Mencari Bantuan

1727 Kata
"Kau tidak perlu khawatir, Emi. Aku sudah menceritakan masalahmu pada Tom. Maaf, aku terpaksa mengatakannya pada Tom karena ia juga terus menanyakanmu.” Kalimat Jessie itulah yang membawa Emily bisa berada di depan pintu rumah model ‘Bungalow’. Rumah yang didominan cat berwarna putih itu, adalah rumah yang dulu sering ia kunjungi saat masih SMP. Setelah Emily memencet bel, tidak lama seorang pria membuka pintu lalu tersenyum. “Masuklah. Aku sudah menunggumu sejak tadi,” sapa pria berambut panjang itu tersenyum menyambut kedatangan Emily lalu membuka pintu lebar. “Maaf aku mengganggumu, Tom.” Emily masuk ke dalam rumah Tom, sahabatnya sejak kecil. Ia melangkah menuju sofa. “Aku janji tidak akan berlama-lama mengunjungimu kali ini.” Ia menghentikan langkah di depan sofa lalu duduk di sana. “Tunggu sebentar.” Tom setengah berlari menuju kamar. "Tom?" Emily terheran melihat Tom berlari ke dalam kamarnya lalu tidak lama keluar membawa bungkusan amplop coklat. Tom berdiri menyodori Emily amplop coklat tersebut. "Ini. Pakailah. Kuharap ini bisa membantumu," harapnya, yang tahu kesulitan Emily setelah mendengar kabar dari Jessie. Tom tahu semua kesulitan Emily bermula setelah kematian kedua orang tuanya, dua bulan lalu. Kesekian kalinya ia menawarkan pertolongan, Emily selalu menolak dengan berbagai alasan, tapi kali ini Tom yakin Emily tidak akan menolak. Tatapan Emily lekat di amplop itu. "Tom, aku ...." Ia merasa tidak enak hati menerima amplop yang disinyalir berisikan uang $1.000. Uang yang dapat membebaskan dirinya selama sebulan dari Allan Anderson. Uang yang ia butuhkan sekarang. Tom duduk di samping Emily. "Terimalah, Emily. Kau tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku dan nenekku. Pamanku sudah membiayai semua kebutuhannya di rumah sakit. Itu sebabnya aku bisa menolongmu. Terimalah." Tangannya masih menyodori amplop dan sedikit memaksa Emily untuk menerima. Pandangan Emily tertuju pada amplop bergantian dengan Tom yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Membiayai kuliah sendiri dan menghidupi neneknya yang sakit-sakitan, hanya saja bedanya Tom masih mempunyai paman yang bisa Tom andalkan. Sedangkan ia tidak mempunyàinya, sanak keluarga dari kedua orang tuanya tinggal berjauhan begitu juga dengan nenek dan kakeknya yang berada di Arizona. Itu sebabnya Emily hidup sebatang kara di kota Washington D.C. Emily menatap iba Tom. “Bagaimana dengan uang kuliahmu? Aku tidak ingin hanya karena kau meminjamkan uang ini padaku tapi kau tidak bisa membayar kuliahmu, Tom,” ucapnya yang tidak mau menyusahkan Tom hanya karena menolongnya, walau tahu Tom akan melakukan segalanya karena mencintainya. Bukan karena sebagai sahabat tapi sebagai wanita. Tom menarik tangan Emily, menaruh amplop dalam genggaman tangannya lalu tersenyum. “Aku sudah membayarnya. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, Emi.” Meyakini Emily dan bersikap santai. “Kalau ada masalah apapun ceritakan padaku, ok?! Aku siap membantumu.” Mendengar ucapan dan bantuan tulus Tom, air mata Emily mengembang. Baginya dua sahabat yang selalu menemani di saat susah dan senang hanya Tom dan Jessie. Mereka berdua memang bukan orang kaya, tetapi mereka memahami arti persahabatan sesungguhnya. Saling membantu dengan tulus. Seperti yang sudah Tom dan Jessie lakukan pada dirinya selama ini. Emily memeluk Tom. “Terima kasih, Tom. Terima kasih kau sudah membantuku. Jika tidak ada kau mungkin aku .…” Mendengar suara ponsel berdering, Emily menghentikan ucapannya cepat. “Sebentar.” Ia melepaskan pelukan, mengambil tas lalu meraih ponsel. Melihat nama orang yang sedang menghubunginya sekarang, Emily memutar bola matanya jengkel. "Oh, Lord." Ia bangkit lalu berjalan menuju jendela. Tom memperhatikan Emily. “Ya. Ada apa?” Emily mengangkat panggilannya tanpa basa basi karena tahu orang yang sedang menghubunginya sekarang. Tidak lama terdengar tawa kecil dari seberang sana membalas ucapan Emily. Suara pria yang baru beberapa jam lalu ia temui. “Aku hanya ingin memberitahu jika waktumu tinggal empat puluh lima menit lagi, Emily Wilson. Kau tidak mau terlambat bukan?” ucap pria yang tidak lain adalah Allan Anderson. Mengingatkan Emily dengan senyum mengembang sambil mengibaskan rambutnya yang basah setelah naik dari kolam renang. Emily terkejut, ia reflek melirik arloji dan dengan cekatan bergegas menuju sofa. “Baiklah, aku pergi ke sana sekarang juga.” Ia membalas lalu menutup panggilan Allan. “Maaf, Tom. Aku harus pergi sekarang.” Emily menaruh amplop tadi ke dalam tas lalu menyandangkan tas ranselnya dan bersiap pergi menuju istana Allan yang memakan waktu tiga puluh menit perjalanan, itupun jika tidak terjebak macet. Melihat Emily yang tidak sabar membuat Tom bertanya-tanya. “Ada apa? Apa dia sudah menagihmu?” Ia mengikuti langkah panjang Emily menuju pintu utama. Emily menoleh dan mengangguk. “Ya. Aku harus berada di sana sebelum jam dua belas siang.” Setelah berada di teras ia bermaksud akan berlari tapi langkahnya terhenti ketika Tom menarik tangannya. “Kau belum mengatakan padaku dengan siapa kau berhutang, Emily. Katakan padaku siapa orang itu?” Tom terpaksa menanyakan hal itu setelah melihat ada sesuatu yang janggal pada Emily. Seakan Emily sedang menutupi sesuatu. Lebih tepatnya seseorang yang berhubungan dengan Emily sekarang. Wajah Emily memelas lalu menggeleng. “Maafkan aku, Tom. Aku belum bisa menceritakannya sekarang. Aku janji akan menceritakannya nanti. Maaf, aku harus pergi.” Tom mengendurkan genggamannya, melepas Emily pergi yang langsung berlari menuju trotoar. “Aku merasa kau tidak sedang dalam keadaan baik-baik, Emily. Aku yakin kau menutupi sesuatu buruk dariku,” gumamnya melihat Emily dari jauh yang tidak lama menaiki bis. Emily duduk di dalam bis, ia kembali melirik arloji dan berharap bisa tiba di mansion Allan sebelum waktu yang sudah ditentukan. Sepanjang perjalanan ia terus berdoa, berharap pengorbanan Jessie dan Tom tidak sia-sia karena sudah membantunya sejauh ini. Ia berjanji dalam hati akan terus mengingat dua sahabatnya sampai nanti. Sahabat yang sudah menolong ketika hidupnya dalam cengkraman Allan Anderson. Semoga aku bisa terbebas darinya, Tuhan. Setidaknya dalam sebulan ini. Itu hanya sedikit doa yang Emily lantunkan dalam hati. Ia berharap bisa keluar dari rumah Allan dan menghirup napas lega, walau perasaannya campur aduk sekarang. Tiba-tiba Emily teringat dengan kejadian pagi tadi. Kejadian yang mengingatkannya pada tubuh sempurna Allan. Tubuh yang menggugah hasrat liarnya untuk berada dalam pelukan tubuh kekar itu lagi, sebuah hasrat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya dengan pria lain. “Oh My God.” Emily menggeleng cepat. “Sepertinya aku mulai terdoktrin dengan pesonanya.” Ia menggerutu yang spontan mengalihkan pandangannya menuju jendela. Pandangan Emily melihat ke depan. Bis yang ia tumpangi terhenti setelah jejeran mobil di depannya terhenti. Merasakan bus yang ia tumpangi terhenti, Emily menjadi cemas dan tidak nyaman. Suara klakson dan teriakan keluhan pun terdengar di udara, Emily melirik arloji. Waktunya tersisa dua puluh menit lagi. Ia tidak punya waktu banyak sementara perjalanan menuju rumah Allan baru separuh jalan. “Sial! kalau begini terus aku bisa terlambat!” gerutunya kesal, melihat beberapa mobil di depan bis itu sama sekali tidak berjalan, bahkan beberapa supir terlihat keluar dari mobil dan berteriak kesal. “Ada apa, Sir?” tanya Emily pada sopir setengah berteriak. Supir yang umurnya sekitar lima puluh tahun itu menoleh ke belakang menatapnya. “Sepertinya telah terjadi kecelakaan,” Sahutnya lalu kembali menatap ke depan. Sekali lagi Emily mengembuskan napas kesal. Ia bangkit lalu berjalan menuju pintu, memencet tombol. “Bukakan pintunya, Sir. Aku punya urusan darurat.” Sang sopir menoleh ke arahnya lagi. “Tapi kita belum sampai di halte, Nona.” Ia menolak. Mata Emily membulat, saat ini nyawanya berada di ujung tanduk tetapi sopir memintanya turun di halte selanjutnya, sementara bis yang ia tumpangi terjebak macet. “Tolong bukakan pintunya, Sir.” Sekali lagi Emily meminta. “Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku harus buang air besar.” Ia terpaksa mengatakan itu yang seketika seluruh penumpang menoleh ke arahnya. Mendengar alasan Emily, sopir tidak punya pilihan lain selain menurunkan Emily di tengah jalan, ia menekan tombol dan secara otomatis pintu itu terbuka. Emily lari berhamburan setelah turun dari bis, ia melirik arloji dan waktunya semakin berjalan cepat. Sialan! Lima belas menit lagi!” Emily terus berlari walau tahu jarak menuju rumah Allan masih terlalu jauh. Aku pasti bisa. Aku harus bisa membayar hutang itu sekarang! Setelah berlari sekitar dua menit, langkah Emily terhenti. Ia membungkuk dengan kedua tangan berada di dua lutut dengan napas tersengal-sengal. “Kau butuh bantuan, Nona?” kata seorang pria yang menaiki motor sport yang tiba-tiba terhenti di bahu jalan. Pria itu membuka helm dan seketika senyum Emily mengembang. “Tom?!” pekik Emily bahagia, Tom tiba di waktu yang tepat. “Bagaimana kau tahu aku sedang membutuhkan bantuan sekarang?” Tom menggerakkan kepalanya cepat. “Naiklah. Aku tahu kau sedang mengejar waktu sekarang,” ajaknya sambil memberikan helm. Emily menerima, memakai helm lalu menaiki motor dan duduk di belakang Tom dengan posisi tubuh sedikit menukik. “Baiklah, antarkan aku ke Maryland street, Tom,” pintanya lugas. Dahi Tom berkerut. “Maryland street?” Memastikan ucapan Emily lagi. “Ya. Bawa aku kesana sekarang. Aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskannya padamu,” balas Emily yang tidak sabar untuk segera tiba di sana. Tom menstarter motor. “Baiklah, berpeganglah, Emi.” Ia melajukan motor itu dengan kecepatan sedang menuju sebuah tempat yang hanya ditempati beberapa mansion milik artis, pejabat atau pengusaha. Sepanjang perjalanan Tom terus berpikir. Apakah Emily berhutang pada orang kaya? Jika ya, siapakah dia? Apa aku mengenalnya? Ia mencoba mengingat beberapa pemilik mansion yang berada dalam kawasan Maryland street. Tidak banyak, mungkin sekitar dua puluh mansion berdiri di sana. Ia tahu karena pernah mengantarkan kopi dalam jumlah literan bersama George, ayah Chloe atau bos pemilik kafe tempat ia bekerja. Bos yang sama dengan Emily pada sebuah mansion yang paling mewah dan besar. Setelah memasuki kawasan Maryland Street, jantung Emily berdetak kencang dan pandangannya tidak jauh dari arloji. Berbeda dengan Tom, sudah beberapa mansion ia lewati tapi Emily belum memintanya untuk berhenti. Dan sebentar lagi ia akan melintasi mansion yang paling mewah dan besar diantara mansion yang lain. “Lima menit lagi,” gumam Emily tidak sabar, melirik arloji lagi. “Tolong kau berhenti di depan sana, Tom,” pinta Emily yang tidak lama Tom menghentikan motor tepat di depan sebuah gerbang besar mansion. Emily turun dari motor cepat, ia memberikan helm. “Terima kasih, Tom. Aku pergi dulu.” Lalu ia bergegas berlari. “Berjuanglah, Emi!” teriak Tom yang menghentikan langkah Emily ketika akan memasuki gerbang. Emily berbalik dan tersenyum. “Aku pasti berjuang, Tom,” balasnya sambil berteriak lalu melambaikan tangan. Senyum Tom memudar melihat Emily memasuki gerbang lalu menghilang ketika pintu gerbang itu tertutup lagi. Ia mengembuskan napas lalu menyebut sebuah nama pemilik mansion yang pernah ia kunjungi. Allan Anderson. Jadi dengan dia kau berhutang, Emily?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN