Elena berdiri di depan cermin. Gadis itu menyipitkan mata, tangannya terangkat untuk meraba wajahnya sendiri.
"Gue nggak jelek-jelek amat, kan, ya? Nggak ada cacat di muka, ada jerawat, sih, satu di jidat, tapi kan ini juga karena cinta terpendam sama Arlan."
Di sekolah, Arlan hanya sesekali mengajak Elena bicara itupun jika membahas pelajaran. Apalagi setelah istirahat, laki-laki itu benar-benar bicara seperlunya.
"Masuk."
"El, makan dulu, yuk? Audi udah nungguin tuh."
"Nanti aja, Kak. Belum lapar."
Aura mengerutkan dahinya. "Tumben? Ada apa? Kamu ada masalah?"
"Kak? Apa yang kurang dari aku? Yaa aku tahu sih, aku nggak cantik banget, tapi nggak jelek banget juga, kan, Kak? Aku rada oon, tapi nggak oon banget. Kenapa, ya, Arlan kayaknya nggak tertarik sama sekali sama aku."
Aura tersenyum tipis,"Jadi Adek iparku yang cantik ini lagi galau gara-gara Arlan?"
Walaupun tidak suka dengan ucapan Aura tapi Elena membenarkan hal itu.
"Arlan itu kayaknya masih benar-benar polos El. Dia seperti belum tahu tentang apa itu perasaan suka atau cinta, jadi kamu harus sabar kalau suka sama dia."
"Gitu, ya, Kak? Emang sih kelihatannya juga flat banget kalau dekat sama cewek. Eh tapi tapi dia langsung pasang wajah risih gitu pas cewek-cewek centil itu lenjeh-lenjeh sama dia."
"Nah, terbukti kan. Kamu boleh menunjukan rasa suka kamu, tapi jangan sampai buat dia risih."
Elena mengangguk paham,"Makasih, ya, Kak. Kalau curhat sama Kak Dimas pasti aku dimarahin, bilang jangan ini dulu lah, belajar yang bener dan sejenisnya."
"Kakak kamu begitu karena sayang, El," Aura mengusap puncak kepala Elena.
"Iya deh."
***
Arkan duduk di balkon kamarnya seorang diri. Ia mengambil kotak rokok juga korek api. Ia nyaris menyulut sebatang rokok jika saja sang Bunda tidak keburu masuk.
"Aa, apa itu? Buang!" tegas Inka.
"Ya ampun Bunda, satu aja. Terakhir."
"A, Bunda bilangin Ayah, ya, kalau Aa nggak mau nurut."
"Bunda kenapa, sih? Masa Aa nggak boleh ngerokok? Aa, kan, cowok Bunda. Cowok yang nggak ngerokok itu banci."
"Hush! Justru cowok merokok yang banci. Sudah buang rokoknya."
"Sekali aja, Bunda."
"A, Bunda marah, ya."
Arkan akhirnya menurut daripada Ia harus berurusan dengan sang Ayah.
"Nah gitu, kan, ganteng. Adek di mana, A?"
"Mungkin di kamarnya."
"A jangan marah. Bunda begini karena sayang sama Aa."
"Nggak marah."
"Bohong."
"Beneran, Bunda."
"Bunda mau lihat Adek dulu, ya? Dari tadi nggak keluar kamar soalnya."
Arkan mengangguk, Ia sendiri memutuska untuk turun karena merasa lapar.
***
Sejak pulang sekolah, Arlan memang tak keluar lagi dari kamarnya. Tak terusik sedikit pun dengan suara-suara di luar sana. Ada satu obat yang memang memberi efek kantuk, oleh sebab itu Arlan hanya meminumnya ketika di rumah.
Inka masuk ke dalam kamar Arlan hendak melihat putranya yang sedari tadi tidak terlihat. Inka duduk di tepian tempat tidur Arlan. Arlan nampak begitu pulas, membuat Inka enggan mengganggunya.
"Bunda, Bunda ... "
Inka menautkan alisnya begitu mendengar Arkan berteriak dari luar, Ia lantas berjalan keluar karena tidak ingin membuat Arlan bangun.
"Ada apa, A? Baru juga ditinggal," ujar Inka seraya menutup pintu kamar Arlan.
"Cucunya Bi Inah kecelakaan, Bunda. Sekarang di rumah sakit. Bi Inah udah panik banget di bawah, gimana kalau kita antar?"
"Rumah sakit mana? Adek lagi tidur, A, gimana?"
"Di Mitra Idaman, Bunda. Adek kita tinggal sebentar, jangan diganggu kasihan."
Inka mengangguk, keduanya melangkah turun. Bi Inah sudah seperti keluarga mereka karena sudah bertahun-tahun mengabdi, jadi mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk asisten rumah tangganya itu.
Devan belum pulang, tadi suaminya itu memberi kabar kalau Ia akan pulang terlambat hari ini, jadi mau tidak mau Inka yang harus mengantarkan Bi Inah ke rumah sakit.
"Bi, kita ke rumah sakit sekarang. Bibi jangan nangis," Inka berusaha menenangkan.
Mereka langsung bergegas masuk ke dalam mobil.
"Nyonya, saya teh takut. Cucu saya ketabrak motor, tapi yang nabraknya malah kabur," terang Bi Inah disela-sela isakan.
Keluarga Bi Inah memang pindah ke Jakarta sejak beberapa tahun yang lalu, dengan alasan agar lebih dekat.
"Bibi tenang aja, berdo'a, semoga Cucunya nggak kenapa-kenapa," Arkan yang dibalik kemudi turut bersuara.
***
Berjam-jam tertidur tak juga membuat nyeri di kepala Arlan hilang. Keringat sebesar biji jagung terus mengucur deras dari dahinya. Arlan bahkan tak bisa membedakan sakit macam apa ini, apakah karena penyakitnya atau karena pukulan tadi. Laki-laki itu bangkit dari tidurnya, berusaha meminta pertolongan pada siapapun yang ada di rumah. Dengan langkah yang sedikit terseret ia berjalan keluar, mengeluarkan suara pelan meminta tolong. "Bun ... da. Sssshh."
Arlan menginjak satu per satu anak tangga dengan sangat hati-hati. Tangannya tak sedikitpun lepas memegangi kepala.
"Aa ...."
Rumah ini nampak sepi. Pergi ke mana para penghuni rumah ini? Mengapa tak ada satu pun yang menghampirinya sekarang? Arlan terbelalak melihat cairan berwarna merah terang kini mengotori lantai rumahnya.
Bersamaan dengan itu seseorang terlihat memasuki rumahnya, tapi entah siapa itu. Pandangannya semakin kabur, Ia mengerjap beberapa kali. “To ... long!”
Belum sempat Arlan menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah lebih dulu limbung.
"Arlan!"
Orang itu yang ternyata Elena memekik keras. Niatnya mengganggu Arkan ternyata malah dikejutkan dengan pingsannya Arlan.
"Lan, bangun, please! Lo kenapa?" Elena memberikan tepukan pelan di pipi Arlan.
"Tante Inka!"
"Arkan!"
"Bibi!"
Elena terus berteriak, berharap ada yang mendengar lantas menolong Arlan.
"Lan, bangun dong. Jangan bikin gue takut," lirih Elena sambil mengusap darah di hidung Arlan.
Arlan melenguh. Tangannya terangkat menghentikan aktivitas Elena.
"Lan, Tante Inka, Arkan, orang rumah pada kemana? Lo kenapa bisa kayak gini?"
Arlan menggeleng tanda tidak tahu.
"Badan lo panas banget, Lan. Kuat bangun nggak? Kita pindah, ya?"
Elena membantu Arlan bangun, susah payah gadis itu memapah Arlan untuk kemudian membaringkan laki-laki itu di sofa. Tentu butuh energi besar mengingat tubuh Arlan sedikit lebih besar dibanding tubuhnya.
"Kompresan di mana, Lan?"
Arlan menggeleng lagi.
Elena berinisiatif mencari sendiri, tidak mungkin rasanya terus bertanya-tanya pada orang sakit. Setelah cukup lama, Ia kembali membawa wadah yang berisikan air hangat juga handuk kecil. Gadis itu duduk di bawah, kemudian memeras handuk kecil yang sudah lebih dulu dicelupkan ke dalam air hangat lantas menempelkannya di dahi Arlan.
"El ...." Arlan tiba-tiba bersuara.
"Ya?"
"Tolong jangan bilang sama siapa pun tentang kejadian hari ini."
"Kenapa, Lan? Tante Inka harus tahu apa yang terjadi sama lo."
"Aku nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa gimana? Lo ambruk, mimisan, dan badan lo panas banget, masih mau bilang nggak apa-apa?"
"Aku baik-baik aja. Kamu diam, atau kita benar-benar nggak usah berteman lagi."
Elena melotot, apa katanya? Nggak usah berteman lagi? Ayolah Arlan, kita bahkan belum memulai dan sekarang lo nyuruh gue pergi?" Gadis itu membatin.
"El, aku mohon!"
Melihat Arlan yang menatapnya dengan tatapan memohon akhirnya Elena menyerah,"Gue nggak akan bilang, tapi kita harus tetap berteman, Ok?"
Arlan mengangguk.
"Lan, udah makan?"
"Belum."
"Mau makan nggak? Biar gue ambilin."
"Nggak, El."
Elena menatap intens wajah pucat Arlan. Rahasia atau beban apa yang sebenarnya tengah dipikul Arlan? Sorot mata itu selalu terlihat redup dan dingin seolah tak ingin siapapun melihat rahasia di dalamnya. Dalam hati Elena berjanji kalau suatu hari nanti Ia pasti bisa membuat Arlan percaya dan mau bicara kepadanya. Ketika seseorang mulai percaya, tanpa ditanya pun dia akan bicara dengan sendirinya.
Perlahan Arlan menegakan tubuhnya. Ia ingin kembali ke kamar, takut jika orang tua atau kembarannya tiba-tiba datang.
"Eh, Lan, mau ke mana?"
"Kamar."
"Udah kuat emang?"
Arlan mengangguk. Ia bangkit dari duduknya kemudian menggapai-gapai sesuatu yang sekiranya bisa membantunya berjalan sampai ke kamar.
"Lan, gue bantu!"
"Aku bisa sendiri."
Elena menghela napas berat, Arlan memang akan begitu sulit ditaklukan. Setelah menyimpan alat-alat yang Ia gunakan untuk mengompres badan Arlan, Elena memutuskan untuk pulang. Dua orang—laki-laki dan perempuan diam dalam satu rumah rentan terhadap fitnah.
***
Sudah pukul 19.04, Arkan dan Inka baru saja kembali dari rumah sakit. Hanya berdua. Mereka membiarkan Bi Inah di sana untuk sementara waktu. Baik Inka maupun Arkan terkejut melihat keadaan rumah yang begitu gelap.
"Bunda, kok masih gelap? Adek belum bangun? Apa pergi?"
"Nggak tahu, A. Tadi handphone Bunda juga ketinggalan jadi nggak bisa kabarin Adek."
Setelah berhasil menemukan tombol lampu, mereka langsung naik ke atas. Arkan masuk ke kamarnya sendiri berniat mandi, sedangkan Inka hendak menemui Arlan. Lampu kamar Arlan terlihat menyala, jadi kemungkinan ia sudah bangun.
"Adek?"
Arlan yang sedang duduk di meja belajar langsung menoleh ke sumber suara,"Ya, Bunda?"
"Kok di bawah masih gelap? Kenapa lampunya nggak dinyalain?"
"Takut turunnya, Bunda. Rumah sepi," jawab Arlan.
"Bunda pikir Adek belum bangun."
Arlan tersenyum tipis.
"Bunda ke bawah dulu, ya? Mau angetin makanan. Nanti kita makan sama-sama."
"Iya, Bunda."
Arlan melihat ponselnya menyala, tadi Ia mengaktifkan mode silent. Beruntung tak lama setelah mengobrol, bundanya keluar. Arlan mengambil ponselnya, menekan gagang telfon warna hijau kemudian menempelkannya di kuping.
"Hallo, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, Nek."
"Adek kemana aja? Seharian ini nggak ada kabarin Nenek."
"Tidur, Nek. Maafin Adek, ya?"
"Tumben tidurnya lama."
"Nggak enak badan, Nek."
"Apa yang sakit, Dek?"
"Ya, gitu."
"Besok Nenek ke sana."
"Tapi, ...."
"Nggak ada tapi-tapian, Dek. Nenek mau lihat keadaan kamu. Sekalian mau antar obat."
"Obat apa lagi, Nek?"
"Nanti biar Nenek jelaskan kalau sudah di sana. Adek jaga kesehatan, ya? Jangan nakal-nakal di sana."
"Iya, Nek."
"Sekarang Adek istirahat. Nenek tutup dulu telfonnya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Sambungan terputus.
Arlan kembali melanjutkan aktivitasnya. Sebenarnya Ia bukan sedang belajar, melainkan membaca sesuatu yang berharga milik Gibran. Tadi ketika mecari bukunya tiba-tiba Arlan menemukan sebuah diary—ah bukan, buku catatan biasa.
Kalau misal hanya satu orang yang harus Gibran bahagiain di dunia ini, orang itu adalah Bunda. Bunda, Gibran minta maaf selalu bikin Bunda susah. Makasih Bunda dari kecil Bunda selalu manjain Gibran, walaupun Bunda sering dimarahin Ayah gara-gara itu. Gibran sayang Bunda.
-GF-
Ditutupnya buku catatan itu. Arlan bertopang dagu. "Kak, kapan, ya, Bunda sayang sama Adek kayak Bunda sayang sama Kakak sama Aa? Adek juga mau disayang, Kak."
Arlan tersenyum miris. Tadi jika tidak ada Elena entah akan seperti apa nasibnya. Arlan hanya ingin benar-benar disayangi kedua orang tuanya, apa keinginannya ini terlalu sulit? Ya, mungkin sulit karena sejak awal semua hanya terfokus pada Arkan, tapi Arlan akan tetap menunggu.