Gombalan Sang Playboy

1930 Kata
“Jika bukan karena kamu adik kesayanganku. Aku sudi melihat pertunjukan yang membosankan ini,” gerutu Alverno kesal. Padahal pertunjukannya saja belum mulai dan Alverno sudah mulai mengeluh. “Cerewet!” sela Claudia cepat. Claudia melirik Alverno tajam. “Katanya aku ini adik kesayanganmu. Tapi, kenapa dari tadi Kakak ngomel terus sih, hah?” sembur Claudia kesal. Tidak di pesawat tidak di hotel, dimana-mana bukan hatinya senang namun, malah jadi beban karena dia mengajak si Playboy internasional itu untuk ikut melihat pertunjukan pianis kesukaanya. “Ini ikhlas nggak sih, Kak. Temenin aku?” Alverno berdecak lidah, lelaki itu membuka mulutnya untuk menjawab namun, sayangnya sudah keduluan gadis manja yang kembali bicara. “Sayangnya Kakak itu sama aku cuman numpang lewat doang. “Diminta temenin aku nonton pertunjukan pianis kesukaan aku aja dari tadi nggak diem tuh bibir, terus aja ngoceh kayak anak perawan lagi dapat haid pertama.” Alverno kembali membuka mulutnya untuk bicara. “Beda banget deh perlakuan Kakak sama para makhluk halus itu,” sela Claudia cepat membuat Alverno tidak ada kesempatan untuk menjawab. “Nganterin para wanita peliharan pergi shopping berjam-jam aja nggak pernah tuh Kak Al kedengaran ngeluh. Happy-happy aja bawaanya.” Itu bukan omelan lagi, tapi sindiran keras Claudia yang mengungkapkan isi hatinya yang kesal karena setiap gadis manja itu memintanya pergi, Alverno selalu beralasan. “Denger ya, Kak. Kalau Kak Adam nggak meeting penting dan bukan perintah Kake. Aku ogah minta anter Kak Al. “Kak Adam pastinya dengan senang hati nganterin aku,” sambung Claudia. Alverno mengelus dadda, sabar. Claudia memang bukan adik kandungnya melainkan sepupu dari Beyonce kakak dari ayahnya. Cucu perempuan satu-satunya dari keluarga Stone pun, selalu mendapatkan perlakuan istimewa sampai-sampai sifat manjanya itu tak tertolong lagi. “Ck! Bela saja terus kakakmu itu ujung-ujungnya Kakakmu paling ganteng dan paling the best ini yang temani kamu kemana-mana kamu,” decak Alverno, kesal. Claudia berikan bibir lima centinya atas jawaban Alverno yang dirasa sangat menyebalkan itu sementara Alverno membuang muka. Alverno tidak suka jika dibandingkan dengan sepupunya Adam, kakak Claudia dan ocehan bocah baru gede itu membuat telinganya rasanya tuli. Sejak di dalam pesawat dari New York menuju Berlin, Claudia tak henti memuji Adam. Tentunya, dari segi apapun Alverno paling terbaik menurut versinya sendiri. Kesalnya, si gadis manja yang menyebalkan itu tidak punya hati padanya. Padahal Alverno rela membatalkan semua jadwal pentingnya demi keinginan sepupu wanita satu-satunya. Bukan itu saja Alverno baru mendarat di Changi-Singapore untuk pertemuan penting pun harus rela ditunda untuk segera pulang ke New York karena rengekan Claudia. Teganya lagi, baru saja mendarat dan baru menginjakan kaki di mansion, Claudia langsung mengajaknya untuk pergi ke Jerman—menemani gadis itu melihat pertunjukan solo pianis kesukaan, Gilly Kohler tanpa Claudia mengizinkannya lebih dulu untuk beristirahat. “Sehebat apa sih, Gilly Kohler itu sampai kamu segitunya pada Kakakmu yang paling tampan ini, hm?” Gadis manja itu kembali berikan bibir lima centinya pada kakak sok ganteng itu. Ah, realitanya kakaknya yang satu itu memang kelewat tampan makanya semua wanita yang bertemu dengannya langsung jatuh cinta. Maklum playboy internasional. “By the way, dia itu pria atau wanita?” tanya Alverno lagi. “Nggak usah banyak tanya. Lihat aja nanti,” ujarnya seraya mengapit tangan Alverno untuk masuk ke dalam gedung pertunjukan bersama dengan satu pengawal pribadi yang setia pada sang kakak, siapa lagi kalau bukan Alex. Claudia tersenyum manis, saat pengawal tampan bak model catwalk itu menunjukkan jalan di mana kursi mereka berada. “Duduklah yang manis dan jangan kemana-mana.” Alverno melirik pada Alex yang duduk di sampingnya. “Kakak mau cari toilet, sudah kebelet,” bisiknya. “Kebelet pengen kelon sama si Kelly?” sindir Claudia, keras. Pasalnya, Ceo Playboy itu membawa salah satu wanita peliharaanya untuk ikut ke Jerman. Alverno tergelak. “Astaga, Dek. Jahat banget sih pikiranmu sama Kakak. Lagian Kelly kan di hotel nggak ikut sama kita.” “Jangan bilang kalau Kak Al mau kabur terus pulang ke hotel buat minta jatah sama salah satu makhluk gaib itu?” Alverno melongo mendengarkan nama-nama panggilan untuk para wanitanya dari sepupunya itu. Kebanyakan semua panggilan dari bangsa makhluk halus. “Nggak Lah, Dek.” “Awas aja yah Kak kalau Kak Al berani kabur dan tinggalin aku sama Alex di sini?” Claudia paham dengan kelakuan kakak lelakinya itu. “Aku aduin sama Kake Candra loh dan juga Mommy kalau Kakak tinggalin aku sendirian di gedung ini,” ancam Claudia tak main-main. Tentunya Claudia tahu kelemahan Alverno yang tidak lain dua orang yang tadi dikatakan itu adalah orang yang mampu membuat Ceo Playboy itu tidak bisa berkutik lagi. Alverno berikan bibir lima centinya mengikuti sepupunya itu. “Haish, bisanya ngadu. Dasar sepupu tukang ngadu.” “Sudahlah, Kakak juga balik lagi kok nggak akan ninggalin kamu,” ujar Alverno seraya bangun dan beranjak pergi dari gedung teater tersebut. Lelaki tampan itu mengambil ponsel pintarnya di saku jas nya yang terus bergetar. Dalam hati Alverno mengumpat jika yang menghubunginya itu adalah Kelly atau wanita lain, Alverno akan meminta anak buahnya untuk menendang Kelly dari hotel. Sayangnya, panggilan itu bukan dari salah satu wanitanya melainkan sahabatnya. “Ya, hallo Woo?” “Lo emang temen gue yang paling berengsek, Al! Gue dateng jauh-jauh dari Seattle ke Singapore hanya buat nyusul lo bahas kerjasama kita. Sialnya, lo kenapa nyangkut di Jerman sih, Nyet!” geram Kim Woo melalui panggilan telephone. “Ceritanya panjang, ntar gue ceritain deh. Udah lo tunggu gue di Singapore dulu besok gue balik dari Jerman ke Singapore,” ujarnya seraya mencari toilet. Sialnya, pria itu justru salah jalan. Alverno kini berada di belakang panggung. “Ck! Gue ogah jadi tong sampah lo terus, Nyet! Ini gue lagi on the way balik ke tempat kelahiran. Ada panggilan darurat,” ujar Kim Woo diiringi hembusan nafas. “Oke. Besok gue langsung ke Korea deh susul lo,” balas Alverno. Setelah perkataan itu, Alverno mengakhiri panggilan secara sepihak dan hal itu membuat pria bermata sipit itu di seberang sana menggeram marah atas kebiasan Alverno yang menyebalkan. “Tunggulah, aku sudah ada di belakang panggung. Aku pasti akan sampai ke bandara,” ucap Gilly melalui panggilan telepon yang terhubung. Tissa menghubunginya dan sesuai rencana Gilly harus lekas pergi dari gedung pertunjukan itu setelah bersikeras pada Gabriel ingin tetap menyelenggarakan pertunjukan solo nya di tengah hatinya yang sudah gundah atas meninggalnya sang ibu. “Kalau begitu cepatlah sedikit, sudah tidak ada waktu lagi,” kata Tissa mengingatkan. Sejujurnya membantu Gilly keluar dari cengkeraman Gabriel itu tentunya ada konsekuensi besar yang harus siap dia terima. Tapi, demi sahabatnya, Tissa akan melakukan apapun demi keselamatan Gilly. “Oke, tunggulah,” jawab Gilly singkat lalu menutup panggilanya. Tatapan Gilly kembali waspada di setiap gerak geriknya keluar dari gedung tersebut. Sayangnya, kewaspadaan Gilly yang ingin segera keluar pun membuat gadis itu tidak memperhatikan jalannya. Kaki Gilly tersandung dan menabrak seseorang di depannya. Bola matanya reflex begitu saja terpejam dengan bayangan tubuhnya yang melayang di udara dan mendarat keras di lantai dingin. Ternyata dugaannya salah, ada seseorang yang kini justru menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. “Hai, Nona….” Gilly membuka bola mata lebar-lebar, sosok pria tampan berada di depannya diringi senyum menawan. Wajah lelaki tampan itu seolah tidak asing, Gilly pernah bertemu sebelumnya dengan kejadian yang serupa. Tapi, sayangnya dia terlupa di mana. “Anda aman, Nona. Tidak terjatuh ke lantai tapi lading di pelukanku,” jawabnya diiringi cengiran. Gilly mengusap dadda lega, tanpa memutuskan manik mata abu-abu keemasan yang begitu dekat dengan wajahnya. “Ah. Ternyata kita bertemu lagi, Nona. Sepertinya kita jodoh,” ujarnya dering tawa kecil. Gilly pun ikut tertawa, baru kali ini ia mendengarkan gombalan receh lelaki yang baru ditemuinya itu. “Aku juga merasa kita pernah bertemu,” jawab Gilly Lelaki yang tidak lain Alverno manggut-manggut membenarkan. Ingatannya sangat tajam bila bersangkutan dengan wanita. “Nah, benarkan kita memang jodoh, Nona. Buktinya, Tuhan mempertemukan kita kembali di sini,” jawab Alverno seraya mengerlingkan mata. Gilly tersenyum, focus matanya menatap lelaki tampan dengan senyuman menawan. “Apa Nona akan berada di posisi seperti ini?” Gilly tersadar, pipi wanita itu memerah karena malu. “Ups. Sorry,” kaya Gilly tersenyum kikuk. “It’s oke,” jawab Alverno. Alverno masih betah memandang gadis cantik di depannya itu. Hatinya pun tak rela memutuskan gadis cantik itu yang tengah memandang ketampanan bahkan sampai melamunkan dirinya. Hh, Alverno memang kelewat percaya diri, tapi itulah Alverno karena menurutnya tebakannya tak pernah meleset. ‘Seandainya sepupuku yang rese itu tidak mengancamku melaporkan pada lelaki tua di ujung sana sudah aku pastikan aku akan menculik si cantik ini dan juga menghangatkanmu, baby,’ batin Alverno. “Kita belum kenalan. Aku Al.” Alverno mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan gadis cantik tersebut. Sayangnya, getaran ponsel Gilly begitu juga dengan Alverno menyita pandangan dan fokus keduanya. “Maafkan aku. Kenalannya kita pending dulu aja. Maaf, aku buru-buru,” tolak Gilly seraya sigap mengangkat gaun panjangnya dan mengabaikan jabatan tangan Alverno yang menunggu. “Baiklah kalau begitu bolehkah aku meminta nomor ponselmu cantik?” pinta Alverno. Gilly mengangguk pelan. “Oke, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku.” “Sure. Bukan untuk ucapan terima kasih cantik tapi kita harus bertemu lagi,” teriak Alverno. Dengan cepat Alverno mengeluarkan ponselnya untuk mencatat dan mensave number yang disebutkan oleh Gilly. Wanita itu setengah berteriak memberitahukan nomor ponselnya. Lambaian tangan Gilly pun akhirnya memisahkan manik mata yang tak lepas saling menatap dan tubuh Gilly menghilang di balik pintu tersebut. Dengan cepat Alverno mendeal number tersebut, ia pun senang karena numbernya terhubung. Ketika suara berbeda yang merespon, kening Alverno mengernyit lalu terkejut ketika mendengarkan respon pria tersebut. Wanita yang entah siapa namanya itu memberikan number…. “Rumah sakit jiwa?” Alverno segera memutuskan panggilan lalu tertawa pelan. “Ah, sial sekali ternyata wanita cantik itu mengerjaiku.” Alverno jadi greget ingin segera bertemu lagi bahkan Alverno bersumpah jika dia kembali bertemu untuk ketiga kalinya, Alverno tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ketiga kalinya. “Baiklah cantik. Jika kita ditakdirkan bertemu kembali maka kamu memang jodoh yang Tuhan berikan untukku,” ucap Alverno di dalam hati. “Ah, aku sudah tidak sabar ingin berjumpa lagi denganmu dan bermain hal yang menyenangkan,” gumam Alverno seraya membayangkan jika mereka berada di satu ranjang yang sama. Hati Alverno sedang baik, tak lama lelaki itu menggeser tombol hijau tanpa melihat nama si penelpon ketika ponsel tersebut diletakan di telinga, Alverno melotot kaget lalu menjauhkan ponsel dari telinganya. “Jika kau tidak datang dalam waktu satu menit dari sekarang—” Alverno menatap sekeliling ruangan lalu pandangannya jatuh pada jam tangannya. “Aku akan mengirim rudal rusia sekarang juga di gedung teater dimana kau berada!” “Haaah?” Alverno memandangi sekitar tempat tersebut, sialnya dia mendadak lupa jalan menuju teater seiring suara cempreng adiknya yang super menyebalkan di muka bumi itu mengancamnya dengan rudal rusia. “Kau pun akan ikut mati jika kau mengirim rudal ke gedung tua ini, Claudia,” ujar Alverno seraya menghentikan Claudia yang menghitung. Tolong jangan di remehkan gadis manja yang diam-diam seorang peretas handal yang bisa mengaktifkan satu senjata rahasianya yang Alverno simpan di suatu tempat yang sialnya diketahui oleh gadis manja tersebut. “Ck! Aku sudah berada di hotel, Alverno Stone!” “Apaah?” seru Alverno keras. “Bagaimana bisa?” Claudia kembali melanjutkan hitungannya sementara Alverno menggeram marah. “Eh, bocah. Lo pikir kakak lo ini Genie (Nama jin di film aladin) Bisa sekejap mata sampai hotel, hah?” “I don’t care! Cepat atau aku akan—” Alverno menunduk saat mendengarkan suara ledakan. “Ck! Claudia sialan! Nyidam apa bibiku sampai anaknya otaknya criminal semua!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN