“Sial!” umpat pria mirip Mac Gyver itu melangkah mundur setelah tahu lawan mereka Allan Anderson. Pengusaha ternama di Amerika yang tidak segan membuat musuhnya bertekuk lutut. Pria yang sulit dikalahkan karena banyak memiliki kekuasaan sementara dirinya hanya manajer yang bekerja di perusahaan permen, perusahaan yang tidak sebanding dengan perusahaan raksasa milik Allan yang sudah lama malang melintang di dunia bisnis.
Tidak hanya Robert, pria yang lain yang merupakan teman satu kantornya juga melangkah mundur ketika Allan berjalan penuh percaya diri mendekati Emily.
“Sial. Dari mana dia tahu aku bekerja di sini?” gumam Emily yang tak lama melihat Perrie memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. “Oh tidak , pasti ulah Perrie.” Ia memutar bola matanya yang menduga Perrie sudah melaporkan segalanya pada Allan.
Allan meraih dan menarik tangan Emily. “Ikut aku. Tempatmu bukan di sini,” ajaknya menarik paksa Emily.
“No. Lepaskan aku!” Emily berusaha melepaskan genggaman Allan walau kedua kakinya mengikuti langkah Allan menuju keluar ruangan VIP dan menjadi perhatian Robert dan teman-temannya, begitu juga dengan Jessie yang melihatnya tergangga tidak percaya.
“Oh My God. Kau harus menjelaskan ini semua padaku, Emily,” gumam Jessie yang hanya bisa melihat Emily setengah berlari mengikuti langkah Allan menuruni tangga.
“Lepaskan aku!” Emily melepas genggaman tangan Allan dan berhasil. Ia menatap wajah Allan yang terkena sinar lampu warna-warni terdiam serius menatapnya. “Aku tidak tahu dari mana kau bisa menemukanku di sini, Sir. Tapi aku bekerja di sini karena harus membayar hutang $1.000 itu untukmu besok pagi. Jadi, sebaiknya kau beri waktu untukku setidaknya sampai jam dua malam ini,” pintanya setengah berteriak dan kembali menyindir tentang masalah hutang itu lagi.
Allan tertawa dan membuang wajah. “Kau salah, Emily.” Ia menunjukkan arloji dengan jari telunjuk. “Waktumu dua jam lagi. Tepat jam dua belas sudah memasuki pergantian hari dan kau harus membayarnya tepat jam dua belas.” Ia menyeringai puas melihat mata Emily membulat karena kaget.
“Apa? Bagaimana bisa kau membuatku membayar tepat jam dua belas!” Ucapan Emily terhenti, mencoba mengingat surat kontrak itu lagi. Untungnya daya ingatnya tajam sehingga ia mengingat jelas isi surat kontrak itu, tapi sayangnya ia ceroboh. Di dalam surat kontrak itu memang menerangkan jika tepat jam dua belas malam harus membayar hutang sebesar $1.000, lebih dari itu bunganya akan bertambah.
Emily berkacak pinggang dan memutar bola matanya kesal. “Kau memang lintah darat sejati, Sir.” Ia menggerutu, melihat senyum Allan semakin mengembang puas. “Baiklah. Aku akan membayar tepat jam dua belas malam ini.” Dengan terpaksa ia mengiyakan ucapan Allan dan yakin bisa mengumpulkan uang itu dua jam lagi.
Allan mengangguk setuju walau ragu pada Emily. “Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu di sini.” Allan tersenyum lebar mengatakan kalimat itu pada Emily yang tidak lama menghela napas kecewa dan menggeleng.
"Terserah anda." Emily membalas, berjalan menuju meja bartender sambil bergumam diikuti Jessie yang berlari kecil memanggilnya setengah berteriak. "Kau tidak akan sanggup menungguku selama dua jam, Allan," gumamnya fokus berjalan tanpa menghiraukan Jessie.
"Emily!" Jessie berhasil menghentikan langkah Emily setelah berhasil menarik tangannya dan memaksa Emily berbalik. "Ceritakan padaku ada hubungan apa kau dengan Allan Anderson?" Ia Menatap Emily dan meminta penjelasan. Baginya penjelasan Emily sangat penting.
Emily menghela napas dan mengembuskannya pelan. "Hanya hubungan pertemanan biasa saja, Jess," sahutnya setengah berteriak mendengar musik semakin mengalun kencang seakan memaksanya harus semangat mengumpulkan uang malam ini.
Pertemanan? Ya, pertemanan dalam hubungan hutang piutang, Emily.
Emily melirik ke arah Allan yang berjalan menuju meja kosong yang hampir diduduki pengunjung lain tapi dicegah oleh keempat bodyguardnya. Allan duduk di sana dan mengawasinya dari jauh.
"Oh Lord. Dia benar-benar melakukannya," gerutu Emily kembali berjalan untuk melanjutkan pekerjaannya lagi.
Jessie menggeleng mendengar jawaban Emily. "Aku tidak percaya," gumamnya, kembali mengejar Emily yang sudah tiba di meja bartender. "Katakan padaku dengan jujur, Emi. Allan Anderson adalah tamu langganan klub ini. Walaupun setiap tahun dia berganti kekasih, ia tak pernah membawa wanita ke klub. Ia bahkan tidak pernah memesan p*****r seperti Robert, pria yang tadi menggodamu," jelas Jessie, menatap Emily serius dan masih penasaran. "Jelaskan ucapan Allan tadi padaku, Emi."
Bob menyodorkan nampan berisi beberapa gelas bir, menaruhnya di atas meja dan Emily bersiap mengambilnya setelah melihat nomor meja di atas nampan.
"Akàn aku ceritakan nanti, Jess. Aku harus bekerja dan membayar hutangku dua jam lagi." Emily bergegas berlalu meninggalkan Jessie yang tercengang.
"What?! Dua jam lagi?! Bukankah kau bilang besok pagi?!" Jessie berbalik dan melihat Emily sudah berjalan menuju meja yang tidak jauh dari meja Allan.
Emily berjalan melintasi meja Allan. Pria itu terus mengikuti gerak langkah Emily sejak ia menaruh minuman di atas meja, menerima tips hingga kembali ke meja bartender. "Sial. Sampai kapan dia terus mengawasiku," umpat Emily lagi kesal, melihat Allan masih melirik ke arahnya, memperhatikannya selayaknya tawanan.
Emily kembali meraih nampan. Melihat nomor meja membuatnya ragu untuk mengantarkan pesanan pengunjung itu. Ia enggan mengantarnya, tapi melihat Nancy yang sedang menuruni tangga dari lantai atas ia berubah pikiran. "Aku harus profesional demi $1.000," gumamnya menyemangati diri sendiri.
Emily meletakkan enam gelas bir di atas meja. Ia melirik Allan tertawa kecil melihat dirinya dari bawah sampai atas.
"Kau tidak pantas memakai baju itu," cibir Allan mengangkat sudut bibirnya sebelah. "Begitu juga dengan makeupmu," tambahnya lagi, melihat penampilan Emily terlihat sama murahannya dengan wanita-wanita p*****r tadi.
Emily menjinjing nampan, mengembuskan napas pelan lalu menadahkan tangan. "Anda tidak memberiku tips, Sir?" Ia mengabaikan ucapan Allan. Menagih seperti pada pengunjung lainnya yang memberi tips tanpa ia meminta.
"Tips?" Allan tertawa melirik Perrie. "Kau lihat, Perrie. Dia menagihku tips."
Perrie pun tertawa sebentar melihat kebodohan Emily di depan mereka.
Emily melipat kedua tangan. "Ya, tips. Memangnya kenapa? Anda pengunjung di sini, setidaknya anda memberiku tips." Ia melawan Allan karena tahu mereka tidak sedang berada di mansion mewah melainkan di klub. Dan, ia tahu klub itu bukan milik Allan. Harapnya seperti itu.
Allan bangkit diikuti keempat bodyguard dan Perrie. Ia maju dua langkah mendekati Emily yang spontan mendongak. "Tidak ada tips, Emily. Karena kau berhutang $1.000 malam ini. Dan waktumu .…" Melirik arloji lalu tersenyum sinis. "Tersisa satu setengah jam lagi."
"Apa?!" Emily mengepalkan tangan kesal. Bukan pada waktu yang berjalan cepat tapi Allan yang tiak memberinya tips, uang yang ia harapkan bisa membayar hutang itu malam ini. "Selain kau perhitungan ternyata kau juga pelit, Tuan Allan Anderson." Ia berbalik meninggalkan Allan yang menyeringai. "Sial! Kau tidak ada bedanya dengan pria tadi, Allan!" Emily mengumpat kesal sambil berjalan menuju meja bartender, melihat Nancy menanti dan menatapnya serius dari jauh.
“Emily.” Nancy meraih tangan Emily cepat dan menatap dengan wajah serius. “Aku menyukai pekerjaanmu malam ini tapi .…” Ia mengembuskan napas berat dan kecewa. “Robert komplain pada kami dan mengatakan kau tidak melayaninya dengan baik. Aku minta maaf ... kau harus mengakhiri jam kerjamu malam ini, Emi.”
“Apa?!” Jessie yang baru saja tiba sehabis mengantarkan pesanan, terkejut mendengar ucapan Nancy yang tiba-tiba dan terdengar tidak masuk akal, “Itu bukan salah Emily, Nancy, tapi Robert dan teman-temannya yang m***m itu sudah mencoba melecehkan Emi. Mereka menyentuh Emily dan hampir memperkosanya. Jika saja Allan Anderson tidak datang menolong Emi, aku akan menuntut Robert. Ini jelas kesalahan dan aku menolak, Nancy!” Jessie keberatan. Sebagai saksi sekaligus sahabat memberi penjelasan apa yang sudah ia lihat bersama rombongan Allan yang sudah membungkam Robert dan menolong Emily. Entah dari mana Nancy mengambil kesimpulan Emily penyebab kericuhan itu tapi Jessie yakin jika Robert sudah mengancam Nancy dan membuat seakan Emily yang bersalah.
Nancy membuang wajah sebentar, ia memang berat mengatakan kalimat itu tapi terpaksa harus mengatakannya sekarang. “Maafkan aku, Jess. Aku hanya melaksanakan tugasku saja.”
Jessie menggeleng. “Nancy ... sudah 2 tahun aku mengenalmu dan kau tidak pernah salah mengambil keputusan, tapi kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Katakan padaku kenapa?!” Ia memandang Nancy meminta penjelasan dan ketegasan, merasakan Nancy bersikap tidak seperti biasanya yang selalu adil dalam memutuskan sesuatu. Tapi, kini wanita yang tidak lama lagi akan menikah itu seakan menutupi sesuatu.
“Hentikan, Jess,” celetuk Emily menghadang Jessie melanjutkan debat mengenai dirinya. Perbuatan yang menurut Nancy sudah merugikan klub. “Baiklah. Aku menuruti permintaanmu, Nancy.” Emily menaruh nampan di atas meja tapi tiba-tibanya seseorang menarik tangannya cepat.
“Ikut aku.” Allan menarik Emily, membawanya menerobos kerumunan pengunjung yang semakin ramai.
Untuk kedua kalinya Emily meronta, tapi genggaman Allan kali ini lebih erat daripada tadi. “Lepaskan aku, Sir!” Emily meronta kuat-kuat. “Waktuku masih tersisa satu jam lagi. Aku pasti membayarnya!”
“Dengan apa?!” Allan berbalik, matanya membulat melihat Emily menghela napas dan membuang wajah dari tatapannya. “Kau baru saja dipecat, Emily. Dengan apa kau membayarnya?”
Emily mengeluarkan selembar dollar dari saku roknya. Menatap uang lima dollar membuatnya tidak bersemangat.
“Lima dollar tidak cukup untuk membayar denda. Sebaiknya kau menyerah dan ikut aku pergi dari sini. Aku muak melihat penampilanmu seperti ini.” Allan membalas, menarik tangan Emily lagi.
“Tidak! Aku pasti bisa membayarnya!” Sekali lagi Emily menolak, menahan langkahnya dan membuat Allan berbalik. “Aku mohon beri aku waktu. Aku akan membayarnya. Aku janji.” Emily memasang wajah memelas dan memohon toleransi Allan. Ia yakin Jessie bisa membantunya seperti yang tadi Jessie janjikan tadi, asalkan Allan bisa memperpanjang batas waktu pembayaran dari waktu yang seharusnya. Setidaknya satu hari lagi.
Allan menggeleng, setengah tertawa. “Maaf, aku biasa menaati kontrak dan itu juga berlaku untukmu. Sekarang sebaiknya kau ikut aku.” Dengan cepat ia mendekati Emily yang melangkah mundur.
“Kau mau apa?” Emily mundur, melihat tatapan Allan lebih serius daripada tadi.
Allan mendekat, mengangkat tubuh Emily, menaruhnya di atas bahu. Kepala Emily berada di belakang tubuh Allan sementara kedua kaki berada di depan.
“Turunkan aku!” Emily berteriak dan menjadi perhatian pengunjung. Begitu juga dengan Jessie dan Nancy yang sejak tadi memperhatikan mereka dari jauh.
“Tidak!” Allan membalas dan terus berjalan setelah keempat bodyguardnya memberi jalan, mempermudah langkah Allan menuju pintu keluar. “Kau sudah menjadi milikku hari ini, Emily.”
“No!”
❤❤❤
Tubuh Emily terjatuh di atas ranjang. Allan membawanya ke mansion mewahnya lalu melanjutkannya ke dalam sebuah kamar yang berada di lantai dua. Kamar mewah dengan perabot eksklusif dan terlihat mahal. Ranjang besar yang dilengkapi dengan ukiran kayu, meja hias dengan cermin persegi, lemari pakaian enam pintu dan sofa kulit yang terlihat nyaman.
Semua yang ada dalam kamar itu memberikan kenyamanan pada siapapun penghuninya tapi tidak dengan Emily.
“Ternyata kau berat juga, Emily.” Allan menepuk-nepuk bahu kanannya yang terasa pegal. Ia melihat Emily berusaha bangkit.
“Aku tidak memintamu untuk membopongku, Sir.” Emily mencoba bangkit tapi Allan mendorong, merangkak dan mengapit di atas tubuhnya hingga membuatnya kembali terbaring.
Wajah Emily merah padam merasakan hangat embusan napas Allan yang terlalu dekat menerpa wajahnya.
Namun Allan menikmati wajah merah Emily. “Aku terpaksa melakukannya karena kau milikku. Aku menjemput apa yang menjadi milikku,” balasnya sombong sambil menatap lekat Emily.
Merasakan hawa tubuh Allan yang berada di atasnya, jantung Emily berdetak kencang. Wajahnya merah padam dan terasa panas. Terlebih lagi merasakan embusan napas Allan membuat darahnya berdesir cepat, seperti menaiki rollercoaster yang melaju perlahan menuju kecepatan tinggi.
Kumohon jangan buat aku lemah di depan pria kejam ini, Tuhan.
Emily memohon berkali-kali dalam hati, mencoba tetap tersadar walau tidak dipungkiri Allan terlihat tampan meski kerutan terlihat di sekitar kedua matanya. Umurnya memang sudah tidak muda lagi tapi ia terlihat paling muda diantara pria yang seumuran dengannya, Termasuk ayahnya yang sudah tiada.
Emily berdehem. Sebisa mungkin ia mencoba bersikap normal walau sulit. Ia pun berkata, “Berarti kau mengikutiku?” tuduhnya yang yakin salah satu pesuruh Allan memberi informasi tentang keberadaannya malam ini. Dan itu sudah pasti terjadi untuk pria level atas seperti Allan Anderson, menyewa stalker, detektif atau pembunuh bayaran adalah hal lumrah dalam kehidupan mereka.
Tuduhan Emily membuat Allan membuang wajah dan tertawa kecil. "Sudah kukatakan bahwa kau milikku, Emily." Sekali lagi Allan mengingatkan keegoisannya pada Emily. Dan ia bangga. "Sekalipun kau bisa membayar $1.000 malam ini, kau tidak akan bisa melunasi sisanya dalam waktu sebulan, Sayang. Jadi ... sebaiknya kau menyerah dan jadilah budakku selama setahun ini.” Bukan ancaman, lebih tepatnya sebuah kalimat yang meyakinkan Emily untuk menyerah lalu menjadi miliknya dalam waktu setahun.
Allan menyeringai puas melihat Emily membulatkan mata dan terlihat kesal.
“Tidak!” Emily mendorong d**a Allan tapi sayangnya pria itu cekatan mencengkram kedua tangannya dan merentangkan di atas kepalanya. “Lepaskan!” Emily mencoba meronta tapi tidak bisa. Allan semakin mengeratkan cengkramannya sambil mengeraskan kedua rahang menatap dirinya yang juga membulatkan mata. “Kau kaya dan tampan. Kau bisa membeli wanita cantik yang kau suka, Sir. Sedangkan aku hanya …” Tiba-tiba air matanya mengembang, mengingat kehidupan dirinya tiak seperti wanita lain yang hidup bahagia. Hidupnya penuh kekurangan dan kemiskinan adalah teman sejatinya sampai saat ini.
Kali ini Emily tidak bisa menahan air matanya yang spontan mengalir. Dengan lirih, ia mengatakan ini, “Aku hanya wanita miskin yang berjuang untuk bisa lulus kuliah dan hidup. Aku bekerja untuk memenuhi itu semua dan kini aku juga akan berusaha membayar hutang ayahku secepat mungkin. Kumohon .. bebaskan aku.” Sekali lagi ia memohon, meminta dispensasi dan berharap Allan berbaik hati untuk mengabulkan pintanya. Untuk sekali ini saja.
Cengkraman Allan merenggang. Ia tidak menyukai melihat Emily menangis dan memperlihatkan betapa sulitnya kehidupan yang wanita itu jalani, tetapi ia tetap bersikap tegas karena hutang adalah hutang, seperti yang tertera di kontrak.
Allan bangkit, berdiri di dekat bibir ranjang melihat Emily bangkit dan tiba-tiba berlutut.
Dengan air mata yang masih mengalir dan wajah tertunduk, Emily memohon. “Kumohon beri aku waktu sebulan ini, Sir. Aku harus menyelesaikan kuliahku bulan ini. Setelah mendapat pekerjaan, aku janji akan membayar lunas hutang itu. Kumohon.” Emily menengadah, meminta iba tapi sayangnya Allan membuang wajah.
“Aku merasakan perutmu kosong saat membawamu tadi.” Allan mengabaikan permohonannya dan mengalihkan pembicaraan. “Mungkin kau belum makan malam sebelum bekerja. Tetaplah di sini, tunggulah makananmu dan jangan berpikir kau bisa pergi dari sini kecuali mendapat perintah dariku, Emily,” titahnya serius. “Karena aku tidak akan memaafkanmu lagi.”
Allan melangkah meninggalkan Emily yang bangkit perlahan. “Aku akan membahas ini besok pagi.” Ia menghentikan langkah di depan pintu, menoleh ke samping. “Selamat malam, Emily.” Membuka knop pintu lalu beranjak meninggalkan Emily di kamar.
Emily mengusap wajahnya yang basah. Ini pertama kalinya ia melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan di depan orang lain, bertekuk lutut dan memohon. Namun, kali ini ia terpaksa karena yakin Allan akan memberi dispensasi lagi. Setidaknya memundurkan satu hari untuk membayar denda.
Emily duduk di bibir ranjang. Mengedarkan pandangannya seluruh sudut ruangan kamar.
Sungguh beruntung yang menjadi istrinya.
Emily merebahkan setengah tubuhnya ke ranjang. “Istri?!”
Emily kembali duduk. “Kenapa tidak terpikirkan olehku, jika dia sudah memiliki istri? Dia memang tidak muda lagi, tapi .. dia tampan, kaya dan ... apa mungkin semua foto wanita di dinding itu adalah istrinya? Atau ... sama sepertiku?”
Emily berpikir keras tentang lukisan-lukisan wanita itu. Wanita cantik yang usianya tidak jauh darinya. Dan, ia sempat berpikir jika mereka semua adalah slave Allan. Wanita yang statusnya menjadi pemuas nafsu Allan atau partner di ranjang. Status yang ia hindari sekarang.
Mendengar ketukan pintu, Emily berhenti berpikir tentang Allan. Ia bangkit dan berjalan menuju pintu dengan dahi berkerut. “Apa dia lagi?” Menebak pria di balik pintu adalah Allan.
Karena tidak ingin banyak berpikir, perutnya terasa lapar dan lemah. Emily membuka pintu. Ia terkejut di depannya seorang maid membawa nampan yang isinya ditutupi tudung.
Emily memberi jalan. "Apa itu?"
Maid itu bergegas masuk. “Aku mengantarkan ini untuk, Nona,” ucap maid yang usianya sekitar tiga puluh tahun menaruh nampan itu di atas meja sofa. Walau tubuh maid itu sedikit tambun dan berambut pendek dengan pipi chubby, ia gesit melangkah.
Hidung Emily mengerucut, mencium aroma dari balik tudung mengugah seleranya. Ia memang merasakan sangat lapar tapi kali ini tidak sanggup menahan laparnya lagi.
Setelahnya maid itu pamit, tanpa menunda waktu Emily membuka tudung dan terkejut melihat seporsi spaghetti yang di taburi daging cincang dengan saus bolognese membuatnya tersenyum lebar. “Dia tahu saja kesukaanku.”
Sebelah tangan Emily mengambil garpu, mengaduknya hingga tercampur, memilinnya lalu melahapnya pelan.
“Ini spaghetti terlezat yang pernah ku makan. Thanks, Allan.” Ia pun melahap habis spaghetti itu hingga tidak menyisakan sama sekali bumbu yang melekat di dasar piring.
Setelah menghabiskan seporsi spaghetti, ia menuju kamar mandi yang isinya mewah dan eksklusif. Bathtub, shower dan wastafel. Semua terlihat mewah.
Karena sudah merasakan kantuk, Emily menggosok giginya. Allan sudah menyiapkan semua kebutuhannya di kamar mandi itu.
Setelah selesai, ia berjalan menuju lemari pakaian. Membuka satu persatu lemari itu walau isi dari setiap pintu membuatnya berdecak kagum.
Gaun pesta, baju santai, bikini, underwear, jaket dan baju tidur maupun lingerie. Semuanya masih terlihat baru.
Karena terbiasa tidur menggunakan tanktop dan celana pendek, Emily mendapatkannya di sana.
Walau mengenakan tanktop dan celana pendek, Emily sadar pakaian yang ia kenakan adalah merk terkenal.
Meskipun begitu, Emily tidak peduli. Ia memaklumi dirinya sedang berada di dalam istana milik Allan Anderson dan dia hanya calon slave saja. Tidak lebih.
Emily kembali menuju ranjang, setelah mematikan lampu dan membiarkan lampu di atas nakas menyala redup menemani dirinya yang terbiasa tidur dalam keadaan kamar gelap.
Tanpa menghitung domba, Emily terlelap dan bermimpi indah. Memimpikan seorang pangeran datang menaiki kuda putih mengenakan setelan jas. Ia tersenyum pangeran itu berjalan mendekat dan menampakkan wajahnya yang tampan walau seketika Emily terkejut dan memanggil sebuah nama.
“Allan?”
Emily terjaga, merasakan tubuhnya hangat dan berada dalam dekapan seseorang yang memeluknya dari belakang. Ia berbalik dan melihat pria itu tersenyum dengan tubuh setengah telanjang dari balik selimut lalu berkata,
“Good morning, Emily.”
Dan, nama itu kembali terluncur dari bibirnya. “Allan?”