Esok harinya, Caca ke sekolah diantar Rafka. Lalu Rafka bilang kalau yang akan menjemputnya nanti sepulang sekolah ialah Samuel, sebab ia tidak akan sempat menjemput Caca karna masih ada kelas siang.
Caca menggeleng pelan. Menolak. "Gak usah Bang, nanti aku pulang bareng Qeenan aja."
"Loh kok gitu?" Rafka heran. Karna biasanya apapun itu yang menyangkut Samuel, Caca selalu bersemangat dan tidak pernah menolak sama sekali. Kenapa kali ini berbeda? Pasti ada sesuatu....
"Ada yang gak Abang tau?" Rafka langsung menembak dengan pertanyaan yang membuat Caca tak bisa mengelak.
Omong-omong soal kemaren sore, suasana yang tadinya penuh dengan degupan jantung dan sensasi geli yang menyenangkan antara Caca dan Samuel berubah menjadi beku dan akward. Caca hanya diam dan meminta pulang ke rumah begitu saja.
"Abang kenal Tasya?"
"Tasya? Di kampus Abang ada yang namanya Tasya. Sejurusan sama Abang, sama Samuel juga. Kenapa Ca?"
"Si Tasya itu pacarnya Kak Sam ya Bang?"
Rafka akhirnya mengerti kenapa Caca jadi menolak jemputan Samuel nanti sepulang sekolah.
"Bukan pacar sih. Cuman mereka emang rada deket. Setau Abang nih ya, Samuel masih jomblo. Masih bisa kamu pepet."
"Yah kalau dianya gak mau dipepet sama aja boong." Caca berujar pelan.
"Masa sih Sam gak mau dipepet?" Rafka menoleh bingung, namun Caca tak menanggapi ucapannya.
Perjalanan ke sekolah Caca diselimuti keheningan. Rasanya dingin meskipun Rafka tak menghidupkan ac mobil, namun ia tentu saja mengerti dari mana hawa dingin itu berasal.
Seperti halnya hujan yang terlihat gelap karna mendung dan sensasi hawa dingin karna angin bertiup, seperti itulah suasana hati Caca pagi ini setelah kemarin melihat Samuel menyebut nama gadis lain dan malah terfokus dengan gadis itu di saat ia sedang berada di sana juga, siapa coba yang tidak sakit hati?
Caca sedih. Ia cemburu. Karna akhir-akhir ini hubungannya dengan Samuel semakin dekat dan Caca rasa ia punya peluang untuk menyukai cowok itu. Tapi, malah yang ia temukan kemarin seolah menjelaskan kalau Samuel menyukai gadis lain. Dan memberitahu kalau sebenarnya Caca bukanlah siapa-siapa.
Dan sepertinya kedekatan mereka agaknya hanya main-main. Atau mungkin Samuel berlaku baik karena Caca adalah Adik dari temannya? Tuh, kan Caca jadi berpikir yang aneh-aneh. Hawa dingin semakin menjadi-jadi, kalau Caca diam dan memikirkannya lama-lama, mobil ini akan membeku saking dinginnya, Rafka saja sudah mulai bersin-bersin sekarang.
Caca menoleh merasa bersalah. "Maaf Bang."
"Gapapa. Ini Abang emang lagi kekurangan vitamin C makanya bersin-bersin." Rafka menjelaskan sembari tersenyum yang malah membuat Caca semakin merasa bersalah.
Caca berdecak pelan dengan alasan Rafka yang payah. Ia mulai mengatur hatinya agar tak terlalu sedih lagi dan menyingkirkan fikirannya tentang Samuel saat mobil Rafka sudah dekat dengan sekolahnya.
"Ca, inget gak apa yang Bang Hansfa bilang. Jangan terlalu menyimpan rasa sama seorang manusia. Mereka beda sama kita Ca, kita memang bisa setulus hati suka sama mereka, tapi mereka belum tentu. Karna hati manusia mudah dibolak-balik." Rafka berkata dan menepikan mobilnya di sebelah trotoar depan sekolah Caca.
Caca mengabaikan perkataan Rafka, takutnya ia malah membawa mendung ke sekolah karena suasana hatinya, padahal sejak pagi langit biru cerah sudah lebih dulu menghiasi cakrawala, ia tak mau dituduh dan menjadi penyebab beberapa rencana manusia yang gagal karena harus turun hujan.
Sebelum turun dari mobil, Caca menyempatkan untuk mengecup pipi Rafka. Dan melambaikan tangan seraya memasuki sekolah.
Di sekolah sudah ramai murid-murid yang datang. Caca berjalan santai menuju kelasnya di lantai dua. Langit masih biru, itu tandanya ia tidak membawa mendung dan suasana hatinya perlahan membaik.
Sesampainya di kelas, Bella sudah duduk di bangku samping Caca dan tampak asik membaca buku tebal. Caca jadi penasaran buku apa yang Bella baca hari ini.
"Bel!" Caca berseru yang niatnya untuk mengejutkan Bella namun Bella hanya acuh dan mengangkat telapak tangannya ke depan muka Caca, itu tandanya Bella tidak ingin diganggu.
Caca cemberut, dan melirik ke halaman buku yang Bella baca. Ia mengernyit bingung dengan kalimat yang tertulis di lembar kertas itu. Menyerah untuk memahaminya, Caca duduk saja di sebelah Bella dan membuka ponselnya mencari kesibukan lain.
Ada dua pesan masuk dari Qeenan. Caca langsung membukanya.
From Qen :
Ca hari ini aku gak ke sekolah. Zeon juga enggak.
Nanti siang aku ke rumah ya, aku ceritan semuanya nanti.
Caca jadi penasaran kenapa dua orang itu tidak hadir di sekolah hari ini. Ia juga enggan mencari tahu, nanti sajalah kan siang nanti Qeenan juga akan main ke rumah. Caca tentu saja sudah tahu hubungan apa yang dimiliki Qeenan dan Zeon dahulunya. Tapi, tak mengira juga kalau mereka akan sedekat ini sampai sama-sama tidak datang ke sekolah. Caca menggelengkan kepalanya pelan dan tak sengaja melihat sampul buku tebal yang Bella baca saat gadis itu membalikkan halaman.
Caca pun sontak menoleh ke Bella lagi. Saat sudut matanya menangkap sampul buku tebal yang dibaca Bella, berupa gambar bayangan hitam. Caca lalu memiringkan kepalanya dan membaca judulnya yaitu The Ghost in Soul.
“The Ghost in Soul?” Caca menggumam yang membuat Bella menoleh dan menatap Caca.
Mereka jadi saling tatap-menatap untuk beberapa menit kemudian. Caca juga belum bicara sampai Bella capek sendiri dan mengalihkan pandangannya seraya berdecak pelan, lalu berujar, “Mau ngomong apa sih Ca? Cara liat lo ke gue ngeri banget.”
Caca nyengir dan buru-buru bicara, “Bacaan lo ngeri banget judulnya Bell.” Sambil menunjuk sampul buku tebal yang Bella baca.
“Oh ini.” Bella tersenyum geli, seolah ada cerita lucu dibalik buku tebal itu. “Gue dapet ini di perpus sekolah. Kata Pak Hodi yang sekarang jagain perpus gantiin Pak Akmal, buku ini termasuk tiga buku lainnya gak pernah dipajang di rak.”
“Loh kenapa?”
“Katanya sih, raknya gak bakal kuat buat nampung nih buku. Ini aja beratnya lebih setengah kilo.” Bella berkata sambil menaik turunkan buku tebal itu dengan ke dua tangannya seperti sedang menimbang berat buku itu. “Jadi, gue mutusin buat ambil ke tiga buku itu.” Lalu Bella menunjuk ke kaki kursinya yang menghadap dinding, di sana dua buku tebal lainnya bersandar.
Caca mengernyit bingung, namun pura-pura mengerti dengan penjelasan Bella dan juga ikut tersenyum geli. Ada yang aneh di sini. Namun, sepanjang pandangan Caca ke area sekolah, tidak ada tanda-tanda bayangan hitam mengintai Bella. Semoga saja untuk sisa hari ini tak ada yang akan mengganggu Bella.
Yang janggal adalah petugas perpus baru yang menggantikan Pak Akmal. Caca baru tahu ada petugas perpus yang bernama Pak Hodi. Apa Bapak itu baru masuk hari ini dan langsung menjadi petugas perpus? Dan juga dari mana pula Pak Hodi itu tau kalau tiga buku tebal itu tak pernah dipajang di rak? Hal remeh semacam itu tak mungkin diberi tahu saat hari pertama bekerja oleh Pak Akmal selaku penjaga perpus sebelumnya pada Pak Hodi, kan? Lebih baik memberitahu hal-hal penting yang harus dikerjakan bukan? Seperti, di mana letak buku khusus pelajaran sekolah, dari kelas satu sampai tiga, lalu dimana pula letak ensiklopedia, kamus, peta-peta dan segala macamnya.
Tapi, Caca belum ingin menguras tenaga sepagi ini. Nanti sajalah ia lihat sendiri ke perpus siapa sebenarnya Pak Hodi itu.
**
Setelah mengirimi Caca pesan kalau ia dan Zeon tidak datang ke sekolah hari ini, Qeenan kembali berbaring dan menarik selimut hingga menutupi kepala, seraya menggeliat pelan dan berusaha tersadar sepenuhnya. Ia jadi menginap di tempat Zeon, mereka tidur bertiga di atas kasur king size milik Zeon.
Semalam, setelah Lana menceritakan alasan ia ingin membunuh Qeenan dan betapa dendamnya cowok itu pada Moran, Qeenan selaku korban berlutut di depan Lana. Ia meminta maaf mewakili Kakeknya yang biadab itu.
Tentunya Lana tak terima, ia menarik Qeenan berdiri dan memegang ke dua bahu cowok itu kuat-kuat. “Jangan mau lo diperbudak sama dia lagi. Lo bukan keturunan asli Moran. Moran gak pernah sudi menjadikan orang lain sebagai keturunannya, dia serakah, yang dia inginkan itu adalah kehidupan abadi. Jadi, jangan pernah sebut dia sebagai Kakek lo, meskipun sudah banyak yang dia lakuin buat keluarga lo, tapi lebih banyak lagi perintah yang harus dilakuin ke dua orang tua lo buat puasin keserakan Moran, yang sama sekali gak lo tau.”
Qeenan terkejut bukan main dengan fakta itu. Ia lalu terduduk dan menundukkan kepala dalam-dalam merasa kecewa dan terkhianati selama bertahun-tahun ia hidup. Ia tentunya tahu kalau Moran selalu memerintah siapa pun dan ke dua orang tuanya, tapi Moran berlaku seolah ia adalah Kakek terbaik yang Qeenan punya. Qeenan selalu disayang dan diberi perhatian lebih selama mereka tinggal bersama di kastil. Bahkan setelah Qeenan pindah ke Bumi pun, pasti setiap bulan Moran akan mengunjunginya. Jadi, dengan fakta yang disebut Lana tadi, Qeenan benar-benar tak tahu harus berkata apa. Ia dibuat bungkam.
Kemudian Lana mendekat dan menepuk bahunya. “Tenang aja, gue tahu sesuatu gimana cara lo buat memutuskan hubungan sama dia.”
Qeenan menolah, tak percaya. “Gimana Bang? Emang bisa?”
Lana mengangguk, penuh keyakinan. “Gue bakal mikirin caranya gimana.”
Qeenan jadi sangsi semua itu akan terjadi. Tapi, Zeon yang duduk di sebelahnya berujar, “Lo percaya aja sama Abang gue, oke.” Zeon menatap Qeenan lekat, seolah semuanya memang akan terjadi dan Qeenan bisa terbebas dari cengkraman Moran dan Qeenan hanya bisa mengangguk mengiyakan.
Sisa malam itu mereka habiskan dengan mendengar cerita Lana yang pernah tinggal di beberapa negara yang berbeda dan kenal dengan banyak orang. Sembari menghabiskan makanan cepat saji, mereka bercerita sampai larut malam. Dan baru saja terjaga jam tujuh pagi serta sepakat untuk tak datang ke sekolah, sebab Lana ingin mengajak mereka untuk membuat sesuatu.
Dan di sinilah mereka berada sekarang. Di tengah-tengah hutan dengan pepohonan serupa gerbang mengelilingi rumah pohon yang sudah rusak dan ditumbuhi tanaman rambat.
Qeenan berjalan mendekati rumah pohon itu dan melihat-lihat dengan seksama. Lantainya bolong, bisa dibilang tak ada lantai lagi sebenarnya. Dinding yang tersisa dari papan kayu yang sudah dimakan rayap juga tak bisa digunakan lagi, tak ada atap dan yang masih bisa Qeenan lihat adalah kerangka kayu rumah pohon itu yang menunjukkan kalau dulunya rumah pohon itu lumayan luas.
Qeenan merasa janggal dengan tempat ini, namun melihat Zeon dan Lana seolah familiar sekali dengan tempat ini, ia berusaha untuk merasakan hal yang sama. Pohon yang menjadi penopang rumah itu juga terlihat janggal, ia tumbuh besar dengan batang yang rebah sepanjang beberapa meter dan melengkung ke atas, tinggi sekali melebihi tinggi pepohonan yang ada di sekitarnya.
“Kita bakal bangun rumah pohon ini lagi.” Lana berkata seraya bersedekap d**a dan terlihat yakin kalau rumah pohon itu akan berhasil dibangun.
“Lo yakin Bang?” Qeenan berceletuk dan terlihat tak yakin.
“Gak ada yang gak mungkin bisa dilakuin.” Lana berujar dan menjentikkan jarinya, setelah itu bunyi ‘plop’ seperti gelembung pecah terdengar dan satu bilah papan muncul begitu saja di atas tanah.
“WAH!!” Qeenan dan Zeon kompak berseru.
Selanjutnya berbagai bahan pun muncul begitu saja setiap Lana menjentikkan jarinya. Dari bilah papan kayu, balok kayu dengan berbagai ukuran, paku, atap genteng, kaca, pintu, bingkai jendela dan segala macam peralatan untuk membangun rumah sudah tersedia di sekitar mereka.
“Nah sekarang, tugas kalian ngebangun rumah pohon dengan semua peralatan yang udah gue siapin.”
“Kita berdua aja nih Bang? Lo gak bantuin?”
Lana menggeleng, “Gue jadi mandornya di sini. Dan lo berdua anak buah gue.” Lalu ia tertawa pongah.
Qeenan hendak protes lagi, namun terhenti karna Zeon sudah mengembangkan lembaran karton yang sudah ada gambar tercetak berupa blue print dari rumah pohon yang akan mereka bangun. Qeenan berdecak kagum dengan kemampuan dua keluarga Larasfa ini.
“Kalian keren,” ujar Qeenan seraya bertepuk tangan.
Di lembar karton itu ada gambar berupa blue print rumah pohon bertingkat dua sudah seperti gambaran arsitek saja. Qeenan bertepuk tangan heboh dan mengacungkan dua ibu jarinya pada Zeon.
"Nah, karna gue udah nyiapin bahan-bahannya, dan Zeon udah ngegambar sketsanya, sekarang giliran lo yang kerja." Lana berkata sembari merangkul Zeon dan dengan lirikan matanya ia menyuruh Qeenan untuk bergegas.
"Ha?" Qeenan dengan wajah nelangsanya sudah kelihatan lesu bukan main padahal ia sama sekali belum menyentuh apa pun.
Akhirnya mereka bertiga bekerja sama membangun rumah pohon itu. Sesekali Qeenan memang disuruh-suruh untuk mengambil ini itu, sebab kan dia tidak mengerti harus membuat apa sesuai dengan sketsa dari Zeon. Qeenan pasrah saja.
Pekerjaan mereka selesai menjelang malam. Qeenan sudah rebahan di rerumputan dan memandang dengan bangga rumah pohon tingkat dua yang telah berdiri kokoh itu.
Zeon juga ikut rebahan di sampingnya. "Capek juga ya ternyata."
"Iya." Qeenan mengangguk setuju. "Abang lo mana?" Lalu bertanya keberadaan Lana yang tidak terlihat sejak tadi.
"Di lantai dua. Gak tau sih ngapain, dia nyuruh gue ke sini nemenin lo." Zeon menjawab dan menunjuk siluet Lana dari jendela lantai dua.
Tak lama kemudian cahaya kehijauan muncul, lalu berganti biru, jingga dan merah. Seperti itu berulang kali hingga bunyi letupan kembang api terdengar. Dan cahaya-cahaya itu melingkupi rumah pohon dan pepohonan yang melingkar bak pagar.
Setelahnya Lana muncul dari pintu lantai satu rumah pohon, "Gimana?" tanyanya.
"Keren." Zeon mengacungkan jempol.
"Mantul Bang." Qeenan bertepuk tangan memberi aplaus.
"Sekarang rumah pohon ini gak bisa diliat sama orang lain dan gak bisa dimasuki sembarang orang, kecuali kalian. Atau orang-orang yang mau kalian ajak ke sini, contohnya pacar... " Lana mengerlingkan mata pada Zeon.
"Atau seseorang yang punya kekuatan lebih besar dari gue, dan gak termasuk dia... " Lana juga menatap Qeenan.
Ia diam sebentar lalu melanjutkan, "Gak akan bisa masuk. Anggap aja tempat ini sebagai titik aman buat kalian. Di sini kalian bisa ngelakuin apa pun, gunain semua kekuatan yang kalian punya. Kayak gini contohnya." Lana menjentikkan jarinya dan muncul senampan makanan cepat saji di tangannya.
"Nah yang kayak gini nih gue suka." Qeenan menyahut dan turut serta memakan makanan cepat saji itu bersama Zeon.
**