Chapter 6

1751 Kata
Tiba di depan rumah, Arlan langsung menurunkan Elena di teras. Napasnya tersenggal, keringat sudah membanjiri tubuhnya. Elena yang melihat hal itu tak tinggal diam. Gadis itu meraih handuk kecil berwarna hijau tosca yang tersampir di bahunya kemudian menyeka keringat Arlan. Arlan yang semula sibuk mengatur napasnya, refleks menoleh. Mata cokelat milik Arlan beradu dengan mata miliknya, Arlan menautkan alis tebalnya seolah mempertanyakan apa yang Elena lakukan. "Gue nggak ngapa-ngapain, kok. Gue cuma lap keringat lo. Sorry, ya, karena gue lo jadi capek." "Nggak apa-apa. Aku begini karena kamu teman Arkan." Jika di luar, Arlan memang tidak pernah menyisipkan embel-embel 'Aa' di depan nama Arkan. Elena menelan ludahnya dengan kasar. Ia pikir Arlan tulus menolongnya, ternyata karena Arkan. "Makasih, ya." Arlan hanya menjawab dengan anggukan. Tak berselang lama Ia melihat Arkan kembarannya keluar bersama Audi. "Eh, ini pada ngapain? Kok udah pulang?" tanya Arkan. Ia langsung mengambil posisi duduk tepat di samping Elena. "Kaki gue keseleo." "Sini gue lihat." Arkan memperhatikan pergelangan kaki Elena yang terlihat sedikit memar. Kemudian dipegangnya bagian yang memar itu hingga membuat Elena setengah menjerit. "Aw! Sakit, Arkan!" Arkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,"Lagian lo abis ngapain sih? Kok bisa sampai begini?" Belum sempat Elena menjawab, sebuah suara lebih dulu memotong ucapannya. "Aku permisi ke kamar mandi sebentar, ya," pamit Arlan. Arkan dan Elena hanya mengangguk. Setelah yakin Arlan menjauh, Elena langsung menceritakan semua kejadian tadi pada Arkan. "Nih, ya, gila gue senang banget. Arlan biarpun cuek tapi manis juga. Pertama gue jatuh gue digendong ke tempat teduh, luka gue diobatin, terus gue digendong lagi sampai sini." "Aunty nyusahin!" celetuk Audi. Elena mendengus sebal mendengar celetukan Audi barusan. "Serius? Lo menang banyak, El!" "Ya, walaupun endingnya bawa-bawa nama lo, sih." "Hah? Apaan?" "Arlan bilang nggak apa-apa, aku begini karena kamu teman Arkan. Bikin drop banget nggak, sih!" Elena menirukan gaya bicara Arlan dan diakhiri sebuah omelan. Arkan tertawa terpingkal-pingkal mendengar penuturan Elena,"Berarti Arlan lebih sayang sama gue daripada lo." Gadis itu misuh-misuh, Ia sedang bercerita tapi Arkan malah menertawakannya. *** Arlan membungkuk di depan wastafel, terbatuk beberapa kali hingga akhirnya benar-benar mengeluarkan isi lambungnya. Ia menyalakan keran air agar tak ada seorangpun di luar sana yang mendengarnya tengah muntah. "Adek. " Arlan menoleh mendengar seseorang memanggilnya, namun untuk saat ini Arlan belum ingin keluar. Ia membungkuk lebih dalam, ketika cairan itu kembali melesak naik. "Adek di dalam?" Kini orang itu mengetuk pintu kamar mandi. "Iya, Bunda," jawab Arlan dengan sedikit terengah. Arlan membasuh wajahnya, menyisirkan jari-jarinya, membenahi rambutnya yang semula sangat berantakan. Setelah merasa sedikit lebih segar, Arlan segera keluar. "Kenapa, Bunda?" "Adek abis ngapain?" "Cuci muka, Bunda, kan abis olahraga mukanya kotor." "Ke bawah, yuk. Kita sarapan. Kalian tadi pergi lari tapi nggak sarapan dulu." Arlan mengangguk. Keduanya menuruni satu per satu anak tangga berjalan menuju ruang makan. Elena, Audi, Arkan dan Devan sudah menunggu di sana. Sesampainya di ruang makan, Arlan tak langsung duduk bersama mereka, Ia justru melanjutkan langkahnya ke dapur. "Adek, mau ngapain ke dapur? Makanannya sudah di sini semua," ujar Inka. "Mau bikin sesuatu dulu, Bunda." "Nggak suruh Bibi?" "Nggak usah." Arlan mengambil sebuah cangkir, kemudian menyiapkan teh, gula, serta daun mint. Ia sudah terbiasa membuat minuman ini, terutama jika sedang seperti sekarang. Tidak menyembuhkan memang, tapi setidaknya teh ini bisa menekan gejolak dalam perutnya. Semua menatap Arlan heran, ketika laki-laki itu kembali dengan membawa secangkir teh yang dibubuhi beberapa lembar daun mint. "Adek, itu teh mint?" tanya Arkan. Arlan mengangguk. "Adek sakit?" Arlan menggeleng cepat. "Adek udah biasa minum ini, Bunda, selama di Bandung." "Yasudah, ayo makan. Kasihan tuh, Audi udah kelihatan lapar," Devan menengahi. "Om, Tante, maaf, ya, kami jadi numpang makan di sini," ujar Elena. "Huh, sok basa-basi lo!" Arkan mencibir. "Aa nggak boleh begitu!" tegur Inka. Selepas perbincangan kecil itu, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Audi makan dengan begitu lahapnya begitupun yang lain, kecuali Arlan. Ia tampak begitu enggan memasukan makanan itu ke mulutnya. Tak ada yang menyadari hal itu, sekalipun Arlan duduk berdampingan dengan Arkan. "Nambah lagi, A?" tanya Inka. "Mau lagi Bunda," jawab Arkan sambil menyodorkan piringnya. Inka memang sengaja memasak makanan kesukaan Arkan, dengan harapan kali ini anak itu mau menghabiskan makanannya. Ia buru-buru menuangkan nasi serta lauk ke piring Arkan sebelum putranya berubah pikiran. "Om kenapa?" pertanyaan itu Audi tujukan pada Arlan yang sedari tadi sibuk mengusap keringatnya. Arlan menggeleng. Kenapa? Kenapa justru gadis kecil itu yang menyadari rasa tidak nyamannya? Kenapa bukan orang tua atau kembarannya? "Kenapa, Dek? Mau nambah juga?" Inka turut bertanya. "Nggak, Bunda." "Kenapa makanannya nggak habis-habis? Nggak enak? Makanan kesukaan Adek apa? Nanti-nanti Bunda buatkan." Tak terdengar jawaban, yang terdengar hanyalah helaan napas berat. "Duluan." Arlan mendorong kursinya memberi ruang untuknya bergerak kemudian pergi, meninggalkan kebingungan di benak orang-orang yang ada di sana. Inka diam untuk beberapa saat. Mengapa tiba-tiba Arlan pergi? Apakah putranya tersinggung dengan pertanyaannya? *** Arlan duduk menyendiri di balkon kamarnya. Ia tidak ingin diganggu siapapun. Mungkin sedikit kekanakan, tapi hatinya benar-benar sakit. Bundanya tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan Arkan, lantas tentangnya? Entah apa yang sang bunda ketahui tentang dirinya. Ah- mungkin tidak ada. Laki-laki itu menengadahkan wajahnya menatap langit Jakarta yang sedikit kurang bersahabat sekarang. Padahal masih pagi, tapi gumpalan awan hitam sudah nampak di mana-mana, seperti siap menumpahkan bebannya. "Adek, buka pintunya." Arlan mendengar jelas suara sang bunda, tapi malas sekali ia beranjak membukakan pintu. "Adek marah sama Bunda?" Bersamaan dengan suara itu, ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk. From : Elena Lo tadi kenapa? Kenapa makanannya nggak dihabisin? Gara-gara ada gue ya? ============================ To : Elena Nggak apa-apa. Bukan. ============================ Lama-lama ketukan itu mengganggunya juga, Arlan berdiri kemudian berjalan membuka pintu kamarnya yang memang sempat ia kunci. Inka langsung masuk,"Adek kenapa? Makanannya nggak habis, terus Adek tiba-tiba pergi." "Nggak apa-apa," selalu saja kalimat itu yang berhasil meluncur dari bibir Arlan, seolah itu merupakan mantra suci yang akan membuat semuanya baik-baik saja. "Adek marah, kan, sama Bunda?" Arlan menggeleng. "Terus kenapa? Bunda minta maaf atas kejadian tadi." "Bukan salah Bunda." "Dek? Adek sayang nggak sama Bunda?" "Harusnya Adek yang tanya sama Bunda. Bunda sayang nggak sama Adek? Kak Gibran sama Aa, masing-masing punya tempat spesial di hati Bunda, tapi apa itu nggak berlaku buat Adek? Adek anak Bunda juga 'kan? Adek tahu sepuluh tahun mungkin sudah mengubah segalanya, tapi Adek masih ingat betul segala sesuatu yang berhubungan dengan Bunda. Kenapa Bunda nggak?" Baru kali ini Arlan berbicara sepanjang itu. Inka paham sekarang mengapa tadi Arlan tiba-tiba pergi. "Maafin Bunda, ya, Dek? Adek tahu, kan, alasan kenapa Bunda over sama Aa?" "Ya, tahu. Karena Bunda dan Ayah takut kehilangan Aa, sama seperti Bunda kehilangan Kak Gibran, mengingat kondisi fisik Aa yang lemah dan rentan sakit." "Adek mau ngerti, kan?" "Iya, Adek ngerti." "Bunda nggak mau kehilangan orang yang Bunda sayangi untuk kedua kalinya." Arlan diam. "Waktu Kak Gibran pergi, rasanya sakit sekali. Putra yang susah payah Bunda besarkan, Bunda rawat harus pergi untuk selamanya. Waktu mendengar ucapan dokter, kalau sistem imun Aa lemah, Bunda jadi sedikit was-was, walaupun sebenarnya tidak terlalu berbahaya. Bunda hanya takut-takut akan merasakan sakit yang sama seperti kehilangan Kak Gibran dulu." "Jaga Aa, Bunda. Adek ngerti kok. Adek nggak akan ngambek-ngambek lagi." "Bunda sayang sama Adek," Inka menarik Arlan ke dalam pelukannya. Beruntung sekali penyakit itu dihadiahkan pada Arlan bukan Arkan, jadi tidak akan sebegitu buruk jika Arlan yang harus pergi. *** Aura cekikikan sambil memandang layar ponselnya. Ia tengah melakukan video call dengan Dania. Ya, Dania dan Fauzi kini tinggal di Yogyakarta karena Fauzi punya pekerjaan tetap di sana. Mereka menikah tak lama setelah Aura dan Dimas menikah. Keduanya dianugrahi seorang putra, yang kini baru berusia sepuluh tahun bernama Dafa." "Ra, yaampun Dafa sekarang nakal banget. Lo tahu kemarin laptop si Pau hampir dibanting, dia jadi uring-uringan. Mau marah mungkin kasihan, tapi kalau didiemin kerjaannya di sana semua." (Dania bercerita dengan menggebu-gebu) "Gimana juga bapaknya, si Pau kan dulu juga nakal." "Iya kali, ya. Pokoknya Dafa nggak bisa lihat barang bagus dikit bawaannya pengen ancurin aja. Makannya gue tobat koleksi barang mahal." "Sekarang Dafa kemana?" "Pergi nonton sama bapaknya. Eh Audi mana? Gue kangen." "Dia di rumah Tante Inka. Betah banget kalau udah main ke sana. Anak gue biarpun cewek juga nakalnya ampun-ampunan. Nilainya ancur banget kemarin, sampai gue diomelin Dimas." "Kita harus banyak-banyak minta maaf nih kayaknya sama orang tua, kali aja kita lebih nakal dari anak kita sekarang." "Kita? Lo aja kali hahaa. Gue tuh waktu kecil pendiem nggak ada riwayat nakal. Dimas juga diem orangnya. Kenapa kelakuan Audi nggak ada mirip-miripnya sama kita, ya? Audi nakal, doyan main PS, nilainya merah terus. Gue--gue jadi inget Gibran." "Lo nggak ngapa-ngapain sama Gibran, kan?" (Tanya Dania penuh selidik) “Kagak peak! Gibran tuh ngejaga gue banget, dia nggak ada niatan ngerusak gue. Eh ngomong-ngomong soal Gibran, lo tahu nggak, Dan, kalau Adeknya mirip banget sama dia." "Siapa? Arkan? Kayaknya nggak deh, kan lo udah pernah kirim fotonya." "Arlan, kembarannya Arkan, tapi bedanya Arlan itu kalem banget. Wajah Gibran nurun sama Arlan, sifatnya nurun semua sama si Arkan." "Luar biasa. Lo nggak jatuh cinta, kan, sama Arlan?" "Kagaklah, gue emak-emak anak satu lah dia masih tujuh belas tahun." "Gue kira CLBK." (Dania tertawa lebar) "Sial! Adik ipar gue sih, yang kecantol sama Arlan. Eh udah dulu, ya, gue mau jemput Audi. Masa main PS terus." "Iyaa bye Auraku." Sambungan terputus. *** Arkan masih mengobrol dengan Elena. Gadis itu terus mengorek informasi dari Arkan. "Chat gue nggak dibales lagi masa." "Arlan jarang pegang HP, sih, setahu gue." "Dia manis banget, polos, kalem, gue suka," tutur Elena. "Beda banget, ya, sama gue?" "Iya beda banget, tapi lo lebih asik sih kalau diajak ngobrol. Arlan itu kaku." "Entah perasaan gue aja atau emang dia lagi berusaha menyembunyikan sesuatu yang nggak boleh gue ataupun orang tua kita tahu," ujar Arkan tiba-tiba. Elena mengernyit,"Maksudnya?" "Seinget gue, waktu kecil Arlan sama bawelnya sama gue, tapi semenjak tinggal di Bandung banyak yang berubah dari dia. Arlan terlalu rapat menutup semuanya, sampai gue kembarannya pun nggak bisa lihat apa yang sebenarnya terjadi sama dia." Sebenarnya Elena tak begitu paham dengan ucapan Arkan, tapi Ia berusaha menghibur,"Lo yang sabar, ya. Suatu hari pasti lo tahu apa itu." "Lo mau bantuin gue nggak, El?" "Gue? Bantu apaan?" "Lo suka, kan, sama Arlan? Lo deketin dia dan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi sama dia." "Gue nggak janji, tapi gue pasti berusaha. Lo tenang aja," Elena menepuk bahu Arkan beberapa kali, memberi semangat. Arkan tersenyum kecil. Saat ini Elena satu-satunya orang yang bisa diandalkan. Jika Arlan tidak mau terbuka padanya, ataupun Ayah Bundanya, barangkali Arlan mau sedikit lebih terbuka pada Elena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN