"Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pemikiran kamu itu, Nak." Samsudin mulai memahami apa yang dimaksudkan oleh Violet tersebut.
Anaknya memang benar-benar sudah tidak ingin perduli dengan lelaki tersebut.
Mungkin lebih tepatnya sudah mati rasa, atau tidak perduli dengan apa pun itu yang bersangkutan dengan orang yang membuatnya patah.
Violet berhubungan dengan Rezky sekitar dua tahun, dan sangat disayangkan hancur karena pengkhianatan.
Tetapi itu tandanya Tuhan masih sangat sayang. Tidak ingin jika dirinya bersanding dengan orang yang salah.
"Kita lupakan pembahasan yang tadi ya, Vivi enggan soalnya," pinta Violet dengan mata yang penuh harap.
Lisma dan Samsudin menghargai keputusan dari Violet yang menolak pembahasan itu.
Lagi pula apa ada yang penting dari membahas hal itu? Sama sekali tidak ada rasanya.
"Bener juga sih, Nak. Mending kita bahas yang lain saja," ucap Lisma dengan senyum lebarnya.
"Ya sudah. Ayah hanya ingin tahu saja, dan setelah ini kita tidak ada lagi urusan dengan Rezky," putus Samsudin yang kemudian disetujui oleh Violet juga Lisma.
"Iya, gak papa kok, Ayah. Sebenarnya Vi juga mau cerita, hanya saja tidak mengerti harus dari mana mulainya," ungkap Violet dengan kepala yang tertunduk.
"Sekarang semua ini sudah jelas, dan jika suatu saat nanti ... dia mengganggu kamu, Ayah yang akan hadapi nanti," ucap Samsudin.
"Ibu juga pasti akan memarahi dia," imbuh Lisma semangat.
Violet hanya tertawa saja. Mendengar orangtuanya yang siap untuk menjadi perisai, jika suatu saat nanti Rezky kembali ke rumah ini.
Meskipun itu semua tidak mungkin, tetapi berjaga-jaga lebih baik.
"Mending kita nonton acara televisi saja, yuk, Bu," ajak Violet dengan senyum cerianya.
Lisma melihat Violet dengan tatapan anehnya. "Kamu besok itu kerja, sudah siap semua belum baju dan segala macamnya?" tanya Lisma menelisik pada Violet.
Violet mengangguk saja. "Sudah semuanya dong, Bu. Vivi kan anak yang rajin, baik hati, dan tidak sombong."
"Iya, deh. Ayo sekarang kita ke depan," ajak Lisma yang kini mulai beranjak dari duduknya.
Samsudin yang melihat putri dan istrinya begitu akrab, seperti sahabat hanya bisa menggeleng dan terkekeh pelan saja.
Ada rasa bahagia tersendiri karena sekarang putri semata wayangnya sudah beranjak dewasa, dan ada kekhawatiran yang tidak terpancar kala mengingat pasti akan menikah dan itu suatu hari nanti.
Malam ini Violet dengan Lisma menghabiskan waktu dengan menonton serial kesayangan mereka, yang saat ini tengah hits.
Violet memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya, karena hari yang sudah menjelang larut malam. Esok ia harus berangkat pagi menuju kantornya, jika tidak ingin terkena semprot oleh atasannya.
-
"Ibu!" teriak Violet heboh di pagi hari.
Waktu sudah menunjukkan angka tujuh pagi, dan Violet baru kelar bersiap-siap untuk pergi menuju kantornya.
"Ada apa? Kamu telat lagi hari ini?" tanya Lisma dari dalam dapur.
Violet masih berada di dalam kamar, dan masih sibuk membenahi kerudungnya yang tak kunjung sesuai itu.
"Lagi? Iya Bu. Violet berangkat sekarang, assalamualaikum."
Violet dengan cepat memasukkan semua barang yang diperlukan olehnya itu.
Membuka pintu kamar dan dengan cepat berjalan keluar rumahnya itu. Ia harus bisa mempercepat kendaraannya atau nanti bisa kena omelan panjang kali lebar oleh atasan yang cerewetnya membuat telinga panas.
Lisma yang mendengar ucapan dari Violet tersebut, segera menyusul anaknya ke depan.
"Kamu belum sarapan loh?" Lisma berteriak cukup keras, dan sangat disayangkan Violet sudah pergi jauh dari rumahnya.
Violet segera melajukan kecepatan kendaraan roda duanya itu.
Sebenarnya jarak antara rumah dengan kantor hanya butuh waktu 15 menit, tetapi kalau macet bisa mundur jauh. Sedangkan waktu masuk itu setengah delapan pas karena akan ada meeting.
Sampai di kantor, Violet mengecek jam di pergelangan tangan yang masih tersisa waktu hanya sepuluh menit.
"Untung gak terlambat banget aku." Violet mengusap pelipisnya yang terasa ada buliran keringat jatuh di sana.
Violet, Mentari, dan Trias satu kantor. Mereka bertiga biasanya akan sarapan bersama, jika masih ada waktu luang masih panjang.
"Vi, mepet banget kamu berangkatnya," tegur Trias saat melihat Violet yang kini mulai masuk ke dalam kantor.
Violet hanya menyengir kuda saja. Mau bagaimana lagi, orang terlambat bangun. Sialnya, alarm yang sudah nyala, dengan enaknya ia matikan begitu saja.
"Hehe, masih terbawa suasana weekend nih," elak Violet terkekeh pelan.
Mulai meletakkan tasnya di atas meja, dan melihat suara ribut yang menyuruh mereka untuk segera berkumpul untuk mengadakan meeting pagi hari.
Meeting kali ini, hanya akan membahas pekerjaan atau target yang harus dilaksanakan minggu ini.
"Vi, tumben hari ini kamu tidak telat?" tanya atasan Violet dengan pandangan curiga.
"Memangnya aku langganan telat sekali ya, Pak? Perasaan gak tuh," ucap Violet yang berusaha meluruskan kesalahpahaman ini.
"Bisa dibilang begitu."
Violet hanya diam dengan hati yang menggerutu kesal. Bukan apa-apa, hanya merasa malu saat ditatap oleh karyawan lain, seakan tidak profesional kalau begini
Meeting selesai dan semua orang kini kembali menuju tempat kerja masing-masing.
Violet menyalakan komputernya, dan mulai kembali membuka file yang kemarin belum selesai.
Trias memanggil nama Violet dari belakang. "Vi, kenapa kamu? Kesel gitu mukanya aku perhatiin," tegur Trias.
Violet mengangguk begitu saja. "Kesel? Jelas lah, orang tadi dibuat malu sama si Botak itu, gimana gak nyebelin coba?"
"Jangan kenceng-kenceng suaranya, bisa berabe kamu nanti kalau didenger sama dia," bisik Trias yang tak digubris oleh Violet. "Tapi, botak gimana sih? Kamu mah aneh emang kalau ngasih julukan."
"Biarin aja. Aku suka manggil dia ... Botak."
Violet menatap wajah Trias dengan mata yang seolah tersakiti.
"Sudahlah! Ini gak penting, ngomongin si Botak itu ... gak penting!" Violet membalikkan badannya dan kembali fokus pada layar komputernya tersebut.
Trias hanya bisa menggeleng kepala dibuatnya. Violet jika sedang bekerja, maka akan sepenuhnya fokus dan sama sekali tidak bisa diajak untuk berbincang meski sebentar.
Iya, memang benar ngobrol itu dilarang oleh peraturan yang sudah tertulis, karena hanya membuang-buang waktu, dan mengakibatkan tidak tercapainya target nanti.
"Violet!"
"Apalagi sih? Berisik amat sih, ini aku lagi fokus kerjain ini belum kelar juga." Violet menggerutu saat ada orang yang memanggilnya dan membuat konsentrasi pecah saja.
"Kamu dipanggil itu, sama Pak Botak," bisik Trias dari belakang Violet.
Violet menghembuskan napasnya kasar. Sangat kebiasaan sekali orang itu.
Begini terus ceritanya, gimana kerjaan itu bisa kelar coba? Kan menyebalkan emang botak itu.
Violet menengok ke belakang dan memasang ekspresi tersenyum dengan kepaksa.
"Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Violet dengan ramah. Lebih tepatnya biar tidak ada yang salah dan berujung mendapatkan omelan lagi.