Rutinitas

1000 Kata
Hoam Sosok pemuda setengah malas bersandar pada sofa kamar. Badannya menegak sebelum merenggangkan otot pinggang yang kaku sehabis tidur. Mengabaikan rasa kantuk, dia segera berdiri dan berjalan ke arah nakas dan mengecek handponenya. Pukul 07:23 menit Matanya membesar dengan kesadaran yang pulih seketika. Meletakkan handpone kembali ke meja dengan tubuh yang segera aktif melakukan tugasnya. Pemuda tersebut linglung harus mendahulukan yang mana? Pikirannya ingin ke kamar mandi, tangan kirinya ingin mengambil handuk, dan tangan kanan hendak membuka sepatu tali yang masih tersemat di kedua kakinya. Haruskah dia memisahkan anggota tubuhnya agar dia bisa menjadi cepat? Oh ayolah, sebentar lagi dia akan telat dan semuanya akan kacau jika itu terjadi. Terpaksa. Semua anggota tubuhnya bekerja dengan searah. Mengambil handuk dengan tangan kanan membuka sepatu sambil berjalan terseret-seret menuju pintu kamar mandi. Bugh_Bugh Kedua sepatu itu melayang ke sembarang arah, saat tangan menarik paksa benda itu menghilang dari kakinya. Tapi, cowok itu tidak peduli. Kondisi kamarnya sudah terlewat higenis, hingga kecowa saja betah menetap di dalam kamarnya. Apalagi menetap di tumpukan macam benda yang membuat orang merasa jijik. Yah, lagi-lagi cowok sama sekali tidak peduli! Ini adalah kamarnya, apapun bentuk dan baunya itu tetap zona nyamannya. Cowok itu langsung menyerbu peralatan mandi dan menggunakannya secepat mungkin. Di bawah guyuran sofwer, tangan kanannya sibuk menyikati gigi dan tangan satunya lagi menyabuni seluruh tubuhnya. Tidak ada waktu bersantai. Semua harus serba Fast! Kini. Dari pantulan kaca dia bercermin merapikan seluruh pakaiannya. Merasa puas dengan penampilannya, bibirnya terangkat untuk bersuara. "Hehehe. Ternyata gue ganteng juga." Sebelah tangannya menyisir asal rambutnya dengan memberi senyuman pada pantulan dirinya. Hanya beberapa detik hingga tangan itu menyambar handpone dan kunci motor di atas nakas kemudian berlari keluar kamar. "Oi. Lo buru-buru amat, Fan. Lo lagi ada job?" Si cowok jakung dengan pakaian kusut baru saja bangun tidur, sekarang nongkrong di depan kamar dengan secangkir teh dan biskuit Roma Kelapa. Namanya Toni salah satu tetangga kos si cowok anti lambat itu. "Gue ngampus hari ini. Hampir telat, gue berangkat, Ton." Lagi-lagi dia harus mengingat waktu. Mengabaikan wajah Toni yang menjadi masam, Fano memberi cengiran khas kemudian bergegas keluar rumah kos itu. Fano turun dari motor besarnya setelah memarkirkan di depan sebuah gerbang rumah. "Arsa!" Fano berteriak memanggil sebuah nama. Dari jendela bawah rumah, seseorang menyibak horden dan melihat cowok yang sedang berteriak di depan rumahnya. Orang itu menoleh pada gadis yang sibuk mengotak atik handponenya, kini tengah duduk bermalasan di sofa. "Sa. Itu temen kamu dateng lagi. Kamu buka pintu sana, kasihan dia nunggu." Anggala, ayah dari Arsa menyuruh putrinya segera menemui Fano yang masih menunggu dan tidak pernah berhenti untuk memanggil nama Arsa. "Dia bukan teman Arsa, pah." Arsa menjawab dengan masa bodo. Lah, emang cowok itu bukan siapa-siapanya, kok. Pip___pip Anggala hendak membalas ucapan Arsa, tapi suara klakson kendaraan menghentikannya. Anggala kembali melayangkan tatapannya ke arah jendela sampingnya. Cowok lain lagi. Bukan hanya Fano yang menunggu di luar sana. Anggala menghela nafas dalam mengingat putrinya selalu di jemput dengan begitu banyak cowok yang berbeda setiap harinya. Tapi dia percaya Arsa bukan gadis nakal seperti gadis lainnya, yang jika sudah bergonta-ganti pasangan dia adalah cewek murahan. Hanya, dia tidak bisa menebak pemikiran putrinya melakukan hal sejauh itu untuk apa? Yah, satu hal yang Anggala bisa jadikan alasan adalah Fano. Cowok yang sejak SMA selalu datang menunggu Arsa untuk mau di ajak ke sekolah bersama, namun Arsa selalu menolaknya tidak peduli. Dan anehnya, sampai mereka kuliah Fano tidak bosan-bosannya mendatangi rumahnya dengan tujuan yang sama, meski dia tau bagaimana akhirnya. "Pah, Arsa berangkat kuliah dulu. Papa jangan lupa sarapan." Arsa meloncat memeluk sang ayah dan mengecup kedua pipinya. Anggala sempat ingin berbicara, namun tertahan saat Arsa sudah berlari keluar dari rumah. Anggala hanya bisa tersenyum geli pada dirinya. "Arsa!" Sapaan 4 tahun lalu dari cowok itu kembali menggema di telinganya. Arsa berjalan buta dan menulikan indra pendengaran untuk Fano. Dia memang selalu mengabaikannya. Kakinya hanya terus berjalan lurus pada cowok di samping Fano dengan tatapan tajam. "Aldo, lo telat 5 menit." Arsa memukul pelan bahu Aldo, laki-laki yang sekarang menjadi pacarnya. Aldo terkekeh dan tersenyum senang melihat reaksi Arsa yang marah padanya. "Maaf. Tadi macet jebak gue di jalanan, jadi gak bisa jemput tuan putri tepat waktu." Sesalnya dengan setengah bercanda. "Besok gak usah datang lagi." Tangan Arsa menyilang di d**a dengan menatap Aldo malas. "Iya. Tapi karena hari ini lo pacar gue, jadi lo milik gue." Setiap Arsa berkata seperti itu, semua laki-laki sudah paham apa yang akan terjadi besok. Tidak perlu komplain lagi. Garis besarnya. Besok mereka bukan lagi siapa-siapa. Hanya akan ada gelar mantan yang cowok dapatkan besoknya jika berpacaran dengan gadis itu. Karena hukum pacaran seorang Arsa hanya bertahan tidak lebih dari sehari. "Sa. Bareng gue ke kampus, yuk?" Fano tiba-tiba menyerobot berdiri tegak di antara pasangan itu dengan tampang cerianya. Sudah biasa jika setiap yang menjadi pacar Arsa menganggap Fano adalah PHO. "Woi. Jomblo jangan jadi PHO lo!" Aldo mendorong bahu Fano hingga cowok itu bergeser dari tempatnya. Fano mendelik tidak suka. "Kata pak ustad pacaran itu dosa. Makanya, gue sengaja jadi tukang PHO supaya hubungan kalian gak sampe dosa." Fano berdalih menirukan nada bicara orang yang insaf. "Al. Lo mau putus sekarang atau besok? Gue gak ada waktu dengarin ocehan ustad gadungan di samping gue. Sok menceramahi!" Mata Fano mendadak kelilipan dengan bibir membentuk lurus. "Gue beda, Sa. Buktinya. Gue bahkan gak pernah nembak lo buat jadi pacar gue. Gue juga rela jomblo demi nunggu lo mau jadi pacar halal gue. Gue serius." Memutar mata, Arsa kembali menulikan telinga. Dia berjalan naik ke atas motor Aldo dan mengabaikan sosok Fano yang terus menerus menatapnya. "Jalan." Aldo mengerti. Dia segera naik ke atas motor. "Sa. Kapan lu mau bareng sama gue?" Pertanyaan Fano yang sudah ke sekian-kian-kian, kalinya. Fano memang bukan orang yang gampang bosanan untuk mau mengucapkan kata yang sama. "Eggak akan pernah!" Napas Fano tertahan beberapa detik tanpa ekspresi, hingga sebelum Aldo menstater motor besarnya, Fano segera menerbitkan senyum lebar dan berkata; "Hehehe. Lo percaya gue bakal nunggu lo terus, kan, Sa?" -Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN