutinya. “Mau kemana Win?” Tanya Shaka ketika meliihat Aldwin yang sudah berdandan rapi setelah keluar dari kafe miliknya. “Gue ada acara sama teman gue. Gue duluan ya.” Ucap Aldwin pada Shaka lalu kembali meneruskan langkahnya. “Tunggu Win.” Ucap Shaka menghentikan langkah Aldwin. Lelaki itupun berhenti dan berbalik menghadap Shaka. “Di garasi samping ada motor  gue. Lo bisa pakai. Kuncinya ada di laci.” Ucap Shaka yang langsung dijawab seruan riang oleh Aldwin. Dirinya merasa senang bisa bertemu lagi dengan temannya yang sangat baik itu. “Thanks Ka.” Ucap Aldwin senang yang dijawab anggukan oleh Shaka. Akhirnya dia pun menggunakan motor sport Shaka untuk pergi menemui gadis pujaanya. Aldwin tampak gagah mengendarai motor sport milik Shaka. Aura ketampanannya meningkat drastis ketika ia mengendarai motor itu. Sesampainya di club mereka bertemu pun, orang-orang disana menatap kagum kearahnya. Gadis centil disana pun tak tinggal diam. Mereka saling berebut untuk bisa menggoda Aldwin. Lelaki itu sebenarnya risih dengan kehadiaran para perempuan penggoda itu. Tetapi, ia menyadari memang pesonanya tak tertolak. Disaat ia sedang dikeremuni oleh para wanita, tiba-tiba saja seorang wanita menerobos kerumunan itu dan mendekat kearah Aldwin. Dia memeluk lengan Aldwin posesif menunjukkan bukti kepemilikannya. Aldwin pun tak menolak. Dia malah tersenyum senang dan balas memeluk wanita itu. karena dialah wanita yang sudah merebut hatinya. “Lo semua minggir karena dia cowok gue. Jangan berani-berani kalian deketin cowok gue. Ngerti?” Ujar Wanita yang kini kerap dipanggil Fiya di club malam itu. semua wanita disana pun menyorakinya tapi setelah itu mereka langsung pergi. “Thanks babe.” Ucap Aldwin kepada perempuan disampingnya dengan masih memeluk pinggangnya erat. “Jadi kita pacaran sekarang?” Tanya Aldwin menggoda perempuan yang sedang menikmati coctail disampingnya. Perempuan itu sampai tersedak akibat pertanyaan Aldwin barusan. “Kapan Lo nembak gue coba?” Tanya nya balik membuat Aldwin gelagapan. Perempuan itu tersenyum miring kearah Aldwin. “kan lo udah bilang sendiri kalau gue cowok lo.” Ucapnya lagi membuat Fiya memukul lengannya keras. “Itu hanya sandiwara bodoh!” Ucap perempuan itu kesal. Aldwin pun dibuat terbahak melihat wajah kesal milik Fiya.  Baginya perempuan itu berbeda dengan perempuan lainnya. Dia melihat kesederhanaan dan juga sifat apa adanya dari perempuan itu. “Yaudah. Lo pacar gue sekarang.” Ucapnya tiba-tiba yang membuat Fiya melotot tak percaya. Apa maksud lelaki itu? dia sedang menyatakan perasaannya atau memaksa dirinya menjadi pacarnya? Sungguh perempuan itu tak habis pikir. “Lo nembak gue apa gimana sih?” Lelaki itu menggeleng mendengar pertanyaan Fiya. “Gue gak nembak Lo atau minta lo jadi pacar gue, karena gue gak mau dengar kata penolakan dari Lo.” Jelas Aldwin santai membuat Perempuan itu kesal dibuatnya. “Yah terus ini gimana?” Tanya perempuan itu kesal. “Kita pacaran.” Ucap Aldwin singkat membuat Fiya menatap tak percaya pada lelaki itu. ingin sekali rasanya ia mengguyur wajah lelaki itu dengan coctail miliknya. tapi ia tak mau merusak wajah tampan lelaki itu. “Udah gitu aja? Sesimple itu?” Tanya Fiya kembali meyakinkan dirinya. “Iya. emang kenapa? Gak mau?” Tanyanya dengan nada menggoda. Dengan cepat perempuan itu menggeleng. Mereka pun tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan. Yang mereka rasakan saat ini adalah kebahagiaan. “Dasar gak romantis.” Ucap perempuan itu sembari menyandarkan kepalanya di d**a bidang milik Aldwin. Lelaki itupun memeluk perempuan yang sudah menjadi kekasihnya dengan sayang. dia sesekali mengecup lembut puncak kepala wanitanya. “Gak papa yang penting ganteng.” Balas Aldwin membuat Shaffiya mencubit perutnya pelan. “Tapi Fiya, ada yang ingin aku sampaikan padamu terlebih dahulu.” Ucap Aldwin dengan raut wajah yang berubah serius. “Aku,kamu, heh?” Ejek Fiya pada Aldwin dengan nada bercanda. Tetapi Aldwin masih saja menampakkan wajah seriusnya. Fiya yang memahaminya pun langsung diam dan mendengarkan apa yang ingin Aldwin bicarakan. “Aku udah gak punya harta lagi sekarang. aku sekarang Cuma seorang barista di sebuah kedai kopi. Semua fasilitas aku ditarik semua oleh Ayahku. Jadi aku harus berjuang lagi dari bawah. Apa kamu masih mau jadi kekasihku?” tanya Aldwin serius pada Shaffiya. Perempuan itu menampakkan wajah kecewa, sedih, marah atau entahlah itu. Aldwin menerjemahkan itu adalah raut wajah kekecewaan. Mungkin ia tak jadi memiliki kekasih malam ini. “Aku tak akan memaksamu. Kalau kamu mau cari pria lain selain aku silahkan.” Lelaki itu menundukkan wajahnya dalam. ia begitu sedih saat ini. “Bukannya kamu bilang, kamu tidak menerima penolakan? Kenapa sekarang berubah?” tanya Fiya penuh selidik sembari mengangkat dagu Aldwin agar lelaki itu bisa menatapnya. “Ya, itu karena aku ingin menjadikanmu kekasihmu. Tapi melihat kondisiku saat ini, aku tak bisa egois. Aku tak mau kamu mengajakmu menderita bersamaku.” Ujar Aldwin sambil menatap Fiya dalam. di dalam matanya penuh luka dan kesedihan. Fiya mengusap pipi Aldwin lembut. “Kamu pikir aku ini perempuan matre kah? Apa pernah aku meminta dibelikan ini itu kepadamu?” Aldwin menggeleng menjawab pertanyaan dari Fiya. “Lalu kenapa kamu bisa bilang kalau aku akan menderita jika bersamamu bodoh!” Ucap Fiya lalu menoyor dahi Aldwin dengan telunjukknya. “Jadi kamu tetap menjadi kekasihku?” Tanya Aldwin dengan raut wajah tak percaya. Fiya menangguk sembari menampakkan senyum menawannya. “Tentu saja. tak ada alasan untuk aku menolak lelaki sesempurna kamu.” Ucap gadis itu lembut. Langsung saja Aldwin memeluk erat wanitanya seakan tak mau ia lepaskan. Ia memang tak salah pilih kali ini. dirinya memilih pendamping yang tepat.                                                                                             *** Aldwin melangkahkan kakinya dengan gembira. Senyuman di bibirnya seakan tak mau lepas dari tempatnya. Lelaki itu sesekali juga berjingkrak-jingkrak seperti orang yang mendapat hadiah jutaan rupiah saja. dia memasuki rumah Shaka semabari bersenandung ria.belum sempat ia membunyikan bel pintu sudah terbuka, seakan sudah menunggu sedari tadi. “Hai Ka. Thanks buat hari ini. Gue senang banget.  makasih lo udah banyak bantu gue Ka.” Ucap Aldwin sambil terus menebarkan senyumannya pada Shaka. “Tapi Win, Lo harus...” belum sempat Shaka menyelesaikan ucapannya, Aldwin terlebih dahulu menyela. “Apa sih Ka. Gak usah serius gitu lah mukanya. Gue gak mabok Ka tenang aja.” Ucap Aldwin mencoba menenangkan Shaka. “Tapi Win..” Shaka berusaha keras untuk menjelaskan tetapi Aldwin selalu saja memotong ucapannya. Sampai datanglah seorang perempuan paru baya yang sudah berdiri di belakang Shaka. “Mama!” gumam Aldwin melihat perempuan yang berdiri di belakang Shaka. Perempuan itu melangkah mendekat kearah Aldwin tetapi Aldwin menjauh. “Kalau Mama Cuma mau nyuruh Aldwin pulang, Aldwin gak mau. Bukannya Papa sendiri yang ngusir Aku dari sana. Bukanya kalian malu aku menyandang nama dinata.” Bentak Aldwin pada Mamanya. Bu Rahayu pun menagis tersedu mendengar perkataan kasar putranya. “Tidak nak..tolong dengarkan Mama dulu.” Bu Rahayu berusaha menjelaskan pada Aldwin. Tapi putranya itu selalu saja memotong ucapannya. “Ma cukup! lebih baik Mama pulang dan jangan cari aku lagi. aku gak mau pulang kesana lagi.” Ucap Aldwin final. Lalu ia beranjak pergi ke dalam meninggalkan Mamanya yang menangis sedari tadi. “Papa kamu sakit Win!” teriak Shaka membuat langkah Aldwin terhenti. Ia berhenti dan hening beberapa lama. “Lalu kenapa? Mungkin itu balasan terbaik untuknya.” Ucap Aldwin santai tanpa melihat ke belakang. “Aldwin! Papa Lo kecelakaan, dia sedang sekarat disana. Lo harus temui dia Win.” Ujar Shaka dengan nada tinggi. Dia kasihan melihat ibu Rahayu yang tak bisa membujuk putranya itu. “Gue gak peduli Ka. Dia yang udah ngebuang gue. Dia yang bilang kalau dia malu karena gue menyandang nama Dinata. Gue harus apa Ka? Luka gue belum sepenuhnya kering. Jadi kalau lo paksapun gue gak akan mau.” Ucap Aldwin keras kepala. Lelaki itu melanjutkan langkah kakinya menuju kamarnya. Dia menghiraukan panggilan dari Shaka dan juga Mamanya. Lelaki itu menutup pintu kamarnya keras sampai terdengar bunyi berdebam. Dia bersandar di balik pintu. Air mata. Ya, itulah yang keluar dari matanya. Ia bisa berkata hal jelek apapun tentang Papa nya tetapi hatinya tak bisa berbohong. Dia sedih melihat Papanya sakit. Dia khawatir apa yang terjadi dengan Ayahnya. Tapi egonya leibh tinggi daripada rasa pedulinya. Dia leibh memilih untuk pergi dan tak acuh terhadap kondisi Papa nya. “Win, gue mau ngomong sama Lo.” Teriak Shaka dari balik pintu. “Gue butuh waktu sendiri Ka.” Ucap Aldiwn pada Shaka dengan suara bergetar menahan tangisnya. Ia tak mau Shaka tau keadaan dirinya  yang sebenarnya. “Ok Win. Tapi sebelumnya tolong lo dengerin gue dulu.” Shaka memberi jeda sejenak untuk mengambil napas. “Jangan sampai lo nyesel Win. Lo tau? gue udah kehilangan Ayah dan ibu gue. Gue gak punya siapa-siapa sekarang. disaat itu gue juga sama kayak lo. Hubungan gue sama Orangtua gue gak baik. Sampai akhirnya mereka capek dengan tingkah gue dan memilih untuk pergi. Tuhan lebih sayang sama mereka Win. Gue nyesel banget gak bisa manfaatin waktu gue buat berdamai dengan mereka dan menjalani kehidupan yang harmnis. Tapi sayang, gue telat. Dan sekarang gue hidup di dalam penyesalan.” Ucap Shaka sendu. Suaranya juga bergetar menahan air mata keluar dari kedua bola matanya. “Gue Cuma mau ingatin lo agar lo gak sama seperti gue. Gue gak mau lo hidup dalam penyesalan.” Ucapnya lagi tetapi Aldwin tak memberi tanggapan apa-apa. Lelaki itu masih saja diam. “Ini alamat rumah sakit dan ruangannya. Mungkin kalau lo berubah pikiran. Karena Papa lo butuh Lo disana.” Shaka memberikan secarik kertas berisi alamat kepada Aldwin melalui pintu bagian bawah. Lalu ia meninggalkan Aldwin sendirian. Memikirkan apa yang harus lealaki itu lakukan selanjutnya.                                                                                                       ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN