Chapter 7

1689 Kata
Dua minggu berlalu, masa liburan telah usai. Arlan dan Arkan memang tidak pergi berlibur kemanapun, mereka hanya menghabiskan waktu di rumah, itung-itung menebus waktu yang sempat hilang. Pagi-pagi sekali Arlan dan Arkan sudah bersiap-siap untuk sekolah. Mereka mengenakan seragam kebesaran Emerald. Inka menatap putra kembarnya dengan tatapan bangga. Tinggi, putih, tampan, mereka terlihat begitu sempurna. Arkan memiliki tubuh yang atletis, meski sering sakit tapi Ia rajin berolahraga, sedangkan Arlan jauh lebih kurus. "Aa, Adek, jangan pada nakal, ya? Ingat udah kelas tiga, mau ujian." "Iya, Bunda," jawab keduanya serempak. "Aa jaketnya dibawa, kan? Jangan sampai nggak. Lagi musim hujan," ujar Inka. "Siap Bunda." Arlan merasa seperti melupakan sesuatu, tapi apa? Laki-laki itu mengerutkan dahinya mengingat sesuatu, Ah iya, obat! batin Arlan. Ia kembali naik ke kamarnya untuk mengambil obat. Akan sangat merepotkan kalau sampai obat itu tidak diminum sekali saja. “Adek?" "Sebentar A, ada yang lupa." Arkan terududuk di sofa sambil membenarkan simpul tali sepatunya. Sampai tidak berselang lama Arlan kembali muncul. "Bisa bawa mobil nggak, Dek?" tanya Arkan yang dijawab Arlan dengan gelengan,"motor?" tanya Arkan lagi, dan Arlan kembali menggeleng. "Ya udah kalau gitu kita kita pulang pergi sama-sama. Biar Aa yang nyetir," ujar Arkan. Arlan mengangguk. Setelah berpamitan, keduanya langsung berangkat. Ah—ralat, pergi ke rumah Elena terlebih dahulu. *** Elena menenteng sepatunya, berlari tergesa menuruni satu per satu anak tangga. Gadis itu bangun kesiangan hari ini, padahal Arkan sudah menghubunginya beberapa kali. "Kak, aku berangkat, ya," pamitnya sambil berlari ke depan rumah di mana mobil Arkan terparkir. "Yaampun, El, hati-hati!" seru Aura. Elena tak menggbris ucapan Aura. Ia berjalan semakin cepat dengan bertelanjang kaki, lantas segera naik ke mobil Arkan. "Sorry telat." Elena duduk di jok belakang sambil memakai sepatunya, sedangkan Arkan dan Arlan duduk di depan. "Besok-besok kalau lo telat lagi, gue tinggal!" ancam Arkan. Elena memajukan bibirnya,"Jangan, sih. Masa nggak kasihan sama sahabat tercantik lo ini. Lo tega gue luntang-lantung di Jakarta sendirian?" Arkan terkekeh mendengar celotehan Elena, sementara Arlan lebih memilih diam. Tak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di depan gerbang utama Emerald. Sudah banyak siswa yang nampak berlalu lalang di sana, entah itu calon peserta didik yang baru, ataupun penghuni lama. "Dek, siap-siap dikerubungin cewek centil," bisik Arkan tepat di telinga Arlan. Ketiganya kini berjalan menyusuri lorong sekolah yang cukup panjang. Ya, belum apa-apa Arlan memang sudah dibuat risih dengan perempuan-perempuan itu. "Ih gilak ganteng banget." "Hai bule." "Arkan, itu siapa? Kok cakep banget, sih?" "Duh nggak nahan matanya." "Bibirnya bikin salfok anjir." "Hai kenalan dong." Arkan yang melihat kembarannya risih setengah mati, langsung bertindak. Ini hari pertama mereka jadi tidak boleh ada seorangpun yang merusaknya. "Berisik lo pada! Jangan gangguin Adek gue!" sentak Arkan, yang membuat gadis-gadis itu bungkam. Bel masuk terdengar. Arkan, Arlan dan Elena mempercepat langkah mereka menuju kelas untuk kemudian kembali ke lapangan dan mengikuti upacara bendera seperti biasa. "Dek, El, topi jangan lupa!" Arkan mengingatkan. Biarpun nakal Arkan taat terhadap peraturan ketika upacara, sebab hukuman yang akan diberikan cukup berat. Setelah dirasa siap, mereka segera berbaris lapangan. *** Masih ingatkah kalian pada Bu Nadine? Ya, guru yang paling sering bertengkar dengan Gibran dulu. Ah, ralat, bukan bertengkar, beliau hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Kini Bu Nadine dipercaya menjadi Kepala sekolah di Emerld, dan jabatan itu ditunjuk langsung oleh Darell sang pemilik Emerald. Kini Bu Nadine tengah berbicara di depan, dan para siswa berusaha mendengarkan dengan saksama. "Saya tidak akan mentolerir kalian yang melakukan bullying di sini. Bully dalam bentuk apapun akan dikenakan sanksi berat. Jadi untuk Kakak-kakak kelas diharapkan bisa membimbing adik-adiknya, dan para calon siswa/siswi Emerald mohon kerja samanya untuk menghormati atau menghargai yang lebih tua," ujar Bu Nadine. Bukan tanpa alasan Bu Nadine berbicara demikian. Miris melihat kondisi remaja masa kini, rasa senioritas yang menjurus pada tindakan-tindakan kriminal ada di mana-mana. Ia tidak ingin siswa/siswi Emerald di cap sebagai penjahat. Sudah nyaris setengah jam. Arkan yang memang tak kuat berlama-lama di bawah sinar matahari langsung dibawa ke ruang kesehatan, sedangkan Arlan masih bertahan sekalipun fokusnya perlahan menurun akibat rasa sakit yang mendera kepalanya. Sebentar lagi, Arlan. Harus kuat. Arlan membatin. Usai upacara Arlan tidak langsung pergi ke kelas, dengan langkah yang yang terbilang sedikit cepat laki-laki itu mencari keberadaan kamar mandi. Sangat tidak mungkin Arlan masuk ke dalam kelas dengan wajah pucatnya, itu akan membuat kembarannya curiga. Ketika hendak masuk Ia mendengar percakapan dua orang laki-laki yang membawa-bawa nama Arkan, tentu saja itu memancing rasa penasarannya. "Pokoknya hari ini kita harus kasih si Arkan pelajaran. Mentang-mentang tajir seenaknya mainin cewek. Rachel, adek gue masa diputusin gitu aja padahal baru tiga minggu jadian." "Emang b*****t itu anak. Kebanyakan gaya, sok ganteng, mentang-mentang Kakeknya pemilik Emerald jadi suka banget tebar pesona!" Arlan menghela napas berat, Ia sudah menduga kalau sikap Arkan yang suka tebar pesona, suka main wanita akan menimbulkan madarat untuknya suatu hari nanti. Benar saja, kini Arkan diincar oleh orang untuk diberi pelajaran. Arlan tidak akan membiarkan hal itu terjadi, tidak boleh ada satu orang pun yang menyakiti kembarannya, karena itu akan membuat bundanya sedih. "Kalau kalian punya urusan sama Arkan, berarti berurusan sama aku juga," ujar Arlan sambil masuk ke dalam kamar mandi dan beradu pandang dengan dua laki-laki yang ada di dalam. "Wih, mau sok jagoan ini anak," ujar salah satu diantara mereka yang diketahui bernama Elang. "Aku bukan mau sok jagoan. Aku cuma mau ngengetin kalau nggak semua masalah harus diselesaikan dengan kekerasan." "Urusannya sama lo apa? Arkan udah nyakitin adek gue. Gue nggak terima!" Vando mencengkram kerah baju Arlan dan mendorongnya kuat hingga membentur dinding. "Jangan sakitin Arkan. Kalian boleh lakuin apapun sama aku, tapi jangan Arkan." Vando menaikan sebelah alisnya,"Boleh juga. Lang, pegangin nih bocah tengik!" Vando mengayunkan kakinya, hingga menghantam kuat d**a Arlan. "Argh!" Arlan mengerang. Vando dan Elang tertawa puas. Kini Vando membubuhkan pukulan telak di bagian kepala belakang Arlan, hingga membuat laki-laki itu terkapar di lantai. "Bilang sama Arkan, jangan suka mainin cewek!" Keduanya berlalu, meninggalkan Arlan yang masih berusaha bangkit. Rasa sakit di kepalanya terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Beruntung pukulan itu tidak mengenai bagian wajahnya, jadi tidak mungkin Arkan atau teman-temannya yang lain tahu. Biarlah Arlan menyimpan rasa sakitnya sendiri. Jika sesuatu yang buruk menimpa Arkan, tentu bundanya akan sedih, dan Arlan tidak ingin bundanya sedih. *** Bu Elsa mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, memindai satu per satu siswa di kelasnya. Selain guru matematika Bu Elsa juga sebagai wali kelas XII IPA 2. Pandangannya terhenti di Arlan juga Elena. Ia mengajar pada jam ketiga dan keempat. "Kalian murid baru di sini?" tanya Bu Elsa. Tanpa komando keduanya mengangguk. "Coba maju ke depan, perkenalkan diri kalian." Arlan dan Elena maju ke depan kelas untuk kemudian memperkenalkan diri. "Nama saya Elena Queta Naara, pindahan dari Surabaya. Salam kenal semuanya." "Nama saya Devanio Arlan Emeraldi Utama, pindahan dari Bandung." "Kamu kembaran Arkan?" Arlan mengangguk. "Ada yang mau kalian tanyakan?" Semua siswa diam, meskipun sebenarnya sangat ingin menanyakan segala sesuatu yang berbau pribadi pada mereka berdua. Misalnya nomor handphone atau lainnya. "Kalian boleh duduk." Arlan dan Elena kembali ke bangku masing-masing. Hari pertama masuk sudah disuguhi pelajaran matematika, tentu sangat menyedihkan bagi mereka yang benci mata pelajaran itu. "Kerjakan soal yang ada di halaman 4, soal nomor 1 sampai 5. Sebelum bel sudah harus dikumpulkan," tutur Bu Elsa. "Ampun Bu baru masuk udah disuruh ngerjain tugas aja. Otak saya masih ketinggalan di Ancol," seloroh salah satu siswa. "Ketahuan deh, liburannya cuma ke Ancol doang," siswa satunya menimpali. Tentu saja ucapannya itu langsung mengundang gelak tawa dari seisi kelas, namun itu tak berlangsung lama karena mereka langsung sibuk mengerjakan soal. "A, udah?" tanya Arlan setelah cukup lama berkutat dengan tugasnya. Arkan mengangguk. Ketika nyaris berdiri, seragam Arlan juga Arkan ditarik dari belakang oleh Elena,"Jangan tinggalin gue." Mereka kembali duduk. "Bantuin, Dek," titah Arkan. Arlan mengernyit,"Sama Aa aja." Arkan menggeleng. Ia memang bisa menyelesaikan soal itu, tapi tidak bisa jika harus mengajarkan lagi. Arlan berbalik membuat posisinya dengan Elena berhadapan,"El yang belum mana?" Elena menunjuk soal nomor 5. Soal terakhir yang dirasanya sangat sulit. Arlan mulai menjelaskan dengan rinci, membantu Elena menyelesaikan soal tersebut. "Ngerti? Kamu tinggal masukin ke rumusnya aja kalau udah ngerti, dan coba kerjain." Elena mengangguk mantap kemudian mulai menyelesaikan tugasnya. Tak berselang lama, bel istirahat terdengar, itu artinya tugas harus segera dikumpulkan. Arkan mengambil alih soal Elena dan Arlan kemudian mengumpulkannya kepada Bu Elsa. "Lan, thank's ya," ujar Elena. "Sama-sama." "Kantin, yuk." Arkan kembali dan langsung mengajak kembaran serta sahabatnya ke kantin karena merasa sedikit lapar. "Aa sama El aja. Adek mau ke perpustakaan dulu." "Tapi nyusul, ya? Kita makan sama-sama." "Oke." Setelah Arkan dan Elena menjauh, Arlan melangkahkan kakinya menuju perpustakaan. Bukan untuk membaca atau apapun, Arlan hanya ingin mengistirahatkan tubuhnya sebentar. Denyutan hebat itu tak juga hilang, padahal Arlan sudah menelan pil yang biasanya dalam sekali tenggak bisa langsung meredakan sakitnya, belum lagi dadanya terasa sakit akibat ditendang tadi. Meskipun belum tahu letak perpustakaan di mana, tempat itu tetap jadi tujuan utamanya sekarang. "Maaf mau tanya, perpustakaan di mana, ya?" "Oh di sana, Kak. Kakak lurus aja, nanti belok kiri, lurus lagi, belok kanan, nah yang di samping mushala." "Makasih, ya." Setelah berhasil menemukan perpustakaan, Arlan mengambil satu buku, duduk di bangku paling pojok kemudian memberikan pijatan pelan di pelipisnya. "Sshh—" Arlan menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit yang nyaris menyerang semua titik dalam tubuhnya. Sekuat tenaga Ia meredam erangan agar tidak lolos dari bibirnya. Arlan teringat kata-kata sang nenek bahwa Ia harus bisa mengendalikan penyakitnya, bukan penyakitnya itu yang mengendalikan dirinya. Cairan merah mengalir dari rongga hidungnya. Arlan mengeluarkan saputangan dari saku belakang celananya lantas mengusap bagian hidungnya. *** Arkan berkali-kali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Si Adek kemana, sih? Lama amat." "Kan tadi bilangnya ke perpustakaan, Arkan," jawab Elena sambil menyuapkan siomay yang ada di hadapannya. "Ini lama, lho, El. Udah hampir lima belas menit dia nggak nemuin kita juga," Arkan mulai gelisah. Perasaannya sedikit tidak enak. "Abisin dulu makanan lo nanti kita susul ke perpus." "Kita susul sekarang, El! Sumpah perasaan gue nggak enak," Arkan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan, menyimpannya di meja kemudian melangkah hendak menyusul Arlan. Mau tak mau Elena mengikuti sahabatnya itu dari belakang. Belum benar-benar keluar tiba-tiba— "Mau kemana, A?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN