Ramadhan Paling Indah

979 Kata
بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم ⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠ ⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠ Selamat Membaca "Sayang, bangun yuk. Kita sahur dulu." Dengan lembut Yusus mengusap pipi istrinya, sambil sesekali mencium Rania penuh kasih. Sudah hampir sepuluh menit Yusuf berusaha membangunkan Rania, tapi perempuan itu tetap kembali ridur. "Aku ngantuk, Aa. Aku nggak usah ikut sahur aja." Yusuf tersenyum, kemudian duduk di sisi ranjang. Ia menatap Rania yang kembali menarik selimut hingg ke leher. "Jadi nggak mau sahur bareng aku?" "Ngantuk banget, Aa..." "Ngantuknya sebentar doang itu. Habis cuci muka nanti ngantuknya ilang. Yuk aku temenin, atau mau aku gendong ke kamar mandi?" "Beneran ngantuk, Aa. Aa tega bangunin aku?" "Aku lebih nggak tega buat biarin kamu terusan tidur. Ayolah, bangun. Ini sahur pertama aku sama bidadari aku. Masa kamu biarin aku kehilangan kesempatan ini?" "A Yusuf jangan romantisin aku pagi-pagi gini, deh." Rania duduk, dengan mata yang masih tertutup ia menguap sesekali. "Dingin, Aa." "Nanti aku angetin sama pelukan aku." "Isshhh, A Yusuf." Rania mencubit pelan tangan suaminya. Yusuf tersenyum. Kemudian mengusap rambut Rania. "Sekarang udah nggak ngantuk, kan?" "Udah langsung ilang, habis Aa gombalin terus sih." "Masa aku gombal?" "Iya, ih..." "Yaudah deh. Sekarang mau kan sahur bareng aku?" Rania mengangguk. Ia baru sadar akan satu hal. Saat puasa tahun lalu, masih ada Radit; kakaknya. Dulu Rania pasti selalu sahur sendirian, hanya ada Bi Nani yang menemani sahurnya. Radit, Rania tahu kakaknya itu bahkan tidak pernah puasa, sementara ibunya juga tidak pernah makan sahur, ia memelih makan tengah malam kemudian bangun pagi dan kembali bekerja. Hati Rania semakin miris, seandainya puasa tahun ini masih ada Radit, pasti semuanya akan terasa lengkap. Ditambah Rania sudah dipertemukan dengan jodoh dan ayahnya Sekelebat masa lalu kembali terbayang di benak Rania. Semuanya berputar jelas, menampilkan adegan-adegan yang masih kentara untuk diingat. Saat itu Rania baru berusia lima tahun. Ini kali pertamanya Rania belajar untuk melakukan ibadah puasa. Saat sore, Rania hampir tidak tahan. Tenggorokan-nya benar-benar terasa sangat kering. "Kak Radit, aku udah nggak kuat puasa. Boleh ya aku minum, sedikit aja." "Jangan. Kamu udah capek nahan dari pagi masa mau dibatalin." "Tapi aku beneran haus, Kak." "Kalau kamu berhasil puasa seharian penuh, nanti kakak gendong kamu ke masjid, detelah itu kita main kembang api." "Beneran kak? Kakak nggak boong kan?" "Enggak." Rania turun dari atas kursi, kemudian memeluk sang kakak dengan wajah berseri. "Makasih Kak Radit." Radit hanya mengangguk, kemudian terseyum. "Kamu kenapa, Ran?" Rania tersentak, memandang suaminya dengan mata berkaca. "Mendadak aku kangen sama kak Radit." Yusuf tersenyum. Ia mengerti bagaimana perasaan Rania. "Besok kita ke makam kakak kamu, ya." "Aa mau nganterin aku? Katanya besok Aa ada urusan penting." "Nggak ada yang lebih penting buat aku daripada dampingin kamu. Mana mungkin aku biarin kamu pergi sendiri tanpa aku. Akan banyak bahaya yang bisa nyerang kamu kapan aja." "Makasih ya, A. Aa selalu nomor satuin aku dari pada urusan pekerjaan Aa. Aa tau? Aku beruntung banget bisa dapetin suami kayak Aa. Kalau dulu aku takut buat nikah, ternyata ketakutan itu hanya ada di pikiran aku. Buktinya Allah malah kasih aku suami sebaik Aa." "Allah itu baik, sayang. Aku juga beruntung punya istri seperti kamu. Meski manja, namun hal itu membuat aku rindu setiap saat ketika aku jauh dari kamu." "Pipi aku merah ya, Aa?" "Merah, tapi aku suka." "Aduh Aa...." Rania malu sendiri. Suaminya itu selalu saja punya cara setiap detik yang bisa membuat hatinya terasa digelitik. "Ayo kita sahur. Aku udah masak satu hal yang spesial buat kamu." "Apa itu, Aa?" "Nanti aja. Kamu cuci muka dulu, gosok gigi, nanti kumannya masuk lagi ketelan sama kamu, yang ada badan kamu makin kecil." "Iya, A Yusuf, iyaaaa..." Rania turun dari atas ranjang, berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Yusuf terkekeh pelan. Perempuan itu selalu saja membuatnya jatuh cinta setiap saat. Yusuf baru merasakannya, ternyata itu semua amat indah saat dia sudah memiliki Rania secara halal. "Aa maafin aku, ya. Seharusnya aku yang masakin Aa, bukan A Yusuf yang masakin aku." "Ini semua kewajiban aku, sayang. Satu hal ya g harus kamu tau. Mencuci, memasak itu sebenarnya adalah ursanku. Karena kelak jika kamu melahirkan anak kita, perjuangan kamu tidak sebanding dengan sekadar memasak dan mencuci ini. Jadi biarkan aku melakukannya, jika kamu ingin membantu itu tidak masalah." Hati Asri terenyuh dengan ucapan menantunya itu. Asri merasa sangat bahagka kerana ia tidak perlu cemas jika Rania merasakan apa yang dulu ia rasakan. Ditinggalkan saat baru saja melahirkan anak dari suaminya sendiri, rasa sakit pasca melahirkan belum hilang, kemudian suaminya tega menambah sakit yang luar biasa. Saat itu Asri sudah percaya bahwa tidak ada laki-laki baik yang bisa memberikan cintanya hanya untuk satu wanita. Jangankan dengan laki-laki lain. Asri berpatokan saja pada mendiang putranya; Radit. Anak itu mungkin 50 persen mengikuti tabiat ayah-nya. Radit sudah banyak mempermainkan wanita, meski hatinya berhenti pada satu wanita bernama Senna. Tapi tetap saja, Radit sudah merusak hidup wanita yang sudah membuatnya jatuh hati. Asri tidak bisa menyalahkan Radit sepenuhnya. Sebab dia juga salah dalam urusan mendidik Radit. Dia sudah gagal. Sekarang mata Asri sudah terbuka lebar berkat menantunya yang pemahaman agamanya sudah cukup untuk menjadi seorang imam. Berkat Yusuf, Asri mengerti bagaimana islam yang sebenarnya, tentang sayang Allah yang begitu nyata. Yusuf adalah cahaya yang bisa menuntunnya untuk terus berjalan lurus kedepan. Jika dulu Ilyas meninggalkannya, mungkin saja ada kesalahannya kepada Allah yang membuatnya harus menanggung ujian untuk kehilangam suaminya. Lihatlah Rania, Asri bisa menyaksikan bahwa anaknya tidak akan pernah menangis seperti dirinya. Yusuf adalah laki-laki yang tepat untuknya. "Non Rani tau nggak? Den Yusuf ini masaknya pinter banget. Bahkan bisa ngalahin bibi lho," kata Bi Nani kagum. "Ah, Bi Nani bisa saja. Saya rasa itu hal yang biasa." "Mantu ibu tuh..." "Suami aku, Bu." Asri dan Bi Nani sama-sama tertawa. Sahur kali ini terasa berbeda. Mereka menikmati dengan penuh suka cita. Menyambut bulan ramadan yang penuh berkah. Bersambung Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN