3. Mario Yang Tulus

2133 Kata
Caca diam saja selama perjalanan pulang. Ia semakin mengeratkan pelukan ke perut Mario yang mengebut, menyalip satu kendaraan dan kendaraan lainnya. Awalnya seru sebab rambutnya seperti terbang hendak meninggalkan kepala, namun lama-lama ternyata ngeri juga. Caca mulai tidak suka dengan aksi kebut-kebutan yang Mario lakukan. Inginnya protes dan memaki cowok itu sekarang juga. Namun ia terlalu takut karna sejak Mario menarik dan membawanya menjauhi kafe, cowok itu tampak marah dan kesal. Caca sebenarnya tidak mengerti juga kenapa ia duduk di depan laki-laki misterius serba hitam itu, seperti ada magnet yang menariknya mendekat. Ia melihat dengan jelas, laki-laki itu berbeda dengan beberapa orang yang pernah Caca temui. Laki-laki yang tidak biasa, memancarkan aura gelap namun dengan sepercik cahaya putih yang meretih kecil lalu padam dan timbul lagi. Oleh karenanya, Caca tertarik. Tepat saat Caca menatap ke dua netranya jelas terlihat kalau laki-laki itu butuh pertolongan. Seperti sedang berusaha terbebas dari suatu hal yang menjeratnya. Terlihat ia ingin berbicara seraya membuka masker hitamnya namun Mario terlebih dulu menyeretnya keluar. Yah, Caca rasa mereka akan bertemu kembali suatu hari nanti. Lampu taman sudah dihidupkan. Mobil Samuel dan mobil Qeenan sudah tidak ada di halaman depan. Agaknya ke dua laki-laki itu sudah pergi. Caca baru bisa bernafas lega setelah menyerahkan helm pada Mario dan tidak mendengar keributan dari arah rumahnya lagi. Ia kembali menoleh pada Mario. Menilik wajah cowok itu tentang apa yang sudah membuatnya kesal. Apa Mario melihat aura gelap itu? Ah, ia ingat pernah memberi Mario hal-hal aneh semacam kekuatan yang membuat cowok itu berbeda dengan manusia yang lainnya. Dan malah ia yang dimarahi Kakek, karna asal memberi kekuatan. Padahal kan, Mario baik. Kenapa Caca melakukannya? Karna Caca tahu Mario itu tulus. Salah seorang yang menyayanginya sama seperti Kakak-kakaknya. Dan Caca hanya ingin Mario tahu bagaimana orang yang tulus berteman dengannya atau yang tidak setelah cowok itu paham bagaimana cara kerja kekuatannya sendiri. "Mar, ini jaket lo." Caca menyerahkan kembali jaket cowok itu tanpa melihat si pemiliknya. Mario menghela nafas lega setelah tidak ada hal aneh yang terjadi pada Caca. Gadis itu sudah aman dan ada di dalam jarak pandangnya. Ia mengusap puncak kepala gadis itu dan mengecupnya sebentar. "Maaf ya tadi gue kasar, gue cuma gak mau lo kenapa-napa." Caca mendongak dan menatap tepat di kedua manik coklat gelap cowok itu. Dan Caca tidak salah lagi kalau Mario tidak akan pernah membuatnya terluka, cowok ini terlalu tulus dan Caca menyayanginya. Ia lalu memeluk cowok itu, meringkuk nyaman di sana. “Makasih, dari dulu sampai sekarang lo gak pernah berubah, Mar.” ** Kelam di kastil Moran, Zeon kembali dan berubah menjadi dirinya sendiri dengan pakaian khas anak didik Moran. Ia melangkah masuk menuju singgasana Tuan-nya. "Apa kau sudah menemukannya?" Tanya Moran langsung, tak sabar. Zeon mengangguk, membuka telapak tangannya lalu keluar semburan air yang membentuk sebuah layar pipih. Di sana, gambaran Caca yang berjalan mendekat dengan wajah ingin tahu lalu duduk di hadapannya pada sudut kafe terpampang jelas. Moran tampak sangat senang, Kakek tua itu menyuruh Zeon untuk kembali melanjutkan tugasnya di bumi. Zeon menuruti. Bergegas pergi, tapi bukan untuk melanjutkan tugasnya. Tugas yang selama ini ia lakukan jelas sekali menyakiti gadis sang pemilik kekuatan itu. Zeon sadar, ini salah. Oleh karena itu, untuk ke depannya ia hanya akan tinggal di bumi, berteman baik dengan si gadis pemilik kekuatan itu. Meskipun ini bisa disebut penghianatan tapi berkhianat untuk tidak menyakiti seseorang tidak salah 'kan? "Ini menarik," gumam Zeon sembari tersenyum miring memikirkan kelanjutan kisah yang ia pilih sendiri. Sekali lagi sebelum pergi selama-lamanya –mungkin- ia menengok ke belakang melihat kastil megah Moran yang terbuat dari keramik putih sebagian besarnya nampak suram karna keserakahan penghuninya yang juga belum terpuaskan. Di sana ia dibesarkan, dididik, mempelajari banyak hal dan hari ini dia akan pergi bukan untuk kembali. Zeon melepas paksa cincin perak yang tersemat di jari manisnya sebagai tanda kesetian pada Moran. Ia mengerang pelan, sebab Jejak hangus lalu menghitam yang melingkari jarinya itu mungkin akan lama membekas, namun ini bukan seberapa karna awal baru akan segera dimulai. ** Pagi ini setelah meminta Rafa untuk memasak nasi goreng lebih banyak dari biasanya, Caca sudah rapi dengan seragam sekolah sedang berdiri di depan pintu rumah sebelah dengan tangan memegang dua piring nasi goreng untuk tetangganya, yaitu Om Tobi dan Mario. Setelah bersusah payah mengetuk pintu, akhirnya pintu dibuka oleh Om Tobi dengan view setelah mandi. Dia hanya memakai celana kain hitam yang biasa digunakan untuk ke kantor dan atasannya tidak ada sama sekali, alias shirtless. Caca tidak menyangka akan mendapati adegan dewasa sedang terpampang di hadapannya. Ia hanya mampu menganga dan tidak bisa mengontrol ekspresi terkejutnya. “Ada apa Caca cantik?” Tobi sama sekali tak terpengaruh dengan Caca. Ia tampak santai mengusak rambutnya yang basah, berharap segera kering dengan cara diberantakkan seperti itu. "I-inni nasi goreng buat Om sama Mario," ucap Caca cepat-cepat, ia tidak bisa disuguhi pemandangan seperti ini lebih lama. Dengan tangan bergetar Caca menyodorkan dua piring dan disambut senyum sumringah oleh Om Tobi. "Makasih ya, kamu mau masuk dulu nunggu Mario? Dia lagi siap-siap di atas abis mandi." Caca menggeleng cepat dan setelahnya segera pergi dari sana dengan ekspresi tidak percaya masih tersemat di wajahnya. Tobi benar-benar luar biasa. Pantas saja ibu-ibu di sekitar rumahnya sering menggosipi Tobi dan melabeli tetangganya itu sebagai 'pria lajang hot tahun ini'. Ternyata memang se hot yang dibicarakan, tidak hoax. "Caca!" seruan Qeenan mengejutkan Caca, hingga pikiran yang tidak-tidak tentang Om Tobi tadi sirna sudah. Caca bersyukur untuk itu, karna mengingat ia yang masih belum genap berumur tujuh belas tahun malah sudah berani berpikiran aneh, itu tidak baik! Gadis itu melihat Qeenan memarkirkan motor di halaman depan rumahnya. Setelah membuka helm, cowok itu berlari kecil ke arah Caca. "Udah selesai sarapan?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Caca. "Yaudah kalau gitu yuk berangkat!" Caca menatap sangsi pada Qeenan. Ia masih sedikit kesal dan sedih sisa dua hari yang lalu. Meskipun kemarin ia telah menghabiskan sekotak coklat pemberian Qeenan bersama Rafka, tapi Caca masih belum terima Qeenan-nya dekat-dekat dengan gadis berambut sebahu itu. Karna yang Caca tahu itu Qeenan adalah miliknya. "Aku bareng Bang Rafka. Duluan aja." Tolak Caca halus dan segera berbalik hendak melangkah masuk ke dalam rumah. "Masih marah?" Pergerakan Caca terhenti. Ia tertegun untuk beberapa saat mendengar pertanyaan yang lebih terdengar seperti pernyataan baginya. Caca enggan membalas dan kembali melangkah masuk tapi, lagi-lagi Qeenan menahannya. "Maaf," ujar cowok itu terdengar lirih. "Ca maafin aku, jangan marah lagi ya. Aku janji gak bakal deket-deket sama dia lagi." ** Seolah sedang terjadi musim salju setempat, sekolah Caca tiba-tiba mengeluarkan hawa dingin. Padahal tadi pagi masih cerah di rumahnya dengan mentari tersenyum hangat di cakrawala, tapi sekarang kenapa malah mendung dan dingin seperti ini? Caca melihat ke sekeliling sekolah saat Qeenan melaju pelan di dalam area parkir. Ia jadi berangkat dengan Qeenan sebab, kata Rafa tidak baik menolak niat baik seseorang. Yasudah, Caca pun menurut. Setelah turun dan menyerahkan helm pada Qeenan, Caca segera pergi. Mencari dari mana asalnya hawa dingin yang menusuk ini. Kalau dilihat-lihat, hampir seluruh sekolah terkena dampaknya, agaknya yang melakukan hal seperti ini sudah memiliki kekuatan yang bisa disebut tingkat menengah. Hampir seluruh siswa mengeluh kedinginan dan banyak dari mereka memakai jaket atau sweater di luar seragam. Tanpa singgah di kelasnya, Caca terus berjalan dan melihat dengan teliti ke sepenjuru sekolah. Mencari-cari sebab dan apa yang telah menguarkan hawa dingin ini. Dan sosok itu tertangkap ke dua netranya. Sosok itu di sana ternyata, berdiri dengan seorang guru di depan kantor tata usaha. Dari tubuhnya keluar aura biru gelap yang Caca kenal sebagai aura dingin, tidak sembarang orang bisa memiliki atau mempelajari kekuatan itu hingga mendapatkan aura dingin yang memancar seperti sosok itu. Kasihan sekali guru yang berbicara di depannya tampak menggigil kedinginan. Agaknya sosok itu akan bersekolah disini, dengan seragam baru yang dipakainya dan rambut yang tersisir rapi. Caca berjalan mendekat, mengamati dengan seksama sampai sosok itu sepertinya sadar akan kehadiran Caca. Ia menoleh lalu tersenyum lebar dan berujar. "Halo, ketemu lagi." ** “Halo, lo yang di kafe waktu itu kan?” Caca balas menyapa meski agak telat, sebab ia masih terkejut kenapa dia kembali bertemu dengan orang ini di sekolahnya. Sebagai murid lama yang sudah khatam lingkungan sekolah, Caca mengajukan diri untuk mengantar orang ini ke kelas barunya, yaitu kelasnya sendiri. Ternyata mereka sekelas. Mereka sekarang berjalan bersisian. Tidak ada yang bicara. Tapi, dalam hening Caca bisa mendengar banyaknya pertanyaan di dalam kepala orang ini. “Kalau mau nanya, nanya aja, gue bakal jawab gak usah segan sama gue.” Dia menoleh, tapi masih bungkam. “Masih gak mau ngomong? Oke, gue yang bakal nanya. Nama lo siapa?” Dia mengerjap, bingung harus memperkenalkan diri seperti apa. “Jangan paksa gue buat nyari asal usul lo sendiri, ya. Gue tau kalau kemarin lo emang sengaja datang ke kafe buat nemuin gue kan?” Tiba-tiba suasana berubah. Aura biru gelap yang lebih pekat keluar dari tubuh Caca. Langit semakin mendung, dan perlahan seperti kapas yang berhamburan dari pohon kapuk, salju tipis pun turun. “Gue tau niat lo ada di sini karna lo pengen punya kehidupan yang baru. Jadi, tolong bersikap baik selagi gue nanya baik-baik.” Orang itu malah terpaku pada salju yang turun. Ia melangkah ke lapangan basket dan merentangkan tangannya, seakan menyambut baik salju-salju itu. “Aura biru gelap yang kuat. Kau memang pewaris kekuatan yang asli. Meskipun aku sering mendengarnya tapi, melihat secara langsung seperti ini terasa menakjubkan.” Caca bersedekap d**a seraya melangkah ke lapangan juga, membiarkan helai salju putih mengenai rambutnya. “Oke boy, sekarang gak ada waktu buat main-main, sebentar lagi sekolah bakal heboh karna ada salju turun. Jadi, siapa nama lo?” Ia menoleh, menatap Caca lekat dengan ke dua netra sewarna biru gelap. “Nama ku, Zeon. Zeon Larasfa.” Sama seperti nama belakang Caca yaitu Tanbarch, Larasfa adalah suatu bentuk tanda pengenal. Semacam marga keluarga. Setahu Caca, Larasfa dominan memiliki kekuatan pengendali musim. Ada empat aura yang selalu melingkupi keluarga Larasfa, kuning terang untuk musim panas, hijau muda untuk musim semi, merah terang untuk musim gugur dan biru gelap untuk musim dingin. Selain salju mereka juga bisa membuat petir dengan daya besar, itulah kemampuan mereka. Namun, keluarga Larasfa selama delapan dekade ini menghilang tak ada kabar. Entah karna apa keluarga yang memiliki kekuatan besar itu lenyap, entah ada perang keluarga, atau diserang oleh pihak-pihak yang iri terhadap kemampuan Larasfa yang besar terhadap musim di Bumi ini. Dan salah satu keluarga Larasfa yang berada di hadapan Caca sekarang, agaknya tidak mengetahui dengan pasti kekuatan yang dimilikinya. Sebab saat Caca meniru hal yang sama yaitu menguarkan aura biru gelap, ia seolah terpana padahal kekuatan itu Caca pelajari dari leluhur mereka. Aneh sekali bukan? Tapi, melihat dia yang berada di Bumi dan jejak hitam di jari tengah tangan kirinya, Caca yakin, kalau Larasfa satu ini telah berkhianat dari suatu perjanjian. Sepertinya begitu. Namun, Caca belum tahu pasti. ** Zeon bertingkah sok cool yang membuat Caca geli sendiri. Padahal orang-orang Larasfa punya pribadi yang ramah, setahu Caca dari cerita yang Caca dengar. "Gak usah pasang ekspresi kayak gitu, geli gue!" ucap Caca seraya tertawa kecil. “Dan lo juga gak perlu sekaku itu di sini, sekarang saatnya lo lebih terbiasa. Katanya mau tinggal di Bumi, kan?” Zeon sebenarnya sudah tahu apa-apa saja kekuatan yang Caca miliki. Salah satunya yaitu bisa membaca pikiran orang di hadapnnya, padahal Zeon tidak memberitahu alasan ia ada di sini sekarang pada Caca. Namun, mendengar bagaimana Caca menuturkannya secara langsung masih membuat Zeon takjub. Ternyata begini ya si pemilik kekuatan itu menggunakan kekuatannya. Ia hanya mengangguk sebagai tanggapan. Sesampainya di kelas, Zeon mengelilingi ruang kelas dengan semangat. Cowok itu tampak seperti anak kecil yang baru saja tiba di taman bermain. Melihat-lihat dengan mata berbinar, memainkan penghapus papan tulis, sapu kelas yang tangkainya tinggal setengah, dan kemoceng kelas. Caca hanya menggelengkan kepala tak habis pikir. Tak lama Bella datang. Gadis itu belum menyadari kehadiran Zeon, ia melangkah santai ke tempat duduknya yaitu di sebelah Caca. “Pagi Ca!” sapanya riang. Caca hanya mengangguk dan tersenyum sebagai balasan. “Ca nanti pas istirahat temenin beli es krim di minimarket depan ya, gue lagi dapet, pengen yang manis-manis.” “Oke, Bell.” “Es krim? Dimana ada es krim?” Zeon menyerobot bertanya, terdengar bersemangat. Bella yang baru sadar dengan kehadiran cowok itu, memekik terkejut. “Anjir! Ada cowok! Astaga gue malah ngomong lagi dapet lagi.” Bella yang masih syok menutup mulutnya dan memerhatikan Zeon dari atas ke bawah. Teliti sekali, hingga Zeon risih dan balas memerhatikan Bella dari atas ke bawah juga. “Apaan lo liat-liat!” sergah Bella marah. “Lo duluan yang liat-liat!” Zeon tak mau kalah. Padahal mereka baru bertemu, sudah bersitegang seperti ini. Semoga saja nantinya mereka jodoh, karna kan seperti kata orang-orang cinta itu berawal dari benci. Haduh, kenapa jadi dangdut sekali. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN