Bab 5

1313 Kata
☕☕☕ Namanya remaja labil ya gitu, kalau sudah dapatkan kejutan manis dari seorang cowok semuanya bakal terasa indah. Sesuatu yang tadinya terlihat jelek dianggap cantik. Sesuatu yang tadinya pahit terasa manis. Seolah di dalam hatinya ada sepasang kupu-kupu cantik terbang melayang, sehingga menggoda bibirnya untuk selalu tersenyum merona. Selama perjalan pulang, bibir ini tak henti-hentinya membuat garis melengkung. Bayangan Vino menyanyikan lagu tadi di cefe, yang spesial untuk aku. Tidak pernah enyah dari benak dan tak ingin melupakan. Akan aku jadikan ini sejarah yang harus dikenang hingga anak cucuku nanti. Para anak, cucu dan cicitku. Beginilah kisah nenek dan kakek kalian di masa muda. Kakek kalian rimantis kan? Xixixi Aku menggigit ujung jari untuk menahan tawa atas apa yang ada di benakku. Sungguh absurd banget. Masih 16 tahun udah mikirin sampai kesana. Aku menggeleng-geleng kepala. Astaganagah, otak aku emang perlu di bedah sesekali, biar gak sering keluar dari jalur. Aku melirik Vino di samping. Wajah yang tenang dan selalu nyaman bila di pandang. Salah satu yang bikin aku semakin senang jika bersama dia adalah. Vino nggak pernah ninggalin aku barang selangkah pun. Dia selalu berusaha menyamakan posisi berjalannya. Ia faham dengan keterbatasan aku ketika berjalan itu selalu lambat. Tahu kan kalau aku ini hanya seorang gadis pendek. Tinggi 155 cm. Udah pendek, lamban lagi. Bahkan di kelas anak-anak suka manggil aku si cebol, ada juga yang manggil siput lah, miss lambat lah. Huuff! Hayati hanya bisa sabar sambil mengelus d**a. "Ayesha, kita duduk di sana dulu yuk," ucap Vino menujuk pada kursi taman pinggir jalan. Aku mangguk mengiyakan. Aku memilih duduk di ujung kursi dan Vino juga duduk di ujung kursi satunya, memberi jarak kira-kira setengah meter. Setiap bersamanya Vino selalu bersikap sopan padaku. Ia selalu menjaga jarak walaupun sedang jalan berdua seperti ini. Tidak bisa diungkapin semua tentang Vino. Di mataku ia selalu terlihat sempurna. Baik sikap maupun sifat. Untuk sesaat kami hanya diam memperhatikan kendaraan berlalu lalang. Sampai Vino kembali membuka pembicaran lebih dulu. "Ayes, sekarang udah fahamkan gimana perasaan aku ke kamu." Aku menoleh cepat padanya. Dan memandang dia sejenak. Sedikit susah untuk memberi jawaban. Yang pasti aku benar-benar sudah faham dan bahkan sangat mengerti. Jika Vino memiliki rasa terhadapku. "Apa yang aku ungkapin di panggung tadi, itu serius," kini pandangan Vino tertuju lurus padaku, tidak terlihat ketakutan atau grogi di matanya kala dia mengucapkan kalimat demi kalimat,"Dan apa yang aku rasakan ini telah lama terjadi. Itu sejak kita masih SMP." Aku menelan saliva dan sedikit kaget. SMP? Aku bahkan belum kenal dengan dia. "Waktu SMP aku belom begitu percaya diri untuk mengatakan ini, tapi sekarang aku cukup berani." Vino kembali diam. Seperti sedang mengumpulkan keberanian. "Apa aku boleh tau tentang isi hati kamu padaku, Yes? Apa prasangka aku itu benar." Aku mengernyitkan dahi,"Prasangka? Maksudnya." Bukannya langsung menjawab Vino hanya tersenyum tak jelas. Mengundang kekuatiran dalam diri ini. "Kalau kamu juga merasakan hal yang sama terhadap aku. Iya kan?" Aku melongo tak percaya. Sejak kapan cowo di depan aku ini yang baru saja menjelma bagai pangeran dari khayangan menjadi seorang yang sok tahu. Walaupun apa yang dia tebak itu benar adanya. Kalau Ayesha Azizah binti Muhammad Daud menyukai lelaki bernama Miyas Alvino. Mungkin kebingungan aku terbaca olehnya. Ia kembali bersuara. "Waktu itu aku nggak sengaja baca catatan kamu dan di sana ada foto aku, lalu tertulis 'ini calon imamku kelak," jelasnya dan sangat jelas di kupingku. Setelahnya Vino tersenyum jahil di sana," Sejak kapan kamu menyimpan foto aku, Yesha?" Tubuhku mematung, otakku berputar ke waktu sebelumnya. Kalau ternyata aku memang pernah menulis itu di buku diary dan terselip satu foto Vino tertempel rapi di sebelahnya. Yang aku dapatkan dari Doni teman akrab Vino. Bahkan aku tak menyangka kalau Vino mengetahui itu. Tapi sejak kapan? Seketika itu jantungku terus menghujam dengan sangat menyakitkan. Mengingat kebodohan atas kecerobohan diriku. Aku malu, sumpah! Gerak cepat aku memalingkan muka ke sisi lain. Nggak hanya muka, seluruh tubuh. Sehingga terlihat di sana hanya pohon yang terlihat galau karena berdiri sendiri di tengah taman. Mati kamu Ayesha, di mana muka ini kamu sembunyiin? Aku mengembangkan kantong seragam yang terletak di d**a kiri. Emang muat muka di sembunyiin di sana? Reflek menepok jidat. Sungguh keterlaluan bodohnya. Ketawa, dia ketawa? Berhasil membuat nafasku sesak. Bunda! Ayes malu Aku mengetok-ngetok dahi dengan tulang jari. Sambil mengutuk diri berulang kali. Ini aib! Ini aib! Ini aib! Aku nggak malu kalau ketahuan tengah menyembunyikan rasa suka pada Vino. Tapi jangan curhatan dalam diary juga kan? Aku merasakan seluruh wajah memanas. "Yes, kamu nggak gak papa?" Aku memajukan bibir kedepan, kesel dengan Vino. Kenapa juga dia memberitahu itu, kalau dia sudah membacanya. Nggak harus diumbar juga kan sama yang punya. "Nyebelin!" Vino terus memangil aku. Meminta untuk kembali menghadap ke dia. Tapi aku tak kunjung. Tahu-tahunya Vino sudah berjalan dan berdiri di depanku. Dengan posisi membungkuk. Reflek aku menutup wajah dengan sisa kain kerudung biar ia tidak bisa melihat wajah ini memerah karena malu. Dia ketawa,"Kamu kenapa sih? Nggak usah malu, aku nggak kenapa kok, malah seneng liatnya." Apa? Dia seneng? "Maaf ya, Yesha. Aku nggak bermaksud buat kamu jadi nggak nyaman, kalau boleh jujur, aku benar-benar seneng baca cacatan itu, karena catatan itu aku jadi semakin pede untuk mengungkapkan isi hatiku sama kamu." Sedikit demi sedikit aku mulai membuka tutupan pada wajah. Mata aku dan Vino saling berpandangan sesaat. Sampai aku memutuskan lebih dulu dengan cara menunduk. Sungguh aku masih malu. "Bener kamu nggak marah?" tanyaku tanpa memandang wajahnya. Sambil memainkan sepatu di atas tanah. "Iya, Ayes. Aku nggk marah." Lega! Takut saja jika Vino merubah ilfil dengan apa yang ia temukan. Setelah itu ... "Ini!" Aku menoleh. Seketika mataku terbelalak dengan apa yang ia beri. Itu buku diaryku? Gerak cepat aku mengambilnya dan memeluk buku itu di depan d**a. Aku menatap Vino curiga. Apa dia mencuri buku ini? Yang memang beberapa hari lalu hilang entah kemana. Tunggang tunggik sudah aku mencarinya. "Dimana kamu ngambil buku ini?" "Aku nggak gambilnya, dua hari lalu aku dapat tugas kebersihan kelas sebelum pulang, dan pas periksa laci meja kamu aku nemuin itu, takut di bawa sama anak-anak lain, jadi aku bawa pulang." Aku benar-benar sudah pikun ternyata, baru sadar kalau buku ini kesimpan di laci. Sampai tega aku menuduh adik-adik mengambilnya. Fokusku kembali pada ucapan Vino. Dua hari? Dua hari bukanlah waktu yang cepat. Dan ada kemungkinan dua hari itu Vino telah membaca semua isi diaryku. Ya Allah, Ya Robb, Ya Malik, Ya kuddus, Ya Salam, yaaaahh ... berakhirlah nasipku. Aku teriak dalam hati. Ingin rasanya aku melarikan diri saat ini juga. "Tenang Yes, aku nggak melewatkan semuanya kok." Aku menatapnya lekat, "Maksud kamu?" "Aku nggak melewatan selembar kertas pun, semuanya udah kebaca sampai tuntas." Mulut aku mengaga, kesel! Kety Perry kesel! Aku membawa buku itu untuk memukulinya. "Vino, kok ngeselin sih!" Aku terus memukulnya bertubi-tubi. Ia tidak menghindar, hanya menggunakan lengannya sebagai pelindung. Berharap pemuda itu akan takut dan menyesal. Tetapi nyatanya dia ketawa renyah bak kerupuk udang. "Ngeselin!" Aku geram! Aku lelah, dan malu! Aku menghentikan dari memukulinya. Memperbaiki posisi duduk sedikit begeser ke sudut. Aku tahu cowok itu masih memperhatikan dari samping. "Jadi kamu pengen bangat ya kalau aku jadi imam kamu kelak," aku meringis mendengar suara pede Vino yang kembali membuat aku malu. Enggan untuk menjawab. Aku membuang muka ke sisi lain dengan hati gelisah. Masa iya aku jawab mau di depan dia. Yang benar saja. Namun ucapan Vino selanjutnya berhasil membuat aku tersentak. Hingga kedua pipi ini merona. "Aku mau kok! Tapi nanti, kalau kita sudah sama-sama dewasa, kalau sudah saatnya aku akan datang ntuk melamar kamu, Ayesha!" Dia tersenyum. Dan itu sangat sangat dan sangat manis. Senyum yang memikat hati ini. Senyum yang membuat rindu ini selalu berlabuh. Senyum nyaman dan tentram. Oh Vino! Kenapa kamu selalu membuat aku terbuai dengan senyuman itu. ☕☕☕ Semoga Suka ya, mohon dukungan dan komentarnya kalau ada. Saran dan masukan pembaca sangat berarti bagi penulis. ? Maaf bila typo berserakan. Salam! @Nevadwi
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN