Chapter 4

1682 Kata
Aura mematung di tempatnya, masih berusaha meyakinkan apa yang baru saja dilihatnya. Orang itu benar nyata atau halusinasi semata. Arlan yang berdiri di ujung tangga hanya bisa memandang heran perempuan yang sedari tadi memperhatikannya. Ia turun untuk mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering. "Adek, sini dulu. Masih ingat nggak sama Kak Aura?" Arlan menaikan sebelah alisnya, tetapi detik berikutnya Ia menggeleng. Sepuluh tahun adalah waktu yang lama baginya, Ia hanya bisa mengingat orang yang benar-benar dekat dengannya saja. "Aura ini Arlan, masih ingat kan?" Ah––rupanya Arlan, bukan Gibran. Harusnya sejak awal Aura tahu itu, karena Gibran memang sudah tenang di sana dan tidak mungkin tiba-tiba hadir di hadapannya,"Maaf, Tante, abis mirip banget," tutur Aura dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Aura merindukan Gibran. Inka mengusap bahu Aura, seolah paham dengan apa yang dirasakan gadis itu,"Adek sini dulu." Mau tak mau Arlan berjalan mendekat. "Salaman dulu sama Kak Aura," titah Inka. Arlan mengulurkan tangannya,"Arlan," ujarnya dengan suara serak khas bangun tidur, padahal baru beberapa saat Arlan tidur tapi suaranya sudah terdengar berubah. Aura tak membalas uluran tangan Arlan, gadis itu malah kembali diam, larut dalam lamunannya. Wajah Arlan dari dekat benar-benar seperti Gibran 17 tahun yang lalu, dan suara seraknya benar-benar membuat hati Aura ketar-ketir seakan kembali mendengar suara kekasihnya meskipun jelas nama yang dilafalkan orang itu adalah Arlan bukan Gibran. "Ra," tegur Inka. "Ehh–– iya, Aura." Setelah uluran tangannya dibalas, Arlan langsung melangkah ke dapur, tak memperdulikan Aura yang masih fokus memandanginya. "Aura kangen Gibran, Tante," lirih Aura. Inka merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Iapun sama––sangat merindukan Gibran. *** Di dapur, Arlan melihat Bi Inah yang tengah mengiris sayuran. Perempuan itu kian menua, jelas saja karena sejak bertahun-tahun yang lalu Ia bekerja pada keluarganya. "Bi, mau Adek bantuin?" "Eh–– nggak usah, Den. Masa udah ganteng gini mau bantuin Bibi." "Adek belum mandi kok, Bi. Nggak apa-apa." "Memang Aden bisa masak?" Arlan mengangguk mantap,"Adek suka bantuin Nenek masak di sana." "Udah ganteng, pintar, bisa masak, baik, nanti Bibi teh jatuh cinta sama Aden." Arlan terkekeh, namun detik berikutnya Ia diam karena merasa sedikit lapar,"Bi Adek mau makan." "Lauknya ada, Den, tapi kalau sayur baru mau masak nih. Tunggu sebentar kuat nggak?" "Bibi masak aja," Arlan mengambil sebuah piring, lalu menuangkan nasi, lantas membawa sebotol kecap ke meja makan dan mulai makan dengan lahapnya. Bi Inah menatap Arlan tak percaya. Anak laki-laki itu mempunyai wajah yang sangat mirip dengan Gibran, Bi Inah masih bisa memaklumi karena mereka bersaudara. Apakah makanan yang disukaipun harus sama? Semoga nasibnya tidak sama dengan Gibran. Merasa diperhatikan Arlan menoleh,"Bibi kenapa lihatin aku kayak gitu? Bibi mau makan juga?" Bi Inah menggeleng,"Nggak, Den. Bibi senang lihat Den Arlan makannya lahap pisan, biarpun cuma sama kecap." Arlan tersenyum tipis. Entah sejak kapan Ia mulai menyukai makanan sederhana itu, mau diiming-imingi makanan seenak apapun Arlan tetap akan memilih makanan ini. *** Setelah pulang dari rumah Inka, Aura jadi banyak diam. Bayangan Gibran kembali berutar-putar memenuhi nyaris seluruh sudut kecil di otaknya. Dimas yang menyadari perubahan istrinya langsung bertanya, terlebih di tengah makan malam ini Aura hanya mengaduk-aduk makanannya saja, "Kamu kenapa, Ra? Sejak pulang dari rumah Tante Inka kamu jadi sedikit pendiam." "Nggak apa-apa," jawab Aura. Elena juga tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi sepertinya memang ada yang tidak beres dengan kakak iparnya itu. "Oh, iya, untuk beberapa bulan ke depan aku ada dinas di luar kota. Kamu nggak apa-apa, kan, ditinggal? Lagi pula sudah ada Elena jadi kamu tidak sendiri." "Iya nggak apa-apa. Kapan kamu berangkat?" "Besok." "Papa mau ke mana?" "Papa ada pekerjaan di luar kota, sayang. Audi jangan nakal, ya? Nanti kalau misal Papa pulang, Papa bawain oleh-oleh," tutur Dimas. Audi mengangguk semangat. "Aku juga, ya, Kak?" Elena menaik turunkan alisnya. "Iya, kamu sisanya." Elena langsung mengerucutkan bibirnya karena kesal. Yang benar saja, adik perempuan satu-satunya diberi sisa. *** Arkan mendorong piringnya menjauh, membuatnya menjadi pusat perhatian. "A, kenapa nggak dihabisin makanannya?" tanya Inka. "Kenyang, Bunda." "Aa, jangan rewel. Ayo dihabisin." Lagi-lagi Arkan menolak. Inka menggeser kursinya mendekat pada Arkan, kemudian menempelkan punggung tangannya di dahi Arkan,"Duh, Aa udah demam lagi aja." Arkan memang seperti itu. Inka bisa memastikan kalau Arkan sudah rewel tidak mau menghabiskan makanannya, pasti putranya itu tengah merasa tidak enak badan. Arlan menatap keduanya dalam diam. Beruntung sekali jadi Arkan, demam sedikit saja Bundanya langsung panik, sedangkan dirinya dulu hanya diurusi oleh sang nenek. Sebenarnya Arlan pun tengah berusaha meredam rasa sakit yang sedari tadi menyiksanya. "Aa jangan lupa minum obat biar cepat sembuh. Ayah, Bunda, Adek tidur duluan," pamit Arlan. Inka dan Devan mengangguk. Mereka kembali fokus pada Arkan. *** Begitu masuk kamar, Arlan langsung mengacak-acak isi tasnya, mencari benda berharga yang bisa menolongnya. Butiran-butiran ajaib itu biasanya mampu meredakan rasa sakitnya. Pandangannya mulai sedikit kabur, cairan berbau amis melesak keluar dari lubang hidungnya. Ah–– rasanya sangat sakit. Anak laki-laki itu sudah jatuh terduduk di samping tempat tidur,"Sakit, Nek," ujar Arlan dalam hati. Sangat tidak mungkin Ia berteriak meminta tolong pada orang di rumah. Begitu pil itu ditemukan, Arlan segera menelannya. Sedang dalam keadaan begitu payah, tiba-tiba ponselnya berdering mengeluarkan suara begitu nyaring menandakan ada panggilan masuk. Arlan menyambar ponselnya sembari membersihkan hidungnya dari noda darah. "Assalamu'alaikum, Nek." "Wa'alaikumsalam. Dek, udah minum obat? Nenek kepikiran terus dari tadi." "Udah, Nek, baru aja." "Adek nggak apa-apa, kan? Kok suaranya sedikit aneh." "Pusing, Nek." "Bunda tahu, Dek? Nenek telepon Bunda, ya?" "Jangan, Nek. Kasihan Bunda, Aa juga lagi sakit." "Adek pulang aja, ya, ke sini biar Nenek yang urusin Adek." "Nggak, Nek. Adek mau coba di sini dulu." "Tapi Adek lagi sakit, nggak ada siapapun yang urusin. Pokoknya Nenek mau telfon Bunda kamu." "Nek, tolong. Adek masih bisa tahan sendiri kok." "Yasudah, kalau obatnya sudah diminum, sekarang Adek tidur biar enakan." "Iya, Nek. Adek tutup, ya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Arlan meletakan ponselnya, perlahan naik ke tempat tidur kemudian merebahkan tubuhnya di sana. Rasa sakitnya belum hilang semua, tapi sedikit lebih baik dibanding tadi. *** Inka yang baru saja hendak membereskan piring-piring di meja makan tiba-tiba mendengar pintu diketuk. "Bi, tolong bereskan ini, ya. Saya mau buka pintu." "Baik, Nyonya." Inka melangkah gontai ke arah pintu utama. Inka melihat mertuanya berdiri membelakangi pintu. "Mama, Papa, ayo masuk." "Mama mau ketemu cucu Mama. Mereka di mana? Baru setengah delapan kok sudah sepi?" tanya Sania. "Arkan lagi kurang sehat, jadi tidur duluan. Arlan juga udah tidur kayaknya, Ma." "Arkan kenapa?" "Dari kemarin emang udah demam, tapi tadi maksa ke Bandung akhirnya tumbang lagi." "Mama kangen sama Arlan. Tidur di mana dia?" "Di kamar Gibran, Ma. Arlan minta sendiri." "Mama ke sana, ya." Inka mengangguk dan membiarkan mertuanya itu menemui Arlan. Sania mengetuk pintu kamar Arlan berkali-kali namun tak kunjung ada jawaban. Akhirnya mereka memutuskan untuk langsung masuk. Ketika masuk, keduanya melihat Arlan tidur meringkuk membelakangi pintu. "Adek," Sania menyentuh bahu Arlan, membuat cucunya itu terusik dan langsung berbalik. Arlan mengucek matanya,"Oma, Opa," Ia mulai menegakan tubuhnya. Sania sedikit kaget melihat wajah Arlan, dalam waktu sepuluh tahun itu Darell dan Sania hanya beberapa kali mengunjungi Arlan ke Bandung. Dan ketika Arlan tumbuh dewasa mereka mulai melewatkan hal itu, ternyata Arlan sangatlah mirip dengan Gibran. Sania menyentuh wajah Arlan dengan kedua tangannya,"Dek, kok Adek pucat? Anget lagi. Sakit, sayang?" Arlan menggelengkan kepala. "Benar?" Kini Arlan mengangguk. "Adek apa kabar? Gimana di rumah Nenek?" "Baik." "Syukurlah. Maafin Oma sama Opa, ya, jarang jenguk Adek ke sana." "Nggak apa-apa." Sania maupun Darell tersenyum. Beginilah Arlan, pendiam, pemalu, tidak banyak bicara, atau lebih tepatnya––kalem. "Adek lanjut sekolah di sini, kan?" tanya Darell. "Iya." "Surat pindahnya sudah diurusi?" tanya Darell lagi. Lagi-lagi Arlan hanya menjawab dengan sebuah anggukan. "Yasudah kita lanjut lagi ngobrolnya besok. Adek sekarang lanjut bobonya." Sania dan Darell langsung melangkah meninggalkan kamar cucunya. *** Elena bergerak-gerak gelisah di tempat tidurnya. Ia masih memikirkan Arlan si cowok bule pendiam kembaran Arkan. Elena benar-benar penasaran pada laki-laki itu. To : Arkan Arkaaaaaaaaannnn. Bagi nomor kembaran lo dong. ============================ Tak ada balasan. To : Arkan Arkannnnnn BALES GPL! ============================ To : Arkan Lo udah tidur? ============================ Merasa kesal Elena langsung menghubungi Arkan lewat sambungan telepon. "Hallo." "Lo udah tidur?" "Udah. Kenapa, El?" "Minta nomornya Arlan, dong." "Nanti gue kirim. Sekarang tutup dulu, ya!" "Okeee. Makasih, ya." Sambungan terputus. Tak lama setelah itu sebuah pesan masuk. From : Arkan 081220455*** ============================ To : Arkan Thx ============================ Setelah menyimpan nomor ponsel Arlan dalam kontaknya. Tangan Elena pun menari dengan lincah di atas keyboard ponselnya. Mengetik sebuah pesan untuk Arlan. To : Arlan Malam, Lan .. ============================ "Dibales nggak, ya?" 1 menit 2 menit 3 menit 4 menit 5 menit Mata Elena berbinar dan langsung saja gadis itu membuka pesan masuk di ponselnya, terlebih itu adalah balasan dari Arlan. From : Arlan Siapa? ============================ To : Arlan Ini gue Elena, yang tadi. ============================ From : Arlan Oh. Tau nomor aku dari siapa? ============================ To : Arlan Dari Arkan. Jangan marah ya :'( gue cuma mau kenal lebih dekat sama lo. ============================ From : Arlan Siapa yg marah? Salam kenal ya, Devanio Arlan. ============================ To : Arlan Eumm lo lagi ngapain sekarang? ============================ From : Arlan Aku mau tidur. Udah dulu ya. ============================ Elena melirik jam digital yang sengaja diletakan di nakas samping tempat tidurnya. 20.03 "Jam segini udah mau tidur? Yang benar aja." To : Arlan Yaudah. Night, Lan. Have a nice dream^^ ============================ Elena tak mendapat balasan lagi, mungkin Arlan benar-benar sudah tidur sekarang, tapi setidaknya ini merupakan awal kedekatan mereka. *** Tengah malam, Arlan terjaga dari tidurnya. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Jika tadi rasa sakit itu hanya menyerang kepala, kini menyerang organ lain yakni tulang belakangnya. Meski berkeringat Arlan justru menggigil kedinginan. "Di–ngin, Nek." Biasanya sang nenek akan memeluknya, dan seketika Arlan akan merasa hangat, tapi sekarang neneknya tidak lagi di sampingnya. "Adek mau pulang." Arlan tidur dengan posisi menyamping. Dalam posisi seperti itu Ia dapat melihat foto Gibran yang terpasang di dinding kamarnya. "Kak Gibran, sakit." Arlan mengadu, seolah foto itu benar-benar bisa diajak bicara dan mungkin mampu melenyapkan rasa sakitnya. Anak laki-laki itu memejamkan mata, berusaha menguatkan dirinya, namun tanpa sadar air matanya justru meluncur begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN