Mario tidak menyesal ikut serta dalam acara girls time Caca dan Redana. Meskipun ia sering disuruh mengambil foto dengan sudut pandang yang tak terduga, ia tetap setia melakukannya. Tak menggerutu atau pun terlihat kesal. Hingga membuat gadis-gadis di sebrang meja menatapnya penuh kekaguman.
Redana yang melihat Mario ditatap segitunya oleh cewek-cewek di meja sebelah tampak tak suka. Ia lalu menarik Mario untuk duduk kembali ke sebelahnya dan mengambil ponselnya dari tangan Mario seraya berujar, "Udah gak usah potoin kita lagi." dan tentunya cemberut.
Mario mengerutkan dahi tak mengerti. "Loh kok gitu? Padahal hasilnya aestetic loh." Ia merasa kalau cara mengambil fotonya sudah bisa disetarakan dengan fotografer profesional, tapi reaksi Redana seperti hasil foto yang dipotertnya jelek saja.
"Udah gak usah. Nanti aja di tempat lain. Abisin minuman lo." Redana membalas jutek.
Mario semakin heran. Ia memandang Redana lama meminta jawaban, tapi gadis itu sibuk dengan ponselnya.
Sedangkan Caca yang duduk di depan mereka berdua hanya terkikik geli. Mario pun menoleh dan meminta penjelasan padanya dengan isyarat lirikan mata. Caca balas menggeleng pelan dan mengulum senyum.
Setelah minuman mereka habis, mereka lalu beranjak pergi dari kafe. Katanya, Redana ingin ke taman kota. Sunset di taman kota lebih terlihat jelas jadi ia ingin di foto di sana.
Dari kafe ke taman kota cukup dekat, jadi Caca dan Redana memilih berjalan kaki dan Mario yang bertugas memindahkan mobil dari parkiran kafe ke parkiran taman kota.
Setelah agak jauh dari kafe, Caca baru bicara. "Lo suka Mario ya?"
Redana menoleh, ada rona merah muncul di pipinya. "Iya." Kemudian mengangguk malu-malu. "Keliatan banget ya?"
"Iya." Caca tergelak geli. "Sayang banget Marionya bego."
"Cowok emang suka b**o. Heran."
Caca tertawa lagi. "Udah gak suka Bang Kalen lagi?"
"Kok lo tau di zaman kita kecil gue suka Kalen?"
"Hm. Keliatan kali, lo ngikutin Bang Kalen kemana-mana. Dulu juga ceritanya mau main ke rumah nyariin gue eh taunya ngintilin Bang Kalen main ps."
"Anjim. Iya ya, kok jadinya dulu gue sebucin itu ya sama Abang lo." Redana tergelak sembari menutup separuh wajahnya dengan tangan, seolah tak percaya dengan apa yang telah ia lakukan dulu. "Tapi, asli sih Kalen emang cinta monyet gue dulu."
Taman kota tepat berada di sebrang jalan, dari sini saja bias cahaya jingga senja di sore hari ini yang mengenai rumput hijau taman kota terlihat cantik sekali.
Jalanan masih ramai, jadi mereka berdua belum bisa menyebrang. Lampu tanda menyebrang jalan juga belum berganti hijau, masih merah. Alhasil, Redana dan Caca harus menunggu.
"Sejak kapan lo suka Mario Na?"
Redana tampak berpikir dengan jari telunjuk menempel di atas alis. "Sejak dia minjem pulpen gue."
"Pulpen?"
"Iya, pulpen. Waktu itu udah seminggu gue jadi anak baru di kelasnya dia. Gue duduk di sebrang mejanya dia. Terus kita lagi kuis english, tinta pulpennya abis dan dia bisik-bisik ke gue minta pinjem pulpen."
Caca diam saja mendengarkan. Setelah Redana selesai bicara, ia jadi bingung harus menanggapi apa. Karna menurutnya perihal meminjam pulpen adalah hal yang biasa.
Redana tertawa geli saat menoleh pada Caca yang belum juga menanggapi ucapannya, ia kira Caca tidak mendengarkan apa barusan ia bicarakan, tapi Caca malah terlihat berupaya sekali memahami makasud dari ucapannya sendiri, kelihatannya jadi lucu. "Gak usah dipikirin banget, kasian lo juga gak bakal ngerti. Gue sendiri aja awanya gak ngerti tapi lama-lama gue jalanin dan gue enjoy sama perasaan gue."
Lampu tanda menyebrang jalan sudah berwarna hijau. Redana refleks saja menggandeng tangan Caca menyebrang jalan. Karna sejak kecil,Ia yang selalu kemana-mana sendiri dan sudah terlatih mandiri merasa lebih dewasa daripada Caca yang waktu kecil selalu menempel pada Kakak laki-lakinya. Jadi, setiap melakukan apa pun, seperti menyebrang jalan Redana merasa punya tanggung jawab untuk menjaga Caca.
Tak sampai dua menit mereka sudah tiba di trotoar taman kota. Redana juga masih belum melepaskan genggaman tangannya dari Caca. Malah semakin mengerat.
Caca jadi heran dengan Redana yang tiba-tiba saja seperti membeku. Ia lalu melihat ke arah pandang Redana yang menatap lurus ke taman kota di sisi kanan rerumputan hijau, di sana ada lapangan basket kecil dan ada seseorang yang sedang mendrible bola basket.
Orang itu adalah Mario. Asik memainkan bola basket sendiri tanpa tahu bagaimana tatapan Redana yang sudah jelas sekali kalau gadis itu sedang jatuh cinta.
Kalau begini sih, Caca mengerti. Sebab dengan cahaya jingga yang menyinari Mario dan membuat rambut coklat gelap cowok itu terkena cahaya jingga yang membuat Mario terlihat berkali-kali lipat lebih tampan, pantas saja Redana suka.
**
Qeenan kira ini akhir hidupnya. Rasanya sesak dan pasokan udara yang ada di paru-parunya perlahan menipis. Ia sudah mengap-mengap mencari udara seperti ikan yang dibiarkan berada di daratan.
Kepalanya mulai terasa pusing dan pandangannya perlahan memburam. Ia masih berusaha membuka matanya, namu nihil kepalanya seakan tidak membolehkan ia membuka mata sama sekali. Kenapa seolah dirinya masih dipedulikan agar tidak melihat langsung orang yang menjemput kematian di depannya?
Kalau begitu Qeenan bisa apa. Ia rasa seluruh darahnya tersekat di beberapa tempat karna oksigen sudah tak mengalir lagi. Ia akhirnya memilih untuk menuruti tubuhnya dan memejamkan mata. Perlahan-lahan rasa damai itu datang dan agaknya Qeenan sudah selangkah lebih dekat dengan kematian.
Namun, gemerincing lonceng jatuh begitu saja. Membuat ia kembali dipaksa merasakan sakit yang luar biasa di sekitar lehernya saat tangan itu terlepas dari sana.
Refleks Qeenan menyentuh lehernya dengan tangan gemetar dan bisa merasakan bagaiman kulit tangannya yang pucat dan dingin menekan ke area yang sakit bekas cekikan tadi. Qeenan langsung saja mengap-mengap mengais udara sebisanya untuk kembali memenuhi tangki paru-parunya. Ia sudah hampir dibatas kematian, untung saja berkat lonceng yang merupakan kunci laci meja belajarnya itu terjatuh dari saku celananya, Qeenan tidak jadi mati.
Lana memungut lonceng itu dari lantai dan melihatnya dengan seksama. Sebelum ia menatap Zeon dan Qeenan bergantian.
"Lo inget sama lonceng ini?" tanya Lana pada Zeon.
Zeon yang masih memproses keadaan di depannya dan baru bisa bernapas lega karna Qeenan tidak jadi mati namun cowok itu terlihat kesakitan dengan berusaha mengais-ngais udara, menatap Lana heran kenapa cowok itu malah menanyakan tentang lonceng.
Dahi Zeon berkerut dan mengulurkan tangannya menerima lonceng yang Lana berikan. Seraya mengingat ia berujar pelan, "Ini mainan waktu gue kecil, gue punya dua terus gue kasih satu ke Qeenan. Emang kenapa Bang?"
Lana kembali menatap Qeenan. Cowok itu terkejut bukan main dan refleks menutup lehernya dengan tangan, takut sekali kalau Lana kembali mencekiknya.
"Lonceng itu gue yang bikin sendiri di kerajinan logam tempat kerja part time pertama gue. Gue bikin tiga, buat gue satu terus buat lo dua. Karna lo cerita punya temen yang selalu sedih tiap Zeon pulang ke rumah habis main bareng dia. Gue harap dengan lonceng itu temennya Zeon gak sedih lagi." Lana menjelaskan panjang lebar sembari menatap Qeenan.
Qeenan yang baru tahu asal mula lonceng itu balik menatap Zeon. Ia kira dulu waktu Zeon memberinya lonceng itu adalah hadiah mainan dari snack yang dijual di warung-warung. Ternyata tidak. Buatan tangan sendiri. Pantas saja sampai sekarang lonceng itu masih awet.
"Jadi lo yang pake nama belakang si serakah itu beneran temen Adek gue?"
Qeenan sontak mengangguk. "Iya bang."
Lana berdecak. Untung saja ia tidak membunuh Qeenan. Kalau pun ia mungkin hubungannya dengan Zeon akan memburuk, padahal setelah beberapa dekade ia akhirnya bertemu dengan Zeon lagi.
"Kenapa lo gini sih Bang? Dia temen gue!" Zeon berujar terdengar kesal dan membantu Qeenan berjalan lalu duduk di sofa. Ia kemudian mengambil segelas air di dapur dan kembali secepat mungkin seraya mata menatap awas pergerakan Lana.
"Maaf. Gue kalap."
"Gue gak perlu maaf dari lo Bang, gue butuh penjelasan atas tindakan lo ini." Zeon berujar dan ikut duduk di samping Qeenan. Ia menatap Lana lekat.
Lana terdiam. Ia enggan sekali menjelaskan alasan dari tindakannya. Ia tidak ingin teringat lagi dengan kejadian kelam itu. Tapi, kalau ia hanya diam dan tidak juga memberi penjelasan, Zeon tetap akan meminta dan menagihnya di lain waktu.
Yasudah, toh ujung-ujung ia tetap akan menjelaskan. Daripada nanti-nanti ia akan lakukan sekarang. Sebab kalau pun ia sedih karna teringat dengan dia di masa lalu, ada Zeon yang akan menemaninya tidak seperti dulu di waktu-waktu yang panjang ia hanya sendiri dengan perasaan sakit yang begitu mencekik.
Lana pun duduk di sofa sebrang tepat di hadapan Qeenan dan Zeon yang sudah menatapnya tak sabar.
Sekali lagi ia mendesah pelan dan mulai bicara. "Dulu setelah kami terpisah-pisah dan pergi sendiri-sendiri mencari kehidupan sendiri, gue memilih menetap di Asia. Di kota kecil yang sedikit orang-orang tinggal di sana. Gue berbaur dengan mereka. Menjalani kehidupan manusia biasa. Selama bertahun-tahun hingga gue bertemu seseorang."
Lana berhenti sebentar untuk menatap ke langit-langit ruangan. Dengan pandangan menerawang ia melanjutkan, "Namanya Frana. Dia anak magang di kantor balai kota. Dia tinggal di flat yang sama kayak gue. Kamar dia tepat di sebelah kamar gue. Awalnya gue kira dia cowok karna rambut pendeknya, ternyata dia pernah jadi sherif di kota sebelah makanya rambutnya dipotong pendek. Lama dekat sama dia, kita jadi saling suka dan saling membutuhkan satu sama lain. Sampai suatu ekspansi dadakan datang di kota itu, mereka sengaja berlagak dari kantor balai kota sebrang yang ingin mempelajari bagaimana sistem kota kami berjalan baik, yang akhirnya membawa Frana ke dalam perangkap mereka. Gue marah. Gue cari Frana kemanapun tapi gak pernah gue temuin dia lagi. Dan akhirnya gue sampai di kastil Moran. Tempat tersuram yang pernah ada, gue cuma berhenti di luar dan mereka dengan pongahnya bilang kalau Frana sudah mati. Dari sana, gue tahu gimana bejatnya tua bangka itu, demi menarik gue untuk jadi antek-antek mereka, dengan liciknya mereka menjerat orang yang paling gue sayang. Dari sana gue nyimpan dendam sama siapapun yang berhubungan dengan Moran. Dan saat gue liat lo datang, gue refleks buat bergerak cepat untuk menuntaskan semua dendam gue."
Lana menghela napas lelah. Ia lalu tertunduk dengan wajah lesu menatap karpet beludru ruang tamu. "Gue tau gue pengecut karna gak bisa langsung ngelawan Moran. Gue selalu ngebunuh anak buahnya yang gue temui, bahkan elo. Maaf, gue emang pengecut. Karna gue rasa Frana sampai sekarang masih hidup, dia gak mati seperti kata mereka. Gue yakin itu."
"Frana." Qeenan bergumam pelan. Ia seperti teringat sesuatu dan sialnya kepalanya kembali sakit. Sama seperti saat ia berusaha memunculkan kalimat di dalam buku sejarah tentang keluaraga Larasfa semalam. Dan sebelum ia kehilangan kesadaran, ia dengan cepat berujar. "Gue tau dimana Frana Bang."
**
Caca jadi tiba-tiba kangen Samuel saat melihat bagaimana Redana dan Mario tampak begitu dekat.
Di taman kota setelah berpose sendiri-sendiri dan Caca berfoto bersama Redana berdua, Caca mengajukan diri untuk mengambilkan foto Redana dan Mario berdua.
Mario langsung mengiyakan dan Redana tampak malu-malu. Setelahnya ia mengambil potret keduanya beberapa kali sampai Redana menyudahi karna ia sudah merasa malu berat.
Selagi Redana melihat-lihat hasil jepretan kamera ponselnya, Caca mengirim pesan pada Samuel.
Sebenarnya hubungan Caca dan Samuel belum terlalu dekat, hanya saja Caca punya perasaan kalau Samuel ini menaruh hati padanya. Yah daripada sok cuek dan pura-pura tidak tahu perasaan Samuel, Caca lebih suka terang-terangan.
Ia mengetikkan pesan ....
Kak Sam, lagi dimana nih? Caca kok kangen kakak ya, hehe.
Sama dengan akhir ketikannya, Caca pun juga tertawa. Tak lama balasan dari Sam datang.
From Kak Sam :
Eh, kok kangen? Jangan kangen Ca, berat biar kakak aja. Kakak lagi di jalan nih, nunggu lampu ijo abis dari kos temen. Kalau kamu lagi dimana?
To Kak Sam :
HAHAHAHA Kakak lucu deh. Aku lagi di taman kota nih lagi liat orang pedekate:(
From Kak Sam :
Kakak samperin ya, kakak bentar lagi nyampe taman kota.
Caca tersenyum geli. Sebentar lagi Sam datang, jadi ia tidak terlalu kentara sedang jadi obat nyamuk antara Redana dan Mario.
Redana dan Mario masih asik melihat-lihat hasil jepretan. Kalau seperti ini mereka memang terlihat cocok sekali. Duh, Caca jadi terharu akhirnya Marip yang selalu kemana-mana sendiri akhirnya punya gandengan juga.
"Caca!" Dari arah barat Samuel menyapa seraya berlari kecil mendekat. Caca balas melambaikan tangan seraya tertawa geli.
Matahari semakin dekat ke ufuk barat, cahaya jingganya menyinari Samuel yang berjalan mendekat, sudah tidak lari-lari lagi. Kalau dilihat-lihat Samuel seolah datang dari matahari senja, sebab semua cahaya jingga menyelimuti dari atas sampai bawah.
"Gitu banget liatnya." Samuel berujar saat sudah berdiri di depan Caca. Cowok itu menutupi cahaya jingga di balik punggungnya, namun berkas cahaya itu masih tampak di celah ceruk leher Samuel.
"Kakak ganteng deh, kayak abis keluar matahari." Caca memuji.
Samuel tergelak lalu menoleh ke belakang. Seraya menunjuk sebuah departemenstor yang berada di ujung taman kota dengan logo matahari besar. "Maksud kamu matahari yang itu?"
Caca tertawa geli. Lalu menggeleng. "Maksud aku matahari yang itu." Kemudian ia menggeser tangan Samuel ke arah matahari yang hampir lenyap di ufuk barat.
"Oh yang itu." Samuel mangut-mangut lalu langsung menarik tangan Caca yang tadi menggeser tangannya ke arah matahari senja, kemudian menggenggamnya erat. "Cantik banget sih sore ini," ujar Samuel memuji sembari mengelus puncak kepala Caca.
Caca tersenyum geli. "Kok bawaannya ketawa terus ya kalau ada Kakak."
"Itu berarti aku membawa kebahagian buat kamu."
Caca tertawa lagi. "Iyain aja deh. Kakak dari kos temen abis nugas ya?"
"Iya."
"Tugas apa?"
"Tugas kuliah."
"Ya iya dong tugas kuliah, masa kakak ngerjain tugas anak SMA, kan gak mungkin."
Kali ini Samuel yang tertawa. "Kalau aku jelasin juga kamu gak bakal ngerti Ca."
"Kata siapa aku gak ngerti?" Caca berujar sombong.
Samuel tergelak dan mulai menjelaskan. "Kakak tadi ngerjain tugas ekonomi makro, statistika lanjutan--"
"---stop, iya aku gak ngerti." Caca mengalah. Ia sama sekali tak mengerti apa yang baru saja Samuel sebut, kedengarannya berbelit apa lagi tugasnya ya ... duh Caca mendengarnya saja sudah pusing.
Samuel semakin tergelak, lalu tangannya terulur untuk mengnyel-unyel ke dua pipi chubby Caca. "Lucu banget sih kamu."
Caca hanya tertawa, tak berniat melepaskan tangan Samuel dari pipinya. Ia lalu menatap lama iris abu terang milik Samuel. Rasanya menenangkan dan Caca seakan terhisap untuk menatap lebih lama.
Hingga Samuel melepaskan tangannya dari pipi Caca dan memalingkan wajah dengan ke dua pipi merah.
"Kakak bulshing, ciee." Ejek Caca sembari tertawa geli. Ia bukannya memberi ruang untuk Samuel, namun malah semakin mendekati cowok itu.
Caca agak menjinjit kakinya dan mengecup pipi Samuel yang memerah. Alhasil ke dua pipi Samuel semakin memerah. Cowok itu menganga tak percaya, sedangkan Caca semakin tertawa geli.
"Astaga Claris cowok siapa ini yang lo cium-cium?" Redana datang dan tampak panik. Ia mendekati Samuel lalu berujar, "Masnya gapapa kan?"
Samuel masih loading. Ia perlu waktu sedikit lama ternyata karna ulah Caca yang mencium pipinya tiba-tiba. Ia diam saja saat Redana memandanginya lekat-lekat.
"Ganteng juga nih Ca, nemu dimana?"
Caca tertawa geli. "Calon pacar gue nih," bisik Caca di telinga Redana lalu keduanya terkik berdua.
"Udah pinter ya lo sekarang." Redana berkata dengan tatapan bangga.
Caca tak menjawab hanya mengangguk. Lalu ia merangkul lengan Samuel. "Gue "Gue balik sama Kak Sam, kalian berdua duluan aja ya." Abis bilang itu, Caca dorong bahu Mario sama Redana supaya menjauh. Redana yang mengerti cuma ketawa kecil dan menarik lengan Mario dan juga merangkulnya, seraya melambaikan tangan ke arah Caca.
Setelah ditinggal pergi oleh Mario dan Redana, Caca yang masih merangkul Samuel berjalan-jalan pelan mengelilingi taman kota. Random sih, jalan-jalan muterin bagian taman kota yang ditumbuhi rumput hijau. Ada satu air mancur kecil gitu yang sudah nyala dengan lampu-lampu yang terlihat cantik.
Caca memandang kagum dan berhenti berjalan lalu stay di sana. Samuel yang lengannya masih di rangkul Caca mencoba melepas tangan gadis itu pelan-pelan di saat Caca masih fokus mengagumi air mancur.
Detak jantung Samuel sudah tak beraturan. Tadinya lebih gila lagi saat Caca mencium pipinya. Ternyata Caca seagresif ini. Tapi, tak apa ia tetap suka.
Caca menoleh padanya dan berujar protes. "Kenapa dilepas?"
"Soalnya Kakak mau ngerangkul kamu." Lalu Samuel menarik Caca merapat padanya dan melingkarkan lenga di bahu gadis itu.
Kali ini Caca yang deg-degan. Meskipun ia yang selalu memulai tingkah agresif ke Samuel, tapi kalau dibalas seperti ini Caca jadi tidak kuat.
Caca cuma diam sebisa mungkin fokus melihat air mancur. Namun sisi badannya sebelah kiri yang menempel dengan badan Samuel terasa hangat dan menggelitik isi perutnya. Duh, Caca jadi lemas sendiri. Rasanya Caca ingin bergerak menjauh dari rangkulan Samuel, tapi enggan juga di waktu bersamaan, ia malah bimbang.
"Tasya." Samuel tiba-tiba bergumam. Pelan sih, tapi Caca masih bisa mendengarnya. Rangkulan dari Samuel pun melonggar dan Caca mengambil inisiatif untuk menjauh sedikit dari cowok itu yang tampak fokus dengan sosok seorang gadis yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
Dilihat dari arah pandang Samuel, gadis yang bersama dua temannya itu tampak fokus pada air mancur. Sama sekali tidak menyadari kalau Samuel melihatnya.
Caca berdecih dan mendengus pelan, "Segitunya." Ia tentu saja kesal. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak di posisi yang pantas kesal dengan Samuel yang tak berstatus sebagai kekasihnya.
**