05

1618 Kata
"Belajar yang bener, yaa!" Arion mengusap kepala Kean dan Kinan bergantian, sebelum membiarkan mereka berjalan masuk ke gerbang sekolah. Sebuah mobil hitam metalik berhenti tepat di sebelah mobil yang Arion parkirkan. Orang yang turun dari mobil tersebut cukup menarik perhatian. "Yo!" Arion melambaikan tangannya. Seketika, Kean dan Kinan harus agak berjinjit untuk melihat siapa orang yang di sapa Papanya. Mereka berdua kompak mengurungkan niat untuk masuk ke gerbang sekolah, karena sosok satu ini sedikit nyentrik. "Eh! Arion!" Mario menggendong seorang anak laki-laki, sambil menutup pintu mobilnya. Kean langsung mendengus, begitu melihat Gio turun dari tubuh laki-laki yang tadi menggendongnya. Bocah. Kean bergumam dalam hati. Mereka satu Yayasan Sekolah yang sama. Gio dengan rompi biru muda yang begitu pas di tubuh kecilnya. Yang paling Kean nggak suka dari anak ini karena hobinya yang selalu memamerkan mainan elektronik yang ia punya. Kemarin, dia bawa robot Iron Man keluaran terbaru. Dan sekarang, dia bawa PSP yang minggu kemarin Kean lihat di Pusat Mainan. Papa nggak ngebiarin Kean buat beli PSP baru, katanya yang lama masih bagus. Dan, karena Gio punya, itu yang bikin Kean kesel. Dengan sengaja, Gio mengangkat PSP-nya ke udara. Memamerkan mainan yang baru ia beli beberapa hari yang lalu. Sebenernya, dia tuh mau sekolah, atau mau pamer mainan, sih? Kean memutar bola matanya. Anak TK satu ini benar-benar membuatnya sebal setiap pagi. Kalau nggak ketemu di parkiran, pasti ketemu di Taman bermain. Gio dengan badan kecil yang paling tingginya hanya sebahu Kean, dengan botol minuman yang selalu menggantung di lehernya. Lah, bocah. Liat aja, sekarang aku udah tau nama Ayah kamu siapa. "Eh, by the way, Lo kapan ada waktu di rumah?" Arion menepuk pundak Mario, sebagai salam pertemanan yang menjadi tradisi sejak SMA. "Ada, sih.. kalau Minggu biasanya kita nggak kemana-mana. Emang kenapa?" "April ngajakin gue main ke rumah lo? Gimana?" "Boleh! Dateng aja. Ghita juga pasti seneng." Mario mengangguk-angguk. Selama ini, antara Arion dan Mario masih sering ketemu kalau sedang mengantar anak masing-masing ke sekolah. Sedangkan April jarang ketemu dengan Ghita di luar rumah. April sibuk dengan pekerjaan rumahnya, dan Ghita justru fokus dengan Butik yang sekarang sedang ia kelola di daerah Jakarta Selatan. "Oke, Minggu depan, ya!" Arion mengacungkan jempolnya ke udara. "Inget, siapin makanan yang banyak!" "Lagian, anak lo kebanyakan!" Mario mencibir, sedetik kemudian ia tertawa kecil. "Oke, sampe ketemu minggu depan!" Mario mencium pipi Gio, dan melambaikan tangan sambil memastikan bahwa anak berumur empat tahun itu masuk ke dalam kelas Kupu-Kupu. "Ya udah sana masuk." Arion mengelus kepala dua anaknya itu sayang, lalu membiarkan mereka berjalan beriringan masuk ke dalam gerbang. Sekedar informasi; Dulu, Arion dan Mario pernah memiliki impian untuk menikah di tanggal yang sama. Karena impian itu tak terwujud, maka mereka menyekolahkan anak masing-masing di Yayasan Sekolah yang sama. Meski begitu, setidaknya janji di masa remaja mereka akhirnya terwujud. *** April menghentikan aktifitas membilas piring kotor di wastafel, ketika telepon di ruang tengah berdering. Perempuan itu mencuci tangannya yang penuh busa dan mengeringkannya dengan serbet. "Hallo?" "..." "Hallo?" April memutar bola matanya. Ia yakin, ini orang yang sama dengan orang yang menelfonnya kemarin. "Kalau lo nggak ada perlu penting, mendingan nggak usah-" "H-hallo?" . . . . April membeku untuk beberapa saat. Suaranya begitu ia kenali. "Oh, jadi tadi pagi lo yang telfon?" Arion bersuara dengan nada sedikit tegas. "Iya, sorry ganggu," Marvin menyodorkan ponselnya. "Jadi, boleh minta nomor telfon lo?" Ah, ya. April ingat. Ini Marvin. "Hallo, Pril?" April mengerjap. Ia ingin sekali bersuara tanpa terdengar bergetar sama sekali. Tapi, lidahnya mendadak kelu. "I-iya?" "Lo lupa janji kita? Anak-anak udah pada nungguin loh." April mendesah, lalu menggaruk lehernya yang tak gatal. "Oh, soal Reuni itu, ya?" "April.. kebiasaan, deh. Lo janji bakal dateng, kan?" "Iya, tapi-" "Sekarang kita udah nunggu lo di Cafe tempat kita janjian, Gue harap lo dateng. Mereka udah pada berisik nungguin lo." "Tapi-" "Oke, gue tunggu, ya!" Telfon di putus. Sial. April menggerutu dalam hati. Ia melupakan tugasnya. Lalu berlari ke arah kamar dan mengambil ponsel. Sejak pagi, ponselnya ia nonaktifkan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Marvin menghubunginya lewat nomor rumah. Bahaya-nya, Jika Marvin menelfon disaat April sedang bersama Arion.. Ia akan mati. *** Jam menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit. April terlambat satu jam dari janji yang harusnya ia tepati. Dengan terburu-buru, perempuan itu mengambil flat shoes dari rak sepatu dan memakainya asal-asalan. Nggak masalah. Lagipula, disana pasti ada teman-teman SMP-nya. Begitu keluar area komplek. Perempuan itu langsung menyetop Taksi yang memang sering lewat daerah sini. Selama perjalanan, April membuka Grup Line yang pernah mereka buat waktu SMP. Obrolan-obrolan ngalor ngidul teman-teman SMP-nya kadang sedikit menghibur. Eka : Bini gue lahiran dong Vero : Cewek apa cowok? Eka : Cowok. Eka : Ganteng kek gw. Rafinka : Dih. Revan : Dih (2) Ashley : Dih (3) Marvin : Dih (4) Marvin : Btw, congrats yaa.. tar gw nyusul Ashley : Nyusul ama siapa? Jombol mulu lo. Ashley : -jomblo Marvin : sang mantan. #kodekeras Terakhir adalah pesan dari Marvin. Yang membuatnya heran adalah, tak ada satu pun di antara Geng mereka yang membicarakan soal Reuni. Oke, mungkin ada alasan lain. "Turun disini, Mbak?" April mengerjap. Lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Iya, Pak." Mobil taksi meninggalkannya di depan sebuah Cafe yang pernah ia pakai tempat nongkrong waktu SMP dulu bersama teman-teman OSIS dan satu geng. Membuatnya semakin yakin, kalau teman-temannya juga ikut datang. Begitu memasuki Cafe, aroma kopi langsung menusuk hidungnya. Tapi, untuk sekarang seleranya tak terlalu tergugah. Matanya langsung menyisir pandang ke seluruh meja yang terisi di Cafe. Itu. Cowok itu ada di sana. Mengenakan sweater abu-abu dan celana jeans sedang memainkan ponselnya. Sedikit gugup, April menghampiri sosok yang kini duduk memunggunginya. "H-hai." "Eh?" Marvin menurunkan ponselnya. Cowok itu langsung berbinar-binar. "Gue kira lo nggak bakal dateng." "Sorry, lama." April tersenyum kikuk. Berusaha untuk duduk senyaman mungkin di depan cowok ini. "Yang lain mana?" "Maksud lo?" "Kan.., kita Reuni bareng temen-temen SMP, sekarang, mereka mana?" Marvin tertawa kecil. "Gue.. bukan temen SMP lo, ya?" Ada jeda beberapa detik. April mendesah. Shit, ia dijebak. "Jadi lo bohong?" "Nggak, buktinya lo udah reuni sama temen SMP lo, kan? Gue ini temen SMP, lo. Masa lupa?" April memutar bola matannya. Rasa gugup dan canggung itu kini terbawa angin, tergantikan dengan rasa kesal. "Marvin! Gue nggak punya banyak waktu buat main-main!" "Lo berubah, ya?" Marvin tersenyum kecut. "Kalau, Iya. Kenapa?" "Lo bukan si pengil yang gue kenal." Telingannya mendadak peka. Sebutan itu terlalu tajam untuk masuk ke telinga April. Kenapa Marvin nggak pernah melupakannya? "Jangan panggil gue gitu, karena gue bukan si pengil yang lo kenal lagi! Ada baiknya lo lupain itu semua." "Segampang itu lo lupain moment kita, Pril?" "Please, itu masa lalu. Kita udah punya jalan masing-masing. Lo harus ngerti fakta, gue udah nikah!" Marvin tertawa lagi. Rasanya hambar. Sesuatu dalam dirinya seperti tercubit, sama rasanya ketika pertama kali ia mengetahui bahwa Pria yang berdiri di samping April saat di Supermarket kemarin adalah suaminya. "Asal lo tau, sepuluh tahun itu bukan waktu yang sebentar buat gue." April berdecak. Ia tak suka dengan topik ini. "Marvin-" "Gue nunggu. Sepuluh tahun. Dan kaya gini respon lo sama gue? Lo juga udah ngeingkarin omongan lo sendiri, Pril!" "Gue-" "Lo janji. Kita bakal kuliah bareng dan nikah suatu saat nanti. Tapi kenyataannya? Disaat gue udah nunggu buat waktu yang lama, lo udah sama yang lain? Lo itu peka nggak, sih sebenernya?" April terdiam. Tak berkutik. Perempuan itu mengusap wajahnya frustasi. "Kalau lo tau, gue nggak bakal nepati janji itu, lo harusnya cari orang lain." "Nggak bisa," Marvin melembutkan nada suaranya. "Gue tau, lo masih sayang sama gue, kan?" Ketika tangan Marvin meremas tangannya, ada sesuatu yang aneh yang bergelora seperti saat dimana ia pertama kali merasakan detakan jantung itu. "Jangan gini," Pelan-pelan April menarik tangannya, menyembunyikannya di bawah meja. "Gue nggak nyaman." Marvin berdecak. Ia mengacak-ngacak rambutnya geram. "Bisa nggak, sih? Lo ngasih gue satu kesempatan lagi?" April menggeleng. "Nggak. Itu nggak mungkin. Gue udah nikah, Vin. Udah berapa kali gue bilang, kita udah punya jalan masing-masing. Lo harusnya ngerti." "Semua ini salah lo." "Kok, salah gue?" "Lo ngeingkarin janji itu! Gue bener-bener kecewa, Pril. Ternyata orang yang selama ini gue tunggu bukan orang yang benar." April menghela nafas. Perempuan itu langsung bangkit berdiri setelah mengemasi tas-nya dan melirik jam tangan. "Gue nggak punya waktu, gue harus jemput anak-anak." "Pril, tunggu!" Sekerasa apapun Marvin berteriak. Perempuan itu takkan pernah berhenti. Siluetnya perlahan keluar dari area Cafe dan langsung menghentikan taksi. Gue nggak bakal sia-sia in waktu gue gitu aja. *** April menepuk-nepuk dadanya. Berharap detakan jantung itu hilang. Harusnya ia mengajukan banyak pertanyaan saat bertemy cowok itu lagi. Kemana aja lo selama ini? Kenapa baru muncul sekarang? Kenapa lo nggak ngasih harapan buat gue nunggu lo lebih lama lagi? April membekap mulutnya sendiri. Berharap tangisan itu tak mengeluarkan suara. Sopir taksi yang duduk di balik kemudi sesekali meliriknya, memastikan bahwa penumpangnya baik-baik saja. Sorry. Perempuan itu hanya merutuk dalam hati. . . . . . . 10 tahun yang lalu... Gadis itu hanya bisa berlari sekuat tenanga. Sambil meremas ponselnya dan sesekali mengecek layarnya bila ada telfon atau sms yang masuk. April langsung meninggalkan rumah ketika sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Ia masih mengenakan seragam putih biru lengkap dengan sepatu converse yang belum ia lepas. Saking paniknya, April hanya meninggalkan ransel merah jambu di depan pintu rumah dan langsung berlari begitu saja. Sebuah mobil sedan putih baru saja meluncur dari pekarangan rumah bergaya eropa itu. Nggak. April belum terlambat. Kakinya semakin mempercepat langkahnya. Lalu berteriak sambil melambaikan tangan, berharap mobil itu berhenti. "Marvinaa!!" "Marvinaaa!!" Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti dengan sosok anak laki-laki yang berlari menghampiri April dengan keringat bercucuran. "Lo ngapain?" April nggak kuat lagi. Tangisnya pecah saat cowok itu menatapnya. "Lo bilang, lo nggak akan pergi!" "Gue.." "Lo jahat!" April memukul d**a cowok itu, melampiaskan kekesalannya. "Lo jahat, Vin!" "Gue bakal balik lagi." Marvin mendekapnya. Hingga perempuan itu merasa tenang. "Pasti." "Sampe kapan?" "Intinya, dua atau tiga tahun lagi gue bakal balik lagi ke Indonesia, kita bakal kuliah bareng, oke?" "Lo harus janji sama gue." April mengangkat jari kelingkingnya. "Janji." Dua jari kelingking itu terpaut satu sama lain. Hingga Marvin akhirnya benar-benar pergi setelah mengecup keningnya singkat. Kecupan yang lebih dari sekedar rasa sayang kepada sahabat. Keduanya sama-sama menyadari, mereka berdua memiliki rasa yang lebih. Orang bilang, Perasaan-perasaan yang tumbuh di hati kecil semasa SMP adalah cinta monyet belaka. Itu nggak berlaku untuk mereka berdua. . . . Tapi, janji itu perlahan pudar. Dimakan waktu. Lebih dari dua atau tiga tahun. Hingga pada akhirnya, Arion mengisi ruang kosong yang telah lama Marvin tinggalkan. Memberi warna baru dalam hidupnya, hingga April tak peduli lagi apakah ada kemungkinan Marvin akan kembali. Perlahan, April mulai membiarkan semuanya berlalu. Marvin tak pernah memberinya lagi signal bahwa cowok itu akan tetap mengingatnya. Mereka kehilangan kontak. Jakarta dan Beijing bukanlah tempat yang dekat untuk mereka saling bertemu satu sama lain. Hingga April menyerah, dan memilih untuk membuka pintu untuk orang lain selain Marvin. Karena yang ia tau, Marvin tak akan pernah kembali. Dan mereka sudah memilih jalan masing-masing. Yang membuatnya sakit adalah, ketika April telah melepaskan masa lalu, ia datang lagi. .. (TBC)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN