Happy reading.
Mohon dukungannya. ^^
Tepat jam 2 siang aku menutup sif, dan di gantikan oleh chef lain. Belum ada niat untuk pulang ke rumah, aku memilih duduk bersantai di lantai dua bersama Puput. Sambil menikmati secangkir cofelatte capuccino dan roti basball bikinanku. Duduk di balkon yang langsung disuguhkan pemandangan langit biru serta dengan jelas menyaksikan hiruk pukuk jalanan.
Hati ini masih belum kuat menemui ayah dengan wajah datarnya ketika berpapasan denganku nanti di rumah. Ditambah sikap bunda juga tidak jauh beda. Huff, coba saja kedua orang tuaku tidak seegois itu.
Dosa gak sih bilang orang tua egois?
Entahlah!
Bagaimana aku tidak berfikir begitu. Mereka selalu memaksa kehendak. Si anu baik kok, si anu rajin, si anu bertanggung jawab, si anu ini itu, terima saja lamaran dia. Ah, gak semua orang bisa menerima lamaran itu dengan mudah dari sebuah perjodohan. Iya kan? Kenapa mereka gak mau sedikit saja memikirkan perasaan anaknya.
Kadang aku salut sama mereka yang berhasil di jodohkan hingga menikah, memiliki anak. Bagaimana cara mereka mempersatukan diri? Mengenal satu sama lain secepat itu. Yang hanya ketemu satu kali, sebulan kemudian langsung ijab kabul. Waw dahsyat! Mungkin aku bukan bagian dari mereka.
Aku memandang Puput yang tengah sibuk dengan ponselnya. Sesekali bibir kecilnya menyunggingkan senyum hingga pipi berisi itu ikutan mengembang. Terlihat sangat seru sepertinya. Tak ada keinginan untuk mengganggu. ku raih cangkir cofelatte itu. Menyandarkan tubuh dan mulai menyicipinya dengan ujung bibir.
Sungguh nikmat kopi ini, harum wanginya semerbak ke penciumanku.
Dulu aku tak begitu suka dengan kopi, sejak kenal dia jadi ikutan suka. Dia Vini, lelaki yang membuat aku menunggu begitu lama. Jadi keingat masa-masa itu.
☕☕☕
Miyas Alvino.
Dia seorang pencinta kopi, dan jago bangat bermain gitar. Setelah pulang sekolah dia sering mengajak aku untuk singgah di sebuah kafe. Kadang kami pergi berlima dengan teman yang lain, tapi tumben saja hari ini ia hanya mengajak aku.
Setiba di cafe, dia pesan kopi hitam dengan sedikit gula. Aku meringis ketika mendengar permintaanya itu pada barista. Apa rasanya kopi tanpa gula? Padahal kopi hitam sangat pahit. Bukannya sesuatu itu harus ada rasa manisnya supaya kita bisa menikmati. Seperti hidup tepatnya. Selain ada asam, asin, pahit, harus ada juga donk saat manisnya.
Setelah pesanan kami tiba, mulutku geli untuk tidak bertanya, "Vin, Emang enak minum kopi seperti itu, apa nggak pahit?"
Ia membawa cangkir berisi kopi ke hadapannya dengan satu tangan, "Udah ada kamu yang manis duduk di hadapanku, Ayes. Makanya gula nggak terlalu di butuhkan," dia berbicara dengan senyum usilnya. Lalu dengan santai menyeruput kopi itu dengan pandangan masih mengarah padaku.
Aku tahu dia sedang becanda, dan aku tahu itu gombalan yang udah umum banget di kalangan remaja maupun dewasa. Aku sering juga menemukan gombalan seperti itu di novel-novel romantis. Entah kenapa kalimat yang terucap di bibirnya, berhasil membuat aku tersipu.
Untuk menormalkan jantung, aku memutar bola mata jengah. Berpura-pura tak suka, Biar tidak ketahuan kalau di dalam sini sedang berjoget itik ala zaskia gotik.
"Kamu tau manfaat kopi hitam ini?" aku menggeleng cepat dari pertanyaannya, "Air kopi nggak hanya semata-mata berwarna hitam, selain manfaatnya melindungi kita dari segala macam penyakit, kopi ini juga mengundang kecerian bagi si penikmat, dan memperpanjang umur."
Aku mangguk-mangguk ria petanda mengerti.
Mataku beralih pada bibirnya yang kini tersenyum manis memandang air hitam itu.
Di tengah Vino menikmati kopi hangatnya, aku sibuk memperhatikan senyumnya yang menawan. Apa lagi kumis tipis yang baru belajar numbuh itu. Uuh, imut! Menggoda hati ingin menyentuhnya.
Gemes mak!
Aku tersenyum malu dalam hati, dan mengutuk kebodohan isi pikiranku.
Semenit ini aku udah menabung dua dosa, dosa mata dan dosa pikiran. Aiissh!
Fokusku tertuju pada obrolan Vino selanjutnya.
"Makanya aku suka ajak kamu ke sini, minum kopi bareng, biar keceriaan dalam hidup aku semakin bertambah."
Aku kembali merona, dan kali ini tidak bisa menyembunyikan senyumku.
Ah, dia sungguh ahli menggoda.
Ya Rabb. Aku mau minta deh satu suami seperti dia, biar hari-hariku terus berwarna dengan kalimat-kalimat pujiannya. Walau gombalannya udah umum bangat sih. Tapi nggak apa lah, nyatanya sukses bikin aku klepek-klepek.
Jisoo blushing kang :v
"Ayes, kamu nggak risihkan jalan berdua sama aku?"
Risih? Nggak lah, malah aku ingin berteriak di ujung dunia sekarang juga. Mengatakan bahwa Ayesha bahagia bila bersamamu Miyas Alvino.
Aku geleng-geleng kepala tanpa menghilangkan senyum itu,"nggak kok, malah seneng."
"Syukurlah Ya Allah, seneng dengarnya," ujarnya menengadahkan kedua tangan ke atas seolah dia berdoa lega.
Aku terkekeh dengan tingkahnya yang terlihat sangat lucu.
Hening, kami kembali pada suasana cafe. Menikmati musik yang sedang di nyanyikan oleh vocalis cewe di atas panggung mini itu. Suaranya yang lembut seolah menghipnotis para penonton.
Jenuh aku mendengar
Manisnya kata cinta
Lebih baik sendiri
Bukannya sekali
Seringku mencoba
Namun kugagal lagi
Mungkin nasib ini
Suratan tanganku
Harus tabah menjalani
Lagu yang indah.
Tengah asih menonton menikmati lagunya. Ujung mataku mengetahui kalau Vino sedang memperhatikan aku dari samping. Reflek kepala ini melihat ke arah itu, di sana dia hanya tersenyum sumringah. Seolah dia tidak merasa bersalah karena telah ketahuan mencuri pandang.
Aku mengulum senyum, memalingkan muka kembali ke arah panggung.
"Duh, kok jadi grogi gini sih."
"Yes, Ayes," pangilan Vino menyentakan kesadaranku. Aku menoleh padanya yang sudah berdiri dari kursinya.
"Mau kemana?" sontak bibirku bertanya dengan cepat. Lalu Ia tersenyum.
"Tunggu bentar ya, Ay. Aku kesana dulu, kamu duduk di sini aja," katanya sambil nunjuk ke arah panggung.
Aku mangguk-mangguk saja dengan tampang bingung. Membiarkan Vino berjalan ke arah panggung.
Di sana dia mendekati pria gondrong tengah duduk di pinggir panggung sambil memangku gitar warna hitam. Tampak Vino membisikan sesuatu padanya. Lirikan pria gondrong selalu mengarah padaku saat mereka berbicara.
"Apaan sih?" gumamku.
Mencoba untuk tenang dan tak berpikir macam-macam. Aku meminum kopi robusta yang sudah lama dianggurin. Lalu mengambil satu donat bertoping kacang yang sudah sejak tadi menggoda minta untuk di makan.
"Mmm, Enak!" ungkapku kagum disela kunyahan. Lalu meminum kopi itu berulang kali dan kembali mengigit donat. Sungguh aku jakjub dengan rasanya yang gurih. Ternyata kopi dan donat sangat cocok kalau di makan barengan.
Tanpa aku sadari Vino telah naik ke atas panggung dengan satu gitar di tangannya, duduk di kursi berwarna merah tempat vocalis cewek tadi bernyanyi. Ia melambaikan tanganya ke arahku. Mengundang pandangan orang-orang mengikutinya.
"Aku? Kenapa? Aduh ngapain sih kamu, Vin?" gerutuku dalam hati.
Sungguh tidak nyaman jadi bahan tontonan mereka. Duduk sendirian seperti orang ling-lung. Aku buru-buru menelan donat dalam mulut. Dan membersihkan sisa cokelat pada tepi-tepi bibir.
Jarak lima meter dari panggung hingga tempat aku duduk tidaklah jauh. Sangat jelas bola mata ini melihat senyum hangat Vino selalu mengarah padaku.
"Apa dia ingin bernyanyi?"
Aku tersenyum salut serta tak sabar melihat penampilan Vino. Biasanya aku hanya melihat ia bermain di kelas atau kantin bersama teman satu genknya.
"Selamat sore semua."
Suara beratnya mulai menggema di ruangan itu.
"Lagu ini aku persembahkan untuk seorang gadis manis berhijab putih, memakai seragam SMA yang duduk sendirian di sana."
Deg!
Aku menelan saliva yang tiba-tiba membeku.
Aku? Dia berdiri di sana hanya untuk aku?
"Dia seorang yang spesial bagiku."
Aku terpaku dengan kalimat terakhir, wajahku memanas, Jantung ini juga tak henti berdegup. Seketika suasana menjadi riuh kembali. Tepuk tangan dan sorakan mengarah pada kami.
Mengulas senyum malu. Aku rasa pipiku benar-benar memerah sekarang. Tidak menyangka Vino memberi kejutan seperti ini.
"Aku akan membawakan sebuah lagu yang berjudul 'biarkan jatuh cinta' dari band terkenal ST12, salah satu band favoritku."
Setelah kata sambutan terakhir Vino.
Aku kembali terpesona, ketika senar gitar mulai dimainkan. Vino terlihat sangat lihai menggerakan jari-jarinya. Diiringi suara piano yang indah menjadi pelengkap.
Pandanganku tak lepas dari Vino. Begitu pun dia.
Mata ini ... Indah melihatmu
Cinta ini ... Rasakan cintamu
Jiwa ini ... Getarkan jiwamu
Jantung ini ... Detakan jantungmu
Suara tepuk tangan meriah ketika itu juga. Sorakan dan siulan para pengunjung terdengar kompak. Berhasil membuat bulu romaku merinding.
Dan biarkan aku padamu
Menyimpan sejuta harapan
Aku padamu
Rasa ini tulus padamu
Takkan berhenti
Sampai nanti ku mati
Tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Bahagia yang tengahku rasakan ini. Vino selalu berhasil membuat aku terpukau. Satu lagi yang membuat aku tak percaya. Vino juga memiliki rasa terhadapku.
Biarkan aku jatuh cinta
Pesona ku pada pandangan
Saat kita jumpa
Biarkan aku 'kan mencoba
Tak perduli kau berkata
'Tuk mau atau tidak
Aku menarik nafas panjang. Menenangkan jantung yang kian meronta dalam hati. Seolah ia ingin teriak, bahwa ia sungguh senang dengan kejutan ini.
"Aku benar-benar telah jatuh cinta sama kamu, Vin."