Arsa gue mau daftarin diri jadi pacar lo, boleh, kan?"
Arsa yang sedang tiduran di meja kantin sekolah, mengangkat wajah dan menatap cowok berkulit putih di depannya dengan malas. Matanya berkedip beberapa kali kemudian bersedekap tangan di d**a.
"Gue lagi tutup pendaftaran. Jadi lo___"
Arsa mengantungkan ucapan saat melihat Fano berjalan di depan mejanya dengan membawa nampan makan. Fano berhenti dan menatap Arsa lama.
"Lo pacar gue yang ke-3 minggu ini. Hari rabu jangan sampe telat jemput gue di rumah. Catet nomor dan nama lo di buku itu, nanti gue kirim alamat gue."
Wajah cowok berkulit putih itu seketika cerah dan segera melaksanakan ucapan Arsa tanpa menunda. Setelah selesai, buku album hijau tua itu ditutup Arsa dan disimpannya ke dalam tas.
"Urusan lo udah selesai, kan? Mending lo pergi deh, Pily. Gue mau tidur." Sebelum menutup bukunya tadi, Arsa sempat melihat nama cowok itu sekilas. Dengan wajah masam, Pily bangkit dan segera pergi dari hadapan calon pacarnya dua hari ke depan nanti. Daripada dia di putuskan sebelum berpacaran, Pily lebih memilih ikhlas saja di usir.
Fano sejak tadi seperti patung pancoran. Diam berdiri dengan senyum lebarnya. Hingga kaki itu melangkah ke arah meja yang di tempati Arsa. Meletakkan nampan dan duduk di sana.
"Arsa. Gue juga mau daftar jadi pacar lo. Boleh, kan?" Ucap Fano menirukan kalimat Pily saat mendaftarkan diri jadi calon pacar Arsa.
Arsa kembali bangun dari tidurnya. Duduk tegak kemudian menoleh ke kanan ke kiri dengan mata malas. Arsa menguap, meluruskan tangan ke atas dan kembali melipatnya di meja kemudian tidur lagi. Lagi-lagi Fano hanya seperti bayangan tidak terlihat oleh Arsa.
Fano tetap tersenyum. Meski kenyataannya, keberadaannya memang selalu diabaikan oleh Arsa.
"Hai, pacar. Maaf ya, sudah buat kamu nunggu lama." Seorang cowok datang dengan sebuket bunga mawar pink di tangannya. Dia duduk tepat di samping Arsa.
Arsa segera bangun setelah mendengar suara itu. Dia menoleh dengan mata malasnya.
"Lama." Gerutu Arsa memalingkan wajah ke arah lain.
"Ya, maaf." Satu pukulan mendarat di bahu cowok yang meminta maaf itu. Arsa benar-benar tidak suka dengan apa yang membuatnya menunggu.
"Pfft..." Fano tertawa mengejek kepada pacar baru Arsa yang dia belum tahu namanya.
"Siapa lo berani ketawain gue?" Cowok itu menatap Fano dengan menantang. Satu tangannya menepuk meja dengan keras.
"Gue?" Fano menunjuk dirinya. Sesaat kemudian tangan kanannya terulur untuk berkenalan. Cowok itu diam saja dengan tatapan tajam. Fano merasa terintimidasi segera menurunkan kembali tangannya dan berdehem. "Gue Fano pangeran tampan Arsa. Kenapa?"
"Pffft..., hahaha...," Cowok itu balik tertawa keras, merasa konyol mendengar perkataan Fano yang mengahayal tinggi. Benar-benar menggelikan.
Menahan wajahnya untuk tidak berekspresi setelah mendengar ucapan Fano. Arsa memilih mengatupkan bibir rapat dan menatap bergantian pada dua cowok yang saling balik menertawai dengan tidak suka.
"Fano, Fano. Mimpi lo terlalu tinggi. Jelas-jelas Arsa gak pernah mau sama cowok kayak lo. Ngaku-ngaku pangeran Arsa lagi. Bangun woi!" Si cowok tinggi berkulit sawo matang itu berteriak memaki Fano puas. Senyum meremehkannya turut dia berikan tanpa tertinggal.
"Kisah cinta lo emang menyedihkan!"
Berita jika Fano adalah cowok pengejar cinta Arsa dari SMA memang sudah tersebar luas hampir di semua fakultas. Anehnya, Arsa tak pernah mau menerima cinta Fano, dan lebih memilih berpacaran dengan cowok lain. Tak lupa, hukum berpacaran Arsa mutlak tidak lebih dari sehari. Sungguh kisah yang absurd.
Fano mendengkus. Dengan kasar dia merebut mawar pink yang ada di atas meja kemudian di genggamnya hingga remuk. Genggamannya terbuka dengan kelopak mawar berjatuhan di lantai dengan tak berbentuk bunga lagi. Hancur. Bunga yang dibawa cowok itu untuk sang pacar telah tiada.
Cowok itu mengepalkan tangan dengan geram. Dia berdiri dan langsung merenggut kasar kerah kemeja Fano.
"Maksud lo apa?"
Bugh
Satu pukulan cowok Arsa berikan untuk Fano. Fano jatuh terduduk dengan sudut bibir yang sobek. Cowok itu meringis sambil menyeka jejak darah di bibirnya dengan kasar.
Arsa membelak. Penghuni kantin gaduh, menatap penuh penasaran pada perkelahian antar cowok itu.
"Gue emang pangeran Arsa. Lo dan gue beda jauh. Cowok kayak lo hanya akan jadi mantan sedangkan gue tetap jadi pangeran. Jadi lo enggak usah sombong jadi pacar gadungan." Fano tidak pernah bisa diam jika sudah di remehkan. Bibirnya saja sudah sobek, tapi masih bisa tersenyum lebar, puas setelah berkata. Fano memang selalu tersenyum di semua keadaan, hingga beberapa orang mengira dia tidaklah waras. Tapi Fano tidak pernah peduli dengan kelainannya.
"Apa lo bilang? Emang cari mati lo!"
Saat tangan besar itu hendak kembali memukul wajah yang sama kedua kalinya. Satu tangan kecil menahannya kemudian terdengar suara nyaring tamparan setelahnya.
"Dava, kita putus."
Cowok itu adalah Dava, pacar Arsa beberapa jam yang lalu. Tapi sekarang Dava adalah mantan Arsa. Detik ini, mereka putus.
Dava mematung dengan tangan yang masih menggantung di udara. Tangan Arsa yang menahan tangannya tadi, langsung di hempaskan jatuh kebawah. Dava menatap Arsa lama.
"Tapi ini belum sehari kita pacaran, Sa. Lo gak bisa mutusin gu__,"
"Gue selalu bisa. Apalagi itu hanya untuk mutusin lo. Mudah bagi gue." Dava termangu. Bibirnya ikut mengerut dalam. Dia merasa terhina dengan ucapan Arsa yang mudah memutuskan tanpa menunggu dia menerima atau tidak.
"Pfffft... Hahaha. Kasian banget kisah cinta lo. Lebih menyedihkan dibandingkan gue. Haha...." Fano tertawa keras melihat Dava yang sekarang tidak bisa apa-apa setelah diputuskan Arsa. Wajahnya sangat memprihatinkan. Bayangkan saja dia diputuskan di depan umum, Dava pastilah malu.
"Arsa, tunggu!"
Fano bangkit dari lantai kemudian mengejar Arsa yang entah kapan sudah berjalan menjauh dari keramaian. Arsa berbalik.
"Ini coklat dan minuman lo. Gue tadi pagi ada urusan, jadi nggak sempat naruh ini di laci lo."
Fano mengulurkan tangan memberikan coklat dan s**u milk strawberry kepada Arsa. Tidak menunggu lama, Arsa langsung merebutnya cepat dan berbalik pergi melanjutkan langkahnya keluar kantin. Wajah Arsa hanya terlihat datar, berbeda dengan Fano yang selalu tersenyum ceria.
Fano berbalik lagi ke tempat di mana Dava berada. Dava yang tengah terduduk di kursi dengan badan membungkuk di meja sambil menopang dagunya lesuh. Tatapannya pun kosong seperti seseorang yang frustasi. Dava tersadar saat Fano menepuk pundaknya.
"Hehe, sorry, ya. Gue gak ada maksud jadi perusak hubungan lo sama Arsa. Tapi kadang lo juga gak boleh sombong sama status sesaat. Ingat. Pacaran sama Arsa itu hanya akan membuat lo sadar, jika gadungan akan tetap kalah sama pangeran."
"Ingat, ya, Human. Hehe."
Setelah mengatakan itu, sekilas Fano tertawa mengejek, sebelum berlari secepat kilat keluar dari kantin. Teriakan makian Dava yang menggema di ruang kantin sungguh membuat sang Fano puas. Cowok itu berpikir. Sudah berapa kali dia menjadi perusak hubungan orang dalam sebulan, yah? Itu baru sebulan, jika setahun, berapa emang?
Fano tetaplah Fano yang akan tetap menjadi pengejar cinta Arsa seorang.
Iya, nggak?