Mentari sudah menampakkan sinarnya, tetapi seseorang di kamar itu masih bergulung di balik selimut. Setelah shalat subuh tadi, Arlan memang memutuskan untuk kembali tidur karena belum merasa benar-benar fit.
Arkan memasuki kamar kembarannya, laki-laki itu berjalan mengendap-endap kemudian langsung melompat ke tempat tidur. "Adek, bangun!" teriak Arkan.
Arlan justru menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya, namun detik berikutnya selimut itu ditarik oleh Arkan.
"Apa, sih, A? Masih ngantuk."
"Dek, olahraga yuk biar sehat. Kita lari ke taman komplek, jam-jam segini biasanya banyak cewek, jadi bisa cuci mata."
"Males, ah, A."
"Ayo––" Arkan menarik paksa lengan Arlan hingga mau tidak mau kembarannya itu bangun.
"Aa tunggu di luar. Adek mau mandi."
"Lima menit."
"Atuh A nanti nggak bersih."
"Hm– yaudah jangan lama. Aa tunggu di luar."
"Eh, A tunggu!"
"Kenapa?"
"Aa kasih nomor Adek ke Elena?"
Arkan mengangguk.
"Aa kok nggak bilang dulu, main kasih aja."
"El baik, kok, Dek. Makanya Aa kasih."
"Iya, nggak apa-apa. Asal jangan lagi-lagi."
"Oke. Mandi, gih."
Arlan mengangguk, Ia turun dari tempat tidur lantas melangkah dengan malas menuju kamar mandi.
***
Aura tengah sibuk menata barang bawaan Dimas di mobil. Hari ini Dimas akan pergi ke luar kota, dan itu artinya selama beberapa bulan ke depan dirinya hanya tinggal bersama Elena dan Audi. Setelah selesai, Aura kembali masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Dimas yang masih sibuk membereskan berkas-berkas penting yang harus turut dibawa.
"Kamu sarapan dulu, ya? Masih sempat, kan? Biar aku bawain."
"Nggak usah, Ra. Aku mau langsung berangkat. Ini juga hampir selesai," ujar Dimas.
Aura merapikan pakaian Dimas,"Kamu hati-hati di jalannya. Jangan nakal di sana, makan kalau sudah waktunya makan, harus ingat waktu. Kabari kita terus, terutama Audi. Dia pasti kangen berat sama kamu."
Dimas menatap wajah istrinya lamat-lamat,"Kamu jaga diri, ya. Aku titip El sama Audi."
Aura mengangguk, bersamaan dengan itu Dimas menghadiahkan kecupan di kening istrinya.
"Aku pasti kangen kalian."
***
Arlan duduk di salah satu bangku taman. Bibirnya tak henti mengomel, pasalnya sedari tadi Arkan terus menggoda wanita yang lalu lalang di hadapannya. Arlan baru tahu kalau kembarannya itu mengidap penyakit suka tebar pesona. Arlan menyeka keringat yang mulai membasahi tubuhnya, tiba-tiba Arkan duduk di sampingnya.
"Dek, kok malah duduk di sini."
"Tahu, ah! Katanya mau lari ini malah godain cewek!"
Arkan terkekeh. "Ya, kan, sambil menyelam minum air."
"Kelelep!" Arlan bangkit kemudian melanjutkan aktivitasnya, sementara Arkan tertawa puas di tempat yang sama.
Arkan membiarkan kembarannya itu berkeliling taman, lagi pula Arlan sudah besar tidak mungkin sampai tersesat. Jujur saja Arkan sangat merindukan Arlan, kalau saja Arkan tidak sakit-sakitan mereka pasti takkan dipisahkan.
"Arkan!"
Arkan menggosok-gosok telinganya yang terasa pengang karena seseorang yang berteriak justru ketika orang itu telah duduk di sampingnya.
"El! Ya ampun, lo nggak usah teriak, bisa?"
Elena memamerkan deretan gigi berpagarnya."Sorry," ujarnya kemudian.
"Tumben amat lo lari? Biasanya jam segini masih di kasur!"
"Sialan! Itu dulu, sekarang gue rajin dong. Eh Arlan ikut, kan? Di mana dia?"
"Baru aja lari. Keliling taman ini paling. Gimana semalam?"
Elena memasang tampang melas,"Sumpah, ya, kembaran lo itu flat banget! Kita baru chat beberapa kali doang, tiba-tiba dia udah pamit tidur aja."
Arkan terkekeh. Ia lupa menjelaskan atau mendeskripsikan secara gamblang seperti apa kembarannya itu. "Gue lupa bilang sesuatu sama lo. Arlan itu beda banget sama gue. Dia pinter, gue nggak. Arlan pendiam, gue pecicilan. Dia itu anak baik, El. Feeling gue sih, ya, sebelumnya dia nggak pernah dekat sama cewek."
"Anjir serius lo?"
"Serius! Buktinya dia ngambek waktu liat gue godain cewek-cewek dia kayak risih gitu lihatnya."
"Duh susah, dong. Ilang deh kesempatan gue buat dekat sama dia."
"Belum berjuang udah ngeluh aja. Lo i***t nggak sembuh-sembuh."
Elena mengerucutkan bibirnya. "Ngeselin lo! Untung gue sayang."
"Gih kejar cinta lo! Belum seberapa jauh, gue yakin."
Elena mengangguk. Gadis itu menyampirkan handuk kecil yang dibawanya kemudian berlari mencari Arlan.
***
Arlan menghentikan langkahnya ketika melihat sebuah keluarga kecil tengah berkumpul di satu titik. Mereka nampak begitu bahagia. Dua anak laki-laki mereka terlihat saling menyayangi. Diantara anak laki-laki itu mungkin tengah berulang tahun karena terdapat sebuah birthday cake dengan lilin yang berbentuk angka delapan di atasnya. Rasa sakit tiba-tiba menyeruak di hatinya, mengingat ulang tahun ke-8 nya dulu.
Arlan kecil berlari ke teras rumah sang nenek. Ibundanya berjanji akan datang setelah pesta ulang tahun Arkan selesai. Dengan wajah berseri-seri anak laki-laki itu menunggu kehadiran keluarganya.
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
Sudah pukul 17.05. Terbilang sudah sore, Arlan tidak mungkin membiarkan Gilang––satu-satunya teman yang Ia miliki menunggu lebih lama lagi. Arlan memutuskan untuk masuk.
"Nek, Bunda nggak akan datang?"
"Adek tunggu sebentar, ya? Mungkin Bunda masih sibuk sama acara ulang tahun Aa."
Arlan mengangguk paham,"Acaranya kita mulai aja, Nek. Kasihan Gilang nunggu lama."
Akhirnya perayaan kecil-kecilan itu, dimulai. Do'a-do'a kecil dihaturkan oleh nenek, kakek, juga Gilang. Arlan sendiri pun tak lupa bertutur dalam hati,"Yaallah, semoga Bunda, Ayah sama Aa cepat ke sini. Adek kangen sama mereka. Aminnn."
Merasa kasihan melihat cucunya bersedih, Salma langsung menghubungi Inka.
"Hallo."
Begitu tersambung, Salma langsung menyerahkan ponselnya pada Arlan,"Ini Bunda," ujar Salma.
Arlan nampak sumringah.
"Hallo, Bunda."
"Hallo, Dek. Ada apa? Bunda lagi sibuk. Teman-temannya Aa masih di rumah nggak enak kalau Bunda telfon."
"Adek juga ulang tahun, Bunda. Adek cuma mau––"
Sambungan diputus sepihak.
"Adek cuma mau Bunda do'ain Adek," lanjut Arlan.
Arlan mengepalkan tangannya. Ia tidak ingin mengingat itu semua, tapi selalu ada saja yang Mengantarkannya pada masa itu. rasanya tidak pernah berubah, selalu sesakit ini.
"Hei!"
Arlan tersentak kaget begitu seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia menoleh, dan mendapati seorang gadis tengah tersenyum aneh ke arahnya.
"Kamu."
"Lo ngapain, Lan, ngelamun di sini?"
"Nggak apa-apa."
"Ya udah lanjut lari, yu?"
Arlan mengangguk. Keduanya kembali berlari, menyisir sisi-sisi taman. Arlan berusaha mengabaikan apapun yang sekiranya akan menyeretnya kembali ke masa lalu.
"Lan, lo mau berapa lama di Jakarta?" tanya Elena.
"Nggak tahu."
"Lo sekolah di sini?"
Arlan mengangguk.
"Yes! Kita sama. Lo sekolah bareng Arkan, kan?"
"Iya."
"Bagus. Kita bakal satu sekolah. Lo jangan sombong-sombong oke? Kita, kan, sama-sama murid baru."
"Iya."
Mereka kehilangan topik pembicaraan hingga akhirnya hanya saling diam. Tiba-tiba saja Elena jatuh tersungkur. "Aw!" Gadis itu meringis.
Arlan terbelalak. "El!"
Elena mulai menangis, lututnya perih karena menghantam jalanan, pergelangan kakinya pun terasa sakit, sepertinya terkilir, dan semua itu karena tali sepatunya terinjak.
"Sa–kit, hiks ... "
Arlan panik melihat gadis itu mulai menangis di hadapannya. "Eh, ja–jangan nangis, dong.
"Kaki gue, hiks ... Sakit, Lan."
"Kuat berdiri nggak?"
El mencoba berdiri, tetapi tidak bisa. Ia kembali jatuh terduduk.
"Aku gendong nggak apa-apa?" tanya Arlan.
Elena mengangguk.
Arlan menggendong Elena. Laki-laki itu membawa Elena berkeliling mencari tempat teduh yang bisa mereka gunakan untuk beristirahat.
"Kamu berat," ujar Arlan polos.
Elena melotot, detik berikutnya Ia memberikan sebuah pukulan kecil pada bahu Arlan. Ya, kalian tentu tahu, kalau sebagian perempuan agak sensitif jika mendengar kata – berat, besar, atau yang lebih jujur lagi– gendut dan sejenisnya.
"Ahh, turunin gue!" ujar Elena.
Dengan senang hati Arlan menurunkan Elena, membiarkan gadis itu duduk di jalan.
"Arlan! Kok gue diturunin, sih?"
"Kamu yang minta."
"Ih gue bercanda. Abisan lo ngatain gue gendut," Elena memajukan bibirnya.
"Aku gak bilang kamu gendut. Aku cuma bilang berat."
"Ya sama aja! Secara nggak langsung itu ngatain gendut."
"Kamu aja sensitif."
"Maaf."
"Iya."
"Gue mau pulang."
"Terus?"
"Anterin, please."
Arlan menghela napas berat. "Iya," jawabnya kemudian sambil kembali menggendong Elena.
***
Arkan sudah dalam perjalanan pulang. Arlan sudah pasti bersama Elena, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
"Pagi, Kak Aura," Arkan melontarkan sapaan pada Aura yang kini tengah sibuk menyiram tanaman-tanamannya di depan halaman depan.
"Pagi, Arkan. Eh El mana? Katanya mau nyusul kamu."
Arkan mengangkat bahunya tanda tak tahu,"El cuma modus, Kak. Bilang nyusulin aku padahal mau ketemu Arlan," ujar Arkan dengan diakhiri sebuah kikikan.
"Anak itu," Aura geleng-geleng.
"Om A rkan!"
"Audi."
"Om main, yu."
"Main apa dulu, nih?"
"Main itu aja bola bekel."
"Di, kamu ini suka aneh-aneh. Mana bisa Om Arkan main bola bekel," Aura menimpali.
"Main PS aja yuk, di rumah Om."
Audi mengangguk semangat.
"Arkan jangan lama-lama, ya, main PS˗nya. Kakak sekalian titip Audi, mau pergi sebentar."
"Siap, Kak. Yuk, Di."
Audi mengangguk semangat, tangan keduanya saling bertautan, melangkah masuk menuju rumah Arkan.
***
Arlan mendudukan Elena di salah satu bangku taman. Ia tidak mungkin terus berjalan sampai rumah sambil menggendong Elena, tentu itu akan memicu hal yang tidak diinginkan karena dirinya terlalu lelah. Arlan berusaha menghindari apapun yang bisa membuatnya tumbang saat ini, alasan pertama dan utama tidak ingin sampai merepotkan orang lain.
"Tunggu di sini."
Arlan berjalan meninggalkan Elena seorang diri.
"Itu cowok baik, sih, tapi terlalu polos. Bikin greget. Masa nggak nangkep kode keras yang gua kirim," Elena bergumam pelan.
Bagaimana mungkin Arlan yang baru pertama kali dikenalnya langsung membuat gadis itu jatuh cinta?
Tak sampai lima belas menit, Arlan sudah kembali dengan membawa sebotol air mineral dan plester di tangannya.
"Lurusin kaki kamu."
Elena mengikuti instruksi Arlan, gadis itu langsung meluruskan kakinya.
Arlan membuka tutup air mineral yang sedari tadi dipegangnya.
"Lo mau ngapain?"
"Lukanya harus bersih biar nggak infeksi, baru ditutup plester."
"Nggak mau, perih!" Elena langsung menolak mentah-mentah.
"Jangan manja."
"Perih."
"Sedikit, nanti juga nggak."
Akhirnya Elena memasrahkan kakinya diguyur air, tidak apa-apalah perih asal bisa sedikit lebih lama di dekat Arlan. Elena meringis ketika air itu menyentuh kulitnya."Ssh ...."
Arlan mendongak menatap Elena yang terlihat sedikit kesakitan, kemudian meniup lembut luka di lutut Elena. "Lain kali jangan ceroboh."
Senyum kecil tersungging dari bibir Elena, terlebih ketika Arlan mengeringkan sisa-sisa air di lututnya dengan saputangan, lalu menempelkan sebuah plester di sana.
"Pulang sekarang?"
"Kaki gue, kan, keseleo nggak bisa di pakai jalan."
"Aku nggak pintar pijat, nanti aja di rumah diurusin. Sekarang aku gendong lagi."
Arlan sedikit membungkuk, membiarkan Elena naik ke punggungnya.