Chapter 3

1707 Kata
CHAPTER 3 Saat ini Inka, Devan dan putra kembarnya tengah dalam perjalanan ke Jakarta. Devan dan Inka duduk di depan, Arkan dan Arlan duduk di jok belakang. Arlan belum banyak bicara pada orang tuanya karena masih merasa canggung. Inka menoleh ke belakang. "Adek nggak tidur kayak Aa? Apa mau ngemil?" Arkan memang sudah tertidur pulas di sampingnya, jadi Arlan hanya diam sepanjang jalan. Lagi pula baru Arkan saja yang bisa Arlan ajak bicara,"Nggak. Masih lama, Bunda?" tanya Arlan kemudian. "Lumayan, Dek. Masih sekitar 2 jam lagi. Kenapa memang?" "Pusing," jawabnya jujur. Arlan memang tidak terbiasa bepergian jauh, jadi menempuh perjalanan hingga nyaris 4 jam, belum lagi terjebak macet sana-sini membuat kepalanya sedikit pusing. "Mas, berhenti sebentar." Devan langsung menghentikan laju kendaraannya. "Ada apa?" Inka tak menyahuti, Ia turun dari mobil kemudian membangunkan Arkan,"Aa, bangun." Arkan mengucek matanya, terlihat masih sangat mengantuk,"Ada apa, sih, Bunda?" tanya Arkan dengan bibir mengerucut. "Ish, jangan manyun gitu jelek. Aa pindah ke depan, ya, duduknya? Adek pusing katanya. Biar Bunda di belakang." Arkan melirik kembarannya."Adek sakit?" Meski Arlan menggeleng tapi terlihat jelas wajah pucatnya. Akhirnya Arkan pindah ke depan dan membiarkan bundanya mengurusi Arlan. *** Aura tengah asik membuka lembar demi lembar sebuah majalah fashion. Audi tidur sejak beberapa menit yang lalu bersama Dimas. Ia sendiri sudah selesai membereskan rumah, memasak dan kini tinggal bersantai. Aura menghentikan aktivitasnya begitu mendengar suara ketukan pintu. Ia meletakan majalahnya lantas berjalan ke arah pintu. Pintu terbuka dan di luar sana terlihat seorang gadis berdiri membelakangi pintu. "Siapa, ya?" tanya Aura. Gadis itu menoleh. "Hallo Kakak iparku yang cantik. Masih ingat aku?" "Ya ampun, El," Aura benar-benar pangling melihat adik iparnya. Elena Queta Naara, adik kandung Dimas suaminya. "Kenapa, Kak? Aku makin cantik yakaaann?" Aura terkekeh geli. Adik iparnya itu memang berbeda dari Dimas. Dimas cenderung pendiam, sedangkan Elena super bawel,"Ayo masuk," Aura merangkul Elena masuk ke dalam rumah. "Kalau mau minum, makan ambil sendiri aja. Jangan kayak tamu," ujar Aura. Elena tersenyum tipis,"Kak, aku nggak tahu nih berita baik atau buruk buat Kakak––" Aura menautkan alisnya. "Mama sama Papa suruh El sekolah di sini." "Oh, kirain apa." "Kakak nggak keberatan? Kalau Kakak keberatan biar aku suruh kak Dimas cari kostan untuk setahun ini sampai aku lulus." "Nggak ada kost-kostan! Kamu tinggal di sini aja. Nggak apa-apa, lah, ini juga rumah Dimas yang berarti rumah kamu juga." "Serius, Kak?" Aura mengangguk mantap. "Aaaaaa makasih, ya, Kak," Elena menghambur ke dalam pelukan Aura. "Iya sama-sama. Pokoknya anggap kalau ini rumah kamu sendiri. Jangan sungkan, sekalian bantu jagain Audi." Sejak menikah Aura memang berubah menjadi keibuan, tidak lagi jutek dan ceplas-ceplos seperti dulu. "Ah iya Audi mana, Kak?" "Audi tidur sama Kakak kamu." "Arkan!" Elena langsung menyerukan nama itu,"aku ke rumah Arkan dulu, ya, Kak." "Arkan lagi ke Bandung, nggak ada di rumah." "Yah–– padahal aku kangen." Aura terkekeh. Elena dan Arkan berteman sejak lama. Setiap libur semester Elena memang ke rumah Aura untuk berlibur. *** Devan menghentikan mobilnya tepat di sebuah rest area. Dari tadi Arlan terus merengek ingin turun padahal hanya tinggal sebentar lagi mereka akan tiba di rumah. "Adek kenapa dari tadi mau turun terus? Lapar mau makan dulu?" tanya Inka. Arlan menggeleng. Jangankan ingin makan, perutnya saja sudah tak jelas seperti apa rasanya. "Terus kenapa, Dek?" Arkan menyentuh pundak Arlan dan ikut bertanya. Bukannya menjawab Arlan justru berjalan menjauh dari keluarganya. "Adek," Inka langsung menyusul tepat ketika Arlan sudah memuntahkan isi perutnya. Wajah Arlan yang sangat mirip dengan Gibran mau tidak mau mengingatkannya kembali pada sosok itu. Apalagi melihat Arlan seperti sekarang, ia jadi ingat ketika Gibran berjuang melawan kanker lambung yang dideritanya. "Ergh." Inka mengusap-usap punggung Arlan. "Adek mabuk? Kenapa nggak bilang sama Bunda?" "Adek kenapa, Bunda?" Arkan cemas melihat adiknya seperti itu. "Adek mabuk, A. Minta tolong sama Ayah beli minyak kayu putih sama minum." Arkan mengangguk, Ia langsung meminta sang ayah melakukan apa yang diperintahkan bundanya. Tak lama setelah itu keduanya segera kembali menghampiri Arlan dan Inka. "Ini minumnya," Devan menyerahkan sebotol air mineral. "Adek minum dulu, ya," sementara Arlan minum Inka mengusapkan minyak kayu putih ke leher serta perut Arlan. "Enakan?" tanya Arkan. Arlan mengangguk. *** Audi dan Elena duduk bertopang dagu di teras rumah. Sejak bangun tadi Audi terus bolak-balik ke rumah Inka ingin menemui Arkan. "Aunty, Om Arkan lama." Elena mengangguk-angguk. Iapun mulai bosan menunggu, tapi Elena merindukan Arkan. Tak berselang lama mereka melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang utama rumah Inka. Audi dan Elena saling tengok,"Om Arkan/Arkan," seru mereka secara bersamaan. Keduanya langsung berdiri lantas berlari menuju rumah Inka. Inka, Devan, Arkan, dan Arlan turun dari mobil. Inka memapah Arlan yang masih terlihat lemas. Baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba––– "Arkan/Om Arkan," lagi-lagi mereka menyerukan nama Arkan bersama-sama dan langsung memeluk laki-laki itu. "Eh–––" Inka terkesiap melihat putranya dipeluk seorang gadis. Devan dan Arlan mengernyit heran melihat adega di depannya. "Eh––eh lo siapa? Gue masih bujang. Main peluk aja," ujar Arkan sekenanya. "Ya ampun Arkan nggak ketemu dua tahun aja lo lupain gue!" gadis itu mengerucutkan bibirnya sembari melipat tangan di d**a. "Dua tahun?" Arkan mengerutkan dahinya seolah tengah berusaha mengingat sesuatu,"El? Lo Elena?" tanyanya kemudian. Elena mengangguk dengan senyum mengembang. "Ya ampun gue kangen banget sama lo! Lo agak cantikan sih sekarang, jadi gue pangling." Arkan mengacak pelan poni gadis itu. Audi menarik ujung kemeja yang dikenakan Arkan,"Om! Audi juga kangen!" Arkan terkekeh,"Eh bocah. Kemarin udah ngerecokin seharian masa udah kangen lagi." "Nggak! Kan kemarin Om sakit." Arkan menepuk keningnya,"Ah iya lupa. Masuk yu, sekalian gue kenalin sama seseorang." Elena melirik seseorang yang mungkin dimaksud Arkan,"Anjir cakep bener. Bule nih bule, wajib kenalan". Gadis itu membatin kemudian bergerak mendekat pada Arlan,"Hai ganteng gue Elena, lo bisa panggil gue apapun mau El, Lena, asal jangan Ele karena sumpah itu jelek." Arlan tak menyahuti, Ia malah bersembunyi di balik tubuh sang Bunda, takut berhadapan dengan gadis seperti itu. Inka terkekeh,"Maafin Arlan ya, El. Arlan memang sedikit pemalu." "Pemalu ya, Tante? Ah–– padahal Arkan malu-maluin. Beda banget. Jadi makin penasaran," tutur Elena jujur. "Heh! Awas aja lo godain Adek gue, gue cemplungin ke empang." "Dek, itu Elena temannya Aa," Inka menperkenalkan gadis itu. "Masuk, Bunda," Arlan malah berujar demikian tanpa ada niat membalas ucapan bundanya. Sekali lagi Inka meminta maaf karena sikap Arlan meskipun hanya dengan kode. "Adek lo kenapa deh? Gue segitu menyeramkan apa, ya? Hm–– "Bukan gue yang bilang, ya." "Aunty, Om! Audi nggak diajak bicara," Audi mengerucutkan bibirnya. Arkan langsung menggendong gadis kecil itu membawanya masuk ke rumah, sedangkan sebelah tangannya lagi menggandeng Elena. Hh–– terlihat seperti keluarga bahagia. *** Inka mengantar Arlan ke kamar––kamar Gibran. Kepulangannya terlalu mendadak jadi mereka belum sempat menyiapkan kamar untuk Arlan. Sewaktu kecil Arlan dan Arkan satu kamar, tapi setelah dewasa tentu mereka punya privacy yang tidak ingin dicampuri satu sama lain. "Dek, sementara Adek tidur di kamar Kak Gibran dulu, ya? Bunda sama Ayah belum sempat menyiapkan kamar." "Bunda, boleh nggak kalau Adek tidur di kamar Kak Gibran aja. Adek janji nggak akan ubah atau pindah-pindah apapun." Inka nampak berpikir sejenak,"Yasudah kalau itu mau Adek. Tidur di sini aja, nanti baju-bajunya Bunda bereskan." "Makasih, Bunda." Inka mengangguk kemudian tersenyum,"Adek mau makan dulu, gak?" Arlan menggeleng cepat. "Kalau gitu Bunda keluar, ya? Nggak enak di bawah ada temannya Aa. Adek bobo aja," Inka mengecup singkat dahi Arlan, membenarkan letak selimutnya kemudian berjalan keluar. Arlan memindai setiap sudut ruangan. Kamar Kakaknya ini masih sama seperti terakhir Ia di sini,"Kak Gibran, Adek mau ketemu Kakak." Setelah berkata seperti itu, perlahan Arlan memejamkan matanya. *** Arkan, Devan, Audi serta Elena asik bercengkrama di ruang tamu. Sesekali para orang dewasa itu tergelak melihat tingkah Audi. Audi berpindah duduk di pangkuan Devan,"Opa, Om tadi itu siapa?" Dipanggil Opa membuat Devan merasa sedikit tergelitik sekaligus sedih. Jika saja Gibran sembuh pasti Ia sudah memiliki seorang cucu dari Gibran dan Aura, tapi tidak apa-apa toh Audi memang sudah Ia anggap seperti cucunya sendiri. "Opa malah bengong," Audi melipat tangannya di d**a. "Om yang tadi itu kembarannya Om Arkan, namanya Om Arlan," jelas Devan. "Audi suka sama Om itu, ganteng." Inka yang baru saja datang langsung melotot mendengar penuturan gadis 9 tahun itu,"Hush, kok masih kecil udah tahu orang ganteng? Siapa yang ngajarin?" "Yang jelas bukan El, Tante. Serius El nggak tahu apa-apa. Itu kerjaan Kak Aura yang masih aja doyan nonton drama korea jadinya anaknya nyolong-nyolong nonton sampai akhirnya udah bisa bedain mana yang ganteng mana yang nggak," terang Elena panjang lebar. "Yaampun Aura." "Di HP Aunty juga banyak photo orang ganteng, Oma." "El––" Elena tersenyum kikuk,"Wajarlah ya, Tante, namanya anak muda. Doyan yang bening-bening itu normal." Arkan menghadiahkan sebuah toyoran pada gadis yang duduk di sampingnya,"Lo sih ganjen!" "Sirik aja, lo." "Hei, nggak boleh begitu di depan anak kecil." "Adek tidur, Bunda?" tanya Arkan. "Iya, kasihan masih lemas." "Arlan kenapa emang, Tante?" "Motion sickness." "Dari Bandung doang? Mabuk? El dari Surabaya biasa aja, Tante." "Arlan nggak biasa pergi-pergi jauh, El, jadinya begitu." "Oh gitu, ya, Tante." Inka melirik Arkan yang tengah memijat bahunya sendiri,"Aa? Cape ya?" Arkan mengangguk samar. "Lo istirahat, gih," ujar Elena. "Lo gimana?" "Gue sama Audi mau pulang, kan masih bisa main lagi besok." "Ya udah sorry, ya, El. Gue cape banget." "Nggak masalah. Om, Tante, kita pamit, ya," Elena menggandeng tangan Audi keluar dari rumah itu. Di depan rumah mereka berpapasan dengan Aura,"Lho, kok udah pulang?" "Arlan tidur, Arkan juga mau istirahat, Kak," jawab Elena. "Oh yaudah kalian duluan, mau antar makanan dulu." Keduanya mengangguk lantas melanjutkan langkah mereka. Pintu rumah Inka sama sekali tidak ditutup jadi Aura langsung masuk begitu saja, toh Inka dan Devan yang tengah duduk di sofa ruang tamu bisa melihatnya. "Sore Om, Tante." "Eh Aura sore juga, sayang. Ayo duduk." "Aura nggak lama kok, Tante. Cuma mau anterin ini aja, tadi Aura coba-coba resep baru." "Bau-baunya enak," ujar Devan. Tap ... tap ... tap! Mereka menoleh ke sumber suara, derap langkah dari arah tangga membuat mereka penasaran. Mata Aura membulat sempurna melihat siapa yang tengah berjalan di tangga. Ia mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan,"Please, Aura. Lo pasti halu!" batinnya. "Bunda, haus." Bulu kuduknya meremang seketika. Wajah itu, suaranya, semua begitu mirip dengan– "Gib–– Gibran ...!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN