Keluhan Maya

2217 Kata
Masih di apartemen Langit, Clarisa yang mulai bosan memutuskan untuk memasak. Kebiasaan Clarisa kalau bosan pasti dia lapar, tanpa mengenal tempat. Perempuan itu mencari-cari bahan makanan apa saja yang bisa dia masak, saat membuka kulkas hanya ada makanan instan saja yang ada. Mau tak mau perempuan itu mengambil mie kuah, tanpa ragu dia memasaknya menggunakan kompor Langit. Urusan ijin nanti saja, belakangan, yang terpenting perutnya terisi dulu. Tak lama mie yang Clarisa buat masak, perempuan itu memakannya di meja makan. “Panas, panas!” “Babi! Perih nih bibir kena kuah!” Setelah tiga suapan pintu apartement Langit terbuka dan langsung menampakkan sosok pemiliknya. Di apartemen ini tidak ada sekat hanya ada satu kamar sebagai pemisah ruangan, jadi jika dari dapur ke meja makan tanpa bergerak sedikit pun mata sudah bisa melihat siapa yang datang. Tapi Clarisa tak sadar. Dia masih fokus dengan makananya. “Sa, gue, eh ....” Cowok itu menghentikan langkahnya saat melihat jelas apa yang dilakukan gadis itu. Langit mengulum senyum lalu menghampiri gadis itu. “Habis dihajar langsung lapar lo?” kekeh cowok itu gemas. Uhuk! “Dah santai aja.” Langit menepuk pelan kepala Clarisa dua kali membuat tubuh cewek itu langsung meremang, dia juga merinding. Mie yang belum sempat dikunyahnya bahkan masih bertahan di dalam mulut, bucinnya kumat. Cowok itu duduk di kursi depan Clarisa, perempuan itu langsung cegukan setelah ditatap oleh sang pujaan. “Muka lo jelek, Sa, kalau bonyok,” ujar Langit dengan senyumannya. Tolong siapa pun bawa Clarisa pergi sekarang juga dari sini. Dia udah gak kuat. Jantungnya tiba-tiba melemah, gimana dong! “So-sory gue lancang,” gugup Clarisa. “Santai aja kalik. Buruan makan, nanti gue bantu obatin luka lo.” Clarisa mengangguk. Tak lama perempuan itu sudah selesai makannya dan langsung mencuci piring bekasnya tadi di wastafel. Langit sudah ada di sofa sejak tadi, Clarisa jadi gugup mau menghampiri. Meski begitu dia tetap melangkahkan kakinya juga ke sana. “Sini, Sa!” Langit menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya menyuruh Clarisa duduk. Meski canggung perempuan itu tetap menurut. Langit langsung mengobati luka di wajah Clarisa dengan teliti. Berada di jarak sedekat ini dengan Langit membuat Clarisa hanya bisa mengontrol degub di jantungnya. Pahatan wajah Langit terlihat sangat jelas, hidung yang mancung, kulit kuning langsat, alis tebal, bibir merah tipis, rahangnya yang keras dan kedua sorot matanya yang tajam membuat Clarisa kesulitan menelan salivanya sendiri. Tuhan, tolong hentikan waktu untuk hari ini saja. Clarisa masih ingin seperti ini, berdua dengan Langit. Pria yang dia cintai. “Baru kali ini gue ngobatin cewek gak ada reaksinya sama sekali. Biasanya kalau gak teriak kesakitan ya nangis,” ujar Langit heran. “Auw!” ringis Clarisa tiba-tiba. Langit spontan mengutis kepala Clarisa, membuat cewek itu mengaduh kesakitan untuk yang kedua kalinya. “Yang begini aja kesakitan, pas ditonjok tadi biasa aja.” Cowok itu kembali terkekeh. “Sakit tau,” ucap Clarisa mempoutkan bibirnya kesal. “Udah!” seru Langit senang saat dirinya selesai mengobati luka di wajah Clarisa, gadis itu balas tersenyum. “Thanks ya udah diobatin,” ujar Clarisa. “Udah tanggung jawab gue, gara-gara gue lo jadi luka begini. Maaf ya, Sa,” kata Langit terdengar tulus. “Minta maaf kenapa sih seharusnya gue yang harus minta maaf. Gara-gara gue yang datang tiba-tiba lo sama teman-teman lo jadi kerepotan.” “Tapi, kok lo bisa ada di sana sih, Sa?” “Gue ngikutin lo.” “Gue nyasar.” Clarisa cengengesan. “Maklum sih bule nyasar.” Cowok itu tertawa, Clarisa mau menyaut tapi ia urungkan. Perempuan itu tak berkedip sama sekali, membiarkan kedua netranya fokus melihat senyum dan tawa Langit yang seakan candu baginya. Mulai sekarang cinta Clarisa naik dua kali lipat, Langit harus tanggung jawab! *** Clarisa lelah menghitung domba, matanya tak menunjukkan reaksi apa-apa. Akibat terlalu senang membuat matanya enggan tertutup, kantuk menghilang begitu saja tanpa jejak. Perempuan itu senyum-senyum sendiri gak jelas, menendang-nendang selimut sampai jatuh ke lantai. Sudah jam dua pagi gadis itu masih sibuk menggigit guling, hari ini dia benar-benar bahagia. Mengingat kejadian siang tadi membuat hatinya senang plus berdebar-debar, Langit mengantarnya pulang dengan membekali satu lusin yogurt. “Jangan langsung di minum semuanya juga ya, jaga kesehatan lo juga. Minum terlalu banyak juga gak bagus buat tubuh.” “Langit sweet banget, aaaaa!” Bayangan tentang Langit buyar karena dering ponselnya, dengan malas Clarisa mengambil ponselnya yang berada di atas meja nakas. “Kenapa lo nelpon malem-malem? Ganggu aja! Kalau mau balikin mobil besok aja kalik!” “Bukain pintu rumah dong, gue di depan.” “Setres nih bocah, bertamu malam-malam!” “Kalau gak mau gue balik lagi.” “Baperan lo anjing!” Setelah itu, Clarisa langsung beranjak berdiri untuk turun ke lantai bawah. Membukakan pintu untuk dayang Maya dengan malas. Pintu di buka dan dengan belagunya seorang Maya langsung masuk begitu saja menuju kamar Clarisa. Sang empunya kamar hanya bisa mencebik kesal. Berasa kek rumah sendiri dia, batin Clarisa jengkel. “Gue nginap di sini dulu,” ujar Maya langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur Clarisa dengan posisi tengkurap. “Mau nginep perlu ya bertamu jam dua pagi? Sore tadi kemana lu, Jaenab!” Clarisa juga membaringkan tubuhnya di samping Maya dengan kaki kanan berada di atas p****t sohibnya. Tak ada jawaban, Clarisa pikir Maya sudah tidur. Tapi nyatanya tidak saat terdengar suara isakan halus dari Maya dua menit setelahnya. Nangis nih bocah? Clarisa langsung duduk, mengangkat paksa tubuh Maya. “Biarin gue gini dulu, Ris!” sentak Maya berusah lepas dari tangan Clarisa yang berusaha membalik tubuhnya. Tapi bukan Clarisa namanya kalau menurut, gadis itu tetap memaksa untuk membalik tubuh Maya dan berhasil. Wajah Maya yang basah akan air mata membuat Clarisa tertegun, dia bingung mau melakukan apa. Saking bingungnya yang ia lakukan sekarang hanya memeluk sahabatnya itu, berusaha memberikan ketenangan. Clarisa mulai paham apa yang telah terjadi pada Maya, karena cewek itu sendiri yang menceritakannya semua. Antara Clarisa dan Maya tidak ada yang boleh disembuyikan. “Gue capek, Ris, gue capek dibanding-bandingin terus,” lirih Maya masih di dekapan Clarisa. “Gue berasa jadi anak pungut di sana, malu banget, Ris. Salah gue emang terlahir bodoh?” “Lo gak salah, May. Percaya sama gue.” Clarisa berusaha menenangkan. Saat ini mereka sudah tak lagi berpelukan, hanya bertatapan dengan sendu. “Cara mereka ngajarin gue pake kekerasan, hinaan, dan gue gak sanggup buat nerimanya begitu aja, Ris. Setiap hari yang ada cuman makian, gue capek dibanding-bandingan sama Bila.” “Besok gue hajar tuh Bila.” “Ris, gue mau mereka gak usah banding-bandingin gue, karena gue tau kalau gue ini bodohnya udah menjiwai banget. Tapi sakit hati juga, b*****t!” “Emang b*****t keluarga lo tuh!” “Mereka kira gue gak sakit hati apa? Sakit ini hati sampe bentukannya jadi bintang, gak lope lagi. Malam bukannya tidur mereka semua malah sibuk ngatain gue bodoh, si Bila juga pake acara nginap segala.” “Tuh cewek cari muka aja di depan ortu lo, kenapa gak dibakar aja sih barang-barangnya?” “Gue bisa-bisa dibunuh sama mereka, Ris.” “Ya lo bunuh lagi lah, May.” “Gak bakalan sempat. Gue ‘kan udah mati duluan, Ris.” Kalau curhat sama Clarisa memang begini akhirnya. Perempuan itu bukannya memberi nasihat melainkan sibuk mengompori. Di tambah lagi yang tukang curhat si Maya, gak bakalan kelar mereka ngomongnya. Meski jatohnya malah ngeghibah tapi mereka tetap senang. Jujur saja, otak Clarisa dan Maya itu sebelas dua belas. Bedanya Clarisa lepas dari omongan keluarga yang mengata-ngatainya bodoh atau segala macam. Kalau Maya dia tertekan karena setiap hari selalu saja diomeli dibanding-bandingi dengan sepupunya yang pintar itu—Bila. Anak kalau ditekan bisa bikin mentalnya cepat down. Jadi nasihati seadanya saja, jangan berlebihan atau parahnya menggunakan kekerasan. Memang ada sebagian orangtua yang tegas pada anaknya, itu bagus. Tapi ada juga sebagian orangtua yang ingin tegas tapi menggunakan kekerasan, hinaan atau apapun itu yang malah membuat seorang anak semakin tertekan. Lebih parahnya depresi. Sekarang yang ditakuti Clarisa pada Maya cuman satu, takut perempuan itu gila saja. Bahaya plus gak etis kalau Maya yang kesehariannya memang sudah gila malah jadi gila beneran. *** Paginya Maya sekolah dengan berbekal seragam sekolah Clarisa yang waktu kelas sepuluh. Lumayanlah masih bisa dipake, lagian salah Maya juga kabur gak bawa baju. Untungnya Maya ke rumahnya bawa Mobil Clarisa jadi mereka gak kerepotan buat berangkat. Clarisa ngasih Maya jaket biar dia pake, seragamnya itu udah lumayan kecil jadi pas dipake Maya jadi ketat plus tembus pandang. Daripada dikatain cabe, Maya terima aja jaketnya. Mereka sekarang lagi sarapan. Semuanya lengkap minus Nathan yang gak ada di tempat, papa Clarisa udah tiga hari ini di luar kota karena ada pekerjaan penting yang gak bisa ditinggal. Jadi di rumah Clarisa isinya cewek semua. Setelah sarapan mereka pamit sama Luna. Syela sekolah diantar sopir, karena jam masuk bentar lagi gak bakalan sempat kalau ngantar Syela dulu ke sekolahan. Syela memaklumi. Sekarang mereka udah di mobil, Clarisa yang nyetir. Kasihan lihat muka Maya yang terlihat masih tertekan. Mobil dipacu dengan kencang oleh Clarisa, dia takut telat katanya. Dan gak kerasa akhirnya mereka sampai sebelum bel berbunyi. Setelah mobil terparkir dua gadis remaja itu langsung berlari, karena mereka ingat jam pertama ada pelajaran pak Baiquni. Guru itu selalu datang sebelum bel berbunyi dua menit, korupsi waktu sebut Clarisa tempo lalu. “Gila sih dari pagi tadi gak sempat napas gue,” ujar Maya setelah mereka sudah mendudukkan p****t di kursi masing-masing. Kedua perempuan itu meraup udara dengan rakus, lari-lari gak jelas nyatanya pak Baiquni belum datang juga. Memang ya penyesalan itu datangnya di akhir. “Eh, Ris! Kok gue baru sadar kalau muka lo bonyok?” tanya Maya lengkap dengan ekspresi terkejutnya. “Dari malam tadi lo baru sadar sekarang? Temen macam apa lo?!” jawab Clarisa sewot. “Tapi serius, gue baru sadar.” Kali ini Maya jujur. “Di hajar sama cowok.” “Lah, masa?!” “Santai kalik, May.” Pak Baiquni tiba-tiba datang dengan membawa dua buku tebal di tangan kanannya. Maya melihat lalu mencebik kesal. “Lo punya utang cerita sama gue!” *** Di lapangan, tepatnya di bangku panjang yang sudah di sediakan. Ramai, tentu saja. Apalagi sekarang sudah istirahat. Komplotan Langit sudah Stay dari tadi bahkan sebelum bel berbunyi. Tujuh cowok hedon sedang duduk dengan posisi masing-masing. Ada yang rebahan dan ada juga yang duduk dengan normal. Dengan mereka berkumpul seperti ini setiap harinya tak pernah lepas sehari pun dari banyak sorotan. Mereka keren dan mereka bangga itu. Banyak yang mengira kalau Langit dan teman-temannya adalah anak geng motor yang berjumlah ratusan yang hobi merusak jalan, semacam tawuran. Mereka memang suka berkelahi tapi hanya berjumlah tujuh orang tidak ratusan. Dan mereka bukan anak geng motor besar-besaran. Mereka bertujuh hanya kumpulan anak nakal yang haus akan popularitas. Langit Bagaskara, Sauqi Arifky, Kemal Dirgantara, Athaya Putra Georgio, Gion Gomino, Raditya Rafka, Louis Mahendra. Mereka adalah kumpulan cogan yang memiliki kadar kepedean tingkat tinggi, golongan narsistik. Katanya sih kalau Langit dan Kemal sudah berteman sejak SD, pas SMA baru bertemu dengan yang lainnya. “Denger-dengar Leo sekarat di rumah sakit.” Putra membuka suara sedangkan yang lain sibuk makan kacang kulit, beda dengan Kemal dia sibuk makan tempe telanjang. Emang ada-ada saja sama apa yang mereka lakukan. Di lapangan outdoor bawa gorengan, udah kek lupa gitu sama letak kantin di mana. Maklum, orang ganteng bebas! No debat, no kecot and no bacot! “Salah dia sendiri, tubir bawa cewek,” ujar Louis. “Mana yang dibawa si Clarisa lagi.” Radit ikut menimpali. “Kasian dia bonyok padahal gak salah apa-apa,” lanjutnya. “Tapi gue heran, kok Clarisa bisa ada di sana?” Suara Gion menginterupsi, yang lain terlihat menganggukkan kepala karena baru sadar. “Bule nyasar,” jawab Langit membuat seluruh atensi langsung mengarah padanya. Sebelum ditanyai lagi cowok itu memutuskan menjawab terlebih dahulu. “Dia yang bilang pas gue selesai ngobatin lukanya.” “Al, kapan sih lo peka?” tanya Kemal seraya menghela napas kasar, Sauqi yang dari tadi diam mengangguk. “Peka apaan sih?” tanya Langit malas. “Nih bocah butuh didaur ulang otaknya, Mal.” Sauqi cowok yang gak suka banyak bacot sudah terlihat jenuh karena Langit yang lelet kalau disuruh berpikir. “Gak paham lagi gue.” Kemal pasrah. Teman-temannya yang lain mulai mengerti, mereka tau kalau Clarisa menyukai Langit itupun diberitahu oleh Kemal. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, Langit itu bodohnya gak ketulungan kalau disuruh mikir. Kecuali pacaran otaknya jalan terus seperti air terjun. Saking hobinya pacaran, Langit punya jadwal sendiri dalam mengakhiri sebuah hubungan. Dalam satu Minggu dia bisa memiliki dua pacar sekaligus. Diantara mereka bertujuh, Langit golongan fuckboy. “Ngomong yang serius elah, gak usah ngode-ngode. Gue terlalu pintar buat mikir,” kesal Langit. “Clarisa suka sama lo.” Sauqi si goodboy menjawab. Langit tertawa. Teman-temannya hanya bisa memasang ekspresi datar. “Eh, Qi. Lo jangan asal ngomong. Si bule tuh anti cowok, dari SMP gue gak pernah lihat dia dekat sama cowok. Yakali demen sama gue,” kilah Langit masih terkekeh. “Dia gak dekat sama cowok karena suka sama lo, b**o!” Kemal si sadboy menjawab kesal. Selelah ini berbicara dengan Langit. “Sok tau lo!” “Sabarkan hamba ya Tuhan.” Gion menengadahkan kedua tangannya di depan d**a. Gion yang berdoa Radit sibuk mengamini. Putra hanya sibuk menyimak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN