Skakmat !

2620 Kata
Kedua mata Emily membulat melihat Allan Anderson terbaring dan tersenyum tanpa rasa bersalah. Ia menarik cepat selimut menutupi tubuhnya sampai batas d**a dan menatap tajam Allan. “Apa yang anda lakukan di sini, Sir?" Melihat Allan bangkit lalu terduduk dan bersandar di kepala ranjang. "Bukankah ini kamar tamu?!” Emily memastikan dan jelas ia masih berada di kamar yang sama dengan yang ia tempati sejak tadi malam. Allan setengah tertawa melihat wajah pucat Emily karena cemas. “Kau tidak perlu menutupinya, Emily. Baju seragam yang kau kenakan tadi malam lebih buruk daripada yang kau kenakan sekarang.” Ia melihat Emily membuang wajahnya yang merah padam. “Ini adalah rumahku, aku bebas mendatangi kamar siapa pun yang kusuka. Apalagi ... kau adalah slaveku sekarang, Emily.” "Apa?! Ini belum sah!" Emily menolak statement Allan geram. “Aku belum menandatangani surat perjanjian kontrak itu, Sir. Itu berarti aku belum resmi menjadi slavemu. Lagipula aku meminta keringanan waktu untuk membayar $1.000 itu hari ini. Apa kau lupa?!” tegas Emily. Ia tahu di sakunya hanya ada lima dollar, tapi ia yakin Jessie sudah mengumpulkan uang yang ia butuhkan sekarang. Itu berarti dirinya belum resmi menjadi slave dari pria tampan yang kini duduk di sampingnya hanya mengenakan bokser . Sebelah sudut bibir Allan terangkat ke atas. “Kau yakin bisa membayarnya hari ini?” Memastikan ucapan Emily. Ucapan sama dari ribuan orang yang berhutang kepadanya termasuk Emily. Anggukan kepala Emily adalah awal jawaban. “Ya. Akan aku usahakan membayarnya hari ini.” Menatap Allan serius. “Aku akan kembali menemuimu lagi. Jika hari ini aku tidak membayarnya aku--” “Be my slave,” sela Allan cepat, bangkit dari ranjang. “Kau harus menandatangani surat perjanjian itu dan kamar ini resmi menjadi milikmu selama setahun. Kau siap?” Emily menelan ludah melihat Allan berdiri di dekat ranjang. Ia tercengang melihat tubuh sempurna pria berusia empat puluh tujuh tahun itu tidak ada bedanya dengan pria seusianya. Dada yang bidang, otot-otot perut yang menonjol dan sebuah tato bergambar mahkota tepat di d**a kanan menggugah hasrat Emily untuk menyentuh. Entah kenapa akhir tatapan Emily tertuju tepat pada bokser Allan dan ia bisa melihat jelas bayangan kejantanan pria itu. Dia sempurna! Tanpa sadar Emily memuji dalam hati, tapi sayangnya kekaguman Emily terhenti ketika namanya disebut. “Emily?” Allan memanggilnya lagi, tangannya menutupi tubuh sempurnanya dengan kimono. "Um?" Emily terkesiap, mengerjapkan mata berusaha menepis kekaguman yang baru saja ia lihat. “Apa?” Meminta Allan mengulangi ucapannya lagi, mencoba melupakan apa yang baru ia lihat. Allan tertawa kecil. “Sebaiknya kau mandi. Aku menunggumu di halaman belakang rumah setengah jam dari sekarang.” Ia berbalik lalu melangkah menuju pintu. “Untuk apa?” Emily setengah berteriak, menghentikan langkah Allan yang sudah menekan knop dan pintu setengah terbuka. Allan menoleh ke belakang, melihat Emily berdiri di dekat bibir ranjang menutupi tubuhnya dengan selimut. “Membicarakan kontrak ini.” Allan menjawab singkat lalu keluar meninggalkan Emily yang mendengus kesal. “Kontrak? Sudah jelas aku akan membayar hutang itu hari ini. Kontrak apa lagi?!” gerutu Emily, menyibak kasar selimut itu lalu melangkah menuju kamar mandi. ❤❤❤ Allan duduk bersandar dengan dahi berkerut melihat Emily dari ujung kaki hingga kepala. “Ada apa? Apa ada yang aneh denganku?” Emily merasa Allan fokus pada pakaian yang ia kenakan dan membuat dirinya menjadi salah tingkah. Tangannya menurunkan ujung rok itu berharap menutupi pahanya yang mulus, tapi sayangnya panjang rok itu tidak berubah, seperti tadi malam. Allan duduk membungkuk, menggeleng dan berdecak. “Aku sudah menyiapkan baju sebanyak satu lemari itu untukmu. Apa itu tidak cukup? Apa kau lebih menyukai baju seragam itu daripada baju yang lain?” Ia sedikit gusar melihat penampilan Emily seperti tadi malam. Terlihat murahan dan tidak berkelas. Sejujurnya Emily tidak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan, tapi hanya itu miliknya, walau hanya meminjam dari Jessie. Ia pun membalas kekecewaan Allan dan membuang wajah. “Baju itu bukan milikku, Sir.” balasnya, membela diri dan mengakui baju yang memenuhi isi lemari di kamarnya tadi diisi dengan puluhan baju bermerek dan bagus. Baju yang selama ini menjadi idaman wanita. “Itu milikmu, Emily!” Allan setengah berteriak membalas sahutan Emily hingga membuat Emily, beberapa bodyguard dan Perrie yang berdiri di sampingnya terkejut. “Aku membelinya untuk kau kenakan. Jika kau tidak nyaman dengan baju yang memamerkan d**a dan pahamu, di sana sudah tersedia. Tidak ada alasan kau tidak bisa memakainya!” Suara Allan menggelegar karena kesal. Matanya membulat, bayangan garis uratnya terlihat di dekat pelipis. Ia murka, melihat Emily menolak semua yang sudah ia siapkan dan wanita itu harus menuruti segala kemauannya karena Emily miliknya. Emily menghela dan mengembuskan napas pasrah, memutar bola matanya cepat. “Baiklah aku akan memakainya nanti.” Ia terpaksa menuruti Allan walau merasa tidak nyaman karena kehadirannya hanya sebagai tamu. Bukan slave, meskipun baju yang ia kenakan sama dengan tidak nyamannya dengan yang sudah Allan siapkan untuknya. Allan menggeleng tidak setuju, ia mengangkat dagu ke arah dua bodyguardnya yang bergegas berdiri di sisi kanan kiri Emily dan mereka mencengkram kedua lengannya. Merasakan dirinya diapit dua bodyguard, Emily terheran dan tidak mengerti. “Ada apa ini?!” Ia menoleh ke kiri kanan melihat kedua bodyguard itu sambil meronta. “Lepaskan aku.” Ia menatap Allan yang memandangnya serius. “Bawa dia pergi dari sini. Pastikan dia kembali sudah mengganti baju itu,” titah Allan kepada mereka. Kedua bodyguard itu mengangguk. “Baik, Sir,” Mereka pun menggiring Emily yang terus meronta. “Batalkan perintahmu, Sir! Aku bisa menggantinya tanpa mereka.” Emily setengah berteriak, dan terpaksa mengikuti langkah kedua bodyguard itu. “Allan Anderson!” Ia menoleh ke belakang melihat Allan menggeleng dan duduk bersandar. “Sial!” umpatnya lagi. Sangat terpaksa Emily mengikuti langkah mereka yang kembali memasuki bangunan mewah itu, berjalan menyusuri koridor yang dindingnya memajang enam lukisan wanita cantik. “Aku yakin mereka juga pernah menjadi slavemu,” gerutunya kesal, melihat dua bodyguard Allan hanya terdiam dan fokus melangkah menuju tangga. “Kenapa kalian diam saja? Apa kalian sariawan? Atau Allan Anderson itu sudah mendoktrin otak kalian?” Melihat mereka bergantian tapi keduanya terdiam tidak menjawab. “Aku tidak menyangka dia mempekerjakan kalian yang bisu,” ledeknya, memancing mereka bicara tapi gagal. Langkah Emily terhenti di depan pintu kamar tempat ia tidur tadi malam. Ia melirik kedua bodyguard itu, menengadahkan kepala melihat raut wajah mereka yang tidak berubah, terlihat kaku. “Apa kalian mau mengintipku ganti baju?” Mereka berdua pun melepaskan cengkraman di lengan Emily lalu berdehem. “Terima kasih.” Emily membuka pintu kamar lalu masuk ke dalam dan menguncinya cepat. Emily melangkah dan membuka pintu lemari satu persatu mencari baju yang cocok. “Gaun? Aku tidak akan pernah memakai ini,” gumamnya melihat satu pintu itu terisi penuh dengan gaun baik dari yang long dress sampai yang midi dress, tapi anehnya gaun itu tidak ada yang memiliki belahan rendah atau tidak memperlihatkan sebagian dadanya seperti yang biasa wanita kebanyakkan kenakan, bisa dikatakan terlihat sopan tapi elegan. Sesuai selera Emily. Di pintu kedua berisikan serba atasan, baik untuk santai ataupun sedikit formal. Emily membuka pintu ketiga lalu menutupnya lagi karena berisikan pakaian tidur, piyama sampai lingerie ada di sana. Tepat pada pintu ke empat, ia mengambil sehelai celana jeans dan kemeja di pintu lemari sebelumnya. Ia bergegas mengganti pakaian itu lalu tersenyum. “Done!” Emily sudah siap dengan baju pemberian Allan Anderson. Seketika senyum Emily memudar, ia terdiam dan berpikir. “Apa dia akan mencatat baju yang kupakai ini ke dalam denda hutang ayah? Haruskah aku tidak memakainya?” Tiba-tiba menjadi bimbang dan takut. Satu sisi ia menyukai semua baju yang ada di dalam lemari ini, sisi yang lain ia takut semua fasilitas yang Allan berikan tidaklah gratis atau menambah beban hutang yang harus ia bayar. Emily tertegun mendengar ketukan dari balik pintu. “Ya, sebentar lagi!” Ia setengah berteriak menjawab ketukan itu yang menandakan mereka tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. “Hah! Jam delapan?!” Terkejut waktu cepat berlalu. Setengah jam sudah ia berada di kamar dan ia bisa membayangkan Allan memarahi kedua anak buahnya yang hanya menunggu di depan pintu. Emily setengah berlari, membuka pintu lalu berkata, “Aku sudah siap seka--” Ucapannya terhenti, terkejut melihat Allan berdiri dan menatapnya serius. “Maaf, aku bingung memilih pakaian. Baju di sana terlalu bagus untukku.” Ia membuang wajah, tidak sanggup melihat wajah Allan seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa dan Emily terlihat seperti kelinci yang tersudut pasrah. “Ikut aku.” Allan menarik kencang tangan Emily yang reflek mengikuti langkahnya yang panjang menuruni tangga. “Lepaskan aku, Sir!” Emily memohon walau langkahnya setengah berlari mengikuti Allan. “Aku melupakan baju seragamku. Aku harus membawa seragam itu.” Menoleh ke belakang melihat dua bodyguard tadi mengikutinya dari belakang. “Kau sudah dipecat, Emily!” Allan menghentikan langkah dan membalikkan tubuh dengan kedua mata membulat. “Mereka sudah memecatmu semalam. Itu sebabnya aku tidak menyukai kau memakai baju itu lagi. Selain itu kau terlihat .…” “Murahan?” sela Emily cepat. “Kau ingin mengatakan itu padaku bukan?!” Menebak pikiran Allan yang sudah menunjukkan ketidaksukaannya pada baju seragam yang ia kenakan semalam. Allan mengangguk. “Ya. Walaupun kau slaveku. Kau tidak boleh memperlihatkan tubuhmu pada orang lain kecuali padaku, Emily. Karena kau milikku. Milik Allan Anderson.” Ia mengeraskan kedua rahang dan menatapnya serius, memperlihatkan kesungguhan dan kesombongannya kepada Emily. Mendengar ucapan Allan, Emily tertawa remeh. “Aku belum menjadi slavemu, Tuan Allan Anderson yang terhormat. Sepulang dari sini aku akan kembali membawa sebelas ribu dan membayarnya padamu.” Tersenyum lebar serasa menanti keluar dari penjara. “Dengan senang hati aku akan menunggunya sebelum jam dua belas siang nanti, Emily Wilson.” Allan melirik Arloji. “Kau punya waktu empat jam lagi untuk membayar hutang itu.” “Sial!” Emily mengumpat, melihat Senyum Allan laksana Iblis yang baru keluar dari neraka. Allan kembali menarik tangan Emily. “Sebelum kau membayar hutangmu, kau harus mengisi perutmu terdahulu agar kau bertenaga mencari pinjaman itu pada temanmu.” Ucapan Allan seketika membungkam Emily. Skakmat! Emily merasa skakmat. Ia makin takut pada Allan dan pikirannya menjadi bercabang. Namun begitu, ia melangkah menuju meja makan sambil tertawa. “Selain kau orang kaya ternyata kau cenayang,” tuduhnya santai, langkahnya terhenti di sebuah kursi yang berada paling ujung di depan meja persegi yang memuat enam kursi. “Dan kau mirip Putri Aurora,” sambung Allan cepat, menarik kursi lalu menggoyangkan dagu. “Duduklah,” pintanya ramah. “Sekarang aku berubah menjadi kurcaci,” gumam Emily, menuruti Allan. Duduk di meja makan yang atasnya sudah tersedia beberapa menu sarapan. Sandwich, Oatmeal, Omelet, Muffin, Pancake dan Hashbrown sudah tersaji di sana, begitu juga dengan segelas s**u dan orange jus. Melihat banyaknya menu sarapan, membuat Emily menggeleng. Apakah setiap hari ia memakan semua? Oh Lord. Ini sungguh tidak adil. Di luar sana banyak wanita miskin yang jarang sarapan sedangkan dia memiliki menu sarapan yang lengkap seperti berada di restoran. Tunggu dulu, wanita miskin? Bukankah saat ini tidak ada wanita lain yang miskin selain aku?! “Kenapa? Kau tidak menyukainya?” Allan duduk di kursi paling ujung, tepat beberapa meter di hadapannya. Emily menggeleng. Tentu saja ia menyukainya. Seumur hidup ia belum melihat sarapan sebanyak ini kecuali berkunjung ke rumah neneknya yang berada di Arizona. “Tidak. Bukan aku tidak menyukainya, ini terlalu banyak untuk kuhabiskan, Sir. Kau bukan menyuruhku bertenaga mencari pinjaman, tapi membuatku gemuk setelah menghabiskan sarapan ini.” “What?!” Allan tertawa terbahak-bahak, hampir saja ia tersedak setelah meneguk s**u. “Aku tidak menyuruhmu untuk menghabiskan sarapan ini semua. Tapi pilihlah yang kau suka. Jika kau sanggup menghabiskan semua ... silakan, Emily. Aku menyukai slaveku kuat setelah menghabiskan sarapan.” Ia menyeringai dan melanjutkan minumnya. Emily menghela napas kesal. “Sudah kuduga kau akan mengatakan itu padaku.” Ia mengecilkan suara, meraih pancake lalu menyiramnya dengan syrup maple. Setelah menghabiskan beberapa lapis pancake dan sandwich, Emily bangkit setelah Allan mendekat lalu membawanya ke taman belakang rumah. Tiba di taman, Perrie sudah menyiapkan beberapa lembar kertas di atas meja. Sebuah dokumen penting yang bisa mengubah hidup Emily setelah jam dua belas siang. “Duduklah,” pinta Allan, tapi kali ini Perrie yang menarik kursi yang akan diduduki Emily. “Thanks, Perrie,” ucap Emily melihat Perrie tersenyum tipis. Ia terlihat tampan, hanya saja kaku. Seperti pria yang tidak pernah mengenal wanita. Allan mengambil secarik kertas, begitu juga dengan Emily yang memulai dengan kertas halaman pertama. “Di sini aku sudah memperbarui tentang surat kontrak mengenai penangguhan hutang per bulannya. Karena kau berjanji akan membayar hutang sebelum jam dua belas siang nanti dan itu berarti ....” Allan melirik arloji. “Tiga setengah jam lagi, kau wajib membayar $1.000. Kau sanggup?” “Aku sanggup,” balas Emily, tatapannya fokus pada kertas di depan wajahnya. Mencermati isi kontrak itu agar tidak ceroboh seperti kemarin. “Good.” Allan kembali mengkaji pasal berikutnya. “Jika kau datang lewat satu menit dari jam dua belas, secara resmi kau menjadi slaveku. Jika kau menjadi slaveku, kau harus mempelajari surat kontrak itu.” Allan menunjuk beberapa lembar kertas yang tergeletak di sebelah kiri. “Sebaiknya kau mempelajari dengan teliti, Emily sayang.” Emily mengangkat wajah lalu menggeleng. “Tentu, Sir. Aku akan mempelajarinya walau aku yakin bisa membayar hutang ayahku.” Kali ini Emily melirik arloji. “Karena waktuku terbatas, aku permisi sekarang.” Ia bangkit dan pamit. Allan tersenyum lebar. “Baiklah. Aku tunggu kedatanganmu sebelum jam dua belas. Semoga beruntung, Emily Wilson.” Mengangkat alisnya sebelah, menahan tawa melihat Emily menekuk wajah. “Tentu aku akan beruntung, Sir,” balasnya kesal lalu bergegas melangkahkan kaki meninggalkan mereka. “Kau mau kuantar?” Allan setengah berteriak melihat Emily berjalan tergesa-gesa. Emily menghentikan langkah, membalikkan tubuh. “Tidak. Terima kasih.” Melambaikan tangan lalu kembali berjalan. ❤❤❤ Emily memencet bel untuk kedua kalinya sambil menggerutu kesal. “Come on, Jessie,” keluhnya sejak tadi, menanti Jessie membuka pintu apartemen. Ketika akan memencet bel untuk ketiga kalinya, Emily terkejut melihat pria dengan rambut berantakan, kemeja yang kancingnya terbuka, tersenyum kecut membuka pintu dan menyapanya. “Hai, Emily,” sapa pria itu, mengancingi kemejanya satu persatu. Dahi Emily berkerut. “Bob?” Melihat bartender tampan itu berada di apartemen Jessie. “Mana Jessie?” Ia celingak-celinguk ke dalam mencari sosok Jessie. Bob membuka pintu lebar, memberi jalan. “Dia sedang di kamar mandi,” jawabnya membiarkan Emily masuk ke dalam lalu melangkah menuju sofa. “Bagaimana kau bisa ada disini? Kalian …?” “Dia kekasihku, Emily,” celetuk Jessie keluar kamar mandi, mengenakan kimono handuk dan rambut yang dililit dengan handuk kecil. “Sudah dua bulan ini Bob menjadi kekasihku.” Ia berjalan menuju sofa tapi langkahnya terhenti setelah Bob mendekat dan mencium bibirnya. Emily membuang wajah. “Sial. Dia memamerkan kemesraannya padaku,” gumamnya kesal dengan statusnya yang tidak mempunyai kekasih. “Aku pergi dulu,” pamit Bob. “Bye, Emily.” Ia mengangkat tangan. Emily membalas. “Bye, Bob.” Melihat Bob berjalan menuju pintu dan meninggalkan mereka berdua. “Katakan padaku ada hubungan apa kau dengan Allan Anderson, Emily?!” Tiba-tiba Jessie menagih penjelasan Emily yang tertunda, duduk di samping Emily dan bersiap mendengar. Untuk saat ini Emily tidak setuju. “Aku tidak punya banyak waktu, Jess. Aku membutuhkan uang itu sekarang.” Ia menolak dan to the point pada tujuan utama menemui Jessie. “Kau mendapatkannya?” Menatap Jessie penuh harap karena hanya dia lah satu-satunya orang yang bisa membantunya sekarang. Tapi sayangnya Jessie menggeleng lalu mengatakan, “Maaf, Emily .…” Ia meraih tangan Emily dan menggenggamnya erat. “Aku tidak mendapatkannya karena Nancy pun memecatku. Dia memecatku karena sudah membelamu.” Kedua mata Emily membulat lalu menggeleng. “Oh no?! Tamat riwayatku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN