"Maafkan aku Miss. Liz."
Emily mengawali percakapannya di ruangan dosen. Berdiri dengan kepala tertunduk, tidak sanggup melihat wanita berambut pirang duduk dari balik meja itu dengan tatapan menagih penjelasan.
Di kampus, Liz Brown memang dikenal sebagai Dosen yang sulit untuk diajak kompromi mengenai tugas, sekalipun pada mahasiswa pintar peraih beasiswa seperti Emily.
Liz duduk bersandar memandang wanita cantik berambut panjang di hadapannya sambil menggeleng. Menurutnya, Emily Wilson adalah mahasiswi tingkat akhir yang selalu semangat menghadiri kelas dan mengumpulkan tugas, tapi kali ini Emily mengecewakan sekaligus membuatnya geram. Emily tidak menghadiri kelas dan belum mengumpulkan tugas yang dipastikan adalah tugas terakhir yang ia berikan untuk mahasiswa tingkat akhir. Dan, untuk kesekian kalinya ia harus bertindak tegas.
"Aku tidak butuh alasanmu, Emily." Liz membalas ucapan Emily dengan nada tegas. "Aku lelah mendengar seribu satu alasan mahasiswa yang tidak menghadiri kelasku. Sekarang berikan tugasmu."
Emily tertegun, Liz sudah berbaik hati kepadanya sekarang. Mungkin ia mahasiswi pertama yang mendapat dispensasi karena tidak menghadiri kelas tanpa diintrogasi seperti yang terjadi terhadap kawan-kawannya yang sering mendapat hukuman. Bukankah dia sangat beruntung?
Senyum Emily mengembang, dengan cepat tangannya merogoh tas. Ia mengambil beberapa lembar kertas yang sudah dijilid menjadi satu lalu memberikan tugasnya dengan hormat ke arah Liz yang segera menerima dan membaca.
“Kali ini kau kumaafkan Emily, tapi tidak untuk empat kali pertemuan lagi di kelasku,” kata Liz mewanti-wanti. “Kau paham?”
“Paham, Miss.” Emily menjawab cepat, menghilangkan senyumnya dan berharap Liz tidak berubah pikiran.
Setelah memberikan laporan itu Emily merasa lega, tapi sayangnya permasalahan besar lainnya belum ia selesaikan dan belum mendapat solusi. Setelah urusannya selesai, Emily pamit dan beranjak dari ruangan Liz. Mengingat hutang $1.000 yang harus ia bayarkan esok hari, tujuan utamanya sekarang adalah bertemu Tom, satu-satunya pria yang bisa membantunya sekarang.
Tanpa menunda waktu Emily berlari menuju kantin, pandangannya menyusuri tempat yang luasnya seperempat dari lapangan sepak bola itu tapi sayangnya ia tidak menemukan pria berambut gondrong itu di sana. Ia berlari menuju taman di depan gedung kampus, beberapa kawannya memang berada di sana tapi tidak dengan Tom.
“Mungkinkah dia sudah pulang?” Emily merogoh tas mengambil ponsel.
Setelah mendengar nada sambung dan tidak lama panggilannya diangkat, Emily mendengar suara Tom dengan napas terengah-engah. “Kau di mana? Aku mencarimu sejak tadi, Tom.”
Deru napas Tom tidak berubah. “Aku di Rumah sakit, Emi.” Tom menjawab cepat. “Aku menemukan nenekku dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri di rumah lalu aku membawanya ke rumah sakit. Aku takut jantungnya bermasalah lagi seperti dulu,” jelasnya setengah berlari mengikuti beberapa perawat membawa neneknya menuju IGD. “Kau dari mana? Sejak tadi aku menghubungimu setelah Marge memberiku kabar. Kau baik-baik saja?” Sempat-sempatnya Tom menanyakan kabar Emily yang pagi tadi sempat membuatnya cemas dan menanti.
“Ya. Sebenarnya aku ingin bicara denganmu tapi ....” Emily tidak sanggup melanjutkan kata-katanya mengingat Tom juga mempunyai kewajiban untuk membiayai pengobatan neneknya yang baru saja masuk rumah sakit. Ia pun tahu Tom mempunyai kewajiban yang sama seperti dirinya, membiayai kuliah setelah ibunya pergi dan menikah dengan pria duda tapi tidak pulang-pulang selama dua tahun ini. Emily menjadi ragu. Harapannya seakan pupus untuk mengadukan masalahnya pada Tom.
“Tapi apa?” tanya Tom dari seberang sana.
Emily menggelengkan kepala, tidak sadar sedang bicara melalui panggilan ponsel, bukan interaksi langsung. “Tidak ada apa-apa.” Ia menolak menjawab jujur, tidak ingin menjadi beban Tom di saat waktunya tidak tepat. “Bye, Tom. Aku akan meneleponmu nanti.” Mematikan panggilan dan langkahnya terhenti melihat gerbang kampus yang terbuka lebar, mengingatkan pada gerbang rumah mewah Allan Anderson.
Harapan kedua Emily adalah bos tempatnya bekerja. Ia harus mendapatkan $1.000 malam ini, setidaknya bisa memperlambat waktu selama sebulan untuk mencari pekerjaan yang gajinya lebih besar lagi dan tentu saja menolak tawaran Allan menjadi slave.
Kaki Emily melangkah panjang keluar kampus menuju halte bus. Setelah beberapa menit menanti lalu menaiki bus yang membawanya menuju sebuah tempat. Ia berharap seseorang bisa menolongnya hari ini, untuk mengulur waktu demi satu tujuan. Menghindar dari Allan Anderson.
❤❤❤
Gelengan kepala memberi isyarat bahwa harapan Emily kandas setelah mencoba mendapatkan pinjaman dari George, dengan alasan pemilik coffee shop itu baru saja membeli kopi kualitas nomor satu dari Indonesia.
“Maaf, Emi. Aku sungguh-sungguh sedang mengalami masa sulit bulan ini. Bahkan untuk membayar gaji kawan-kawanmu saja aku harus meminjam dari seseorang. Maaf aku tidak bisa membantumu.” George menatap iba Emily tapi sayangnya ia tidak bisa membantu selain masih menahannya untuk tetap bekerja di kedai kopi miliknya.
Tidak ada yang bisa Emily perbuat kecuali mengembuskan napas kecewa dan pasrah mendengar penuturan George. Ia mencoba tersenyum dan menyakinkan diri akan ada orang lain yang bisa menolongnya hari ini.
“Baik, Sir.” Emily bangkit dari sofa. “Aku permisi dulu. Aku harus menemui kawanku dan kurasa dia sedang menantiku di kafe,” pamitnya yang memang tidak bisa berlama-lama, mengejar waktu sebelum hari berganti untuk mendapatkan $1.000.
Setelah Emily keluar dari rumahnya, George menaruh kaki dan menyilangkannya di atas meja. “Kalaupun aku memberi pinjaman kepadamu, aku tidak yakin kau sanggup membayarnya, Emily,” gumamnya yang tidak lama tertegun melihat ponselnya bergetar.
George kembali duduk tegak, meraih ponsel lalu tersenyum lebar setelah membaca sebuah nama di layar. “Hallo, Sir.”
❤❤❤
Happy Club, Washington
“Kenapa? Kau tidak nyaman memakai baju itu?” Jessie memandang Emily dari pantulan cermin toilet karyawan sembari mengoleskan bibirnya dengan lipstik berwarna merah terang. Ia menggeleng melihat Emily berulang kali menurunkan rok karena merasa tidak nyaman dan rok itu terlalu pendek, begitu juga dengan baju atasan tanpa lengan yang memamerkan pusarnya.
Emily mendengus dan menyerah. Rok seragam yang ia pakai bahannya tidak mengendur. Panjangnya tetap seperti tadi, di atas lutut. Ia melirik Jessie, sahabatnya. Sama seperti Tom, sahabat karib sejak Junior High School (SMP). “Bagaimana bisa kau bertahan bekerja di klub dengan memakai baju seperti ini selama setahun, Jess?” Ia menyilangkan kedua tangan melihat Jessie mengatupkan bibir dan memastikan lipstik itu melekat sempurna di bibirnya yang sensual, salah satu bagian tubuh Jessie yang paling mengagumkan selain buah dadanya yang montok seperti yang terlihat jelas dari belahan krah baju seragamnya.
Jessie menoleh membalas tatapan Emily. “Karena gajiku besar bekerja di sini, Emi sayang.” Lalu menaruh lipstik dan bedak padat di dalam tas kosmetik model pouch. “Mereka membayar dua kali lipat daripada gajimu di kafe Chloe. Walau .…” Memandang Emily dari ujung kaki dan rambut. “Kau harus memakai baju seksi sebagai waitress di sini. Tapi aku sama sepertimu saat awal bekerja, merasa risih mengenakan baju seksi dan berdandan tebal dengan make up setiap malam. Rasa risih itu akan hilang setelah kau menerima gaji, Emi. Belum lagi jika kau menerima tips dari pengunjung sini yang rata-rata pengusaha, aku yakin kau akan betah,” kata Jessie, menyakinkan Emily yang terlihat ragu.
“Aku membutuhkan uang itu besok pagi, Jess.” Emily menatap Jessie penuh harap seperti saat pertama bertemu sore tadi di kafe. “Tidak bisakah kau meminjamkan uang itu hari ini? Aku tidak membutuhkan pekerjaan ini, tapi $1.000 yang harus aku bayar besok pagi. Jika tidak, aku ....”
“Aku akan membantumu setelah selesai bekerja,” sela Jessie cepat, berdiri di depan Emily dan memegang kedua bahunya. “Aku akan memberikan uang tips yang kudapatkan hari ini untukmu, Emi. Seperti yang kau tahu, aku sama sekali tidak punya tabungan. Aku lebih menyukai menghamburkannya membeli baju atau kosmetik mahal. Kau mau bersabar 'kan?”
Suara embusan napas Emily terdengar pasrah. “Ya. Aku akan bersabar.” Mau tak mau ia mengiyakan ucapan Jessie walau tidak bisa membayangkan bekerja di klub, menjadi waitress dengan baju seksi yang sudah ia kenakan hanya untuk mendapat uang banyak secara instan.
Jika saja mendiang ayah ibunya melihat, mereka pasti menangisi dirinya yang harus membayar hutang $1.000 besok pagi dengan cara seperti itu. “Bagaimana jika uang itu tidak terkumpul $1.000 malam ini, Jess? Ke mana aku harus mencari sisanya?” Lagi-lagi wajah Emily memperlihatkan kecemasan yang belum tentu terjadi.
Secara perlahan cengkraman Jessie merenggang, ia membuang wajah sebentar. “Aku akan merayu bos atau manajerku untuk meminjam sisa uang itu,” katanya serius.
Senyum Emily mengembang lalu memeluk erat Jessie. “Terima kasih kau sudah mau membantu, Jess. Aku tidak tahu dengan siapa lagi mencari pinjaman sebesar itu. Aku sungguh-sungguh bingung.”
"Emi," Jessie melepaskan pelukan Emily dan menatapnya serius lagi. “Sejak sore kau selalu menyebut nominal hutang itu tapi tidak dengan nama orang pemilik piutang itu.” Ia mulai mencurigai Emily menutupi sesuatu darinya. “Sekarang katakan padaku dengan siapa kau berhutang Emi? Apakah nominal itu bukan nominal yang sesungguhnya?” Ia kembali memegang kedua bahu Emily yang terlihat tegang, wajahnya tertunduk dan menggeleng. “Siapa dia, Emi? Jawablah--”
“Jessie Simpson?”
Mendengar suara sahutan itu berasal dari arah pintu toilet karyawan yang terbuka, memaksa mereka berdua menoleh ke arah wanita berkulit hitam yang berdiri di baliknya dengan tangan memegang knop pintu. “Sampai kapan kau berada di toilet? Pengunjung sudah mulai berdatangan, Jess,” kata wanita itu mengingatkan lalu melirik Emily. “Apa dia pengganti Deborah malam ini?”
“Ya, Nancy. Dia sahabatku sejak SMP. Namanya Emily Wilson,” balas Jessie, melirik Emily. “Dia Nancy, supervisorku.”
“Hai, Nancy,” sapa Emily, melihat Nancy tersenyum.
“Hai, Emi. Bisa kau mulai pekerjaanmu sekarang?” balas Nancy yang enggan basa-basi mengingat klub sudah diramaikan pengunjung.
Jessie mengangguk. “Tentu. Kami akan keluar sebentar lagi,” celetuknya.
“Sekarang, Jess.” Nancy memaksa.
Jessie memutar bola matanya. “Baiklah, Cantik.”
Nancy menunjuk wajah Emi lalu menunjuk bibirnya sendiri. “Lipstiknya terlalu soft. Aku ingin kau seperti Jessie,” pintanya tegas. “Aku tunggu di luar sekarang.” Lalu beranjak meninggalkan mereka dengan tergesa-gesa. Ia keluar dari ruangan karyawan dan kembali memasuki ruangan yang diramaikan dengan dentuman musik dan lampu yang bersinar warna warni menyapu pengunjung yang sudah menari di bawahnya.
“Ini baru oke,” ucap Jessie menaruh kembali lipstick miliknya ke dalam pouch setelah memolesnya di bibir Emily. “Ayo kita keluar sekarang, Emi. Demi $1.000 malam ini.” Jessie memberi semangat lalu keluar dari ruangan karyawan setelah menaruh pouch ke dalam loker.
Pertama menapakkan kaki ke dalam ruangan klub, Emily seperti berada di sebuah tempat antah berantah. Suara musik yang memekakan telinga, warna warni lampu yang bersinar dan berkedap kedip serta beberapa pengunjung yang menari dengan bebas tanpa beban. Tidak seperti dirinya yang malam ini mengambang angka $1.000 di atas kepalanya. Sebuah beban yang akan membuatnya sulit tidur.
Selain melihat pengunjung yang berjoget, ia juga melihat pengunjung lainnya duduk dan minum bersama partner mereka baik pasangan ataupun beramai-ramai bersama teman.
Emily mendongak ke lantai atas, ia melihat wanita menari, meliukkan tubuh pada sebuah tiang mengenakan pakaian seksi. Disana tertulis VIP, berbeda dengan yang ada di lantai bawah.
“Itu ruangan VIP,” kata Jessie memberitahu, melihat pandangan Emily ke atas. “Rata-rata yang duduk di sana pengusaha, pejabat atau orang penting. Jika kau mengantarkan minuman ke sana, kau akan mendapatkan tips yang besar, Emi. Berdoa saja kau bisa mengantarkan minuman itu ke sana,” tambahnya lagi lalu menggenggam tangan Emily. “Kita harus ke sana sekarang.” Mengajaknya menuju meja Bartender.
“Antarkan ini ke meja 13, Jess,” titah Nancy menyodorkan nampan yang berisi empat gelas berisi bir dan cemilan.
Jessie menerima. “Baik, Nancy.” Ia melangkah menuju meja paling sudut yang sudah diisi dua pasang pengunjung yang usianya tidak jauh dengan dirinya.
Jessie menaruh pesanan mereka. “Ini untuk kalian, Guys,” ucapnya sambil tersenyum.
Jessie berbalik melihat seorang pria berjalan dikawal empat pria berbadan tegap dan satu orang pria bertubuh tinggi kurus menuju lantai atas. Seketika matanya membulat dan tersenyum. “Oh My God. Ini kesempatanmu mendapat tips besar, Emily,” gumamnya yang langsung setengah berlari menuju meja bartender.
Tiba di sana, Jessie tidak melihat Emily. “Mana Emily, Nancy?” tanyanya pada Nancy yang membaca secarik kertas kecil.
“Dia baru saja mengantarkan pesanan di lantai atas,” sahut Nancy, pandangannya lekat pada kertas itu.
Senyum Jessie kembali mengembang. “Apa ruangan VIP nomor tiga?” harapnya.
Nancy menggeleng. “Bukan tapi nomor empat.”
“Apa?!” Tak sesuai harapan Jessie. “Siapa yang mengisi ruangan itu?!” tanyanya sedikit memaksa.
Nancy mengangkat wajah. “Rombongan Robert. Kenapa?”
“Oh sial!” umpat Jessie, menaruh nampan di atas meja bartender. “Dia dalam masalah besar!” dengan cepat Jessie melangkah panjang menuju lantai dua walau mengabaikan panggilan Nancy.
“Jessie, apa yang kau lakukan?! Kau harus mengantarkan ini?!” Nancy setengah berteriak dengan tangan memegang nampan berisi beberapa gelas bir walau melihat Jessie setengah berlari menaiki tangga. Ia melirik ke arah bartender yang sejak tadi memperhatikan mereka. “Apa yang sudah kau ketahui tentang rombongan Robert, Bob?” tanyanya mencari tahu pada Bob, Bartender pria berkebangsaan Portugal itu.
“Mereka sering melecehkan waitress, Nancy,” jawab Bob menggeleng kecewa.
Mata Nancy membulat. “What?! Kenapa kau baru menceritakan itu sekarang?! Kenapa tidak sejak kemarin?!”
“Aduh!” Emily meringis ketika seorang pria berbadan tegap menyenggol bahunya saat akan memasuki ruangan VIP nomor empat, bir di atas nampannya hampir tumpah walau ia berhasil menyeimbangkan tubuh lagi.
Pria yang menyenggolnya tidak meminta maaf, ia hanya terdiam mencermati wajah Emily lalu berlalu dan kembali berjalan menuju ruangan sebelah.
“Sial. Dia sudah menabrakku tapi tak meminta maaf!” gerutu Emily menatap sinis pria itu yang sudah ke dalam ruangan.
Dengan hati-hati Emily membuka pintu ruangan empat dan pandangannya melihat beberapa pria duduk di sofa sudah ditemani dengan beberapa wanita mengenakan mini dress.
Emily berusaha bersikap santai walau tiba-tiba pria-pria itu bersiul melihat kedatangannya. Ia menaruh gelas-gelas berisi bir itu di atas meja walau sempat melirik pria-pria itu berbisik sambil tertawa kecil seakan sedang membicarakannya sekarang.
Ini pasti karena bajuku tidak ada bedanya dengan p*****r-p*****r itu! Emily menggerutu dalam hati melihat penampilan p*****r itu hampir memamerkan seluruh d**a mereka dari balik mini dress yang modelnya norak.
“Kau pasti pelayan baru disini,” tebak salah satu pria yang berambut pirang dan mirip aktor pemeran Mac Gyver. Tokoh Agen detektif idola ayah Emily semasa hidupnya yang kerap menonton film serial itu setiap malam melalui vcd player.
“Aku permisi dulu,” sahut Emily, bermaksud melangkah tapi langkahnya tertahan ketika salah satu dari mereka bangkit dan mencengkram salah satu tangan Emily. Pria yang berkulit hitam berjalan menuju pintu lalu menguncinya. “Lepaskan aku!” teriak Emily, melihat pria yang bicara tadi bangkit dan berjalan mendekatinya sambil menyeringai. Emily melirik pria lainnya dan p*****r-p*****r itu menertawakan dirinya.
“Aku tiadak akan melepaskanmu sebelum kau bermain dengan kami, Nona,” kata pria tadi, memegang dan mengangkat dagu Emily. “Aku akan membayarmu malam ini karena kau .…” Ia mendekatkan bibir ke telinga Emily. “Sudah menggodaku.”
“Tidak!” Emily berteriak bersamaan dengan suara pintu didobrak dari luar.
Emily terkejut melihat empat pria berbadan tegap dan salah satunya adalah pria yang menyenggolnya tadi. Ia juga melihat Jessie di sana.
“Apa mau kalian?!” teriak pria yang menggoda Emily, membulatkan mata ke arah mereka yang memasuki ruangan lalu berjalan ke arahnya. “Wanita ini milikku. Kalian tidak berhak menolongnya karena dia sudah kubayar mahal malam ini!”
“Sebelum kau membawanya kau harus membayar satu juta dollar padaku, Bung,” celetuk seorang pria tampan memasuki ruangan dengan langkah tegap dan gagah. Ia tersenyum lebar ke arah pria-pria tersebut sambil menyeringai. “Karena wanita itu milikku. Emily Wilson adalah milikku.”
Mata Emily membulat melihat pria yang berjalan tegap dan penuh percaya diri itu adalah pria yang sedang ia hindari sekarang. Pria yang menjadi alasan bekerja sebagai waitress malam ini dan pria itu adalah .…
“Allan?”